Minggu, 27 Desember 2015

ALUNAN UNTUK BEDA PART 15

"Gue masih nggak ngerti, kenapa Rio malah lebih milih pacaran sama cewek kurus itu ? Mereka tuh nggak serasi ! Banyak banget perbedaannya. Secara masih cantik gue juga kemana-mana."

Ify bersama Shilla yang menyusuri ubin dingin koridor sekolah langsung berbalik arah seketika. Menuntut kalimat sampah yang baru saja terdengar menusuk ditelinganya. Dihampirinya dua orang cewek bergaya norak yang ia ketahui adalah penggemar Rio didepan pintu uks.

"Maksud lo apa ngomong kayak gitu ?", tanya Ify to the point. Emosinya belum benar-benar stabil setelah kejadian kemarin, dan pagi ini moodnya kembai dirusak oleh cibiran yang biasanya hanya ia anggap angin lalu.

Cewek berambut pirang didepannya melotot. "Elo tuh yang maksudnya apaan macarin Rio ? Udah berasa cantik lo ?", tangan cewek itu mengacung tepat didepan wajah Ify. Dengan sekali hentak, Ify menepisnya kasar.

"Udah fy.", Shilla coba menenangkan Ify. Tapi sepertinya tak berhasil. Emosi singa manis itu terpancing.

"Iya Dea, udah yuk ! Bentar lagi bel masuk nih !", seorang cewek bermata bulat, teman cewek berambut pirang yang bernama Dea itu juga ikut melerai.

"Lepasin gue ngel ! Gue mau ngasih pelajaran buat miss cungkring satu ini biar nggak kegatelan sama Rio !", Dea mendorong Angel sedikit kasar.

"Ngaca ya elo nona alay, yang kegatelan itu siapa ? Rio pacar gue, dan elo seenaknya aja gelayutan.", sahut Ify tenang, mimik wajahnya sangat meremehkan.

"Karena gue nggak pernah nganggap Rio udah punya pacar ! Apalagi yang modelnya kayak kayu dimakan rayap macam lo !", teriak Dea keras lalu tangannya menjambak kasar rambut Ify yang dikuncir ekor kuda.

"Ify !", seru Shilla sambil berusaha menjauhkan gadis mungil itu dari jangkauan Dea yang jelas lebih besar postur tubuhnya.

"Heeh ! Elo juga cewek sok imut, sama aja elo gatelnya.", Dea ikut meneriaki Shilla.

Aksi tarik-menarik rambut antara Ify dan Dea juga ikut menarik perhatian hampir semua murid yang saat itu sedang dalam waktu istirahat. Lebih kebetulan lagi karena letak uks hanya bersebelahan dengan kantin.

"Udah stop !"

"Elo tuh cewek kurus ganjen !"

"Dea stop !", teriakan Rio yang kedua kalinya akhirnya membuat kedua gadis itu terdiam. Tapi tatapan menusuk masih terlontar satu sama lain.

"Ada apaan nih ?", Rio berusaha menelan lagi emosinya.

"Dia nih yo, cewek kegatelan yang udah godain kamu mulu !", sahut Dea gusar sambil menunjuk-nunjuk wajah Ify.

"Elo tuh yang kegatelan ! Dia pacar gue De.", akhirnya Rio terpancing emosi setelah kelakuan cewek didepannya itu sudah sangat agresif. Ify hanya menghela nafas, membaca istighfar beberapa kali sambil menyilangkan lengannya didepan dada.

Rio mendengus keras ditempatnya. "Gue juga manusia biasa. Gue emang bisa welcome sama siapa aja yang mau kenal sama gue, tapi bukan berarti gue juga nggak butuh privasi kan ? Tolong banget, jangan lagi elo ikut campur sama urusan pribadi gue.",

Setelah menyelesaikan monolognya, Rio memilih segera menyeruak dari kerumunan padat untuk menyusul Ify yang sudah lebih dulu pergi. Sedikit berlari, diikutinya punggung mungil Ify yang menyusuri koridor sekolah bukan untuk menuju kelas, melainkan padang rumput belakang sekolah.

 

***

 

"Aku tadi emosi...", Ify berucap pelan saat yakin jika sosok yang sudah berdiri dibelakangnya adalah Rio.

Terdengar langkah mendekat. Baru kemudian ikut duduk disamping Ify yang masih berusaha mengatur nafasnya. "Kamu kenapa ?",

Gadis berdagu tirus itu menoleh. Meraih tangan Rio yang terkulai biasa saja untuk digenggamnya erat. Berusaha mencari lagi setiap kenyamanan yang selalu mampu laki-laki itu tawarkan padanya. Meskipun hanya menghasilkan secuil saja.

"Yo..."

Rio mendehem. "Hmm..."

"Maaf... Maaf banget."

Rio menarik tangannya digenggaman Ify. Ia gunakan tangan kokohnya itu untuk mengusap puncak kepala Ify. Menjadikan rambut lembut gadisnya menjadi semakin berantakan saja. "Dimaafin... Dimaafin banget.", kata Rio lembut. Mengikuti cara bicara Ify sebelumnya.

Ify menghela nafasnya -lagi-. Berat. Wajah cantiknya merumit. Ketika rasa maha indah ini justru menggelenggunya dalam kesakitan, membiarkannya sendirian, dan tak mampu untuk diungkapkan.

Ia tak kuat. Bahu kokoh Rio yang tampak tenang hanya karena helaan nafas, menggodanya. Menarik inginnya untuk meletakkan kepala dan rasa resahnya disana. Karena sepenuh Ify yakin, Rio selalu punya pundak terkuat tempatnya bersandar.

Ify meletakkan kepalanya pada bahu kanan Rio. Permukaan sesuatu yang keras dan seolah tangguh menopang kepalanya. Kedua lengannya ia lingkarkan pada lengan Rio yang terbungkus lengan panjang kemeja seragamnya yang disingsing hingga siku.

"Ada apa lagi ?", tanya Rio lirih. Sebenarnya tak juga terlalu mengharapkan jawaban Ify. Karena dalam posisinya yang sekarang, sulit sekali membaca gerak bibir gadis itu.

Setelah puas dengan posisinya, Ify mengangkat kepala. Kemudian ia menoleh, sambil mengusap pelan rahang Rio yang terbentuk tegas dan jelas. Meskipun tak membuat laki-laki itu bereaksi selain membalas tatapannya dengan sorot yang begitu lembut.

"What do we do ?", tanyanya pelan.

"Kamu maunya gimana ?"

"Kok jadi nanya balik sih ?"

Rio terkekeh. "Kalau gitu biar aku yang terus perjuangin sekaligus sayangin kamu, kamu cukup menerimanya aja fy."

Ify tertawa kecil sambil mengangguk. Ia meraih tangan Rio dan mengecup punggung tangannya. Kemudian menempelkannya pada pipi sambil memejamkan mata.

Rasa candu itu bercokol dalam tubuhnya. Ia tak ingin lagi mengetahui apapun didunia ini, jika seandainya saja Rio dan cinta telah diperuntukan padanya.

"All right, i'll just follow your request. Yeah ?", kata Ify singkat. Rio hanya menoleh sekilas sambil tersenyum. Senyuman yang punya volume luar biasa manis yang bisa membuat siapapun yang melihatnya langsung terpesona saat itu juga. Tak pernah punya pengecualian untuk Ify sekalipun.

ALUNAN UNTUK BEDA PART 14

Mendung yang mengerikan menggelayut resah pada hamparan hitam langit malam. Tak satupun bintang sudi menemaninya walau hanya beberapa saat. Tak juga si bundar yang cantik berwarna putih lembayung menampakkan sinar sendunya. Dua penghias abadi galaksi bimasakti itu lebih memilih mengintip sedih dibalik pekatnya awan merah. Menemani rintihan sesak seorang gadis diujung balkon rumahnya. Disebelahnya ada seorang lagi gadis yang mencoba untuk melindungnya, meskipun ia sadar pelukannya tak mungkin bisa merubah apapun dengan gadis mungil dalam pelukannya itu.

"Percaya ya fy, tulang rusuk laki-laki nggak akan pernah tertukar dengan tubuhnya.", hanya itu yang mampu Sivia ucapkan untuk menghibur Ify.

"Sekalipun ketika Tuhan juga lagi ngelakuin kesalahan kak ?",

Sivia melepaskan rengkuhannya. Ditangkupnya wajah tirus Ify. Mata beningnya yang tampak tak pernah serapuh malam ini. Sivia mencoba tersenyum. "Sekalipun ketika itu.", ucapnya meyakinkan.

Ify tak lagi bersuara. Dalam dekapan hangat sepupunya itu setidaknya, ada sedikit rasa lapang yang mungkin Cakka sekalipun tak bisa menciptakannya.

"Fy...", panggil Sivia lagi sambil mengusap puncak kepala Ify.

"Hmm..."

"Kalo ada apa-apa kamu pasti cerita sama kakak kan ?", Ify mengangguk kecil dalam dekapannya.

"Nanti kamu akan ngerti fy, terkadang hal yang dipermukaannya sepertinya kejam, justru merupakan cinta yang sangat mendalam.", suara Cakka menyela diantara tingginya sunyi antara Sivia dan Ify. Dia yang sedari tadi ternyata sudah berdiri diam dibalik pintu balkon, bersama Alvin disampingnya yang juga melakukan hal yang sama.

Ify dan Sivia menoleh menatap mereka. Tapi tak juga ada sahutan setelah kata-kata Cakka tadi. Mereka hanya mampu saling pandang sampai Cakka dan Alvin membalik badan dan pergi menghilang dibalik pintu. Isakan Ify menguar lirih seketika.

 

***

 

"Hoy !", Gabriel menepuk secara tiba-tiba pundak Rio yang sedang duduk diatas kursi rotan dibalkonnya. Tapi seringaian jahilnya meluntur, saat hanya ekspresi datar yang ia lihat diwajah sahabatnya itu.

"Kenapa nih bro ? Sedih amat muka lo ?", Gabriel mendudukkan dirinya disamping Rio. Kemudian dipangkunya gitar hitam yang turut dibawanya juga.

Pemuda disampingnya membisu. Membiarkan angin menemani Gabriel menebak-nebak apa yang sedang membuatnya berubah seperti malam ini. Menjadi Rio yang biasanya sehangat mentari menjadi sedingin salju. Sampai sebuah pemikiran klise entah mengapa begitu saja langsung singgah diotak Gabriel.

"About the differences ? You experience it too ?", tembaknya tepat sasaran.

Rio tertawa miris sambil menatapnya. "Elo ternyata pinter juga yel."

Gabriel menyeringai lebar. "Gue sih emang nggak sepinter elo, tapi sory ye untung-untungan gue lahir ganteng. Ya nggak ? Ahha.."

"Terus gimana yo ?", lanjutnya lagi dengan serius. Sadar jika ini bukanlah saat yang tepat untuk bercanda berlebihan. Apalagi masih begitu datarnya ekspresi wajah sahabatnya itu.

"Ayahnya Ify minta tolong ke gue buat jauhin Ify yel."

Untuk beberapa saat Gabriel hanya memangku tangannya mendengar Rio membuka suaranya. Tapi kemudian dia mengernyit aneh. "Heeh, nyuruh itu sih bukan minta tolong yo.", dia menerawang lagi. "Tapi seenggaknya elo diperlakuin baik yo sama orang tuanya Ify, lah gue dicaci maki aja kayaknya belom cukup."

Rio menoleh. Menatap setangkup raut hampa yang juga masih ada pada wajah Gabriel yang beberapa hari ini setidaknya sudah bisa berusaha seceria biasanya. Tapi luka tetaplah luka. Sekecil apapun, laranya tak mudah sembuh begitu saja. Rio tersenyum kecil, saat hembusan keras nafas Gabriel menerbangkan helaian rambut yang sedikit menutupi dahinya.

"If you have this what do i do ? She gave up ?", tanya Rio. Kalimat yang justru lebih pantas jika dikatakan desahan. Tak ada nada hidup sama sekali.

Gabriel membetulkan posisinya. Tubuhnya sepenuhnya menghadap pada Rio. "Woles bro ! Woles ! Gila, belum apa-apa juga.", ucapnya dengan menggebu. Membuat Rio terkekeh letih.

Setelah itu Gabriel tampak berpikir. Entahlah, tapi setahu Rio, laki-laki itu tak pernah bisa berpikir. Untuk itu, Rio hanya membiarkan Gabriel asyik dengan bumbungan kusut dalam otaknya. Dia lebih memilih menumpukkan kedua sikunya diatas paha, sembari menunduk.

"Lagian lo pikir gampang merelakan tanpa air mata ? Bisa lo ?"

Pertanyaan Gabriel barusan. Sangat bukan mencirikan lelaki selengean itu memang. Tapi mampu membuat Rio mengangkat kepalanya. Beberapa detik terdiam membenarkan kalimat itu. Hey, darimana pemuda yang tak pernah mengerjakan pr nya sendiri barang satu kalipun mampu memiliki pemikiran semacam itu ? Melebihi Rio yang bahkan ahli dihampir semua mata pelajaran. 

Ekspresi takjub Rio membuat Gabriel menoyor kepalanya. "Nyantai aja dong elo ngeliatnya. Gue tahu yo kata-kata gue barusan emang maut tapi jangan sampe cengo gitu ?!"

"Ngg..gak yel, jelasin sama gue darimana elo bisa dapet pemikiran kayak gitu ?", tanya Rio serius. Tak ingin memperdulikan candaan Gabriel sebelumnya.

"Lo lupa bro, gue sama Shilla kan ngalamin ? Duluan gue malah.",

Rio menatapnya lagi, baru kemudian mengangguk kecil. Sudah tak lagi menuntut Gabriel untuk menjelaskan apapun.

"Lagian jangan jadi ambifator dadakan deh yo.", Gabriel menepuk pundak Rio."Semua nggak bakal sia-sia kok kalo perjuangan ini terus elo lanjutin. Inget berhenti disini sama aja percuma. Kalo elo mau berhenti harusnya dari awal noh ! Sebelum semuanya sejauh ini bro."

Itulah Gabriel. Tak ada apapun yang bisa membuatnya melupakan bahwa ia adalah seorang pejuang pengakuan yang gigih. Pengakuan atas cinta dan keinginannya untuk bisa punya strata yang sama dengan kaum awam. Bisa mencintai dan dicintai dengan lawan jenisnya. Just it ! And never more.

Perlahan tangan kokoh Rio menepuk puncak kepala Gabriel kagum. Dia terkekeh melihat isyarat mata bulat Gabriel yang berbinar. Kagum juga sepertinya atas semua ucapan keren nan bijaknya barusan. "Jadi gue harus bilang 'thanks' nih yel, buat yang barusan ?".

"Iyalah. Gabriel gitu ! Masa gue mulu yang elo paksa bilang thanks tiap abis minjem pr ?! Haha...nyantai nyantai gimana brother. Yaudah sekarang gue nyanyi buat elo aja deh.", cerocos Gabriel panjang lebar. Tapi setelah itu dia mulai memetik gitarnya. Senandung sederhana hanya untuk seorang sahabat terbaiknya.

 

Aku untuk kamu

Kamu untuk aku

Namun semua ap...

 

"Stop yel !", cegah Rio.

Mata Gabriel melotot."Apaan sih ?"

"Masa peri cintaku mulu yel ? Itukan udah ? Lagian kalo sekarang elo sama Shilla boleh jadi tuh."

"Yaudah, kenapa nggak bilang dari awal cungkring ?!", gerutu Gabriel kesal. Rio menyeringai lebar.

 

Bintang malam kat...

 

"Tunggu yel !",

Gabriel mendengus keras. "Apa lagi Rio pesek ?!"

Bukannya menjawab, Rio malah melompati kusen jendelanya. Membuat Gabriel menatap sambil menunggu heran. Kemudian tak lama dia kembali dengan gitar coklat kesayangannya.

"Kita main bareng. Lagu rindu bro !", kata Rio. Gabriel mengangguk dan memberikan aba-aba untuk mengenjreng gitar secara bersama.

 

Bintang malam katakan padanya

Aku ingin melukis sinarmu dihatinya

Embun pagi katakan padanya

Biar kudekap erat waktu dingin membelenggunya...

 

Taukah engkau wahai langit

Kuingin bertemu membelai wajahnya

Kan kupasang hiasan

Angkasa yang terindah

Hanya untuk dirinya...

 

Lagu rindu ini kuciptakan

Hanya untuk bidadari hatiku tercinta

Walau hanya nada sederhana

Biar kuungkap segenap rasa dan kerinduan...

 

ALUNAN UNTUK BEDA PART 13

"Eh, Rio ada nggak ?", tanya Ify memburu pada seorang gadis berkulit hitam manis yang ia temui tepat didepan pintu kelas Rio.

Gadis yang tak lain adalah Nova itu hanya menggeleng. "Nggak ada.", jawabnya.

"Dia kemana ?", tanya Ify lagi. Tapi ketika melihat sosok jangkung yang juga hendak keluar dari pintu kelas itu, Ify beralih dari Nova. Segera ditahannya lengan pemuda itu agar tak sempat pergi.

"Yel !", panggil Ify. Gabriel menghentikan langkahnya. Ia tersenyum pada dua gadis didepan pintu itu. Bedanya jika dengan Ify ia tersenyum ramah, dengan Nova ia malah menyeringai jahil.

"Eh, ada mbak Nova juga ya disini ?", katanya sambil mencolek pundak Nova.

Nova mengelak dengan mata yang mendelik sebal pada teman sekelasnya itu. "Jangan panggil gue pake sebutan 'mbak' dong yel ! Elo tuh ya ngeselin banget.", gerutunya kemudian. Tapi begitu melihat ekspresi Ify yang cengo Nova buru-buru tersenyum kikuk. "Eh, yaudah gue duluan ya. Kalo nanya Rio, tanya aja sama dia tuh !", pamit Nova sambil melirik Gabriel sebal.

Setelah Nova buru-buru pergi, Gabriel tertawa geli dengan gerakan tubuh kurusnya yang menurut Ify sudah 'kelainan' sekali.

"Yel, udah sih ngebully orang. Gue nanya Rio dimana sekarang ?", tanya Ify tak sabar. Sebelum Gabriel semakin kambuh sifat tengilnya.

"Hah...Rio diaula fy, aula besar noh !", jawab Gabriel setelah ia mampu meredam tawanya. Ify mengangguk kemudian menggeleng dengan pandangan aneh pada Gabriel sebelum berlari kecil menuju aula besar sekolah.

 

***

 

Ify melongokkan kepalanya didepan pintu aula besar yang terbuka. Sayup-sayup memang terdengar suara musik cukup keras dari dalam sana. Sampai ia melihat jika ada kegiatan beberapa murid yang melakukan dance dengan koreografi yang keren dan yakin pasti membuat para siswi teriak tidak santai ketika menontonnya. Dan Rio menjadi salah satunya. Dari postur tubuhnya yang tinggi menjulang, ia mudah sekali dikenali. Apalagi setiap gestur tubuhnya yang sangat fasih melakukan tiap gerakan yang pas mengikuti hentakan musik.

Beberapa saat Ify sempat terpana dibuatnya sebelum akhirnya sadar maksud awal tujuannya mencari Rio kesini. "Yo...", panggil Ify cukup keras. Membuat segerombol remaja didalam sana berhenti dan menatapnya. Ia hanya nyengir kuda, menanti Rio yang menghampirinya didepan pintu.

"Kenapa fy ?", tanya Rio lembut sambil menyeka sedikit peluh yang menuruni pelipisnya.

"Kamu ngapain ?", Ify balik bertanya.

Sepasang alis tebal Rio tertaut. "Aku cuma iseng doang kok ikut latihan sama anak ekskul dance. Terus kamu ada apa ?"

Ify menggeleng pelan. Kemudian suasana wajah cantiknya berubah menyendu. Sambil menggigit bibir bawahnya, ia menatap Rio dengan tatapan muram. "Kamu nggak apa-apa kan yo sama sikap ayah kemaren ?", 

Rio meremas hangat kedua lengan Ify. Tatapannya teduh menyorot tepat dimata bening gadis itu. "Aku nggak apa-apa. Aku malah seneng sama beliau fy."

Beberapa saat Ify sempat tertegun. Masih menelaah sebenarnya ada apa dibalik tatapan sumringah saat Rio menemui ayah kemarin. Tak peduli bagaimana sifat kaku dan begitu dingin yang beliau tawarkan, secara tersirat menyatakan penolakan. Kekaguman Ify menjalar pelan diujung hatinya. Dan bagi Rio ini cinta yang seharusnya. Ia tak bertambah karena kebaikan, juga tak pernah berkurang karena kesalahan. Apalagi hanya sebuah kesalahan yang entah disadari ayah Ify adalah justru kesalahan terindah untuknya. Mungkin begitulah cara ia mencintai gadis berdagu tirus dihadapannya itu. Sekaligus mengaitkan secuil rindunya pada sang Kuasa untuk beliau yang sedang berada disurga.

 

 

***

 

"Eh, apa ini Cak ! Gue juga yang duluan beli amerika.", Alvin kesal pada cowok disampingnya itu saat mereka berdua bersama Agni dan Sivia sedang bermain monopoli dipelataran rumah Cakka sepulang dari kampus.

Cakka terkekeh serta beberapa kali menghindari toyoran Alvin yang ingin mendarat dikepalanya. "Elah vin, lo nggak usah beli amerika udah. Malang aja noh elo beli. Kon kan wong jowo, ora pantes tuku amerika. Hahaha..."

Sivia berdecak. "Ck ! Cakka jangan mulai curang deh. Sebel makanya gue kalo  main sama lo.", Alvin menyetujui dengan anggukannya. Agni justru masih asyik menghitung uang dolar kertasnya.

"Yoweslah, nih amerikanya punya elo vin. Uh, dasar cina baplang lo !",Cakka akhirnya mengalah dan memilih untuk melanjutkan permainan kembali. Mengikhlaskan jika negara adikuasa itu dihak miliki oleh Alvin dalam permainan monopoli mereka. Alvin tersenyum 'thanks-banget-gue-keelo' pada Sivia yang meringis manis sambil mengangguk.

Permainan mereka kembali berlanjut.

"Agni sayang, aku pinjem uang dong ?", Cakka nyengir pada Agni yang kebetulan juga sebagai bank dalam permainan mereka. Seluruh asetnya habis hanya untuk membayar pajak jalan atau yang ia dapat dikartu kesempatan atau dana umum.

Perempuan berwajah manis itu mengernyitkan dahi bingung. Buru-buru dibukanya sebuah kertas peraturan dalam permainan. Ditelitinya sebentar baru kertas itu berpindah tepat diwajah Cakka dalam keadaan terbuka lebar. Isyarat agak lelaki itu membacanya.

"Baca deh, peraturannya kan udah nggak bisa sayang.", Ujar Agni dengan tatapan polos. Cakka memelas.

"Yah ! terus kalo gitu aku gimana mau main lagi ? Uang aku udah abis nih, mana nggak keluar-keluar penjara juga dari tadi."

Alvin menepuk puncak kepala Cakka. "Elo, berhenti aja deh Cak."

"Ogah ! Gue masih mau ikut main.", tolak Cakka mentah-mentah.

"Elo banyak main curangnya sih Cak, makanya kalah lo.", lanjut Sivia sambil menjalankan bidaknya enam langkah seperti angka pada dadu yang dikocoknya.

"Elo tuh yang ngadalin gue mulu vi. Tadi kan harusnya bidak lo berhenti diBelgianya gue tuh, eh elo tau kan makanya ngocok ulang tu dadu.", protes Cakka.

Sivia menoyor kepala sepupunya yang suka bicara asal itu. "Asli gue nggak ngerti banget isi otak lo apaan."

Agni hanya terkekeh. Tangannya kemudian menyentuh rahang Cakka lembut. Geli melihat ekspresi sangat tersudut diwajah kekasihnya itu. "Udah deh, mending kamu jadi banknya aja sekarang Cak."

"Bener tu !", Sivia dan Alvin kompak mengiyakan.

Cakka mengerucutkan bibirnya. "Yaudah deh.", ia mengangguk manja. "Awas ya elo berdua, nggak gue pinjemin uang.", ancamnya pada Sivia dan Alvin.

"Vin apa itu bahasa jawanya 'jangan marah dong' ?", tanya Sivia geli.

"Ojo nesu-nesu to, Cak!", kata Alvin sambil menyenggol bahu Cakka. Kedua gadis cantik diantara mereka tertawa bersama.

"Ify pulang !", suara cempreng itu membuat mereka berhenti tertawa kemudian beralih kearah gadis mungil yang tergesa-gesa masuk rumah. Beberapa meter dibelakangnya seorang pemuda tampan berpostur tinggi 171 cm mengikuti.

"Eh, elo kesini lagi. Kalo gitu elo sini main monopoli bareng kita. Elo mainin gue ya ? Gue kalah mulu sama mereka.", Cakka menyuruh Rio agak ikut bermain. Rio terkekeh kecil tapi ia mengangguk. Mengambil tempat disamping Cakka kemudian. Ify mengerutkan keningnya. "Yaudah kamu main aja dulu bareng mereka, aku ganti baju.",

"Siapa nama lo cungkring ? Lupa gue.", sambil membagi uang dihadapan Rio, Cakka bertanya pada pemuda itu.

"Yeee ! Elo Cak, anak orang punya nama juga dipanggil cungkring.", Sivia menoyor kepala Cakka -lagi-.

Cakka menepisnya sambil mengangkat bahu acuh. "Emang dia cungkring kok, elo pada liat aja. Tinggi kurus gitu, sama bener kayak si Ify."

"Masih bagus posturnya dia kali, daripada elo cuy ! Apaan, bentuk badan udah kayak emak-emak abis ngelahirin.", sahut Alvin sekenanya. Sukses membuat rambutnya ditarik Cakka. Sukses pula membuat Sivia, Agni, Rio terlebih Alvin tertawa keras.

"Elo anak kecil ikutan ketawa juga. Siapa nama lo ?", tegur Cakka masih kesal.

"Gue Rio kak.", jawab Rio.

"Rio doang ?"

"Mario Stevano Aditya Haling."

Cakka mencibir. "Buset ! Itu nama apa iring-iringan truk gandeng ?!"

Telapak tangan Agni mendarat tepat membekap mulut Cakka yang masih ingin meracau tak jelas. "Cakka udah ah, dari tadi kepo banget sih.", katanya mulai gemas juga terhadap lelaki tampan itu.

"Iya sayang...nanya doang ini.", Cakka meringis saat Agni sudah menjauhkan tangan dari mulutnya.

"Yaudah yuk main lagi !"

Kegiatan mereka berlanjut. Mulai dari Alvin, Sivia, Agni yang menjalan bidak masing-masing, hingga Rio yang akhirnya berhasil mendapatkan angka kembar dari dadu yang ia kocok untuk melanjutkan bidak Cakka yang masuk penjara. Lalu saling memperbanyak aset dengan membeli rumah atau hotel pada tanah mereka.

"Elah yo, elo yang bener dong ! Berhenti ditanahnya si Cina kan ?! Mana rumahnya ada empat lagi.", Cakka mendumel sambil menarik-narik dasi seragam Rio.

"Enggak kak, itu tadi kan delapan, berarti kan berhentinya dikesempatan ?", sanggah Rio, meskipun ia bingung juga.

"Wah, iya tuh vin. Delapan itu cuy, delapan. Gimana sih lo ?!", protes Cakka pada Alvin.

"Wah, nggak bisa dong ! Kan sekarang dadunya tujuh. Salah sendiri kaki lo yang ngenain dadunya Cak.",

"Nggak bisa dong ! Udah yo, nggak usah bayar lo sama tu Cina satu !"

"Cak ! Ora iso loh !"

Tawa mereka pecah. Geli melihat tingkah Alvin dan Cakka yang sedang berdebat sengit tentang angka didadu Rio. Sementara Rio justru melongo ditempat, ditengah mereka dan hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya bingung. Atau mungkin lebih tepatnya tak tahu harus berbuat apa diantara dua laki-laki dewasa itu. Namun ia akhirnya tertawa paling keras, melihat sepasang sahabat itu nyaris seperti duplikatnya jika bersama Gabriel.

 

***

 

Meja makan, selepas maghrib.

Keluarga kecil Hanafi Umari sedang mengelilingi meja makan setelah tadi usai melaksanakan sholat maghrib berjamaah.

"Fy, panggil sana temen kamu.", perintah bunda pada Ify.

Ify berjalan menuju ruang tamu keluarganya. Tempat dimana ia menyuruh Rio menunggu saat mereka sekeluarga sedang melakukan ibadah maghrib tadi. Dan dilihatnya cowok itu duduk disofa melipat kedua sikunya diatas paha. Kepalanya menunduk. Menyembunyikan wajah resahnya.

"Hei, ehm...udah selesai sholatnya. Yuk, makan malam, udah ditunggu."

Rio tersenyum lalu mengangguk. Sejujurnya, jika bukan atas titah Hanafi Umari, tak mungkin ia masih bertahan dirumah Ify hingga saat ini. Menghabiskan makan malamnya ditengah keluarga hangat namun membuatnya merasa asing sendiri.

"Silahkan duduk disebelah Cakka.", Hanafi Umari mulai membuka suaranya.

Dalam diam, Rio menuruti perintah lelaki paruh baya itu. Ia duduk disamping Cakka dan mulai ikut menyodorkan piringnya untuk diisi nasi oleh Ify. Kemudian masih diam saat gadisnya menyendokkan beberapa lauk lezat dipiring yang sama.

"Nih.", Ify menyodorkan piring tersebut dihadapan Rio.

"Kalau ada yang kurang, jangan malu untuk bilang.", kata bunda Ify lembut.

Dinner hangat ala keluarga Umari berlangsung seperti biasa. Setelah berdoa mereka mulai menyuapkan makanan dalam diam. Hanya bunyi sendok dan garpu yang beradu dengan piring sesekali menggenapi tradisi keluarga itu.

"Bagaimana menurutmu masakan bunda Ify ?", tanya Hanafi memecah kebisuan mereka saat dinner itu usai. Pada Rio, siapa lagi.

Rio tersenyum. "Enak om, luar biasa enak."

Hanafi mengangguk. "Alhamdulillah kalau begitu."

"Apa dirumah kamu masakannya juga seperti ini ?"

Tanya itu mungkin hanya tanya yang biasa. Sekedar basa-basi atau formalitas. Tapi yang tertangkap jelas ditelinga Rio, membuatnya tercenung sesaat. Keresahannya sejak tadi akan segera terjawab. "Ya, kurang lebih sama seperti ini om."

Hanafi mengangguk-angguk. "Yang penting dari suatu makanan adalah selain lezat dia juga harus halal. Agar menjadi tumbuh menjadi daging dan mendapat ridho-Nya."

Rio menyapukan pandangan diwajah datar lelaki diseberangnya. Ada sinar dalam dan begitu menggigil disepasang mata ayah dari gadis yang sangat ia cintai itu. Keduanya lalu bungkam. Hanya berkomunikasi dengan bahasa inverbal seolah dengan pandangan itu.

"Boleh saya minta sesuatu kekamu ?

Rio mengangguk. "Apa om ?"

"Tolong jauhi Ify, bisa ?"

DEG !

Pacu jantung cepat serentak mendobrak tulang rusuk dibalik dada Rio dan Ify. Ucapan barusan langsung membuat suasana meja makan tersebut kaku. Bunda, yang diam disamping Ify hanya coba mengurut pelan lengan putrinya itu. Tak ada yang tahu bahwa dibawah meja, Sivia menggenggam sangat erat tangan Alvin dipangkuannya. Agni hanya bisa menggigit bibir bawahnya sambil menunduk. Tak berani menyentuh Cakka yang tak lagi bergerak disampingnya.

"Tapi kenapa om ?", Rio mencoba bertanya. Nada bicaranya kecil.

"Saya rasa kamu sudah sangat tahu jawabannya, Rio."

Rio menarik nafas dalam. "Jika ini tentang perbedaan keyakinan diantara saya dan Ify...", ia menunduk sebentar, menelan kembali kepahitan diulu hatinya. "Kami bisa seperti sekarang karena dipertemukan oleh cinta, bukan oleh beda."

"Cinta kamu salah."

"Baiklah. Setidaknya setelah ini saya akan kembali berfikir, apa memang Tuhan yang salah, atau justru kita yang akhirnya memandang bahwa segala kuasa-Nya menjadi salah." Rio bangkit perlahan dari duduknya. Melempar senyum sebentar pada Ify yang nampak tak bisa berbuat apa-apa. "Saya pamit om."

Tak ada satupun manusia diruangan itu yang mampu mencegah kepergian Rio, juga untuk mengajukan banding atas deklarasi Hanafi Umari barusan. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Juga sibuk memikirkan Ify.

"Rio baik yah.", hanya itu yang keluar dari bibir mungil Ify sesaat setelah dia hanya diam terpaku melihat punggung kokoh Rio pergi menjauh.

Ayahnya kemudian bangkit. Sejenak melempar tatapan aneh pada Ify sebelum berbalik badan dan mendesah. "Masih banyak juga pemuda muslim yang baik fy."

ALUNAN UNTUK BEDA PART 12

"Cowok tinggi tadi siapanya kamu fy ?", tanya Sivia penasaran sambil menggulung sedikit ujung rambut panjang Ify ditelunjuknya. Saat ini mereka sedang duduk bersama dengan dua cowok tampan yang sedari tadi hanya diam diujung balkon menikmati malam.

"Rio kak."

Sivia menghentikan kegiatannya sambil mengerutkan kening. "Dia siapa fy ? bukan namanya siapa ?!"

Ify terkikik sendiri melihat Sivia yang begitu penasaran. Wajah bundar gadis itu manyun. Bibir mungilnya mengerucut kecil.

"Engg...ntar malem aja kak aku cerita. Aku tidur dikamar kak Via deh ya ?", bukannya menjawab Ify malah mengucapkan janjinya. Tapi dengan begitu Sivia mengangguk sambil nyengir. Membuat Ify mengacungkan ibu jarinya juga.

"Pacar kamu fy ? Yakin ? Cowok ceking gitu ? Item pula ?", Cakka ikut membuka suaranya. Sudah tak tahan untuk diam saja ia rupanya bersama lelaki bermata sipit disampingnya yang justru sedang melamun.

Bola mata Ify yang bulat nyaris keluar dari matanya. Ucapan kakaknya itu tak pernah jauh dari nada sinis setiap kali ada seseorang yang ia bawa kerumah. Ketika ditanya mengapa, Cakka hanya berpendapat jika seharusnya Ify bisa dapat pacar yang lebih. Tapi sampai sekarangpun, sudah ada beberapa cowok yang Ify bawa, tetap saja masih kurang pas menurut Cakka.

"Nggak usah mulai deh kak.", desis Ify sebal. Menampakkan ekspresi tak sukanya atas ucapan lelaki itu. Cakka terkekeh sinis sambil mengangkat bahu.

"Lah emang gitu keliatannya. Kakak aja yang cowok nggak nafsu pas liat dia, tapi kok kamu mau ya sama...siapa itu tadi namanya vin ?" Cakka menoleh pada Alvin.

"Rio Cak.", sahut Alvin.

"Nah iya itu si Rio. Ayah aja keliatannya udah kurang mood gitu pas ketemu dia.", Lanjut Cakka lagi. Masih mempertahankan pendapatnya.

Ify masih tak setuju dengan pendapat kakaknya. Baginya, Rio sudah nyaris memenuhi bagaimana kriteria pacar impiannya. Tapi ketika Cakka menyinggung soal ayahnya yang bersikap aneh ketika berbicara dengan Rio, membuat Ify menakutkan satu hal. Sesuatu yang besar, yang sejauh ini belum berani ia ungkapkan dengan keluarganya tentang siapa sebenarnya seorang Rio.

"Bukannya setiap cowok yang aku bawa kerumah selalu aja ada kurangnya menurut kakak kan ?",

"Ya abis, cowok-cowok itu nggak ada yang gantengnya bisa ngalahin kakak. Oke minimal nyamain deh."

PLAK !

"Adoooh !", Cakka mengerang saat dengan siaga Alvin menampar keras pipinya dengan koran yang digulung. Ia mendelik sebal sambil meringis, merasakan panas dipinggir wajahnya.

"Sebelum ngomong gitu, monggo ngaca dulu cuy !", kata Alvin santai sambil mengangkat bahunya. Seperti apa yang ia lakukan tadi bukan sesuatu yang salah. Sivia dan Ify yang sebelumnya melongo langsung tertawa terbahak-bahak.

"Tapi ojo ngono to vin ! loro iki loro.", gerutu Cakka dengan logat jawanya yang kental. Mengajukan protes pada sahabatnya yang ia klaim sebagai bule jawa-amerika itu.

Alvin terkekeh. "Ya sopo suruh Cak."

"Udah ah, vin aku sama Ify mau kekamar ya ?", Sivia menyela sebelum sepasang sahabat itu kembali melanjutkan perang mereka yang tertunda.

Alvin mengangguk. "Love you vi. Hehe..."

"Lope yu lope yu ndasmu somplak vin vin !", Cakka mendumel kesal masih dengan tangan yang mengusap-usap pipinya yang merah. Sekali lagi dengan ringan Alvin menjitak kepalanya.

 

***

 

Keesokan harinya...

"Brother !", suara berat itu disertai tepukan cukup keras dibahu Rio membuatnya sedikit terlonjak. Tapi senyumnya langsung mengembang saat seringaian tengil milik sahabatnya yang sudah beberapa hari absen kembali ada pagi ini.

Dengan melihat isyarat mata Rio yang bening, Gabriel kemudian berkata lagi. "Gue semalem udah merenung tuh kayak saran elo. Dan tadi subuh gue baru aja dapet pencerahan yo."

"Terus apa yang mau elo lakuin sekarang ?"

Gabriel tersenyum aneh. "Elo liat aja ntar pas penutupan hut sekolah."

Meskipun penasaran, Rio hanya mengangkat bahu. Tangan kanannya balik menepuk pundak Gabriel. Secercah semangat positif ia salurkan, untuk apapun yang akan Gabriel lakukan nantinya. Rio percaya sekarang, jika sahabatnya itu telah kembali baik-baik saja.

"See you kalo gitu yel !"

Gabriel mengangguk dan pergi menjauh. Berlari kecil menyongsong koridor panjang sekolah. Rio tersenyum, -sekali lagi- ditempatnya. Gerakan lucu dari ransel dipunggung Gabriel yang selalu menjadi hiburan tersendiri baginya juga kembali hadir pagi ini.

 

***

 

Tiga hari setelah event besar dalam rangka ulang tahun sekolah, siang pukul sebelas lebih dua puluh lima menit dihalaman sekolah yang disulap menjadi panggung pertunjukkan sebagai puncak acara sekaligus penutupan.

Suasana bising dan riuh masih terdengar disana-sini, silih berganti tak pernah berhenti. Apalagi satu per satu pengisi acara sudah mempersembahkan penampilan terbaik mereka khusus untuk hajatan sekolah mereka tercinta. Entah masih ada lagi atau tidak yang akan tampil diatas panggung yang didekorasi dengan tema simple birthday itu, tapi yang jelas sang mc yang centil sudah kembali mendengarkan suaranya yang cukup cempreng dengan intonasi bicara yang tak pelan, sudah seperti iringan kereta api saja namun bisa berartikulasi dengan tepat.

"Okey semua yang masih pada setia didepan panggung ini sambil panas-panasan, terus juga yang lagi pada ngadem sambil mojok dibawah pohon asem yang disana, gue bentar lagi bakal nutup acara hut sekolah kita tercintah tahun ini..", sang mc menarik nafas sebentar. "But, setelah ininih ada satu lagi yang mau nunjukin penampilannya kekita semua. Cowok jangkung yang ngakunya keceh, yang ngakunya one of the most top boy, yah meskipun gue juga nggak yakin. And the finally kita langsung aja ngeliat penampilan doi, cekidot !", sang mc berseru sambil merentangkan sebelah tangannya riuh.

Hening serentak. Mempersilahkan sosok yang mulai menyunggingkan senyum manisnya mulai muncul dari belakang panggung. Ditubuhnya sudah tersangga sebuah gitar hitam.

"Hei semua ! gue bukan mau ngisi acara ini kok, soalnya gue tau yang pengisi acara pada dikasi kotakan doang. Itupun isinya cuma lemper sebiji, air putih segelas, sama permen kaki. Hahaha...", ucap Gabriel santai yang langsung disambut ledakan tawa penontonnya. Ketengilannya yang biasa.

"Makanya, sekarang gue cuma mau numpang nyampein apa yang mau gue sampein. Shil...", raut wajah Gabriel berubah serius, ditatapnya Shilla yang juga sedang menontonnya tak jauh dari panggung. Semua yang hadir serentak menatap gadis itu. "Lagu ini ungkapan apa yang mau gue sampein yang nggak sanggup sama sekedar obrolan biasa."

 

Didalam hati ini hanya satu nama

Yang ada ditulus hati kuingini

Kesetiaan yang indah

Takkan tertandingi

Hanyalah dirimu satu

Peri cintaku...

Benteng begitu tinggi

Sulit untuk kugapai....

 

PROK..PROK..PROK

"Yeeeeeey !", aplouse meriah langsung bergemuruh saat Gabriel mencapai titik tinggi nada dari lagu yang dinyanyikannya.

 

Aku untuk kamu

Kamu untuk aku

Namun semua apa mungkin

Iman kita yang berbeda

 

Sepenggal lirik tadi membuat refleks Ify memegang tangan Rio. Menggenggam jarinya. Merasakan semua hangat tubuhnya. Merasakan ada sesuatu yang mengalir tulus dari diri pemuda tampan disampingnya itu. Mereka saling mengeratkan tautan itu sembari menatap teduh satu sama lain. Mereka disana, dibangku besi tepat dibawah sebuah pohon akasia sekolah.

 

Tuhan memang satu

Kita yang tak sama

Haruskah aku lantas pergi

Meski cinta takkan bisa pergi...

 

Shilla mengangguk kecil sambil menatap lurus mata laki-laki tampan dipanggung sana. Hey, cinta berwujud apa yang ada dibola mata Gabriel ? Hingga tak ada satupun yang mampu menggesernya dari pikiran Shilla. Cinta yang selalu berwujud ketulusan dan keikhlasan jawabannya.

ALUNAN UNTUK BEDA PART 11

Gerakan dua kepala yang perlahan-lahan berbaring tanpa alas membuat rumput hijau dibawah mereka bergoyang tapi kemudian tertindih. Langit biru dengan gradasi warna cerah yang nampak bersahabat menjadi sasaran pengamatan mereka.

Hari yang sedang mengumpulkan jingganya sore masih setia memayungi. Menggenapi indahnya nyanyian syahdu yang sayup-sayup terdengar dari kejauhan.

"Denger nggak fy ?", tanya Rio lembut tanpa menoleh sedikitpun pada Ify yang berbaring disampingnya.

Tapi Ify justru menoleh, menatap wajah damai Rio yang sedang terpejam dengan penasaran. "Apa ?"

"Suara adzan. Sama merdunya sama suara kidung digereja. Aku suka dua-duanya. Sama-sama menenangkan.", desah Rio lembut tepat disamping telinga Ify saat ia menoleh kearah gadis itu. Senyuman kecil tercetak dibibir manis Ify.

Pilihan Ify tak salah memang. Rio istimewa, Rio terbeda. Dia yang selalu mampu menggabungkan dengan fase yang lurus apa yang menurut pandangan orang tabu. Sama sekali tak bermaksud menghalalkan, hanya terlihat lebih untuk mengindahkan.

"Kamu udah sholat fy ?", tanya Rio kembali membuat Ify menoleh kearahnya lagi. Ify melihat Rio mendekap erat gitar coklat mengkilap diatas tubuhnya. Seolah benda itu bisa balik mendekapnya. Kemudian Ify menggeleng pelan. "Lagi red day.", sahutnya singkat.

Rio terkekeh sebentar hingga tubuhnya bergoyang-goyang pelan. Tapi setelah itu ditutupnya lagi matanya dengan sebelah lengan yang ia letakkan diatas. Sedangkan satu tangannya lagi masih mendekap gitarnya. Membiarkan Ify yang leluasa memandangi tiap ukiran tegas diparasnya.

"Yo...", bisik Ify pelan. Jemarinya tergoda untuk menyentuh lembut pelipis hingga rahang Rio. Merasakan jika ujung jemarinya itu bagai tersengat aliran menegangkan sekaligus menyenangkan pada permukaan kulit lelaki tampan itu.

Rio hanya berdehem pelan tanpa membuka matanya. Ia biarkan gadisnya itu menjelajahi wajahnya yang sedang terpejam damai. Sepertinya Ify suka melakukan itu, dan terlebih Rio, ia begitu suka diperlakukan macam itu.

"Ehm...", sebentar Ify menggantung kalimatnya. "Kamu mampir kerumah ya dari sini ?"

Hembusan nafas kuat menyembul dari lubang hidung Rio yang berada dibawah lengannya yang sedang menutupi mata. "Berhubung aku cinta kamu, sepertinya aku juga nggak bakal berhasil nolak.", tutur Rio terdengar pasrah. Seolah rasa cintanya pada Ify sudah begitu menaklukannya dihadapan gadis manis itu. Membuat pipinya dicubit gemas oleh Ify yang meringis malu. Rio terkekeh manis.

 

***

 

I'm at a payphone trying to call home

All of my change i spent on you

Where have the times gone baby it's all wrong

Where are the plans we made for two....

 

Cakka berdua Alvin yang sedang duduk santai dipelataran rumah sambil asyik bermain gitar langsung berhenti tepat ketika sebuah motor cagiva hitam mengkilap memasuki halaman dengan gadis yang sedang menyeringai lucu turun dari boncengan. Keduanya hanya saling melempar pandang dengan isyarat menatap penasaran pada gadis yang amat mereka kenal itu kemudian menggamit manja lengan pemuda berbalut seragam sma yang senada, pengendara motor tadi.

"Kok bengong sih ? Terusin aja nyanyinya.", kata Ify cuek dengan senyuman jahil. Membuat dua lelaki didepannya melongo heran.

"Yuk, kita masuk aja.", Ify kemudian beralih pada Rio yang hanya tersenyum sekilas pada Cakka dan Alvin sebelum Ify benar-benar membawanya masuk.

"Siapa tuh ya vin ?", tanya Cakka bingung.

Alvin langsung menjitak kepalanya kesal. "Mana gue tahulah. Orang yang kakaknya Ify kan situ.", Cakka menampakan tampang kesalnya atas perbuatan Alvin barusan.

 

***

 

"Siapa fy ?", sambut bunda begitu Ify memperkenalkan seseorang disampingnya.

"Saya Rio tante.", sapa Rio ramah. Tak segan pula ia mengecup punggung tangan wanita berjilbab didepannya. "Temen..."

"Deketnya Ify ya ?", sambung bunda saat gelagat sungkan anak muda didepannya ini begitu kentara. Tapi dari kesan pertamanya Rio baik, sopan, juga tampan.

"Duduk dulu ya, tante buatin minum.", bunda tersenyum sebelum akhirnya matanya menangkap seuntai bandul dari kalung Rio yang agak tersembunyi dibalik kerah tapi terlanjur tertimpa cahaya lampu. Bersama dengan itu senyum manis wanita itu mengabur.

"Woy...", Rio mendongak begitu ada yang entah benar atau tidak memanggilnya. "Siapa nama lo ?", tanya seseorang yang tak lain adalah Cakka. Dibelakangnya ada Alvin yang sekedar menyunggingkan senyumnya pada Rio.

"Rio kak.", sahut Rio sopan. Dia sedikit mendongak untuk berbicara dengan Cakka karena ia yang sedang duduk disofa dan dua cowok berkulit putih itu sedang berdiri tiba-tiba disampingnya.

 Kepala Cakka mengangguk-angguk pelan. Tanpa berkata apapun lagi, dia segera pergi masuk. Alvin langsung mengikutinya dengan menenteng sebuah gitar. Meninggalkan Rio yang hanya bisa tersenyum kecil mendapat perlakuan acuh semacam itu. Tapi ia cukup geli, ketika mengamati secara fokus jika wajah Cakka ternyata mirip sekali dengan wajah Ify. Apalagi saat ekspresi datar seperti itu.

Tak lama seringaian lucu Ify mengembang bersama dia yang sedang membawa sebuah nampan berisi dua gelas sirup. Sambil menatap Rio yang sedang tersenyum-senyum disofa Ify meletakkan bawaannya diatas meja tepat didepan laki-laki itu duduk. Dan dia sendiri mengambil posisi duduk disamping Rio.

"Kenapa senyum-senyum gitu ?", tanya Ify iseng sambil memangkukan sikunya diatas paha untuk menyangga dagunya.

Rio menggeleng. "Tadi kakak kamu ?".

Ify mengangguk. "Kamu diapain sama dia ? Dijutekin pasti. Udah bawa nyantai aja, kak Cakka emang gitu sama orang baru."

Dengan gemas Rio menoyor pelan kepala gadis bawel disampingnya. Masih tak sadarkah Ify jika sifat jutek Cakka barusan, persis sekali seperti apa yang terlihat diwajah cantiknya ketika sedang cemburu ?

"Huu, pinter ya kamu bilang gitu tentang kakak kamu. Mau aku kacain pas muka kamu juga lagi kayak dia ?", Rio terkekeh melihat Ify yang mengerucutkan bibir sambil melipat tangan didepan dada.

"Apa deh kamu !", Ify menyikut kesal perut Rio. "Aw..tukan ! Barusan buktinya nih.", Rio meringis jahil.

"Ehem.."

Deheman bersuara berat melerai aksi roman keduanya. Rio segera membenahi posisi duduknya, sementara Ify langsung bangkit begitu melihat sosok itu.

"Ayah...", sapanya sambil tersenyum lucu. Sedikit memberi isyarat dengan matanya pada sang ayah siapa laki-laki yang sedang duduk disampingnya.

Begitu melihat sosok berwibawa yang berdiri gagah didepannya, mata Rio berbinar ceria. Laki-laki tinggi yang dipanggil Ify dengan sebutan 'ayah' tadi, langsung mengingatkan jika dulu ia juga memiliki sosok tegas seperti ayah Ify. Raut wajah yang keras namun menyimpan begitu banyak kasih sayang. Sosok yang sungguh Rio rindukan sejak tiga tahun belakangan ini.

"Sore om. Saya Rio.", tanpa diminta Rio langsung bangkit dari duduknya dan menyodorkan tangan kanannya.

Ayah Ify, Hanafi Umari mengangguk tenang. Diamatinya pemuda jangkung didepannya itu dari pangkal jambul rambut hingga ujung sepatu keds yang Rio pakai. Dari kacamatanya, anak muda kekasih putrinya itu sopan dan hangat.

"Hanafi Umari, ayahnya Ify.", pak Hanafi melirik Ify sekilas sambil menjabat tangan Rio. Ia sempat tersentak saat ternyata Rio tak hanya ingin menjabat tangannya, tapi juga mengecup punggung tangannya. Ify tersenyum manis ditempatnya.

"Silahkan duduk !", Pak Hanafi mempersilahkan. Rio menurut.

"Teman sekelas Ify kamu ?", tanyanya lagi.

Rio menggeleng. "Nggak om, saya kelas ipa 1."

Tangan kokoh Hanafi mengusap-usap dagunya yang ditumbuhi bulu. "Itu berarti pintar kamu. Kata Ify ipa 1 kelas favorit dipenjurusan ipa ?", ada terselip nada kagum dalam sahutannya.

"Bener yah. Secara pak Rio inikan selebritis sekolah.", ify menyahut sambil melirik kearah Rio yang justru canggung. "Pinter, kemaren juga baru aja dilantik jadi kapten basket, terus jago musik, dikenal banget mah disekolah.", lanjut Ify sambil menepuk-nepuk pundak ayahnya.

Hanafi umari tak langsung menjawab. Beberapa saat ia habiskan untuk memandang Rio lekat-lekat. Masih ada yang dicarinya, dari diri anak muda itu. Selintas ucapan istrinya tadi kembali membuatnya butuh pembuktian. Sampai apa yang dicarinya terlihat berkat pantulan bola lampu yang tepat berada diatas kepala Rio. Bandul kalung yang tersembunyi dibalik kerah seragam Rio.

"Bagus. Tapi ayah rasa image seorang manusia dimata Tuhan juga lebih penting, daripada image dimata sesama manusia. Jika yang pertama tidak ada, akan percuma saja semuanya.", entahlah sebaris kalimat sahutan tadi tercetus dingin dari bibir pak Hanafi. Membuat dua remaja didepannya hanya bisa terdiam tak mengerti.

"Baiklah, ini sudah sore sekali. Ify kamu belum menyelesaikan kewajibanmu kan ?", ucapnya lagi, mengaburkan aksi bisu Rio dan Ify.

Ify mengangguk pelan dan Rio langsung sadar. "Kalau begitu saya pamit pulang sekarang om.", ucapnya sedikit tak enak kemudian buru-buru menyangga ranselnya. Sekali lagi dikecupnya punggung tangan ayah Ify. Rasa rindu itu hadir lagi dalam sanubari Rio untuk kedua kalinya. Ah...seandainya.

"Aku pamit fy.", Rio beralih menatap Ify. Gadis itu mengangguk sambil menggigit bibir bawahnya. Merasakan ada yang tak enak atas sikap ayahnya pada Rio.

Senin, 05 Januari 2015

ALUNAN UNTUK BEDA PART 10

Dengan gerakan yang sudah setengil Gabriel, kali ini justru Rio yang gantian melompati balkon kamar sahabatnya itu dari balkon kamarnya sendiri. Hanya saja, gerakannya lebih santai, sehingga tak menimbulkan suara gaduh apapun selain hanya suara saat kaki panjangnya mendarat diatas balkon berubin dingin itu.
TOK...TOK...
Rio mengetuk kaca jendela Gabriel. "Yel.."
Tak lama setelahnya kaca jendela besar itu terbuka, memperlihatkan pada Rio tampang Gabriel yang tak karuan. Rambutnya acak-acakan, air mukanya sendu dan meredup, tak secerah seorang Gabriel yang biasanya.
"Elo yo ! Ngapain lo kesini ? Biasanya juga gue yang nenangga.", kata Gabriel ditutupi cengirannya. Bukan cengiran tengil melainkan cengiran yang sengaja hadir untuk menutupi dukanya.
Bukannya menjawab Rio hanya tersenyum miring dan lebih memilih duduk dikursi plasik tepat disamping jendela. Gabriel memilih posisi untuk duduk seadanya dikusen jendela.
"Ada apa sih yel ?", tatapan tajam mata Rio membuat Gabriel mendesah. Tak pernah sekalipun ia dapati pandangan menggigilkan itu dari sahabatnya. Kecuali memang ada sesuatu yang benar-benar membuat Rio tertekan. Dan kini tekanan itu nyaris menyeruak pada pancaran menusuk lelaki hitam manis itu.
Gabriel menatap Rio dengan pandangan kosong. Tapi begitu menyambar pancaran menohok dimata sahabatnya itu, angan Gabriel kembali mundur pada peristiwa sore kemarin. Peristiwa menyakitkan yang begitu saja mengobrak-abrik kehidupannya. Tentang tentangan itu, tentang larangan itu, tentang satu kata getas yang membuatnya memilih menundukkan muka.

***

Deru motor Gabriel langsung ia matikan begitu roda depannya sudah memasuki pekarangan rumah Shilla. Sambil menoleh kebelakang, ia menanti Shilla yang segera turun dari boncengannya. Sore yang cerah dan indah. Apalagi saat gadis itu mulai tersenyum manis sebagai ucapan terima kasihnya.
"Engg...makasih ya. Buat hari ini terutama.", tak tahu lagi harus mengatakan apa, Gabriel menggaruk sebentar belakang telinganya. Ternyata satu tahun lebih berpacaran dengan Shilla belum juga mampu melunturkan kesalahtingkahannya setiap kali baru saja melewatkan satu hal manis bersama. Shilla menunduk dengan jari yang justru memutar-mutar ujung cardigannya.
"Kamu !", suara berat dan terdengar ketus mengalihkan keduanya. Tepat didepan pintu rumah Shilla seorang lelaki berperawakan tinggi sedang menatap Gabriel dengan pandangan yang tak lebih dari sekedar virus kecil yang amat merusak.
"Papa...", hanya itu yang mampu Shilla katakan setelah sang ayah menatapnya dengan tajam pula. Seperti seorang hakim yang siap mengadili terdakwanya.
"Apasih yang diajarkan pada kamu ? Apa dikepercayaanmu tidak pernah diajarkan yang namanya tahu diri?", setiap kalimat yang diucapkan oleh papa Shilla terdengar menyakitkan. Sungguh mematikan.
Gabriel masih menunduk dalam, menggigit bibir bawahnya menahan geram.
"Harusnya kamu sadar, carilah perempuan lain yang berasal sepertimu. Jangan pernah merusak Shilla."
"Pa.."
"Diam kamu !", bentak papa Shilla pada putrinya itu dengan telunjuknya yang mengacung kaku tepat kearah Shilla yang mulai terisak.
Pandangannya kembali pada Gabriel. "Dan kamu ! Saya benar-benar tidak ingin anak saya dilaknat Tuhannya hanya gara-gara iblis kecil sepertimu. Menjauhlah dari Shilla !"
Ketika kalimat demi kalimat setajam ujung pedang itu semakin membelenggunya, yang mampu Gabriel lakukan hanya terdiam tanpa bisa berkata apa-apa. Bagaimanapun laki-laki didepannya itu orang tua. Tak pernah ada izin yang diberikan padanya untuk tidak menghormati orang tua. Dengan sisa sadarnya Gabriel mulai kembali memakai helmnya dan segera memutar motornya. Sebelum ia mendorong motornya keluar dari halaman rumah Shilla, ia sempat menengok kebelakang lagi. "Saya pamit pulang om."
Tak ada sahutan, papa Shilla masih menatapnya dengan sebelah alis yang terangkat tinggi lalu membuang ludah. Gabriel menormalkan posisi lehernya kembali. Dalam diam dia mulai menuntun pelan motornya keluar gerbang rumah Shilla.
"Pak to, tutup rapat gerbangnya ! Jangan pernah lagi izinkan anak itu masuk !", seru papa Shilla selangkah setelah Gabriel keluar dari wilayah pribadinya.
Gabriel memilih tak lagi memperdulikan kata-kata menyakitkan itu untuk yang kesekian kalinya. Dia lebih memilih segera menuntun motornya hingga ujung jalan dan segera menyalakan mesin dengan raungan yang halus.


***

Rio menelan ludahnya saat pelan sekali suara Gabriel selesai menceritakan apa yang terjadi sebenarnya. Setelah itu, diliriknya Gabriel yang sedang memijat pelan pangkal hidungnya sambil menunduk dalam. Laki-laki tengil itu tampak rapuh sekali dimata Rio.
"Gue nggak punya solusi apapun yel sekarang buat lo, tapi gue rasa doa lo bisa ngejawab semuanya.", ada sebuah aliran hangat yang Gabriel rasakan ketika tangan kokoh Rio menepuk pundaknya.
Sekali lagi mereka berdua saling berpandangan. Dua lelaki tampan yang menyendu dibawah siraman cahaya redup sang purnama. Berusaha saling menguatkan meskipun pada dasarnya diantara mereka tak pernah ada energi besar selain berasal dari kata tulus persahabatan.
Rio juga Gabriel sama-sama mendesah. Dengan tangan yang perlahan merangkul erat bahu Gabriel, Rio memberikan wajah lembutnya. Dengan senyum manis, dengan mata yang kembali teduh, dengan pandangan yang menegaskan pada sahabatnya itu jika setelah ini segalanya akan kembali baik-baik saja.
"Gue berharap, elo nggak pernah ngerasain ini juga yo.",

ALUNAN UNTUK BEDA PART 9

Ify baru saja membuka pagar rumahnya, saat matanya membulat penuh melihat sebuah sedan putih terparkir apik tepat disebelah motor besar kakaknya. Rasanya tak percaya, sedangkan ia tahu siapa pemilik mobil mewah itu. Dengan berlari kecil, Ify menyongsong pintu rumahnya yang terbuka.
"Kak Alvin, my bro !", pekik Ify heboh saat dilihatnya seorang laki-laki berwajah oriental sedang menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi dengan mata yang tertutup tepat disamping Cakka. Segera ia mengambil posisi dengan sembarangan diantara kedua lelaki tampan itu.
"Hai !", Alvin langsung membuka matanya dan segera menegakkan posisinya. Tangannya segera ber-high five dengan Ify. Gerakan tos unik yang hanya mereka berdua yang boleh mempraktekannya. Ify terkekeh, sementara Cakka langsung menggelengkan kepala melihat tingkah adik dan sahabat karibnya itu.
"Dalam rangka apa nih ke sini kak ?",
"Nganter Via fy."
Sekali lagi mata Ify membulat penuh. "Kak Via ikut juga ? Dia dimana ?"
"Tuh dikamar atas.", Cakka yang menjawab dengan sedikit malas. Malas mendengar celotehan bawel adiknya itu lagi.
Gerakan tangan Ify cepat sekali mencubit pipi putih milik Alvin yang hanya pasrah ia perlakukan seperti itu sejak dulu. Lalu segera bangkit dengan gerakan yang sembarangan pula hingga menimbulkan kegaduhan.
"Ify keatas !", teriaknya.
Alvin mengusap sedih pipinya yang pasti memerah akibat cubitan Ify tadi. Ia pikir setelah sekian tahun tak bertemu Ify, gadis itu pasti berubah. Setidaknya tidak gemar mencubiti pipinya lagi. Tapi ternyata ia salah. Masih Ify yang ia kenal sejak lima belas tahun yang lalu.
"Ify makin sadis aja sih Cak.", keluh Alvin sambil menatap Cakka yang hanya terkekeh mengangkat bahunya.

***

"Kak Via !", panggil Ify keras bersama dengan ia yang menekan kenop pintu kamar tamu yang tepat berada disamping kamar Cakka.
Pintu terbuka dengan pelan. Menimbulkan sesosok wajah cantik berambut pendek yang buru-buru Ify rangkul. Sivia, kakak sepupunya yang berusia sama dengan Cakka. Sivia terkekeh senang sambil membalas dekapan rindu dari Ify. Dibelainya puncak kepala Ify dengan sebelah tangannya. Adik sepupunya ini ternyata makin bertambah tinggi, meskipun tak juga bertambah gemuk. Masih Ify yang dulu.
"Kak Via, Ify kangen. Banget ! Kenapa kakak nggak bilang mau pulang pas kita skype-an minggu lalu ?", tanya Ify beruntun begitu Sivia melepaskan pelukannya.
Puncak kepala Ify ditepuk pelan. "Heh bawel ! kalo ngomong nafas dulu kali. Ini surprise tau.", sahut Sivia gemas dengan cara bicara Ify yang tak berubah.
Ify mengangguk-angguk. "So, berapa lama kakak liburannya ?"
Sivia tersenyum misterius. Wajahnya yang chubby semakin terlihat lucu. Matanya yang sudah sipit ketika ia tersenyum seperti itu membuatnya hampir serupa garis lurus. Jika seperti itu, Sivia semakin mirip saja dengan Alvin dimata Ify.
"Ehm...kakak nggak lagi liburan fy. Lebih tepatnya mengurusi kepindahan kesini. Kan kakak sama Alvin bakal ngampus dikampus Cakka."
"Aaaaa..yang bener kak ? Ih sumpah aku seneng dengernya. Kita berempat jadi bisa kayak dulu lagi pas waktu di Malang.", mata Ify menerawang, mengingat masa-masa kecilnya bersama Cakka, Alvin, juga Sivia. Dimana ia adalah yang terkecil diantara mereka bertiga. Lalu tentang Alvin, sahabat Cakka yang rumahnya bersebelahan dengan rumah mereka kemudian ikut juga menjadi akrab dengan Sivia yang waktu itu kebetulan sedang berlibur kesana. Entah bagaimana juga caranya, keakraban sepasang anak kecil diantara mereka kemudian berubah menjadi kedekatan yang terus intens sejak Alvin dan Sivia sama-sama meneruskan kuliah di Amerika hingga saat ini. Bahkan beberapa bulan lalu secara resmi Alvin sudah mengikat Sivia menjadi tunangannya.
"Yaudah, kakak sholat dulu ya. Abis ini kita ketemu dimeja makan.", kata Ify sambil nyengir kuda. Setelah Sivia mengangguk, ditinggalkannya gadis yang berusia tiga tahun lebih tua darinya itu dengan langkah riang.

ALUNAN UNTUK BEDA PART 8

Begitu peluit panjang ditiupkan oleh Pak Dave tanda pertandingan dimulai, serentak jeritan heboh langsung terdengar dari pinggir-pinggir lapangan. Puluhan pasang mata hawa begitu dimanjakan oleh aksi memukau dari sederet bintang lapangan yang sudah tenar sekali. Angkatan kelas XI yang langsung berduel dengan kelas senior XII.
Pertandingan masih berjalan santai namun tetap terlihat keren diantara mereka. Rio yang sesekali coba mengoper bola basket hitam yang berada ditangannya pada Gabriel sedikit mengerang dalam hati. Sahabatnya itu kali ini harus ia akui payah sekali. Sama sekali tak fokus pada pertandingan ini terutama pada bola yang lebih banyak direbut lawan ketimbang dipertahankannya. Rio tahu ini bukanlah seorang Gabriel Stevent yang biasanya.
Matahari semakin tinggi mencapai puncak singgasananya. Sinarnya sungguh menyengat, selayaknya kobaran semangat dari dua belas pemuda ditengah lapangan. Seragam sekolah mereka tak lagi rapi, kemeja yang bagian belakangnya sudah dibayangi keringan mencuat kemana-mana dari celana. Rio salah satunya. Ambisinya terdongkrak naik, begitu skor angka dipapan nilai terpampang. Ia hanya butuh tiga angka untuk menuntaskan pertandingan ini dan menang atas kelas XII.
Sambil menyeka keringatnya secara asal, mata elang Rio mengamati satu per satu timnya. Hanya Gabriel sebenarnya yang menjadi dia yakini mampu untuk menerima operannya. Tapi untuk kali ini. Terlalu beresiko jika mempercayakan pada Gabriel.
"Ray !", seru Rio disusul operan jitunya pada seorang pemuda gondrong yang berposisi lebih menguntungkan.
Ray dengan sigap menerima operan Rio. Ia mendrible sebentar tapi ketika tim lawan ia rasa tengah mengepung, dilepaskannya lagi bola itu pada Rio. Membuat Rio langsung berusaha fokus pada ring untuk melakukan shoot jitunya sekarang. Sebelum sempat Debo merebut bola itu darinya lagi, Rio sudah lebih dulu melemparnya. Selanjutnya menunggu detik-detik mematikan yang akan segera terjadi sesaat lagi.
Dug..dug..dug ! "Yeah !", pekik Rio girang dengan tangan yang mengepal diudara. Sibola jatuh ketanah setelah dengan mudahnya memasuki ring.
"YEEEEEEE RIOOOO !!!", koor heboh kembali menggema.

***

Sedetik aksi berbakat tadi, langsung membuat Ify tersenyum manis ditempatnya. Pandangannya berbinar, menatap Rio yang sedang menyeringai bangga sambil menyebarkan pandangannya pada semua penonton ditepi lapangan. Sudah seperti seorang atlet dunia yang baru saja membawa pulang sebuah kemenangan untuk negaranya. Seperti biasa, Rio pasti akan bertanding maksimal. Karena laki-laki itu tak hanya muncul berbekal wajah tampan, tapi dia juga mampu menjanjikan segudang kebolehan.
Tak mampu Ify pungkiri, sejumput rasa bangga juga menerbangkannya. Bagaimana seorang Rio Haling yang namanya dielu-elukan seluruh sekolah adalah seseorang yang telah membagi waktu khusus bersamanya. Tapi kemudian binaran senang diwajah Ify lenyap seketika, saat ia lihat masih betapa sendunya wajah Shilla. Gadis yang duduk tepat disampingnya itu termenung tak bersuara sejak tadi. Lebih tepatnya sejak ia turun kesekolah. Entah apa yang terjadi pada Shilla, tapi Ify merasa yang akhir-akhir ini dekat dengannya cemas. "Shil, anak kelas XI menang tuh !", tegur Ify bersikap wajar.
Shilla sedikit terlonjak. Ia kemudian menatap Ify dan memandang lurus ketengah lapangan. Sebuah senyum palsu terpaksa ia sunggingkan. "Mereka memang hebat kok.".
"Kalau boleh gue tau, elo kenapa Shil ?", Ify tak bisa tertipu oleh topeng wajah Shilla yang 'semuanya-sok-baik-baik-saja' itu.
Shilla menggeleng sambil tertawa. Tawa yang terdengar hambar sekali. Dia memalingkan wajah sebentar entah untuk apa tapi kemudian menatap Ify.
"Gue nggak apa-apa kok fy.", katanya lirih. Suaranya saja terdengar serak dan parau, apakah itu yang ia bilang baik-baik saja ? Ify mendesah. Ia memang tak sedekat sekarang dengan Shilla. Satu-satunya hal yang membuat mereka dekat adalah sepasang sahabat yang menjadi pacar mereka, Rio dan Gabriel.
"Yaudah. Tapi kadang masalah itu ada yang untuk diselesaikan ada juga yang untuk direnungkan Shil. Gue nggak tau yang mana yang lagi ngebebanin lo.", Ify menarik nafas dalam-dalam dan menepuk pundak Shilla. "Tapi yang jelas, semoga lo bisa ngatasinnya deh."
Cukup lama Shilla memandang gadis berdagu tirus disampingnya dengan mata yang mulai memanas. Ify teman yang cerdas, yang akan sangat bijaksana jika ia ajak bicara. Tapi Shilla juga tahu, cepat atau lambat Ify juga akan merasakan hal yang sama dengannya. Untuk itu, biarlah setiap jengkal kesakitan ini ia pendam sendiri. Ify tak boleh merasakan terpuruk dua kali.
Shilla mengangguk pelan. "Thanks fy.",
Ify memilih tersenyum sambil mengurut pelan lengan Shilla.

***

Dari tempat Rio berdiri, sekelebat bayangan pelan sosok jangkung yang meninggalkan tengah lapangan dengan punggung yang sedikit menunduk mengalihkan perhatiannya. Rio sendiri tak mengerti apa yang sudah terjadi dengannya, karena sepanjang pagi laki-laki dengan seringaian lucu itu belum ada menemuinya. Baru tadi, beberapa menit ketika pertandingan ini akan dimulai.
Entah apa yang sudah mengubah laki-laki jangkung itu sedrastis ini. Hidupnya yang biasanya penuh canda, tiba-tiba berbanting menjadi dia yang sedang terluka. Rio hanya mampu menghela nafasnya. Dalam diam ia biarkan tiap detak jantungnya berdoa pada Tuhan untuk sosok itu, si Gabriel sahabatnya

ALUNAN UNTUK BEDA PART 7

Koridor panjang sekolah biasanya langsung berubah sunyi begitu bel tanda pelajaran dimulai, tapi hari ini tempat yang langsung menjadi akses utama gedung itu nampak ramai. Banyak siswa dan siswinya yang lalu lalang dari kantin atau sekedar duduk santai dikursi kayu yang memang tersedia dibeberapa sudut koridor. Hari ini Sekolah Menengah Atas Negeri 2 sedang mempunyai hajatan. Perayaan ulang tahunnya yang sudah hampir memasuk usia setengah abad. Maka digelar pensi yang diisi bahkan hampir seluruh murid secara besar-besaran. Acara semacam ini akan berlangsung sampai tiga hari kedepan.
Suara peluitan panjang yang terdengar berkali-kali dari arah lapangan basket semakin menambah riuh suasana. Ditepi-tepi lapangan sudah banyak penonton yang sebagian besar adalah siswi semua tingkat yang sudah duduk manis atau membuat barisan rapi untuk menonton pertandingan seru yang beberapa menit lagi akan dimulai. Duelnya para 'top boy' sekolah sekaligus acara serah terima jabatan kapten basket yang akan dilepas oleh Debo dimusim ini.
"Sukses ya yo !", ucap seorang cowok sambil menepuk hangat pundak Rio yang saat itu kebetulan sedang berdiri berdua dengan Ify dipinggir lapangan juga.
Rio mengacungkan ibu jarinya. "Thanks Sion !", jawabnya sambil menyeringai.
Sesaat Ify ikut mencuri pandang pada Sion. Tapi kemudian tatapannya kembali jatuh pada lelaki jangkung disampingnya. Rio selalu terlihat begitu menawan. Berdiri diam sambil menyender sedikit pada tiang spanduk lengkap berseragam kemeja putih panjang yang lengannya ia lipat rapi hingga dibawah siku dengan dasi berwarna senada dengan celana kain biru tuanya sedang berkibar-kibar bebas ditiup angin. Tatapannya lurus kedepan, sangat konsentrasi pada permainan basket adik tingkatnya yang berlangsung dilapangan. Sesekali tawa renyah menguar darinya, menertawai masih betapa dasarnya kemampuan para juniornya terhadap basket, namun sedikitpun tak ada nada meremehkan.
"Rio, ntar main yang kece ya ? Gue selalu dukung elo kok !", sebuah suara cempreng dengan cara bicara yang ganjen mengaburkan kebisuan Rio dan Ify disampingnya. Ify langsung melirik ada seorang gadis berambut pirang yang menggelayut manja dilengan kanan kekasihnya itu.
Rio tersenyum manis. "Iya Dea, thanks ya.", Dea mengangguk senang lalu pergi tanpa melirik Ify sedikitpun.
Ify mendesah pelan. Ini resikonya berpacaran dengan cowok tenar sekolah. Seolah tak memiliki privasi dan hak untuk melarang siapapun mendekati Rio bahkan sampai dengan adegan menggelayut manja seperti barusan. Tapi ia tak mau mempermasalahkannya lebih jauh. Sepenuhnya ia percaya Rio. Mata bening Ify kembali ikut menonton pertandingan yang sebentar lagi akan usai.
"Lagi ?", desis Rio jahil sambil menyilangkan kedua lengan didepan dadanya. Tapi sama sekali matanya tak melirik Ify.
Ify mendengus keras. "Enggak sih. Telat banget kalo baru sekarang.", tandasnya ketus sambil melengos.
"Jadi cemburunya udah dari kemaren-kemaren ?", goda Rio lagi. Ia terkekeh geli.
Ify mendongak untuk menatap Rio dengan wajah merah padam. Kenapa lelaki ini menanyakan hal sudah ia tahu pasti jawabannya apa ? Sambil menggelembungkan pipinya dengan muka jutek gadis itu bersungut-sungut. "Menurut kamu ? Hari pertama jadian, ada cewek penjurusan ips yang langsung meluk dari belakang, dua hari setelahnya dapet kiriman coklat swiss dari anak bahasa, terus kemaren apa-apaan pipi dicubit kakak kelas diem aja."
Tampaknya keketusan Ify sama sekali tak berpengaruh apapun. Pemuda itu tetap tersenyum santai. Gigi gingsul yang mencuat dari balik bibir tipisnya membuat Ify justru makin sesak nafas diantara cemburunya dan ketersimaannya.
Sebuah cubitan gemas mendarat dipipi Ify. Membuat wajah oval Ify yang selalu terlihat menawan nampak aneh ketika pipinya tertarik. Meskipun ia langsung mengaduh dan menghindar, tapi Rio tak mau melepasnya. Sepotong adegan aneh itu justru terlihat mesra dimata murid-murid lain yang juga sedang ramai ditepi lapangan. Beberapa bisikan usil langsung bagai koor serentak menggoda pasangan itu.
"Duh si kece pacaran dilapangan nih !"

"Yaampun ! Mau dong pipinya dicubit Rio."

"KYAAA !!! Si cungkring sama si ganteng mesra-mesraan."

"Huuuh, Kak Rio. Astaga ! Sesek nafas gue ngeliat dia !"

"Ya Tuhan ekspresinya Rio, bikin gue pengen sholawatan."

Tiga sosok tegap akhirnya mendekati Rio yang masih nampak gemas dengan kelakuan kekasihnya itu sambil berdehem kecil. Membuat sepasang remaja itu akhirnya menghentikan aksi unik mereka. "Ehem...asyik banget lo berdua kayaknya.", tegur Patton langsung.
"Inget yo lapangan nih lapangan ! Bisa rusuh tuh fans lo.", Ozy melirik segerombol siswi yang berada tak jauh dari mereka sedang memasang ekspresi siap menerkam. "Ngeri tau ngeliatnya."
"Sukses ya ntar yo ! Gue yakin elo yang memang pantes jadi kapten basket !", berbeda dengan gaya bicara Patton dan Ozy, Lintar berkata dengan serius sambil menepuk pundak Rio. Khasnya yang biasa.
Rio terkekeh tapi kemudian balas menyalami ketiga temannya dari kelas penjurusan ips tersebut. "Sip ! Gue bakal berusaha ngeluarin semua yang terbaik dari gue. Thanks ya buat dukungan lo pada."
"Fy...", Ozy melirik Ify yang diam saja disamping Rio. "Siap-siap aja ntar semakin rusuh idup lo begitu Rio jadi kapten."
Ify tertawa kecil. Tahu sekali maksud ucapan cowok berwajah imut itu. Yah, jika Rio pada akhirnya akan menjadi kapten basket, bersama dengan itu pula akan lebih banyak yang mengidolakan Rio. Mengelu-elukan kekasihnya itu. Membuatnya harus ekstra tegar jika kelangsungan komitmennnya bersama Rio akan semakin banyak mendapat usikan. Membuatnya harus lebih sabar jika ada yang dengan seenaknya menyentuh Rio bahkan didepan matanya sendiri.

ALUNAN UNTUK BEDA PART 6

Ify menatap heran pada lelaki muda yang sudah nampak gagah sekali diatas motor besarnya. Berbalut seragam sma yang ditutupi sebuah jaket parasut berwarna biru tua, lengkap dengan helm fullface yang masih ia buka kacanya, lelaki itu masih menampakkan cengiran kecilnya untuk menarik minat Ify mengikuti ajakannya.
"Mau ngapain sih ?", tanya Ify sedikit tak berminat. Kedua tangannya terlipat didepan dada.
"Ck ! Ikut ajadeh, aku jamin begitu pulang tampang bete kamu itu langsung hilang.", bujuk Rio lagi dengan lembut. Ia tahu jika hari ini gadisnya itu sedang dalam mood yang anjlok. Sebuah nilai miris tercetak besar pada lembar ulangan kimia Ify. Dua puluh. Angka macam apa itu buat Ify yang biasanya mampu mencapai nilai diatas delapan puluh. Semalaman begadang untuk membaca novel terbaru yang menjadi sebabnya. Dan hingga kinipun tampang keki Ify masih tak berubah sejak tadi pagi.
"Hai yo !", sapa seorang siswi yang kebetulan lewat didepan mereka yang masih berada didepan gerbang megah sekolah.
"Hai Aren.", balas Rio sambil melambaikan tangannya. Ify hanya menatap gadis itu sedikit kesal. Dia menyapa Rio penuh kehangatan disaat yang tidak tepat.
"Ayodong ? Udah seharian ini aku dikasih tampang bete kamu.", rayu Rio lagi. Kali ini ia meraih pergelangan tangan mungil Ify.
Ternyata perlu bujukan super untuk membuat gadis berdagu tirus itu luluh juga akhirnya. Rio baru tahu jika Ify sangat keras kepala. Ambisius, tapi tak sampai menjadi otoriter. Dia tahu gadis itu sosok yang baik, yang hebat, yang mampu bertahan sendirian dalam keadaan apapun.
Rio tersenyum tipis, saat akhirnya Ify naik diboncengan motornya dan mulai memeluk perutnya. Menghapuskan sedikit ruang untuk sang angin menjadi sekat mereka.
"Udah siap ?", tanya Rio memastikan.
"Yeah.", desah Ify singkat.
Sedetik kemudian motor itu melaju dengan kecepatan meninggi. Berkelok-kelok lincah diantara puluhan kendaraan dijalan kota hingga kemudian memasuki kawasan sepi yang memiliki puluhan tanjakan cukup terjal. Ify semakin ngeri saat Rio justru menarik habis tali gas motornya. Membuat mereka seolah melayang, melawan angin yang kian deras menerpa wajah Ify.
"Rio..."
"Biasanya ini cara aku menghilangkan rasa yang mengganjal fy. Mudah-mudah cara ini juga efektif buat ngusir bete kamu. Sekarang kamu pegangan, karena semua bakal baik-baik aja.", seru Rio agak kencang agar gadis yang sedang memeluk erat perutnya itu mampu mendengarnya.
Ify memilih tak menjawab. Ia hanya menyembunyikan wajahnya dipunggung kokoh Rio, sedang tangannya makin erat memeluk perut lelaki itu. Ia tak ingin melihat jalanan barang sebentarpun. Efek ngeri yang dihasilkan oleh laju motor ini, membuatnya ciut. Namun ternyata, dengan begitu rasa deg-degan yang kini menyarangi dadanya justru kian menghimpit rasa sesaknya tadi. Hingga akhirnya hilang sama sekali. Tapi kemudian ada resah dihati gadis itu. Bukan karena perbuatan Rio ini yang bisa saja membahayakan nyawa mereka berdua. Melainkan aura maskulin Rio terasa begitu kentara menyumbat seluruh rongga dadanya. Dengan jarak yang baru Ify sadari nyaris tak ada diantara mereka.
Makin lama Ify merasa jika kecepatan kuda besi ini tak secepat tadi. Deru anginpun kini hanya menyapu wajahnya dengan lembut melambai. Sampai sebuah perintah bernada lembut nan manis terdengar dari sosok didekapannya.
"Udah nyampe fy, turun gih !"
Ify membuka matanya, melepaskan dekapannya kemudian turun dan berdiri disamping motor Rio yang terparkir didepan sebuah rumah besar namun tak ada kesan angkuh sedikitpun. Bangunan itu manis. Berwarna broken white sederhana dengan bentuk yang penuh selera tinggi. Disampingnya berdiri juga sebuah rumah dengan model yang tak jauh beda namun bercat coklat susu.
"Ini rumah aku, terus yang sebelah rumah Gabriel fy.", kata Rio seolah mampu membaca tiap perubahan ekspresi diwajah Ify.
Ify sedikit mendongak untuk memandang pemuda jangkung itu dengan tatapan tak percaya. "Serius ?", Rio mengangguk.
"Yaudah yuk, masuk dulu. Kita minum, pasti kamu tadi deg-degan ya ?", kata Rio sambil meraih tangan mungil Ify untuk digenggamnya.
"Bukan deg-degan lagi, tapi udah mati rasa tau.", keluh Ify manja yang langsung membuat Rio merangkul erat bahunya.
"Tapi udah nggak bete kan ?"
"Huuu... Tapi kamu rese.", Ify menyikut pelan perut Rio sambil mengulum senyum. Laki-laki ini selalu tahu cara membuatnya bahagia.
"Eh ada tamu ya.", sapa seorang perempuan paruh baya begitu mereka berada diambang pintu.
"Ini Ify mah yang sering Rio ceritain.", terang Rio yang sukses membuat Ify menunduk sungkan.
"Sini sayang. Wah, kamu ternyata lebih cantik dari yang difoto ya ?", perintah bu manda lembut pada Ify. "Hallo saya manda, mamahnya Rio.", kata bu Manda lagi sambil membiarkan Ify mengecup punggung tangannya.
"Alyssa saufika umari tante. Tapi biasa dipanggil Ify.", sahut Ify. Kini ia baru tahu dari mana sifat ramah, supel, dan hangat milik Rio, pasti dituruni oleh ibunya ini.
"Yaudah pergi kebalkon aja sana, biar mamah buatin minumnya dulu ya."
Rio mengangguk. "Yuk fy."

***

"Abang !", pekik seorang gadis kecil berusia tujuh tahunan begitu Rio dan Ify sampai pada balkon rumah. Dia Acha, adik perempuan Rio yang sedang bermain harmonika dilantai balkon yang dingin.
Rio tersenyum kemudian membawa Acha dalam gendongannya. "Hai sayang, ngapain lagi kamu hari ini ?", tanya Rio sesaat setelah mengecup manis pipi kiri gadis mungil itu.
"Main harmonika bang.", jawab Acha ceria. Dia kemudian melirik Ify yang diam disamping kakaknya itu. "Ini siapa bang ?", tanyanya penasaran.
"Kenalin, ini kak Ify." mendengar jawaban Rio, Acha melompat turun dari gendongannya.
"Kak Ify yang sering abang ceritain sama mamah sama Acha ?", mata Acha membulat penuh.
"Yaaaps !"
Acha menyeringai lucu. "Hai kak, aku Acha. Kakak cantik banget ternyata. Pantas, bang Iyo suka ceritain sama mamah sama Acha."
Ify berjongkok didepan gadis lucu itu. Sambil tersenyum ia kemudian menyambut uluran tangan Acha. "Hallo sayang, nama kakak Ify. Oya..masasih bang Rio suka nyeritain kakak ?"
Acha mengangguk cepat, tanda ia tak berbohong sama sekali. Ify terkekeh pelan melihatnya. Tingkah manja Acha mengingatkannya pada dirinya sendiri jika dirumah. Begitu manja pada Cakka.
"Ayo sini semua. Ini ada makan siangnya.", suara bu manda kembali mengalihkan perhatian. Dengan susah payah nampaknya perempuan itu membawa nampan yang berisi empat mangkuk entah berisi apa.
Dengan membuat bundaran mereka berempat duduk tanpa alas dilantai dingin balkon kemudian disodorkan masing-masing mangkok yang ternyata berisi sebuah bubur, entah bubur apa yang jelas Ify belum pernah sekalipun memakannya.
"Ini namanya bubur tinutuan fy, bubur khas Manado. Makanan kesukaan Rio. Kamu udah pernah makan ?", tanya bu manda yang menatap Ify sedang keheranan dengan hidangannya.
"Ehm...mah Ify muslim jadi...", kata Rio yang langsung terpotong.
"Iya mamah tau yo, yang punya Ify halal kok buat dia. Tadi mamah beli diujung komplek sana.", Sahut bu manda paham. "Dimakan ya fy, rasanya sama masakan tante mungkin nggak jauh beda kok."
Ify mengangguk. "Iya tante."
Sesuap demi sesuap akhirnya hidangan tradisional itu habis pada mangkuk-mangkuk mereka. Terlebih Ify, ia begitu cepat menghabiskan bubur yang ternyata cocok juga dilidahnya. Gurih, legit, dan kaya gizi. Banyak sekali sayuran yang menjadi bahan campuran masakan ini.
Rio terkekeh geli saat melihat bagaimana ekspresi Ify saat menghabiskan makanan yang juga favoritnya itu. Sangat menikmati sekali. Setelah mamahnya membawa kembali mangkuk-mangkuk kosong kebawah, dan Acha yang segera harus tidur siang maka kini hanya tinggal mereka berdualah yang masih mengisi balkon.
"Aku pikir semuanya nggak bakal kayak gini loh yo.", Suara lembut Ify memecah keheningan.
"Kamu pikir kamu bakal dimaki habis-habisan gitu sama mamah begitu aku ngenalin kamu ?", Rio terkekeh sebentar. "Beliau nggak gitu kali fy. Dia sangat menghargai perbedaan semacam ini kok.", sahut Rio tenang. Mengapa ia bisa berbicara setenang ini adalah karena memang keluarganya ini tak seperti yang Ify kira. Tak pernah ada sebuah kejahatan yang dibenarkan meskipun mereka menganut kepercayaan yang berbeda. Karena Rio percaya semua agama sama. Selalu mengajarkan kebenaran dan menentang kejahatan.
Ify mengangguk sambil tersenyum kecil. Dari ekor matanya ia juga melirik Rio yang sedang duduk tegap bersila disampingnya. Wajah tampan lelaki itu juga menyiratkan sebuah perasaan bahagia. Rio menatap lurus kedepan dengan sorot matanya yang biasa, sayu dan hangat. Bibirnya sesekali tertarik untuk tersenyum kecil. Tak sadar sama sekali jika Ify terus memandanginya bahkan mungkin sampai lupa kedip.
"Kamu tau nggak, kalo ngeliat sunset dari sini itu bagus banget fy. Balkon ini strategis, langsung menghadap barat. Aku sama Gabriel sering banget kalo abis main basket nyantainya ya disini.", celoteh Rio panjang lebar namun akhirnya terhenti begitu ia menoleh dan menangkap basah Ify jika gadis itu justru tak kedip menatapnya dari samping.
"Ah...apa tadi kamu bilang ?", Ify gelagapan setelah sekian detik baru menyadari jika siluet sempurna ukiran tegas Sang Maha Kuasa itu sudah menghadapnya.
"Ahahaha...", tawa renyah Rio menggema seksi saat tangan kokohnya juga terulur untuk mengacak-acak gemas puncak kepala Ify. Gadis itu hanya menggerutu pelan, namun tak juga berniat untuk menghindar. Ia tahu, setiap sentuhan yang Rio berikan padanya adalah cara untuk lelaki sempurna itu menyalurkan dengan jelas setiap inci rasa cintanya. "Kamu kalo kayak gitu udah kayak cewek-cewek sekolah yang kapanpun siap buat makan aku fy."
Ify menunduk malu sambil menggeleng. "Enggak...kamu nggak enak buat dimakan, enaknya buat dipeluk.", bisik Ify pelan sambil mengangkat wajahnya kemudian melirik penuh arti pada lengan kanan Rio yang menyampir manja dibahunya.
"Kalo kamu nggak enak buat dipeluk, soalnya kamu cungkring, nggak berasa.", sahut Rio sambil menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah siap menunggu reaksi Ify yang sedetik kemudian agak berjingkat dan memasang tampang super bete padanya. Tak terima atas ucapannya barusan.
"Tapi kamu enaknya di...", Rio menggantung kalimatnya dan mulai mendekatkan wajahnya kewajah Ify yang bertahan dengan raut linglung. Seolah membiarkan jika perlahan-lahan wajah yang dipahat nyaris tanpa cela itu mengurangi jarak diantara mereka.
"Eh...mmm...yo..", desis Ify lirih. Bahkan mungkin langsung lenyap dibawa angin. Tapi Rio menaikkan sebelah alisnya santai, tanda jika ia mengerti gelagat Ify.
Jarak mereka nyaris terhapus tepat didepan bibir mungil Ify yang sedikit terbuka tanpa sadar. Mulai bergetar resah jika sapuan lembut bibir Rio akan mengecupnya. Ify masih bertahan diposisinya dengan pasrah dan resah. Sampai kecupan lembut yang ditahan cukup lama oleh Rio itu justru mendarat mesra dipipi kanannya, tak terlalu jauh dari bibirnya. Nyaris. Cup !
"Semua yang ada sama kamu aku suka kok. Nggak peduli tentang kurang dan lebihmu. Karena semuanya sudah terlalu indah buat aku miliki fy.", tuturan manis bernada lembut dari bibir Riolah yang baru kemudian menyadarkan Ify. Dia menatap dalam mata sayu didepannya. Mengorek ada seberapa besar lagi rasa cinta lelaki itu yang masih tersimpan untuknya.
"Kamu...selalu rese ternyata !", ucap Ify sambil mengulum senyum ditengah wajah harunya yang menahan malu. Tangannya gantian mengacak-acak pelan rambut hitam Rio yang sudah tertata berantakan. Lalu serentak mereka berdua tertawa. Mengisi hari yang sudah termenung untuk memangku senja yang sebentar lagi akan segera datang. Menepati janji Rio, jika ditempat ini akan terjadi sunset yang indah. Ify merebahkan kepalanya dibahu kanan lelaki luar biasa itu.
Dari balik pintu balkon, ada sepasang mata sendu yang menatap siluet hitam menawan keduanya bersama langit jingga senja yang mulai merapati malam. Dadanya bergetar lirih tapi ia tetap tersenyum lembut. "Terima kasih Tuhan atas segala kuasa-Mu hari ini.", desahnya.

ALUNAN UNTUK BEDA PART 5

Gabriel sedikit heran saat melihat cagiva hitam mengkilap milik Rio memasuki area parkir sekolahnya. Bukan tentang motor kesayangan sahabatnya itu yang membuatnya heran, tapi tentang sosok mungil nan cantik yang ikut turun juga dari boncengan Rio. Mata Gabriel menyipit curiga, namun setelahnya terbit sebuah cengiran lebar yang ikut berbahagia.
"Ahha...kayaknya siang ini gue makan gratis nih !", serunya sumringah lalu sedetik kemudian berlari menyongsong kelasnya yang berada dilantai dua.
Sampai dikelas, lelaki jangkung itu langsung membanting ransel coklatnya keatas meja dan menarik resleting dengan terburu-buru. Kebiasaannya yang biasa, malas mengerjakan pr dan bermaksud untuk menyalin pekerjaan Kiki teman sekelasnya yang juga menjadi sumber paling terpercaya jika ada pr selain Rio. Hari ini Gabriel sedang tak berminat meminjam pr dengan sohibnya itu, karena ada hal yang lebih menarik yang ingin dilakukannya.
Saat derap langkah lelaki hitam manis itu terdengar semakin mendekat, bersama dengan itu pula Gabriel telah selesai melakukan aksi bajak prnya pada Kiki. Ia sudah kembali duduk manis dibangkunya sambil tersenyum-senyum jahil. Ketika Rio sudah sampai tepat didepan kelas, ia bersiul nyaring sambil menaikturunkan alisnya.
Melihat mimik wajah tengil yang sudah sangat ia hafal betul dari Gabriel membuat Rio hanya tertawa tanpa suara sambil menggeleng pelan. "Apa lo masang muka gitu ? Pr geo kan ? Nih...", baru saja Rio mau mengambil buku tugas geografinya dari dalam ransel, dilihatnya Gabriel justru menggeleng santai dan masih memamerkan senyum manisnya.
"Lo nggak mau nyalin ? Gaya bener lo yel.",
"Gue udah kalo pr.", sahut Gabriel ringan.
"Serius ? Ngerjain sendiri lo ?"
Gabriel menggeleng lagi. "Nggak. Kan ada Kiki tuh !."
Rio mengernyitkan dahinya sambil memandang Kiki yang berjarak dua meja dari mejanya sendiri. Ia tahu jika Kiki juga pintar, tapi ia juga tahu jika selama ini Gabriel tak pernah mau menyontek selain padanya.
"Terus kenapa tampang lo kayak gitu ?", tanya Rio sambil mendudukkan dirinya disamping Gabriel.
"Jadi ntar istirahat pj gue satu mangkok bakso, sepiring siomay sama es lime jelly ya yo."
"Maksud lo ?"
Gabriel berdecak. "Ck ! Cewek yang tadi tipe lo bangetlah yo. Cantik, tinggi, mulus, rambutnya panjang. Come on bro !"
Rio diam sebentar sambil menopang dagunya menyerap ucapan Gabriel. Baru beberapa detik setelahnya, ia sadar, jika sahabatnya yang kurang ajar ini pasti melihat Ify yang berangkat dengannya. Pemuda tampan itu kemudian tertawa lebar, memamerkan gigi gingsulnya.
"Ahahaha...anjrit lo yel. Tau-taunya Ify pacar gue.", kata Rio sambil menjitak gemas kepala Gabriel yang menyeringai senang.
"Ify yo namanya ? Tuhkan, yes ! Uang jajan gue hari ini utuh. Lumayan buat ngegame.", Gabriel mengecup penuh sayang selembar uang lima puluh ribuan yang ia tarik dari saku seragamnya. "Anak mana yo ?", tanyanya lagi masih dengan ekspresi kegirangan.
"Anak ipa 2."
Gabriel melotot serius. "Ipa 2 yo ? Temen sekelas Shilla ? Ahaha...", tawanya kembali pecah.
"Gab, ketawa lo jangan kenceng-kenceng dong. Ganggu gue nyalin pr tau nggak ?!", tegur seorang gadis berambut panjang yang duduknya tepat diseberang bangku Gabriel.
Rio dan Gabriel langsung sama-sama menatapnya yang sedang kesal. "Wailah, nyantai gimana sih mbak Nova. Nyalin doang juga fokusnya gitu amat.", canda Gabriel yang langsung membuat Nova mendelik sebal dan kembali melanjutkan aktivitasnya. Ia sadar tak akan habis perkara jika terus meladeni Gabriel. Pemuda tampan satu itu punya kelakuan jahil yang melebihi rata-rata orang normal.
"Jadi bener nih ya istirahat pj gue full !", lanjut Gabriel lagi dengan volume yang normal. Tak ingin mengundang gerutuan orang lebih banyak lagi tampaknya. Rio hanya tersenyum tipis menanggapi sahabatnya itu.

***

Semua yang ia minta pada Rio tadi sudah tersedia lengkap dihadapannya, tapi kali ini Gabriel justru memilih duduk berdua, berhadapan dengan Shilla seperti biasanya.
"Kok nggak dimakan sih ?", tanya Shilla heran melihat Gabriel sejak tadi malah asyik mengawasi Rio yang berada tak jauh dari meja mereka. Kekasihnya itu justru terlihat lebih tertarik pada sosok jangkung itu dan seorang gadis mungil yang Shilla kenal sebagai Ify, teman sekelasnya ketimbang beberapa makanan lezat yang sudah secara cuma-cuma sudah ia dapat.
Gabriel mengalihkan pandangannya sambil nyengir kuda. "Hehe...aku lagi asyik aja ngeliat si Rio pacaran."
"Emangnya selama ini Rio nggak pernah punya pacar ?"
Gabriel menggeleng. "Biar Rio orangnya ramah, pinter bergaul, terus juga welcome sama siapa aja, tapi dia juga nggak pernah gonta-ganti pacar yang sesering orang kira."
"Kenapa ? Harusnya tipe cowok kayak dia kan bisa dengan mudahnya nyari pacar kalo dia mau."
Sambil mengunyah siomay dalam mulutnya, Gabriel tersenyum kecil. Sedikit kewalahan menanggapi pertanyaan Shilla. Gadisnya itu punya rasa penasaran yang tinggi. Tak heran harus sedetail mungkin jika harus menjelaskan sesuatu pada gadis berkulit putih itu.
"Tapikan Rio juga bukan playboy sayang. Lagian biar dia welcome sama siapa aja, bukan berarti privasi dia juga harus welcome kan ?", Gabriel sedikit memajukan wajahnya kearah Shilla kemudian dia berbisik. "Lagian gaya bener si Rio kalo jadi playboy, ngalahin aku yang jelas lebih ganteng kemana-mana.", lanjutnya sambil terkikik geli menatap Shilla yang memasang wajah penasaran stadium atas kemudian mengernyit sebal dengan candaannya.
"Ih...aku serius yel.", gerutu Shilla sambil memukul lengan Gabriel yang berada diatas meja.
Lagi-lagi Gabriel tertawa kecil sambil mengacak pelan rambut Shilla. "Lagian kamu bawaannya serius mulu sih.", Shilla hanya mengerucutkan bibirnya dan menyuapkan sesendok nasi padang kedalam mulutnya.
"Tapi Ify itu gimana Shil ?", tanya Gabriel lagi. Kali ini Shilla yakin bahwa lelaki itu bertanya dengan serius. Terlihat dari ekspresi wajahnya. Tak menunjukkan ketengilan seperti tadi.
"Ify baik, asyik, cukup pinter karena semester lalu dia dapet peringkat dua dikelas, terus juga rajin sholat.", sahut Shilla.
Gabriel terbelalak. "Ify muslim Shil ?"
"Ya.", detik itu juga tawa renyah Gabriel kembali berhambur. Membuat Shilla menggeleng heran mengapa kekasihnya itu akhir-akhir ini sangat doyan tertawa.
"Kenapa ?"
"Mereka beda juga Shil. Ahhaa..."
"Terus kamu seneng gitu ?"
Bahu Gabriel terangkat acuh. "Emm...seenggaknya kita bukan satu-satunya pasangan yang beda Shil. Mereka sama kayak kita."
Shilla mendesah lesu. "Harusnya kamu nggak seneng yel. Karena gimanapun jadi seperti kita nggak mudah. Mereka akan ngerasain penentangan yang kuat sama seperti yang lagi kita rasain."
Kata-kata Shilla membuat Gabriel sadar. Benar, dalam kisah semacam ini bahagia tak melulu ada. Lebih banyak kecewa yang tercipta saat sepasang hati yang terlanjur bersatu dipaksa saling mematahkan. Seharusnya mereka berhak bahagia. Seharusnya cinta yang bisa memegang tahta atas semuanya. Karena mereka dipertemukan oleh cinta dan bukan oleh beda.
Gabriel meraih tangan Shilla. Digenggamnya erat agar kekasihnya itu mampu merasakan jika cinta mereka akan selalu kuat. Tak akan sekedar terpuruk dengan setiap penentangan yang berkali-kali. "Kita harus tetap berjuang terus terus dan terus. Agar semua nggak ada yang sia-sia sayang."
Shilla mengangguk pelan dan mencoba menarik sedikit ujung bibirnya. Agar senyum manisnya tercipta serta mampu menenangkan gundah lelaki tampan didepannya.

ALUNAN UNTUK BEDA PART 4

Sambil asyik bercakap-cakap via telepon dengan seseorang, laki-laki tampan itu menaiki tangga menuju lantai dua rumahnya. Dengan setoples kripik kentang favoritnya, rencananya ia akan menghabiskan waktu dibalkon rumah sambil masih terus meletakkan ponsel diantara telinga dan bahu kanannya.
"Iya sayang, udah sholat kok. Kamu ?", Cakka masih asyik saja berceloteh mesra dengan Agni, gadis yang kurang lebih satu setengah tahun ini menjalani komitmen dengannya.
"Oh, hehehe...ya maaf aku nggak tau kalo kamu lagi red day.", sahutnya lagi. Entah apa yang dikatakan Agni diseberang sana, yang jelas dalam setiap percakapan itu membuat Cakka begitu bahagia. Ia telah merasa menemukan gadis yang tepat. Sosok cantik yang Tuhan ciptakan dari tulang rusuknya sendiri.
Sampai balkon, Cakka langsung mendudukkan dirinya disebuah ayunan rotan tepat disamping adik kecilnya, siapa lagi kalo bukan Ify. Ia bahkan sempat melirik, jika gadis itu tampak tersenyum-senyum sendiri sambil menekuni layar ponselnya. Seolah asyik dengan dunianya sendiri dan sama sekali tak menanggapi kedatangannya.
Cakka menyuapkan satu bagian besar kripik kentang kedalam mulutnya baru kemudian terkekeh pelan. "Yaudah, besok aku tunggu depan ya. Bye!", ia kemudian meletakkan benda canggih itu disampingnya dan melanjutkan kegemarannya untuk menyemil.
"Mau de ?", tawarnya pada Ify yang masih saja asyik. Dilihatnya Ify menggeleng cuek. Tersenyum kecil masih dengan layar ponselnya.
Cakka mendengus sebal. "Lagi smsan sama siapa sih ?", tanya Cakka penasaran. Kepalanya ia dekatkan pada Ify. Tapi belum sempat ia bisa mengutip bacaan dilayar, Ify sudah dengan cepat menyinggahkan ponselnya.
"Kakak nih keponya kebangetan deh.", gerutu Ify.
"Ya abis asyik banget dari tadi, sampai kakak disini juga kamu masih aja gitu. Lagian udah sholat belum kamu de ?", kata Cakka lagi. Ia kembali memasukkan satu bagian kripik kentang dimulutnya.
Ify menghela nafas. "Udah dari tadi Cakka nuraga. Kakak nih makin bawel ya ?!"
Melihat raut kesal pada wajah adik perempuannya membuat Cakka menyeringai lucu. Setelah satu toples kripik kentang sudah ia pastikan tandas, diletakkannya tempat kosong itu disampingnya. Baru kemudian dia mulai menjahili Ify yang lagi-lagi asyik pada sesuatu diponselnya.
"Kakak rese ! Berhenti nggak !", jerit Ify kencang saat tangan kokoh Cakka mulai menggelitiki pinggangnya, lalu kemudian memeluk lehernya dengan sedikit arogan. Membuatnya terganggu sekaligus tak fokus lagi untuk mengetik balasan untuk Rio.
"Nggak mau. Yaudah terusin smsannya ya terusin. Ahaha...",
"Ayaaaaah ! Kakak lagi kumat nih !", pekik Ify kemudian mendapat celah menarik kuat rambut Cakka.
"Aw...de lepasin ah ! Kenceng banget kamu ngejambaknya.",
"Nggak mau. Lepasin aku dulu baru kakak aku lepasin juga."
"Oh oke, nih !", bukannya membebaskan Ify dari kunciannya, Cakka justru membuat adiknya itu makin tak berkutik didekapannya. Bukan dekapan lembut dan manis yang seperti kemaren sore Ify dapat dari Rio saat mereka baru saja resmi jadian. Melainkan dekapan gemas seorang kakak pada adik mungilnya yang mulai menjalani fase-fase remajanya.
"Bundaaaaa !"
"Cakka Ify berhenti seperti anak kecil. Ini sudah malam. Astaghfirullah !", tegur sebuah suara lembut dari kamar bawah mendengar dua buah hatinya berbuat ulah lagi.

ALUNAN UNTUK BEDA PART 3

Suasana siang ini masih sama. Masih menjadi jam-jam tersibuk dan terpadat dikantin sekolah yang sekejap saja sudah dipenuhi manusia-manusia yang sudah tak kuasa menanggung kelaparan juga kebosanan sejak jam pertama pelajaran dimulai pagi tadi.
Seperti biasa pula, Rio menghabiskan waktu istirahat pertamanya dengan beberapa temannya. Mengingat sang sahabat, Gabriel sudah lebih dulu mencuri start untuk makan siang berdua Shilla, kekasihnya. Maka kali ini Rio lebih memilih duduk berhadap-hadapan dengan beberapa anak dari kelas penjurusan ips, Lintar, Patton serta pemuda berwajah imut yang biasa disapa Ozy yang ia kenal melalui ekskul musik.
"Ntar siang kita ekskul ?", Lintar laki-laki hitam manis yang dikenal berwajah tanpa ekspresi ini bertanya dengan tampang datarnya.
"Iyalah, inikan rabu.", jawaban acuh terdengar dari Ozy yang masih saja asyik mengaduk soto ayam kepunyaannya.
Sementara itu, Rio yang berada ditengah ketiganya masih asyik berkutat pada layar handphone touchscreennya. Mengabaikan sepiring siomay berbau sedap yang menjadi dingin biasa saja dihadapannya.
"Hai yo !", sapa seorang gadis cantik berkulit putih yang sekedar lewat didepan mejanya.
Rio mendongak. "Oh hay ze.", sahutnya sambil tersenyum. Sikapnya yang biasa selalu welcome pada siapa saja. Justru itulah yang membuat Patton dihadapannya menekuk wajah. Gadis yang menyapa Rio tadi, Zevana. Bidadari cantik yang diklaim Patton akan menjadi jodohnya. Tapi sampai sekarangpun tak ada tindakan berarti untuk sekedar mendekati gadis incarannya itu.
"Kenapa Rio aja yang disapa ? Gue nggak.", desah Patton sedikit kesal. Sementara Rio masih asyik menekuni layar benda pintar ditangannya sambil nyengir kuda mendengar temannya itu kesal. Setelah meletakkan handphonennya disamping piring siomay, barulah Rio menatap Patton dengan tampang geli.
"Makanya elo kalo suka bertindak. Jangan diem ditempat.", nasehat Rio pelan.
"That's right tuh yo ! Cuma ngandelin kepercayaan doang kalo si Zevana bakal jadi jodohnya apa bisa ?!", sambung Ozy menggebu-gebu sambil mengacung-acungkan sendok makan dihadapan Patton.
"Gue mesti ngapain ?"
"Dikejar, didapetin, dipacarin abis itu.", Ozy tampak bangga dengan perkataannya barusan. Mengundang tawa pelan dari Lintar yang sedari tadi justru sebagai pendengar setia saja diantara mereka. Rio mengangguk-angguk setuju. Tapi kemudian matanya terpatri pada seseorang yang hendak melewati mejanya membawa sebuah gelas berisi es jeruk dan sepiring mie goreng.
"Hei fy !", sapanya ramah. Ozy, Patton langsung menatap Ify serentak. Sementara Lintar masih menyuap bakso kuahnya baru kemudian ikut menatap gadis itu.
"Hei yo.",
"Cek handphone fy.", perintah Rio lembut. Ify yang semula tersenyum sedikit malu langsung mengernyitkan dahinya bingung. Tapi kemudian ia sedikit menunduk, mengamati lampu led ponselnya yang berada didalam saku seragam ternyata berkelip-kelip merah. Namun karena kedua tangannya membawa gelas dan piring, dibiarkannya dulu.
"Ehm...okey.", sahutnya pelan.
Tak tunggu waktu lagi Ify segera berlalu membawa makanan dan minumannya dimeja kosong yang tak jauh dari meja Rio. Setelah meletakkan piring dan gelasnya diatas meja, gadis itu segera merogoh sakunya untuk mengeluarkan handphonennya yang dalam keadaan silent.

Siang ini dilapangan basket ya fy.

Sebuah pesan singkat terdiri dari enam baris kalimat langsung mengembangkan senyum Ify. Ribuan pemain perkusi sedang menabuh jantungnya. Sedang saat ini para dewa cinta sedang menggodanya habis-habisan. Meninggalkan semburat lembut berwarna merah jambu dikedua pipinya yang kian menghangat. Ify kemudian mengangkat wajahnya, menyambar manik mata elang diseberang sana yang juga mengawasinya dengan lembut. Pelan-pelan gadis itu mengangguk.

***

Entah untuk alasan apa, dua sosok itu kembali bertemu. Menciptakan susana lapangan sekolah yang sudah sangat sepi ditangkupi atmosfer romantis. Sejak tadi, sudah hampir setengah jam mereka duduk bersisian dibangku kayu ditepi lapangan, namun tak juga ada yang ingin memulai membuka bicara.
Gadis manis itu, yang lebih memilih menunduk sambil sesekali menggigit bibir bawahnya canggung terus menatap sepatu flatnya yang kini bergoyang-goyang kecil akibat dari gerakan kakinya. Sementara lelaki tampan disampingnya, justru sedang terlihat termenung sambil memandang pada suatu titik imajinasi yang ia ciptakan sendiri nun jauh disana. Sebuah gitar coklat mengkilap terdekap diantara perut dan kedua lengannya yang kekar.
"Ehm...yo ?", akhirnya rasa jenuh sedikit mampu membuat Ify membuka bibirnya. Jujur saja sedari tadi ia heran, apa maksud Rio memintanya kesini. Bertemu lagi. Berdua.
Suara lembut Ify berhasil mengaburkan keasyikan Rio yang sedari tadi justru termenung kosong. Ia mengusap wajah sebentar, baru kemudian mengubah posisi duduknya agar lebih bisa menghadap pada Ify sambil tertawa kecil. Dilihatnya gadis itu juga tersenyum. Menantinya mengucapkan maksudnya.
Gadis manis itu betul-betul masih membuat Rio terkesan. Sekaligus penasaran. Bahkan hingga hari ini siluet wajah berdagu tirus itu masih setia menangkup seluruh pikirannya. Menciptakan letupan-letupan kecil asing yang baru ia yakini bahwa istilah 'love at first sight' benar-benar ada. Mungkin bisa dikatakan begitu atau apapun lah selama itu mampu mendeskripsikan jalaran perasa halus yang akhir-akhir ini mulai merajut harinya.
Dari cara Rio menatapnya, fokus namun begitu lembut membuat Ify tahu jika ada yang ingin diutarakan oleh lelaki itu. Belum lagi tarikan nafas Rio yang menjadi terlihat tak wajar. Tertahan oleh sesuatu yang akan segera ia ungkapkan.
"Apa ?", tanya Ify yang semakin dibuat penasaran oleh one of the most top boy sekolah disampingnya itu.
Semuanya kembali hening. Rio masih bertahan dengan kediamannya. Hanya ada beberapa kata sederhana yang ingin ia susun menjadi seuntai kalimat manis dalam otaknya yang biasanya begitu brilian dalam memahami setiap mata pelajaran. Tapi tidak untuk kali ini. Sekarang-atau-tidak-sama-sekali-yo-!
"Kita pacaran yuk fy ?"
Ify menoleh kaget. Pertanyaan macam apa yang baru saja Rio katakan tadi ? Apapun arti dari sederet kata-kata barusan, yang jelas langsung efektif membuat gadis itu spot jantung mendadak. Dengan ekspresi yang seolah tak tahu harus berbuat apa, Ify menggerakkan bola matanya tepat pada bola mata hitam yang sedang berbinar dihadapannya. Menimbulkan gejolak yang lebih dahsyat dari sekedar pertanyaan singkat tadi. Sungguh keindahan yang tercetak sempurna pada dua mutiara kelam yang seangkuh berlian.
Rio menyeringai lucu saat ekspresi cengo diwajah cantik Ify tak juga sudah sejak ia selesai mengucapkan maksudnya tadi. Tampaknya gadis itu syok berat. Dengan gerakan pelan, telunjuk panjangnya menyentil lembut ujung hidung bangir Ify.
"Kalo tau reaksi lo kayak orang mau kesurupan gini, gue nggak jadi deh fy.", tegur Rio sambil terkekeh renyah, melihat masih betapa lucunya raut wajah Ify.
Ify langsung mengerucutkan bibir mungilnya dengan sebal. Ia tahu jika saat ini Rio mengerjainya sekaligus ehm...menembaknya. Mana mungkin tipe lelaki supel nan hangat seperti Rio mampu bertahan dalam kecanggungannya.
"Lo rese ah yo !", sungut Ify sambil memegang hidungnya yang tadi disentil Rio.
"Hehe...jadi gimana ?"
"Gimana apanya ?" Ify memandang Rio dengan tatapan gemas saat sosok tampan itu mulai memetik lirih senar-senar kaku gitar dipangkuannya.
Secara otomatis jemari Rio berhenti menari diatas senar gitarnya. Ia lalu menyapukan pandangan lembutnya pada wajah cantik Ify yang masih kekeh menunggu lanjutan jawabannya. Mereka saling berpandangan. "Kita pacaran ?", sahut Rio tenang.
Poni yang selalu jatuh lembut dikening Ify bergoyang pelan mengikuti gerakan naik turun kepalanya. Dengan bahasa tubuh yang masih juga canggung, jemari Ify yang berada dipangkuannya bergerak resah memilin-milin gelang. Tapi tangan kokoh milik Rio kemudian meraih tangannya. Membentuk anyaman mungil hidup dengan jari-jemari mereka yang saling bertautan.
"Thanks...", desah Rio lembut tepat disamping telinga Ify. Membangkitkan bulu halus yang sudah meremang ditubuh gadis itu.
Ify mengangguk pelan. Beberapa kali pandangannya bergantian menatap wajah tampan yang sekarang resmi menjadi miliknya itu dan kedua tangannya yang terasa menghangat dalam genggaman lembut dan ketat tangan Rio. Sungguh Ify menyukai caranya bahagia kali ini.
"So, ceritain sama aku gimana bisa secepat ini prosesnya ?", pinta Ify manja sambil mengerlingkan sebelah matanya dengan genit. Menyambut kekehan geli dari lelaki yang baru saja resmi memacarinya itu.
Tangan Rio melepaskan kunciannya. Meletakkan kembali tangan mungil Ify dipangkuan gadis itu. Kemudian ia tersenyum kecil. "Aku ceritanya lewat lagu aja ya."

Ada sebuah cerita tentang aku dan dia
Jumpa pertama kudengannya disatu siang yang cerah
Singkat kata singkat cerita kuberjalan dengannya
Namun apa yang aku rasa mungkinkah ini cinta?
Dan hatiku bayangkan dirimu
Mulai ada rindu...
Duniaku terhenti karena kamu
Mungkin bisa jadi milikku
Semoga lagu cinta ini bersarang tepat dihatimu

Satu kali kubertemu
Dualam sudah rasaku
Tiga kata yang kutahu
Aku cinta padamu !
Empat malam kumenunggu jawaban cinta darimu
Lima tanda yang kau beri
Enampaknya kau cinta pa..daku..
Nananana..lalalala...yeee

Lagu ceria dengan aransemen yang lucu berhasil Rio nyanyikan sebagai janjinya untuk menceritakan bagaimana bisa ia langsung jatuh hati secepat ini pada Ify. Sebenarnya tak perlu punya alasan yang banyak, karena dengan senatural mungkin, gadis itu sudah mampu membuat orang berpaling kearahnya. Rio menjadi salah satunya dan semoga akan menjadi satu-satunya.