Apa ada yang mampu memikirkan apakah indahnya sunset akan mampu sempurna tanpa adanya senja yang mencokolinya ? Jika tidak, itu salah. Jingganya sunset adalah separo milik senja. Kuas warna mempesona yang hanya dimiliki dimensi waktu yang satu itu.
Mereka memang saling menghidupkan, saling mengindahkan, saling bertautan. Tapi mereka tak pernah tercipta untuk disatukan, tak pernah ada untuk saling dikukuhkan. Mereka hanya dua elemen yang jika ada akan menciptakan indah, namun malam berjanji jika ia datang keduanya akan musnah.
Seperti itulah kisah dua cinta yang saling mengeratkan genggaman, namun sangat mudah tersentak hingga terlepas hanya dengan satu perbedaan. Hal yang justru terlihat mengindahkan adalah betapa perjuangan terkecilpun begitu mampu mengajak secuil harapan untuk berdansa bersama nirwana menuju bahagia, meski itu ternyata hanya kesia-siaan belaka.
PART 1
Dentuman merdu sioranye hitam yang beradu dengan lapangan dibawahnya serta acapkali dibuat melambung dengan gerakan supercantik oleh dua pemuda yang masih nampak asyik berduel ditengah luasnya lapangan basket sekolah yang terasa mini untuk mereka. Gerakan keduanya bukannya menyurut, justru meliar meski sudah puluhan menit berlalu sejak jam pulang sekolah tadi. Peluh pun sudah nyaris penuh membayangi baju kemeja seragam kedua pemuda tampan itu. Tapi tak ada yang ingin terlihat duluan menyerah sepertinya. Tak ingin kata-kata 'bencong banget lo !' yang menjadi cibiran paling keramat untuk mereka berdua kembali terdengar diselingi dengan kelakaran yang lain. Sama-sama ingin membuktikan kebolehan mereka dibidang yang satu ini selain juga untuk menghindari tiga kata penuh konotasi super negatif itu.
"Shoot yo !", seru pemuda jangkung pertama sepersekian detik setelah mengoper si oranye pada kawannya. Gabriel Stevent namanya.
Dari jarak yang masih berdekatan dengan Gabriel, Mario -pemuda kedua- langsung mengambil ancang-ancang untuk membuat shootnya kali ini tepat sasaran. Meskipun jaraknya saat ini berdiri dengan ring seolah meneriakkan ketidakmungkinan. Mata elangnya menyipit tajam, memandangi si oranye kesayangan yang masih ada dicengkraman tangan kokohnya.
Dengan gerakan penuh kekeran, kedua lengan Rio -biasa ia disapa- terangkat, dan melemparkan si oranye dengan hitungan dalam hatinya yang semoga tidak meleset kali ini. Benda bundar itu sudah mencapai mulut ring, berputar-putar diatas cukup lama. Menciptakan dua kemungkinan saja, ia akan masuk dengan mulus, atau keluar dan terpentul percuma ketanah. Ditempatnya, Rio mengawasinya dengan tatapan percaya. Dan Gabriel dengan senyum jumawanya sambil berkacak pinggang. Sedikit harapan jika kali ini, shoot sahabatnya itu meleset dan ia bisa dengan puas mengatai Rio ''bencong banget lo !''. Hal yang selama ini terlebih kali ini begitu ia inginkan. Satu angka diawal duel seru ini yang sudah ia kantongi menjadi penyombong sedikit. Mengingat si tirus (tinggi kurus) Rio tak pernah berhasil ia kalahkan. Berkali-kali dipecundangi sang sahabat membuat Gabriel ingin sekali membalasnya.
"Ayolah sayang...", kata Rio sambil menyipitkan matanya mulai ragu pada si oranye. Tapi...dug...dug...dug...si oranye berdentum merdu lagi ketanah setelah sebelumnya berhasil memasuki ring dengan gerakan yang indah nan mulus. Amazing !
Rio mengangguk-anggukan kepalanya dengan bangga lalu menoleh dan mengerling genit pada sahabatnya yang kembali harus siap ia pecundangi.
"Ahha ! Kubur dulu tuh ambisi lo buat ngatain gue ''yo, bencong banget lo !'' ", ucapnya lagi sambil merangkul asal bahu kokoh Gabriel yang hanya bisa berdecak. Si oranye lagi-lagi tak mau nurut padanya.
"Elo pake susuk ya yo ? Kenapa kalo main sama lo, si oranye nggak pernah mau ngasih angka hoki buat gue ?!", gerutu Gabriel sambil melepaskan rangkulan Rio. Wajahnya yang innocent, berlagak serius yang langsung membuat sahabatnya itu tertawa geli.
"Haha...nggak usah pake ngeles ya lo yel ?", Rio diam sebentar. Tangannya mulai beraksi jahil untuk membelai rahang Gabriel dengan manja. "Kalo bencong ya bencong aja, darling.", lanjutnya sambil terpingkal.
Perbuatan Rio barusan langsung membuat Gabriel berjingkat menjauh. Bakat Rio di basket memang tidak perlu diragukan lagi, dan bakatnya untuk menjadi dua kepibadian layak diberi aplouse juga sepertinya. Natural sekali gaya rempongnya.
"Dih, jauh-jauh lo dari gue yo ! Cucok parah lo jadi gay.", Gabriel bergidik.
"Iya, elo kan pasangannya."
Toyoran penuh dendam mendarat keras dikepala Rio yang tak ada persiapan apapun saat Gabriel melakukannya secara tiba-tiba. "Amit-amit gue punya cinta terlarang sama lo yo."
"Elo pikir kisah cinta lo sama Shilla, nggak terlarang yel ?", sahut Rio dengan tatapan aneh plus dibumbui senyumnya yang menyumir sambil mengusap-usap kepalanya yang cedera ringan akibat ulah Gabriel.
"Weits, nggak usah bawa-bawa yang itu lo yo ! Kayak gue baru rasa lo !"
"Boleh juga tuh tawaran lo yel. Hhaha..."
"Kucrut lo dasar ! Udah ah, gue mau balik. Elo nggak balik ?"
Rio menggeleng sambil mendrible si cantik oranye yang sudah kembali lulut ditangannya. Sesekali mencuri pandang pada Gabriel yang mulai memasukkan barang-barangnya kedalam ransel coklat ditepi lapangan. Bahkan hingga sang sahabat sudah siap dengan jaket kulit dan ransel yang sudah bertengger dipunggungnnya.
"Kapan lo balik ? Mau gantiin tugasnya pak Min lo jaga sekolahan ?", cerocos Gabriel lagi sambil melirik jam seiko dipergelangan kirinya.
"Ntaran aja gue. Udah elo yang sana, daripada makin banyak comel lo disini.", usir Rio tak minat.
"Yaudah deh, gue cabut ! Cepet pulang lo !", seru Gabriel yang mulai beranjak meninggalkan tepi lapangan basket sekolah menuju parkiran utama sekolah.
Rio mengapit bola basket oranye yang dibelinya dari hasil sumbangan berdua dengan Gabriel dipinggang dan tangan kanannya. Matanya yang sayu menatap lurus ransel Gabriel yang bergoyang kesana kemari akibat gerakan pemiliknya yang terkesan grasak-grusuk. Sikap dan kebiasaan sahabatnya itu yang sekaligus menjadi hiburan tersendiri untuk lelaki hitam manis tersebut.
Sikapnya saja yang slengean, tapi dalam urusan solidaritas, Gabriel mungkin adalah salah satu orang yang menyabet predikat sebagai sahabat terbaik didunia. Dan itulah yang Rio rasakan. Persahabatannya dengan cowok yang punya postur tubuh yang sangat mirip dengannya itu, sudah berjalan nyaris separuh hidup. Ada banyak moment penting yang selalu ia maupun Gabriel lewati secara bersama. Bahkan dalam hal basket. Dunia ini adalah salah satu faktor yang semakin mengukuhkan kekompakan mereka sebagai dua bocah ingusan kemaren sore yang kini menjadi dua pemuda tampan berbalut seragam putih abu-abu dalam membentuk jati diri.
Setelah puas menuntaskan kebiasaannya mengamati gerakan lucu ransel Gabriel, Rio menghela nafas sambil terkekeh lagi. Ia kemudian kembali membuang si oranye ketanah dan mulai mendriblenya lagi. Seragam putihnya tak lagi berada rapi dibalik celana, bahkan aroma tubuhnya tak lagi kentara wangi dari parfum dior homme. Hanya ada peluh dan aroma matahari yang makin gencar menyengat tubuhnya. Tapi semakin begitu, Rio semakin suka.
***
Namanya Alyssa Saufika Umari. Seorang gadis belia dengan anugerah paras yang luar biasa ayu dari Sang Maha Pencipta. Dengan otak yang cerdas dan banyak menuai berbagai pujian. Sikapnya santun dan anggun. Hal yang terbentuk akibat dari didikan moral yang kuat dari kedua orang tuanya. Dan kini ia berjalan gontai menyusuri ubin-ubin dingin koridor sekolahnya dari kantin yang berada disayap kanan bangunan untuk menunggu jemputan kakak laki-lakinya yang hingga saat ini tak juga datang. Padahal jam sekolah sudah berlalu sejak satu jam yang lalu karena ini adalah hari jum'at.
Ify -panggilan sayang dari keluarganya- sesekali melirik jam tangan mungilnya yang sedang semangat mendorong lajur jarum pendek dan panjangnya untuk menunjukkan sudah pukul 11. 30 siang. Ponsel keluaran terbaru yang terselip ditangan kanannya pun tak lupa terus ia periksa. Berharap jika benda pintar itu berdering dan suara berat sang kakak terdengar diujung sana untuk memberitahukan bahwa ia sudah ada diluar gerbang. Tapi nihil.
Langkah mungil Ify terus bertambah, hingga ia nyaris memutari lorong panjang sekolah jika saja tak ada suara dentuman berkali-kali yang berasal dari lapangan basket sekolah yang langsung mengusik perhatiannya. Gadis itu memutuskan untuk mendekati tempat berbentuk persegi yang berada dibagian terkiri bangunan itu.
Ada pantulan bola berwarna oranye yang sesekali melayang diudara untuk kemudian jatuh lagi dan dipantulkan tanah dibalik punggung kokoh seorang pemuda tinggi yang langsung membuat Ify menduduki sebuah kursi kayu panjang ditepi lapangan. Meski jaraknya kurang strategis tapi dengan mendiamkan diri, ia terus menonton tiap gerakan menawan dari tubuh pemuda itu bersama si bola basket yang membuatnya berdecak kagum. Tenang tapi penuh emosi. Perlahan tapi sarat energi. Bahkan posisi untuk menembak lurus tepat diatas ring yang Ify rasa sangat-sangat tidak pas, nyatanya mampu juga membobol ring itu dengan gerakan penuh keyakinan dari sang pemain.
Dibawah efek kagumnya, Ify berdiri kemudian bertepuk tangan riuh dengan menggeleng-gelengkan kepala tak percaya.
"Wow ! It's amazing, heh!", serunya dengan senyum lebar.
***
Rio terlonjak kaget sesaat setelah lagi-lagi berhasil menembakkan si oranye kedalam ring yang berjarak satu setengah meter didepannya membuahkan tepuk tangan seseorang yang berasal dari tepi lapangan. Ia pikir Gabriel yang bisa saja kembali lagi kesini dan menonton aksinya secara diam-diam. Tapi saat ia berbalik, yang terlihat justru sosok mungil dengan dandanan apa adanya sedang berjingkrak-jingkrak senang ditempatnya.
Mata sayu pemuda tampan itu menyipit. Mengamati penonton gelapnya yang langsung terdiam saat mungkin tersadar jika ia terusik. Setelah mengambil si oranye yang sempat ia biarkan bergulir entah kemana beberapa detik tadi, Rio mengayunkan tungkainya perlahan menuju tepi lapangan. Sebuah ekspresi hangat langsung menangkup wajah tampan Rio, saat jarak yang berkurang mulai memperlihatkan jelas wajah cantik berdagu tirus ditepi lapangan karena kedua matanya yang menderita min.
Terdiam ditempat dengan cengiran tak enak. Ify juga langsung pasrah saat sosok yang tadi mungkin terganggu akibat tepuk tangannya yang riuh adalah Rio. Siswa seangkatannya. Anak kelas ipa 1, tetangga kelasnya. Cowok yang sejak pertama kali mos sudah mampu mencuri perhatian sekolah sekaligus langsung membuatnya dilirik tim basket karena aksinya yang berhasil mempecundangi Debo -kapten tim basket- dalam duel satu lawan satu. Sebuah hukuman akibat keteledoran Riolah yang akhirnya membuat cowok hitam manis itu mau tak mau menunjukkan kebolehannya pada warga satu sekolah.
"Hei, gue pikir elo Gabriel tadi.", sapa Rio hangat. Sambil tersenyum kecil ia masih mengamati sosok mungil didepannya dengan jeli. Gadis berponi lembut berbalut seragam sekolah yang sama ditutupi sebuah cardigan berwarna peach. Cengirannya terlihat salah tingkah, namun begitu menarik.
Ify menggeleng bingung saat Rio menyangkanya Gabriel. Tapi melihat kesan 'easy going' yang ditunjukkan sosok Rio, Ify berusaha ikut bersikap sesantai dia. Benar berita yang selama ini beredar, meskipun namanya sudah tersohor keseantero sekolah, tapi laki-laki itu begitu sederhana. Ia supel, ramah, mau bergaul dengan siapapun, dan terpenting ia begitu 'welcome' pada Ify yang jelas-jelas menonton aksi memukaunya secara diam-diam pula.
"Eh bukan bukan...gue Ify.", kata Ify sambil menggaruk pelipisnya yang seolah terasa gatal.
"Ehm...sori ya kalo gue ganggu elo main tadi.", lanjutnya lagi.
Rio yang sudah mendudukkan dirinya disamping kanan Ify mengangkat sebelah alisnya. "Nggak usah berlebihan, elo cuma duduk doang gitu sambil tepuk tangan juga."
Sebuah senyum manis, lagi-lagi terpoles halus dibibir Rio. Membuat Ify yang melihatnya dari samping hanya bisa mengaduh dalam hati. Manisnya orang satu ini memang berbeda. Tak banyak pemuda yang dianugerahkan keluarbiasaan semacamnya. Wajah Rio tampan. Selain bentuk fisiknya yang juga begitu menggoda. Dengan tubuh yang tegap, kurus, dan lumayan tinggi. Rambutnya cepak dan selalu tertata berantakan. Terakhir, gayanya dalam berseragam begitu menarik. Cukup rapi tapi juga sangat asik. Bahkan banyak sekali yang tahu kebiasaannya mengeluarkan baju seragam adalah disaat-saat ingin bermain basket. Entah untuk duel atau hanya untuk hiburannya saja.
Saat geraman lembut Rio terdengar baru menyadarkan Ify jika sedari tadi ia mendiamkan makhluk manis itu begitu saja. Tapi Ify tak berani menoleh. Tak berani lagi menyapukan pandangannya pada raut sempurna itu. Bahkan ia tak berani bebas bernafas saat sapuan angin samar-samar mempersilahkannya mencium aroma menggoda dari tubuh Rio. Wangi legit dari parfum beraroma maskulin bercampur aroma sengatan matahari siang yang sedari tadi sudah menyengat tubuh pemuda itu. Akh...seksi sekali.
"Terus elo ngapain jam segini masih ada disekolah ? Emangnya elo kelas berapa ?", tanya Rio memecah keheningan diantara mereka. Mematahkan kesunyian yang sudah tak sengaja ia maupun Ify ciptakan sejak tadi.
"Gue lagi nunggu jemputan, tapi nggak datang-datang. Gue kelas sebelas...uhm, sebelas ipa 2.", sahut Ify pelan.
"Gue Rio, ipa 1 fy. Eh, tunggu berarti elo sekelas sama Shilla kan ?", Rio menoleh dan memandang Ify secara penuh. Memindai wajah cantik berhidung bangir disampingnya. Dan Rio tak sadar jika gadis ini pelan-pelan mulai mencuri hatinya.
"Iya, elo kenal Shilla juga ?", jawabnya sambil tersenyum sebentar. Rio menggangguk pelan.
"Iya, dia kan ceweknya sohib gue. Gabriel.", Rio terkekeh sendiri dengan jawabannya. Sontak ia menumbukkan punggungnya pada sandaran kursi. Masih terlalu bangga saja dengan Gabriel yang menurutnya mau sekali menjalani kisah cinta yang dramatis. Cinta yang harus terus bertahan, meskipun sudah sekian kali rapuh ditempa perbedaan. Dan jujur saja Rio benci keadaan semacam itu.
Apa kabarnya sikap toleransi beragama yang diajarkan selama enam tahun full dalam pelajaran kewarganegaraan di sekolah dasar, jika hanya untuk sekedar teori dan materi pendidikan ? Ketika semuanya butuh pembuktian, bullshit !
Ataukah memang cinta yang terlalu buta ? Tak peduli pada siapapun, mau bagaimanapun, dalam keadaan apapun, atau bahkan dengan segudang perbedaan sekalipun ! Miris. Jika sudah begitu yang dirasa paling pantas menanggung beban kesalahan atas cinta beda agama itu adalah dua tokoh krusialnya.
"Ehm...yo ?", teguran lembut dari suara jernih Ify terdengar lagi.
"Hmm..."
"Elo sendiri ngapain belum pulang ? Nggak sholat jum'at ?"
Punggung Rio meninggalkan sandaran kursi. Tubuh jangkungnya menegak. Bola matanya yang hitam kelam secara serentak mengunci bola mata bening milik Ify yang terlihat sangat polos seperti anak kecil sedang menatapnya tak kalah bingung. Sayup-sayup lantunan syahdu suara adzan jum'at yang berasal dari sebuah masjid megah yang terletak tak jauh dari jalanan kompleks sekolah turut mengisi celah pada hari yang tiba-tiba sunyi dan menyepi ini. Jernihnya suara sang muadzin kembali membuat Ify sadar jika waktu masih terus berdenting.
"Itu udah adzan.", kata Ify polos. Telunjuknya terangkat setinggi pelipisnya, memberikan isyarat. Namun matanya masih tetap konsisten disatu poros didepannya.
Dan perlahan senyum tipis terpoles samar. "Sori, gue nonmuslim fy...", ucap Rio sambil menggeleng mantab. Ia langsung menunduk. Menatap aneh pada si oranye yang berada dipangkuannya.
"Eh...gue yang sori yo sekali lagi, gue kira elo muslim.", lirih Ify tak enak.
"Nggak apa-apa fy."
Entah untuk alasan yang seperti apa, serentak mereka saling berpandangan. Mendiamkan keadaan. Ify mencengkram erat tali dari ransel broken whitenya sementara Rio menyusuri tekstur sedikir kasar pada permukaan melengkung bola basketnya. Akhirnya sebuah ringtone panggilan yang menggetar manja dari ponsel Ify menuntaskan aksi itu.
"Ya ?", sapa Ify setelah mendekatkan benda itu ketelinganya.
"Iya kak, Ify keluar."
Buru-buru gadis itu bangkit. Menepuk-nepuk sebentar bagian belakang rok pendek abu-abunya untuk kemudian menatap tak enak hati pada Rio yang mendongak untuk menatapnya juga sambil menyunggingkan tawa lebar. Gigi gingsul yang mencuat dari balik bibir tipisnya kali ini membuat Ify sesak napas. Manisnya lelaki satu itu ajaibnya tak pernah bosan untuk dilihat, apalagi dipandang lama.
"Gue pulang dulu yo, udah dijemput.", pamit Ify kaku.
"Hmm...oke.", Rio menggigit bibir bawahnya. "Gue minta nomor lo dulu fy !", lanjutnya lagi sambil mengeluarkan ponselnya dari saku. Setelah menyalin deretan angka acak dua belas digit yang disebutkan Ify padanya, Rio mendekatkan ponselnya ketelinga. Tak lama ringtone panggilan masuk kembali terdengar dari ponsel didalam genggaman tangan mungil Ify.
"Itu nomor gue. Take care fy.", kata Rio singkat. Ify mengangguk sambil menatapnya.
Serentak ada yang langsung melentingkan kesadaran keduanya. Bahwa mereka baru saja mempersilahkan malaikat penuh rasa cinta menuliskan goresan dramatis seperti kisah Gabriel dan Shilla. Bahwa setelah ini ada mereka yang harus siap ditempa habis-habisan oleh benteng tinggi yang tak terkalahkan. Jika kesamaan ada untuk saling menyempurnakan, maka izinkan sebuah perbedaan untuk bisa menggenapkan.
Punggung mungil gadis cantik itu menjauh dan menghilang diujung koridor utama sekolah, tapi Rio masih mengawasinya dengan ekspresi sulit terbaca. Tidak dari air mukanya, tidak juga dari matanya.
"Sial ! Manjur banget sumpahan Gabriel ke gue.", gerutu Rio cemas.
***
Ify memasang wajah sewajar mungkin saat sesosok lelaki muda yang masih berada diatas motor besarnya yang berwarna hitam mengkilap melepas helm. Dibalik helm fullface itu muncul seringaian penuh rasa bersalah dari wajah tampan milik kakak lelakinya, Cakka.
"Maaf cantik, kakak telat. Tadi ada urusan mendadak.", kata Cakka lembut. Setelah Ify mencapai sampingnya, tangannya bergerak mengusap pelan puncak kepala gadis yang berumur tiga tahun dibawahnya itu.
Ify pura-pura memasang tampang kesal. Meskipun rasa kesalnya pada Cakka akibat keterlambatan ini sudah lenyap entah kemana. Didalam rongga dadanya hanya ada luapan kebahagiaan juga kekhawatiran.
"Ck ! Enak aja maaf doang. Kakak tahu, aku nungguin udah dari jam berapa ?"
"Jam sebelas."
"Ahha ! Dan ini udah jam berapa ?"
Cakka melirik arloji mahalnya. "Jam satu lewat lima."
Ify menjentikkan jarinya tepat dihadapan kakaknya itu. Sebuah senyum sinis menyemu dibibirnya. "Udah berapa jam aku nunggu kakakku sayang ?"
"Iya-iya nggak usah bossy gitu ah ! Sebagai tanda maaf, kakak traktir makan siang di mall dekat sini gimana ?", rayu Cakka lagi. Senyuman sayang dari pria satu ini yang selalu membuat Ify tak tahan untuk marah lama-lama dengannya.
Ify memajukan bibirnya. Berlagak berpikir sambil melipat tangan didepan dada. Tapi ia akhirnya mengangguk senang.
"Maaf diterima. Eh tapi kakak nggak jum'atan ?", lanjutnya penuh selidik.
Cakka berdecak tak sabaran. "Ck ! Udah deh Alyssa bawelnya kamu itu lama-lama bikin kamu kakak tinggal lagi disini nih !"
Mendengar ancaman dari kakaknya itu, Ify buru-buru meraih pundak Cakka dan memilih segera naik diboncengan. Sambil nyengir, ia memeluk erat perut Cakka agar si cakep ini tak banyak omong untuk menyuruhnya ini dan itu. Cukup dia saja yang boleh bawel.
"Hehe...yuk ! Cheese burgernya ditambah satu ya kak, upah tutup mulutnya dari ayah kalo kakak nggak jum'atan hari ini."
Sambil memakai helmnya lagi, Cakka menggeleng pelan sambil menggerutu gemas. "Sekalian fy, borong aja satu toko."
Adiknya yang satu ini memang hoby sekali mengakalinya. Meminta ini itu padanya dengan raut manja yang selalu membuatnya tak tegaan. Tanpa menolak atau apapun, Cakka hanya mengangkat bahu santai, dan kemudian menarik gas motornya dengan kecepatan sedang.
Senin, 05 Januari 2015
ALUNAN UNTUK BEDA PART 1
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
kpan nih kak crita2 brunya di post lgi
BalasHapusbgus2 loh kak critanya