Mendung yang mengerikan menggelayut resah pada hamparan hitam langit malam. Tak satupun bintang sudi menemaninya walau hanya beberapa saat. Tak juga si bundar yang cantik berwarna putih lembayung menampakkan sinar sendunya. Dua penghias abadi galaksi bimasakti itu lebih memilih mengintip sedih dibalik pekatnya awan merah. Menemani rintihan sesak seorang gadis diujung balkon rumahnya. Disebelahnya ada seorang lagi gadis yang mencoba untuk melindungnya, meskipun ia sadar pelukannya tak mungkin bisa merubah apapun dengan gadis mungil dalam pelukannya itu.
"Percaya ya fy, tulang rusuk laki-laki nggak akan pernah tertukar dengan tubuhnya.", hanya itu yang mampu Sivia ucapkan untuk menghibur Ify.
"Sekalipun ketika Tuhan juga lagi ngelakuin kesalahan kak ?",
Sivia melepaskan rengkuhannya. Ditangkupnya wajah tirus Ify. Mata beningnya yang tampak tak pernah serapuh malam ini. Sivia mencoba tersenyum. "Sekalipun ketika itu.", ucapnya meyakinkan.
Ify tak lagi bersuara. Dalam dekapan hangat sepupunya itu setidaknya, ada sedikit rasa lapang yang mungkin Cakka sekalipun tak bisa menciptakannya.
"Fy...", panggil Sivia lagi sambil mengusap puncak kepala Ify.
"Hmm..."
"Kalo ada apa-apa kamu pasti cerita sama kakak kan ?", Ify mengangguk kecil dalam dekapannya.
"Nanti kamu akan ngerti fy, terkadang hal yang dipermukaannya sepertinya kejam, justru merupakan cinta yang sangat mendalam.", suara Cakka menyela diantara tingginya sunyi antara Sivia dan Ify. Dia yang sedari tadi ternyata sudah berdiri diam dibalik pintu balkon, bersama Alvin disampingnya yang juga melakukan hal yang sama.
Ify dan Sivia menoleh menatap mereka. Tapi tak juga ada sahutan setelah kata-kata Cakka tadi. Mereka hanya mampu saling pandang sampai Cakka dan Alvin membalik badan dan pergi menghilang dibalik pintu. Isakan Ify menguar lirih seketika.
***
"Hoy !", Gabriel menepuk secara tiba-tiba pundak Rio yang sedang duduk diatas kursi rotan dibalkonnya. Tapi seringaian jahilnya meluntur, saat hanya ekspresi datar yang ia lihat diwajah sahabatnya itu.
"Kenapa nih bro ? Sedih amat muka lo ?", Gabriel mendudukkan dirinya disamping Rio. Kemudian dipangkunya gitar hitam yang turut dibawanya juga.
Pemuda disampingnya membisu. Membiarkan angin menemani Gabriel menebak-nebak apa yang sedang membuatnya berubah seperti malam ini. Menjadi Rio yang biasanya sehangat mentari menjadi sedingin salju. Sampai sebuah pemikiran klise entah mengapa begitu saja langsung singgah diotak Gabriel.
"About the differences ? You experience it too ?", tembaknya tepat sasaran.
Rio tertawa miris sambil menatapnya. "Elo ternyata pinter juga yel."
Gabriel menyeringai lebar. "Gue sih emang nggak sepinter elo, tapi sory ye untung-untungan gue lahir ganteng. Ya nggak ? Ahha.."
"Terus gimana yo ?", lanjutnya lagi dengan serius. Sadar jika ini bukanlah saat yang tepat untuk bercanda berlebihan. Apalagi masih begitu datarnya ekspresi wajah sahabatnya itu.
"Ayahnya Ify minta tolong ke gue buat jauhin Ify yel."
Untuk beberapa saat Gabriel hanya memangku tangannya mendengar Rio membuka suaranya. Tapi kemudian dia mengernyit aneh. "Heeh, nyuruh itu sih bukan minta tolong yo.", dia menerawang lagi. "Tapi seenggaknya elo diperlakuin baik yo sama orang tuanya Ify, lah gue dicaci maki aja kayaknya belom cukup."
Rio menoleh. Menatap setangkup raut hampa yang juga masih ada pada wajah Gabriel yang beberapa hari ini setidaknya sudah bisa berusaha seceria biasanya. Tapi luka tetaplah luka. Sekecil apapun, laranya tak mudah sembuh begitu saja. Rio tersenyum kecil, saat hembusan keras nafas Gabriel menerbangkan helaian rambut yang sedikit menutupi dahinya.
"If you have this what do i do ? She gave up ?", tanya Rio. Kalimat yang justru lebih pantas jika dikatakan desahan. Tak ada nada hidup sama sekali.
Gabriel membetulkan posisinya. Tubuhnya sepenuhnya menghadap pada Rio. "Woles bro ! Woles ! Gila, belum apa-apa juga.", ucapnya dengan menggebu. Membuat Rio terkekeh letih.
Setelah itu Gabriel tampak berpikir. Entahlah, tapi setahu Rio, laki-laki itu tak pernah bisa berpikir. Untuk itu, Rio hanya membiarkan Gabriel asyik dengan bumbungan kusut dalam otaknya. Dia lebih memilih menumpukkan kedua sikunya diatas paha, sembari menunduk.
"Lagian lo pikir gampang merelakan tanpa air mata ? Bisa lo ?"
Pertanyaan Gabriel barusan. Sangat bukan mencirikan lelaki selengean itu memang. Tapi mampu membuat Rio mengangkat kepalanya. Beberapa detik terdiam membenarkan kalimat itu. Hey, darimana pemuda yang tak pernah mengerjakan pr nya sendiri barang satu kalipun mampu memiliki pemikiran semacam itu ? Melebihi Rio yang bahkan ahli dihampir semua mata pelajaran.
Ekspresi takjub Rio membuat Gabriel menoyor kepalanya. "Nyantai aja dong elo ngeliatnya. Gue tahu yo kata-kata gue barusan emang maut tapi jangan sampe cengo gitu ?!"
"Ngg..gak yel, jelasin sama gue darimana elo bisa dapet pemikiran kayak gitu ?", tanya Rio serius. Tak ingin memperdulikan candaan Gabriel sebelumnya.
"Lo lupa bro, gue sama Shilla kan ngalamin ? Duluan gue malah.",
Rio menatapnya lagi, baru kemudian mengangguk kecil. Sudah tak lagi menuntut Gabriel untuk menjelaskan apapun.
"Lagian jangan jadi ambifator dadakan deh yo.", Gabriel menepuk pundak Rio."Semua nggak bakal sia-sia kok kalo perjuangan ini terus elo lanjutin. Inget berhenti disini sama aja percuma. Kalo elo mau berhenti harusnya dari awal noh ! Sebelum semuanya sejauh ini bro."
Itulah Gabriel. Tak ada apapun yang bisa membuatnya melupakan bahwa ia adalah seorang pejuang pengakuan yang gigih. Pengakuan atas cinta dan keinginannya untuk bisa punya strata yang sama dengan kaum awam. Bisa mencintai dan dicintai dengan lawan jenisnya. Just it ! And never more.
Perlahan tangan kokoh Rio menepuk puncak kepala Gabriel kagum. Dia terkekeh melihat isyarat mata bulat Gabriel yang berbinar. Kagum juga sepertinya atas semua ucapan keren nan bijaknya barusan. "Jadi gue harus bilang 'thanks' nih yel, buat yang barusan ?".
"Iyalah. Gabriel gitu ! Masa gue mulu yang elo paksa bilang thanks tiap abis minjem pr ?! Haha...nyantai nyantai gimana brother. Yaudah sekarang gue nyanyi buat elo aja deh.", cerocos Gabriel panjang lebar. Tapi setelah itu dia mulai memetik gitarnya. Senandung sederhana hanya untuk seorang sahabat terbaiknya.
Aku untuk kamu
Kamu untuk aku
Namun semua ap...
"Stop yel !", cegah Rio.
Mata Gabriel melotot."Apaan sih ?"
"Masa peri cintaku mulu yel ? Itukan udah ? Lagian kalo sekarang elo sama Shilla boleh jadi tuh."
"Yaudah, kenapa nggak bilang dari awal cungkring ?!", gerutu Gabriel kesal. Rio menyeringai lebar.
Bintang malam kat...
"Tunggu yel !",
Gabriel mendengus keras. "Apa lagi Rio pesek ?!"
Bukannya menjawab, Rio malah melompati kusen jendelanya. Membuat Gabriel menatap sambil menunggu heran. Kemudian tak lama dia kembali dengan gitar coklat kesayangannya.
"Kita main bareng. Lagu rindu bro !", kata Rio. Gabriel mengangguk dan memberikan aba-aba untuk mengenjreng gitar secara bersama.
Bintang malam katakan padanya
Aku ingin melukis sinarmu dihatinya
Embun pagi katakan padanya
Biar kudekap erat waktu dingin membelenggunya...
Taukah engkau wahai langit
Kuingin bertemu membelai wajahnya
Kan kupasang hiasan
Angkasa yang terindah
Hanya untuk dirinya...
Lagu rindu ini kuciptakan
Hanya untuk bidadari hatiku tercinta
Walau hanya nada sederhana
Biar kuungkap segenap rasa dan kerinduan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar