Ify menatap heran pada lelaki muda yang sudah nampak gagah sekali diatas motor besarnya. Berbalut seragam sma yang ditutupi sebuah jaket parasut berwarna biru tua, lengkap dengan helm fullface yang masih ia buka kacanya, lelaki itu masih menampakkan cengiran kecilnya untuk menarik minat Ify mengikuti ajakannya.
"Mau ngapain sih ?", tanya Ify sedikit tak berminat. Kedua tangannya terlipat didepan dada.
"Ck ! Ikut ajadeh, aku jamin begitu pulang tampang bete kamu itu langsung hilang.", bujuk Rio lagi dengan lembut. Ia tahu jika hari ini gadisnya itu sedang dalam mood yang anjlok. Sebuah nilai miris tercetak besar pada lembar ulangan kimia Ify. Dua puluh. Angka macam apa itu buat Ify yang biasanya mampu mencapai nilai diatas delapan puluh. Semalaman begadang untuk membaca novel terbaru yang menjadi sebabnya. Dan hingga kinipun tampang keki Ify masih tak berubah sejak tadi pagi.
"Hai yo !", sapa seorang siswi yang kebetulan lewat didepan mereka yang masih berada didepan gerbang megah sekolah.
"Hai Aren.", balas Rio sambil melambaikan tangannya. Ify hanya menatap gadis itu sedikit kesal. Dia menyapa Rio penuh kehangatan disaat yang tidak tepat.
"Ayodong ? Udah seharian ini aku dikasih tampang bete kamu.", rayu Rio lagi. Kali ini ia meraih pergelangan tangan mungil Ify.
Ternyata perlu bujukan super untuk membuat gadis berdagu tirus itu luluh juga akhirnya. Rio baru tahu jika Ify sangat keras kepala. Ambisius, tapi tak sampai menjadi otoriter. Dia tahu gadis itu sosok yang baik, yang hebat, yang mampu bertahan sendirian dalam keadaan apapun.
Rio tersenyum tipis, saat akhirnya Ify naik diboncengan motornya dan mulai memeluk perutnya. Menghapuskan sedikit ruang untuk sang angin menjadi sekat mereka.
"Udah siap ?", tanya Rio memastikan.
"Yeah.", desah Ify singkat.
Sedetik kemudian motor itu melaju dengan kecepatan meninggi. Berkelok-kelok lincah diantara puluhan kendaraan dijalan kota hingga kemudian memasuki kawasan sepi yang memiliki puluhan tanjakan cukup terjal. Ify semakin ngeri saat Rio justru menarik habis tali gas motornya. Membuat mereka seolah melayang, melawan angin yang kian deras menerpa wajah Ify.
"Rio..."
"Biasanya ini cara aku menghilangkan rasa yang mengganjal fy. Mudah-mudah cara ini juga efektif buat ngusir bete kamu. Sekarang kamu pegangan, karena semua bakal baik-baik aja.", seru Rio agak kencang agar gadis yang sedang memeluk erat perutnya itu mampu mendengarnya.
Ify memilih tak menjawab. Ia hanya menyembunyikan wajahnya dipunggung kokoh Rio, sedang tangannya makin erat memeluk perut lelaki itu. Ia tak ingin melihat jalanan barang sebentarpun. Efek ngeri yang dihasilkan oleh laju motor ini, membuatnya ciut. Namun ternyata, dengan begitu rasa deg-degan yang kini menyarangi dadanya justru kian menghimpit rasa sesaknya tadi. Hingga akhirnya hilang sama sekali. Tapi kemudian ada resah dihati gadis itu. Bukan karena perbuatan Rio ini yang bisa saja membahayakan nyawa mereka berdua. Melainkan aura maskulin Rio terasa begitu kentara menyumbat seluruh rongga dadanya. Dengan jarak yang baru Ify sadari nyaris tak ada diantara mereka.
Makin lama Ify merasa jika kecepatan kuda besi ini tak secepat tadi. Deru anginpun kini hanya menyapu wajahnya dengan lembut melambai. Sampai sebuah perintah bernada lembut nan manis terdengar dari sosok didekapannya.
"Udah nyampe fy, turun gih !"
Ify membuka matanya, melepaskan dekapannya kemudian turun dan berdiri disamping motor Rio yang terparkir didepan sebuah rumah besar namun tak ada kesan angkuh sedikitpun. Bangunan itu manis. Berwarna broken white sederhana dengan bentuk yang penuh selera tinggi. Disampingnya berdiri juga sebuah rumah dengan model yang tak jauh beda namun bercat coklat susu.
"Ini rumah aku, terus yang sebelah rumah Gabriel fy.", kata Rio seolah mampu membaca tiap perubahan ekspresi diwajah Ify.
Ify sedikit mendongak untuk memandang pemuda jangkung itu dengan tatapan tak percaya. "Serius ?", Rio mengangguk.
"Yaudah yuk, masuk dulu. Kita minum, pasti kamu tadi deg-degan ya ?", kata Rio sambil meraih tangan mungil Ify untuk digenggamnya.
"Bukan deg-degan lagi, tapi udah mati rasa tau.", keluh Ify manja yang langsung membuat Rio merangkul erat bahunya.
"Tapi udah nggak bete kan ?"
"Huuu... Tapi kamu rese.", Ify menyikut pelan perut Rio sambil mengulum senyum. Laki-laki ini selalu tahu cara membuatnya bahagia.
"Eh ada tamu ya.", sapa seorang perempuan paruh baya begitu mereka berada diambang pintu.
"Ini Ify mah yang sering Rio ceritain.", terang Rio yang sukses membuat Ify menunduk sungkan.
"Sini sayang. Wah, kamu ternyata lebih cantik dari yang difoto ya ?", perintah bu manda lembut pada Ify. "Hallo saya manda, mamahnya Rio.", kata bu Manda lagi sambil membiarkan Ify mengecup punggung tangannya.
"Alyssa saufika umari tante. Tapi biasa dipanggil Ify.", sahut Ify. Kini ia baru tahu dari mana sifat ramah, supel, dan hangat milik Rio, pasti dituruni oleh ibunya ini.
"Yaudah pergi kebalkon aja sana, biar mamah buatin minumnya dulu ya."
Rio mengangguk. "Yuk fy."
***
"Abang !", pekik seorang gadis kecil berusia tujuh tahunan begitu Rio dan Ify sampai pada balkon rumah. Dia Acha, adik perempuan Rio yang sedang bermain harmonika dilantai balkon yang dingin.
Rio tersenyum kemudian membawa Acha dalam gendongannya. "Hai sayang, ngapain lagi kamu hari ini ?", tanya Rio sesaat setelah mengecup manis pipi kiri gadis mungil itu.
"Main harmonika bang.", jawab Acha ceria. Dia kemudian melirik Ify yang diam disamping kakaknya itu. "Ini siapa bang ?", tanyanya penasaran.
"Kenalin, ini kak Ify." mendengar jawaban Rio, Acha melompat turun dari gendongannya.
"Kak Ify yang sering abang ceritain sama mamah sama Acha ?", mata Acha membulat penuh.
"Yaaaps !"
Acha menyeringai lucu. "Hai kak, aku Acha. Kakak cantik banget ternyata. Pantas, bang Iyo suka ceritain sama mamah sama Acha."
Ify berjongkok didepan gadis lucu itu. Sambil tersenyum ia kemudian menyambut uluran tangan Acha. "Hallo sayang, nama kakak Ify. Oya..masasih bang Rio suka nyeritain kakak ?"
Acha mengangguk cepat, tanda ia tak berbohong sama sekali. Ify terkekeh pelan melihatnya. Tingkah manja Acha mengingatkannya pada dirinya sendiri jika dirumah. Begitu manja pada Cakka.
"Ayo sini semua. Ini ada makan siangnya.", suara bu manda kembali mengalihkan perhatian. Dengan susah payah nampaknya perempuan itu membawa nampan yang berisi empat mangkuk entah berisi apa.
Dengan membuat bundaran mereka berempat duduk tanpa alas dilantai dingin balkon kemudian disodorkan masing-masing mangkok yang ternyata berisi sebuah bubur, entah bubur apa yang jelas Ify belum pernah sekalipun memakannya.
"Ini namanya bubur tinutuan fy, bubur khas Manado. Makanan kesukaan Rio. Kamu udah pernah makan ?", tanya bu manda yang menatap Ify sedang keheranan dengan hidangannya.
"Ehm...mah Ify muslim jadi...", kata Rio yang langsung terpotong.
"Iya mamah tau yo, yang punya Ify halal kok buat dia. Tadi mamah beli diujung komplek sana.", Sahut bu manda paham. "Dimakan ya fy, rasanya sama masakan tante mungkin nggak jauh beda kok."
Ify mengangguk. "Iya tante."
Sesuap demi sesuap akhirnya hidangan tradisional itu habis pada mangkuk-mangkuk mereka. Terlebih Ify, ia begitu cepat menghabiskan bubur yang ternyata cocok juga dilidahnya. Gurih, legit, dan kaya gizi. Banyak sekali sayuran yang menjadi bahan campuran masakan ini.
Rio terkekeh geli saat melihat bagaimana ekspresi Ify saat menghabiskan makanan yang juga favoritnya itu. Sangat menikmati sekali. Setelah mamahnya membawa kembali mangkuk-mangkuk kosong kebawah, dan Acha yang segera harus tidur siang maka kini hanya tinggal mereka berdualah yang masih mengisi balkon.
"Aku pikir semuanya nggak bakal kayak gini loh yo.", Suara lembut Ify memecah keheningan.
"Kamu pikir kamu bakal dimaki habis-habisan gitu sama mamah begitu aku ngenalin kamu ?", Rio terkekeh sebentar. "Beliau nggak gitu kali fy. Dia sangat menghargai perbedaan semacam ini kok.", sahut Rio tenang. Mengapa ia bisa berbicara setenang ini adalah karena memang keluarganya ini tak seperti yang Ify kira. Tak pernah ada sebuah kejahatan yang dibenarkan meskipun mereka menganut kepercayaan yang berbeda. Karena Rio percaya semua agama sama. Selalu mengajarkan kebenaran dan menentang kejahatan.
Ify mengangguk sambil tersenyum kecil. Dari ekor matanya ia juga melirik Rio yang sedang duduk tegap bersila disampingnya. Wajah tampan lelaki itu juga menyiratkan sebuah perasaan bahagia. Rio menatap lurus kedepan dengan sorot matanya yang biasa, sayu dan hangat. Bibirnya sesekali tertarik untuk tersenyum kecil. Tak sadar sama sekali jika Ify terus memandanginya bahkan mungkin sampai lupa kedip.
"Kamu tau nggak, kalo ngeliat sunset dari sini itu bagus banget fy. Balkon ini strategis, langsung menghadap barat. Aku sama Gabriel sering banget kalo abis main basket nyantainya ya disini.", celoteh Rio panjang lebar namun akhirnya terhenti begitu ia menoleh dan menangkap basah Ify jika gadis itu justru tak kedip menatapnya dari samping.
"Ah...apa tadi kamu bilang ?", Ify gelagapan setelah sekian detik baru menyadari jika siluet sempurna ukiran tegas Sang Maha Kuasa itu sudah menghadapnya.
"Ahahaha...", tawa renyah Rio menggema seksi saat tangan kokohnya juga terulur untuk mengacak-acak gemas puncak kepala Ify. Gadis itu hanya menggerutu pelan, namun tak juga berniat untuk menghindar. Ia tahu, setiap sentuhan yang Rio berikan padanya adalah cara untuk lelaki sempurna itu menyalurkan dengan jelas setiap inci rasa cintanya. "Kamu kalo kayak gitu udah kayak cewek-cewek sekolah yang kapanpun siap buat makan aku fy."
Ify menunduk malu sambil menggeleng. "Enggak...kamu nggak enak buat dimakan, enaknya buat dipeluk.", bisik Ify pelan sambil mengangkat wajahnya kemudian melirik penuh arti pada lengan kanan Rio yang menyampir manja dibahunya.
"Kalo kamu nggak enak buat dipeluk, soalnya kamu cungkring, nggak berasa.", sahut Rio sambil menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah siap menunggu reaksi Ify yang sedetik kemudian agak berjingkat dan memasang tampang super bete padanya. Tak terima atas ucapannya barusan.
"Tapi kamu enaknya di...", Rio menggantung kalimatnya dan mulai mendekatkan wajahnya kewajah Ify yang bertahan dengan raut linglung. Seolah membiarkan jika perlahan-lahan wajah yang dipahat nyaris tanpa cela itu mengurangi jarak diantara mereka.
"Eh...mmm...yo..", desis Ify lirih. Bahkan mungkin langsung lenyap dibawa angin. Tapi Rio menaikkan sebelah alisnya santai, tanda jika ia mengerti gelagat Ify.
Jarak mereka nyaris terhapus tepat didepan bibir mungil Ify yang sedikit terbuka tanpa sadar. Mulai bergetar resah jika sapuan lembut bibir Rio akan mengecupnya. Ify masih bertahan diposisinya dengan pasrah dan resah. Sampai kecupan lembut yang ditahan cukup lama oleh Rio itu justru mendarat mesra dipipi kanannya, tak terlalu jauh dari bibirnya. Nyaris. Cup !
"Semua yang ada sama kamu aku suka kok. Nggak peduli tentang kurang dan lebihmu. Karena semuanya sudah terlalu indah buat aku miliki fy.", tuturan manis bernada lembut dari bibir Riolah yang baru kemudian menyadarkan Ify. Dia menatap dalam mata sayu didepannya. Mengorek ada seberapa besar lagi rasa cinta lelaki itu yang masih tersimpan untuknya.
"Kamu...selalu rese ternyata !", ucap Ify sambil mengulum senyum ditengah wajah harunya yang menahan malu. Tangannya gantian mengacak-acak pelan rambut hitam Rio yang sudah tertata berantakan. Lalu serentak mereka berdua tertawa. Mengisi hari yang sudah termenung untuk memangku senja yang sebentar lagi akan segera datang. Menepati janji Rio, jika ditempat ini akan terjadi sunset yang indah. Ify merebahkan kepalanya dibahu kanan lelaki luar biasa itu.
Dari balik pintu balkon, ada sepasang mata sendu yang menatap siluet hitam menawan keduanya bersama langit jingga senja yang mulai merapati malam. Dadanya bergetar lirih tapi ia tetap tersenyum lembut. "Terima kasih Tuhan atas segala kuasa-Mu hari ini.", desahnya.
Senin, 05 Januari 2015
ALUNAN UNTUK BEDA PART 6
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
cerbungnya kerennn
BalasHapus