Minggu, 27 Desember 2015

ALUNAN UNTUK BEDA PART 11

Gerakan dua kepala yang perlahan-lahan berbaring tanpa alas membuat rumput hijau dibawah mereka bergoyang tapi kemudian tertindih. Langit biru dengan gradasi warna cerah yang nampak bersahabat menjadi sasaran pengamatan mereka.

Hari yang sedang mengumpulkan jingganya sore masih setia memayungi. Menggenapi indahnya nyanyian syahdu yang sayup-sayup terdengar dari kejauhan.

"Denger nggak fy ?", tanya Rio lembut tanpa menoleh sedikitpun pada Ify yang berbaring disampingnya.

Tapi Ify justru menoleh, menatap wajah damai Rio yang sedang terpejam dengan penasaran. "Apa ?"

"Suara adzan. Sama merdunya sama suara kidung digereja. Aku suka dua-duanya. Sama-sama menenangkan.", desah Rio lembut tepat disamping telinga Ify saat ia menoleh kearah gadis itu. Senyuman kecil tercetak dibibir manis Ify.

Pilihan Ify tak salah memang. Rio istimewa, Rio terbeda. Dia yang selalu mampu menggabungkan dengan fase yang lurus apa yang menurut pandangan orang tabu. Sama sekali tak bermaksud menghalalkan, hanya terlihat lebih untuk mengindahkan.

"Kamu udah sholat fy ?", tanya Rio kembali membuat Ify menoleh kearahnya lagi. Ify melihat Rio mendekap erat gitar coklat mengkilap diatas tubuhnya. Seolah benda itu bisa balik mendekapnya. Kemudian Ify menggeleng pelan. "Lagi red day.", sahutnya singkat.

Rio terkekeh sebentar hingga tubuhnya bergoyang-goyang pelan. Tapi setelah itu ditutupnya lagi matanya dengan sebelah lengan yang ia letakkan diatas. Sedangkan satu tangannya lagi masih mendekap gitarnya. Membiarkan Ify yang leluasa memandangi tiap ukiran tegas diparasnya.

"Yo...", bisik Ify pelan. Jemarinya tergoda untuk menyentuh lembut pelipis hingga rahang Rio. Merasakan jika ujung jemarinya itu bagai tersengat aliran menegangkan sekaligus menyenangkan pada permukaan kulit lelaki tampan itu.

Rio hanya berdehem pelan tanpa membuka matanya. Ia biarkan gadisnya itu menjelajahi wajahnya yang sedang terpejam damai. Sepertinya Ify suka melakukan itu, dan terlebih Rio, ia begitu suka diperlakukan macam itu.

"Ehm...", sebentar Ify menggantung kalimatnya. "Kamu mampir kerumah ya dari sini ?"

Hembusan nafas kuat menyembul dari lubang hidung Rio yang berada dibawah lengannya yang sedang menutupi mata. "Berhubung aku cinta kamu, sepertinya aku juga nggak bakal berhasil nolak.", tutur Rio terdengar pasrah. Seolah rasa cintanya pada Ify sudah begitu menaklukannya dihadapan gadis manis itu. Membuat pipinya dicubit gemas oleh Ify yang meringis malu. Rio terkekeh manis.

 

***

 

I'm at a payphone trying to call home

All of my change i spent on you

Where have the times gone baby it's all wrong

Where are the plans we made for two....

 

Cakka berdua Alvin yang sedang duduk santai dipelataran rumah sambil asyik bermain gitar langsung berhenti tepat ketika sebuah motor cagiva hitam mengkilap memasuki halaman dengan gadis yang sedang menyeringai lucu turun dari boncengan. Keduanya hanya saling melempar pandang dengan isyarat menatap penasaran pada gadis yang amat mereka kenal itu kemudian menggamit manja lengan pemuda berbalut seragam sma yang senada, pengendara motor tadi.

"Kok bengong sih ? Terusin aja nyanyinya.", kata Ify cuek dengan senyuman jahil. Membuat dua lelaki didepannya melongo heran.

"Yuk, kita masuk aja.", Ify kemudian beralih pada Rio yang hanya tersenyum sekilas pada Cakka dan Alvin sebelum Ify benar-benar membawanya masuk.

"Siapa tuh ya vin ?", tanya Cakka bingung.

Alvin langsung menjitak kepalanya kesal. "Mana gue tahulah. Orang yang kakaknya Ify kan situ.", Cakka menampakan tampang kesalnya atas perbuatan Alvin barusan.

 

***

 

"Siapa fy ?", sambut bunda begitu Ify memperkenalkan seseorang disampingnya.

"Saya Rio tante.", sapa Rio ramah. Tak segan pula ia mengecup punggung tangan wanita berjilbab didepannya. "Temen..."

"Deketnya Ify ya ?", sambung bunda saat gelagat sungkan anak muda didepannya ini begitu kentara. Tapi dari kesan pertamanya Rio baik, sopan, juga tampan.

"Duduk dulu ya, tante buatin minum.", bunda tersenyum sebelum akhirnya matanya menangkap seuntai bandul dari kalung Rio yang agak tersembunyi dibalik kerah tapi terlanjur tertimpa cahaya lampu. Bersama dengan itu senyum manis wanita itu mengabur.

"Woy...", Rio mendongak begitu ada yang entah benar atau tidak memanggilnya. "Siapa nama lo ?", tanya seseorang yang tak lain adalah Cakka. Dibelakangnya ada Alvin yang sekedar menyunggingkan senyumnya pada Rio.

"Rio kak.", sahut Rio sopan. Dia sedikit mendongak untuk berbicara dengan Cakka karena ia yang sedang duduk disofa dan dua cowok berkulit putih itu sedang berdiri tiba-tiba disampingnya.

 Kepala Cakka mengangguk-angguk pelan. Tanpa berkata apapun lagi, dia segera pergi masuk. Alvin langsung mengikutinya dengan menenteng sebuah gitar. Meninggalkan Rio yang hanya bisa tersenyum kecil mendapat perlakuan acuh semacam itu. Tapi ia cukup geli, ketika mengamati secara fokus jika wajah Cakka ternyata mirip sekali dengan wajah Ify. Apalagi saat ekspresi datar seperti itu.

Tak lama seringaian lucu Ify mengembang bersama dia yang sedang membawa sebuah nampan berisi dua gelas sirup. Sambil menatap Rio yang sedang tersenyum-senyum disofa Ify meletakkan bawaannya diatas meja tepat didepan laki-laki itu duduk. Dan dia sendiri mengambil posisi duduk disamping Rio.

"Kenapa senyum-senyum gitu ?", tanya Ify iseng sambil memangkukan sikunya diatas paha untuk menyangga dagunya.

Rio menggeleng. "Tadi kakak kamu ?".

Ify mengangguk. "Kamu diapain sama dia ? Dijutekin pasti. Udah bawa nyantai aja, kak Cakka emang gitu sama orang baru."

Dengan gemas Rio menoyor pelan kepala gadis bawel disampingnya. Masih tak sadarkah Ify jika sifat jutek Cakka barusan, persis sekali seperti apa yang terlihat diwajah cantiknya ketika sedang cemburu ?

"Huu, pinter ya kamu bilang gitu tentang kakak kamu. Mau aku kacain pas muka kamu juga lagi kayak dia ?", Rio terkekeh melihat Ify yang mengerucutkan bibir sambil melipat tangan didepan dada.

"Apa deh kamu !", Ify menyikut kesal perut Rio. "Aw..tukan ! Barusan buktinya nih.", Rio meringis jahil.

"Ehem.."

Deheman bersuara berat melerai aksi roman keduanya. Rio segera membenahi posisi duduknya, sementara Ify langsung bangkit begitu melihat sosok itu.

"Ayah...", sapanya sambil tersenyum lucu. Sedikit memberi isyarat dengan matanya pada sang ayah siapa laki-laki yang sedang duduk disampingnya.

Begitu melihat sosok berwibawa yang berdiri gagah didepannya, mata Rio berbinar ceria. Laki-laki tinggi yang dipanggil Ify dengan sebutan 'ayah' tadi, langsung mengingatkan jika dulu ia juga memiliki sosok tegas seperti ayah Ify. Raut wajah yang keras namun menyimpan begitu banyak kasih sayang. Sosok yang sungguh Rio rindukan sejak tiga tahun belakangan ini.

"Sore om. Saya Rio.", tanpa diminta Rio langsung bangkit dari duduknya dan menyodorkan tangan kanannya.

Ayah Ify, Hanafi Umari mengangguk tenang. Diamatinya pemuda jangkung didepannya itu dari pangkal jambul rambut hingga ujung sepatu keds yang Rio pakai. Dari kacamatanya, anak muda kekasih putrinya itu sopan dan hangat.

"Hanafi Umari, ayahnya Ify.", pak Hanafi melirik Ify sekilas sambil menjabat tangan Rio. Ia sempat tersentak saat ternyata Rio tak hanya ingin menjabat tangannya, tapi juga mengecup punggung tangannya. Ify tersenyum manis ditempatnya.

"Silahkan duduk !", Pak Hanafi mempersilahkan. Rio menurut.

"Teman sekelas Ify kamu ?", tanyanya lagi.

Rio menggeleng. "Nggak om, saya kelas ipa 1."

Tangan kokoh Hanafi mengusap-usap dagunya yang ditumbuhi bulu. "Itu berarti pintar kamu. Kata Ify ipa 1 kelas favorit dipenjurusan ipa ?", ada terselip nada kagum dalam sahutannya.

"Bener yah. Secara pak Rio inikan selebritis sekolah.", ify menyahut sambil melirik kearah Rio yang justru canggung. "Pinter, kemaren juga baru aja dilantik jadi kapten basket, terus jago musik, dikenal banget mah disekolah.", lanjut Ify sambil menepuk-nepuk pundak ayahnya.

Hanafi umari tak langsung menjawab. Beberapa saat ia habiskan untuk memandang Rio lekat-lekat. Masih ada yang dicarinya, dari diri anak muda itu. Selintas ucapan istrinya tadi kembali membuatnya butuh pembuktian. Sampai apa yang dicarinya terlihat berkat pantulan bola lampu yang tepat berada diatas kepala Rio. Bandul kalung yang tersembunyi dibalik kerah seragam Rio.

"Bagus. Tapi ayah rasa image seorang manusia dimata Tuhan juga lebih penting, daripada image dimata sesama manusia. Jika yang pertama tidak ada, akan percuma saja semuanya.", entahlah sebaris kalimat sahutan tadi tercetus dingin dari bibir pak Hanafi. Membuat dua remaja didepannya hanya bisa terdiam tak mengerti.

"Baiklah, ini sudah sore sekali. Ify kamu belum menyelesaikan kewajibanmu kan ?", ucapnya lagi, mengaburkan aksi bisu Rio dan Ify.

Ify mengangguk pelan dan Rio langsung sadar. "Kalau begitu saya pamit pulang sekarang om.", ucapnya sedikit tak enak kemudian buru-buru menyangga ranselnya. Sekali lagi dikecupnya punggung tangan ayah Ify. Rasa rindu itu hadir lagi dalam sanubari Rio untuk kedua kalinya. Ah...seandainya.

"Aku pamit fy.", Rio beralih menatap Ify. Gadis itu mengangguk sambil menggigit bibir bawahnya. Merasakan ada yang tak enak atas sikap ayahnya pada Rio.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar