Senin, 05 Januari 2015

ALUNAN UNTUK BEDA PART 10

Dengan gerakan yang sudah setengil Gabriel, kali ini justru Rio yang gantian melompati balkon kamar sahabatnya itu dari balkon kamarnya sendiri. Hanya saja, gerakannya lebih santai, sehingga tak menimbulkan suara gaduh apapun selain hanya suara saat kaki panjangnya mendarat diatas balkon berubin dingin itu.
TOK...TOK...
Rio mengetuk kaca jendela Gabriel. "Yel.."
Tak lama setelahnya kaca jendela besar itu terbuka, memperlihatkan pada Rio tampang Gabriel yang tak karuan. Rambutnya acak-acakan, air mukanya sendu dan meredup, tak secerah seorang Gabriel yang biasanya.
"Elo yo ! Ngapain lo kesini ? Biasanya juga gue yang nenangga.", kata Gabriel ditutupi cengirannya. Bukan cengiran tengil melainkan cengiran yang sengaja hadir untuk menutupi dukanya.
Bukannya menjawab Rio hanya tersenyum miring dan lebih memilih duduk dikursi plasik tepat disamping jendela. Gabriel memilih posisi untuk duduk seadanya dikusen jendela.
"Ada apa sih yel ?", tatapan tajam mata Rio membuat Gabriel mendesah. Tak pernah sekalipun ia dapati pandangan menggigilkan itu dari sahabatnya. Kecuali memang ada sesuatu yang benar-benar membuat Rio tertekan. Dan kini tekanan itu nyaris menyeruak pada pancaran menusuk lelaki hitam manis itu.
Gabriel menatap Rio dengan pandangan kosong. Tapi begitu menyambar pancaran menohok dimata sahabatnya itu, angan Gabriel kembali mundur pada peristiwa sore kemarin. Peristiwa menyakitkan yang begitu saja mengobrak-abrik kehidupannya. Tentang tentangan itu, tentang larangan itu, tentang satu kata getas yang membuatnya memilih menundukkan muka.

***

Deru motor Gabriel langsung ia matikan begitu roda depannya sudah memasuki pekarangan rumah Shilla. Sambil menoleh kebelakang, ia menanti Shilla yang segera turun dari boncengannya. Sore yang cerah dan indah. Apalagi saat gadis itu mulai tersenyum manis sebagai ucapan terima kasihnya.
"Engg...makasih ya. Buat hari ini terutama.", tak tahu lagi harus mengatakan apa, Gabriel menggaruk sebentar belakang telinganya. Ternyata satu tahun lebih berpacaran dengan Shilla belum juga mampu melunturkan kesalahtingkahannya setiap kali baru saja melewatkan satu hal manis bersama. Shilla menunduk dengan jari yang justru memutar-mutar ujung cardigannya.
"Kamu !", suara berat dan terdengar ketus mengalihkan keduanya. Tepat didepan pintu rumah Shilla seorang lelaki berperawakan tinggi sedang menatap Gabriel dengan pandangan yang tak lebih dari sekedar virus kecil yang amat merusak.
"Papa...", hanya itu yang mampu Shilla katakan setelah sang ayah menatapnya dengan tajam pula. Seperti seorang hakim yang siap mengadili terdakwanya.
"Apasih yang diajarkan pada kamu ? Apa dikepercayaanmu tidak pernah diajarkan yang namanya tahu diri?", setiap kalimat yang diucapkan oleh papa Shilla terdengar menyakitkan. Sungguh mematikan.
Gabriel masih menunduk dalam, menggigit bibir bawahnya menahan geram.
"Harusnya kamu sadar, carilah perempuan lain yang berasal sepertimu. Jangan pernah merusak Shilla."
"Pa.."
"Diam kamu !", bentak papa Shilla pada putrinya itu dengan telunjuknya yang mengacung kaku tepat kearah Shilla yang mulai terisak.
Pandangannya kembali pada Gabriel. "Dan kamu ! Saya benar-benar tidak ingin anak saya dilaknat Tuhannya hanya gara-gara iblis kecil sepertimu. Menjauhlah dari Shilla !"
Ketika kalimat demi kalimat setajam ujung pedang itu semakin membelenggunya, yang mampu Gabriel lakukan hanya terdiam tanpa bisa berkata apa-apa. Bagaimanapun laki-laki didepannya itu orang tua. Tak pernah ada izin yang diberikan padanya untuk tidak menghormati orang tua. Dengan sisa sadarnya Gabriel mulai kembali memakai helmnya dan segera memutar motornya. Sebelum ia mendorong motornya keluar dari halaman rumah Shilla, ia sempat menengok kebelakang lagi. "Saya pamit pulang om."
Tak ada sahutan, papa Shilla masih menatapnya dengan sebelah alis yang terangkat tinggi lalu membuang ludah. Gabriel menormalkan posisi lehernya kembali. Dalam diam dia mulai menuntun pelan motornya keluar gerbang rumah Shilla.
"Pak to, tutup rapat gerbangnya ! Jangan pernah lagi izinkan anak itu masuk !", seru papa Shilla selangkah setelah Gabriel keluar dari wilayah pribadinya.
Gabriel memilih tak lagi memperdulikan kata-kata menyakitkan itu untuk yang kesekian kalinya. Dia lebih memilih segera menuntun motornya hingga ujung jalan dan segera menyalakan mesin dengan raungan yang halus.


***

Rio menelan ludahnya saat pelan sekali suara Gabriel selesai menceritakan apa yang terjadi sebenarnya. Setelah itu, diliriknya Gabriel yang sedang memijat pelan pangkal hidungnya sambil menunduk dalam. Laki-laki tengil itu tampak rapuh sekali dimata Rio.
"Gue nggak punya solusi apapun yel sekarang buat lo, tapi gue rasa doa lo bisa ngejawab semuanya.", ada sebuah aliran hangat yang Gabriel rasakan ketika tangan kokoh Rio menepuk pundaknya.
Sekali lagi mereka berdua saling berpandangan. Dua lelaki tampan yang menyendu dibawah siraman cahaya redup sang purnama. Berusaha saling menguatkan meskipun pada dasarnya diantara mereka tak pernah ada energi besar selain berasal dari kata tulus persahabatan.
Rio juga Gabriel sama-sama mendesah. Dengan tangan yang perlahan merangkul erat bahu Gabriel, Rio memberikan wajah lembutnya. Dengan senyum manis, dengan mata yang kembali teduh, dengan pandangan yang menegaskan pada sahabatnya itu jika setelah ini segalanya akan kembali baik-baik saja.
"Gue berharap, elo nggak pernah ngerasain ini juga yo.",

ALUNAN UNTUK BEDA PART 9

Ify baru saja membuka pagar rumahnya, saat matanya membulat penuh melihat sebuah sedan putih terparkir apik tepat disebelah motor besar kakaknya. Rasanya tak percaya, sedangkan ia tahu siapa pemilik mobil mewah itu. Dengan berlari kecil, Ify menyongsong pintu rumahnya yang terbuka.
"Kak Alvin, my bro !", pekik Ify heboh saat dilihatnya seorang laki-laki berwajah oriental sedang menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi dengan mata yang tertutup tepat disamping Cakka. Segera ia mengambil posisi dengan sembarangan diantara kedua lelaki tampan itu.
"Hai !", Alvin langsung membuka matanya dan segera menegakkan posisinya. Tangannya segera ber-high five dengan Ify. Gerakan tos unik yang hanya mereka berdua yang boleh mempraktekannya. Ify terkekeh, sementara Cakka langsung menggelengkan kepala melihat tingkah adik dan sahabat karibnya itu.
"Dalam rangka apa nih ke sini kak ?",
"Nganter Via fy."
Sekali lagi mata Ify membulat penuh. "Kak Via ikut juga ? Dia dimana ?"
"Tuh dikamar atas.", Cakka yang menjawab dengan sedikit malas. Malas mendengar celotehan bawel adiknya itu lagi.
Gerakan tangan Ify cepat sekali mencubit pipi putih milik Alvin yang hanya pasrah ia perlakukan seperti itu sejak dulu. Lalu segera bangkit dengan gerakan yang sembarangan pula hingga menimbulkan kegaduhan.
"Ify keatas !", teriaknya.
Alvin mengusap sedih pipinya yang pasti memerah akibat cubitan Ify tadi. Ia pikir setelah sekian tahun tak bertemu Ify, gadis itu pasti berubah. Setidaknya tidak gemar mencubiti pipinya lagi. Tapi ternyata ia salah. Masih Ify yang ia kenal sejak lima belas tahun yang lalu.
"Ify makin sadis aja sih Cak.", keluh Alvin sambil menatap Cakka yang hanya terkekeh mengangkat bahunya.

***

"Kak Via !", panggil Ify keras bersama dengan ia yang menekan kenop pintu kamar tamu yang tepat berada disamping kamar Cakka.
Pintu terbuka dengan pelan. Menimbulkan sesosok wajah cantik berambut pendek yang buru-buru Ify rangkul. Sivia, kakak sepupunya yang berusia sama dengan Cakka. Sivia terkekeh senang sambil membalas dekapan rindu dari Ify. Dibelainya puncak kepala Ify dengan sebelah tangannya. Adik sepupunya ini ternyata makin bertambah tinggi, meskipun tak juga bertambah gemuk. Masih Ify yang dulu.
"Kak Via, Ify kangen. Banget ! Kenapa kakak nggak bilang mau pulang pas kita skype-an minggu lalu ?", tanya Ify beruntun begitu Sivia melepaskan pelukannya.
Puncak kepala Ify ditepuk pelan. "Heh bawel ! kalo ngomong nafas dulu kali. Ini surprise tau.", sahut Sivia gemas dengan cara bicara Ify yang tak berubah.
Ify mengangguk-angguk. "So, berapa lama kakak liburannya ?"
Sivia tersenyum misterius. Wajahnya yang chubby semakin terlihat lucu. Matanya yang sudah sipit ketika ia tersenyum seperti itu membuatnya hampir serupa garis lurus. Jika seperti itu, Sivia semakin mirip saja dengan Alvin dimata Ify.
"Ehm...kakak nggak lagi liburan fy. Lebih tepatnya mengurusi kepindahan kesini. Kan kakak sama Alvin bakal ngampus dikampus Cakka."
"Aaaaa..yang bener kak ? Ih sumpah aku seneng dengernya. Kita berempat jadi bisa kayak dulu lagi pas waktu di Malang.", mata Ify menerawang, mengingat masa-masa kecilnya bersama Cakka, Alvin, juga Sivia. Dimana ia adalah yang terkecil diantara mereka bertiga. Lalu tentang Alvin, sahabat Cakka yang rumahnya bersebelahan dengan rumah mereka kemudian ikut juga menjadi akrab dengan Sivia yang waktu itu kebetulan sedang berlibur kesana. Entah bagaimana juga caranya, keakraban sepasang anak kecil diantara mereka kemudian berubah menjadi kedekatan yang terus intens sejak Alvin dan Sivia sama-sama meneruskan kuliah di Amerika hingga saat ini. Bahkan beberapa bulan lalu secara resmi Alvin sudah mengikat Sivia menjadi tunangannya.
"Yaudah, kakak sholat dulu ya. Abis ini kita ketemu dimeja makan.", kata Ify sambil nyengir kuda. Setelah Sivia mengangguk, ditinggalkannya gadis yang berusia tiga tahun lebih tua darinya itu dengan langkah riang.

ALUNAN UNTUK BEDA PART 8

Begitu peluit panjang ditiupkan oleh Pak Dave tanda pertandingan dimulai, serentak jeritan heboh langsung terdengar dari pinggir-pinggir lapangan. Puluhan pasang mata hawa begitu dimanjakan oleh aksi memukau dari sederet bintang lapangan yang sudah tenar sekali. Angkatan kelas XI yang langsung berduel dengan kelas senior XII.
Pertandingan masih berjalan santai namun tetap terlihat keren diantara mereka. Rio yang sesekali coba mengoper bola basket hitam yang berada ditangannya pada Gabriel sedikit mengerang dalam hati. Sahabatnya itu kali ini harus ia akui payah sekali. Sama sekali tak fokus pada pertandingan ini terutama pada bola yang lebih banyak direbut lawan ketimbang dipertahankannya. Rio tahu ini bukanlah seorang Gabriel Stevent yang biasanya.
Matahari semakin tinggi mencapai puncak singgasananya. Sinarnya sungguh menyengat, selayaknya kobaran semangat dari dua belas pemuda ditengah lapangan. Seragam sekolah mereka tak lagi rapi, kemeja yang bagian belakangnya sudah dibayangi keringan mencuat kemana-mana dari celana. Rio salah satunya. Ambisinya terdongkrak naik, begitu skor angka dipapan nilai terpampang. Ia hanya butuh tiga angka untuk menuntaskan pertandingan ini dan menang atas kelas XII.
Sambil menyeka keringatnya secara asal, mata elang Rio mengamati satu per satu timnya. Hanya Gabriel sebenarnya yang menjadi dia yakini mampu untuk menerima operannya. Tapi untuk kali ini. Terlalu beresiko jika mempercayakan pada Gabriel.
"Ray !", seru Rio disusul operan jitunya pada seorang pemuda gondrong yang berposisi lebih menguntungkan.
Ray dengan sigap menerima operan Rio. Ia mendrible sebentar tapi ketika tim lawan ia rasa tengah mengepung, dilepaskannya lagi bola itu pada Rio. Membuat Rio langsung berusaha fokus pada ring untuk melakukan shoot jitunya sekarang. Sebelum sempat Debo merebut bola itu darinya lagi, Rio sudah lebih dulu melemparnya. Selanjutnya menunggu detik-detik mematikan yang akan segera terjadi sesaat lagi.
Dug..dug..dug ! "Yeah !", pekik Rio girang dengan tangan yang mengepal diudara. Sibola jatuh ketanah setelah dengan mudahnya memasuki ring.
"YEEEEEEE RIOOOO !!!", koor heboh kembali menggema.

***

Sedetik aksi berbakat tadi, langsung membuat Ify tersenyum manis ditempatnya. Pandangannya berbinar, menatap Rio yang sedang menyeringai bangga sambil menyebarkan pandangannya pada semua penonton ditepi lapangan. Sudah seperti seorang atlet dunia yang baru saja membawa pulang sebuah kemenangan untuk negaranya. Seperti biasa, Rio pasti akan bertanding maksimal. Karena laki-laki itu tak hanya muncul berbekal wajah tampan, tapi dia juga mampu menjanjikan segudang kebolehan.
Tak mampu Ify pungkiri, sejumput rasa bangga juga menerbangkannya. Bagaimana seorang Rio Haling yang namanya dielu-elukan seluruh sekolah adalah seseorang yang telah membagi waktu khusus bersamanya. Tapi kemudian binaran senang diwajah Ify lenyap seketika, saat ia lihat masih betapa sendunya wajah Shilla. Gadis yang duduk tepat disampingnya itu termenung tak bersuara sejak tadi. Lebih tepatnya sejak ia turun kesekolah. Entah apa yang terjadi pada Shilla, tapi Ify merasa yang akhir-akhir ini dekat dengannya cemas. "Shil, anak kelas XI menang tuh !", tegur Ify bersikap wajar.
Shilla sedikit terlonjak. Ia kemudian menatap Ify dan memandang lurus ketengah lapangan. Sebuah senyum palsu terpaksa ia sunggingkan. "Mereka memang hebat kok.".
"Kalau boleh gue tau, elo kenapa Shil ?", Ify tak bisa tertipu oleh topeng wajah Shilla yang 'semuanya-sok-baik-baik-saja' itu.
Shilla menggeleng sambil tertawa. Tawa yang terdengar hambar sekali. Dia memalingkan wajah sebentar entah untuk apa tapi kemudian menatap Ify.
"Gue nggak apa-apa kok fy.", katanya lirih. Suaranya saja terdengar serak dan parau, apakah itu yang ia bilang baik-baik saja ? Ify mendesah. Ia memang tak sedekat sekarang dengan Shilla. Satu-satunya hal yang membuat mereka dekat adalah sepasang sahabat yang menjadi pacar mereka, Rio dan Gabriel.
"Yaudah. Tapi kadang masalah itu ada yang untuk diselesaikan ada juga yang untuk direnungkan Shil. Gue nggak tau yang mana yang lagi ngebebanin lo.", Ify menarik nafas dalam-dalam dan menepuk pundak Shilla. "Tapi yang jelas, semoga lo bisa ngatasinnya deh."
Cukup lama Shilla memandang gadis berdagu tirus disampingnya dengan mata yang mulai memanas. Ify teman yang cerdas, yang akan sangat bijaksana jika ia ajak bicara. Tapi Shilla juga tahu, cepat atau lambat Ify juga akan merasakan hal yang sama dengannya. Untuk itu, biarlah setiap jengkal kesakitan ini ia pendam sendiri. Ify tak boleh merasakan terpuruk dua kali.
Shilla mengangguk pelan. "Thanks fy.",
Ify memilih tersenyum sambil mengurut pelan lengan Shilla.

***

Dari tempat Rio berdiri, sekelebat bayangan pelan sosok jangkung yang meninggalkan tengah lapangan dengan punggung yang sedikit menunduk mengalihkan perhatiannya. Rio sendiri tak mengerti apa yang sudah terjadi dengannya, karena sepanjang pagi laki-laki dengan seringaian lucu itu belum ada menemuinya. Baru tadi, beberapa menit ketika pertandingan ini akan dimulai.
Entah apa yang sudah mengubah laki-laki jangkung itu sedrastis ini. Hidupnya yang biasanya penuh canda, tiba-tiba berbanting menjadi dia yang sedang terluka. Rio hanya mampu menghela nafasnya. Dalam diam ia biarkan tiap detak jantungnya berdoa pada Tuhan untuk sosok itu, si Gabriel sahabatnya

ALUNAN UNTUK BEDA PART 7

Koridor panjang sekolah biasanya langsung berubah sunyi begitu bel tanda pelajaran dimulai, tapi hari ini tempat yang langsung menjadi akses utama gedung itu nampak ramai. Banyak siswa dan siswinya yang lalu lalang dari kantin atau sekedar duduk santai dikursi kayu yang memang tersedia dibeberapa sudut koridor. Hari ini Sekolah Menengah Atas Negeri 2 sedang mempunyai hajatan. Perayaan ulang tahunnya yang sudah hampir memasuk usia setengah abad. Maka digelar pensi yang diisi bahkan hampir seluruh murid secara besar-besaran. Acara semacam ini akan berlangsung sampai tiga hari kedepan.
Suara peluitan panjang yang terdengar berkali-kali dari arah lapangan basket semakin menambah riuh suasana. Ditepi-tepi lapangan sudah banyak penonton yang sebagian besar adalah siswi semua tingkat yang sudah duduk manis atau membuat barisan rapi untuk menonton pertandingan seru yang beberapa menit lagi akan dimulai. Duelnya para 'top boy' sekolah sekaligus acara serah terima jabatan kapten basket yang akan dilepas oleh Debo dimusim ini.
"Sukses ya yo !", ucap seorang cowok sambil menepuk hangat pundak Rio yang saat itu kebetulan sedang berdiri berdua dengan Ify dipinggir lapangan juga.
Rio mengacungkan ibu jarinya. "Thanks Sion !", jawabnya sambil menyeringai.
Sesaat Ify ikut mencuri pandang pada Sion. Tapi kemudian tatapannya kembali jatuh pada lelaki jangkung disampingnya. Rio selalu terlihat begitu menawan. Berdiri diam sambil menyender sedikit pada tiang spanduk lengkap berseragam kemeja putih panjang yang lengannya ia lipat rapi hingga dibawah siku dengan dasi berwarna senada dengan celana kain biru tuanya sedang berkibar-kibar bebas ditiup angin. Tatapannya lurus kedepan, sangat konsentrasi pada permainan basket adik tingkatnya yang berlangsung dilapangan. Sesekali tawa renyah menguar darinya, menertawai masih betapa dasarnya kemampuan para juniornya terhadap basket, namun sedikitpun tak ada nada meremehkan.
"Rio, ntar main yang kece ya ? Gue selalu dukung elo kok !", sebuah suara cempreng dengan cara bicara yang ganjen mengaburkan kebisuan Rio dan Ify disampingnya. Ify langsung melirik ada seorang gadis berambut pirang yang menggelayut manja dilengan kanan kekasihnya itu.
Rio tersenyum manis. "Iya Dea, thanks ya.", Dea mengangguk senang lalu pergi tanpa melirik Ify sedikitpun.
Ify mendesah pelan. Ini resikonya berpacaran dengan cowok tenar sekolah. Seolah tak memiliki privasi dan hak untuk melarang siapapun mendekati Rio bahkan sampai dengan adegan menggelayut manja seperti barusan. Tapi ia tak mau mempermasalahkannya lebih jauh. Sepenuhnya ia percaya Rio. Mata bening Ify kembali ikut menonton pertandingan yang sebentar lagi akan usai.
"Lagi ?", desis Rio jahil sambil menyilangkan kedua lengan didepan dadanya. Tapi sama sekali matanya tak melirik Ify.
Ify mendengus keras. "Enggak sih. Telat banget kalo baru sekarang.", tandasnya ketus sambil melengos.
"Jadi cemburunya udah dari kemaren-kemaren ?", goda Rio lagi. Ia terkekeh geli.
Ify mendongak untuk menatap Rio dengan wajah merah padam. Kenapa lelaki ini menanyakan hal sudah ia tahu pasti jawabannya apa ? Sambil menggelembungkan pipinya dengan muka jutek gadis itu bersungut-sungut. "Menurut kamu ? Hari pertama jadian, ada cewek penjurusan ips yang langsung meluk dari belakang, dua hari setelahnya dapet kiriman coklat swiss dari anak bahasa, terus kemaren apa-apaan pipi dicubit kakak kelas diem aja."
Tampaknya keketusan Ify sama sekali tak berpengaruh apapun. Pemuda itu tetap tersenyum santai. Gigi gingsul yang mencuat dari balik bibir tipisnya membuat Ify justru makin sesak nafas diantara cemburunya dan ketersimaannya.
Sebuah cubitan gemas mendarat dipipi Ify. Membuat wajah oval Ify yang selalu terlihat menawan nampak aneh ketika pipinya tertarik. Meskipun ia langsung mengaduh dan menghindar, tapi Rio tak mau melepasnya. Sepotong adegan aneh itu justru terlihat mesra dimata murid-murid lain yang juga sedang ramai ditepi lapangan. Beberapa bisikan usil langsung bagai koor serentak menggoda pasangan itu.
"Duh si kece pacaran dilapangan nih !"

"Yaampun ! Mau dong pipinya dicubit Rio."

"KYAAA !!! Si cungkring sama si ganteng mesra-mesraan."

"Huuuh, Kak Rio. Astaga ! Sesek nafas gue ngeliat dia !"

"Ya Tuhan ekspresinya Rio, bikin gue pengen sholawatan."

Tiga sosok tegap akhirnya mendekati Rio yang masih nampak gemas dengan kelakuan kekasihnya itu sambil berdehem kecil. Membuat sepasang remaja itu akhirnya menghentikan aksi unik mereka. "Ehem...asyik banget lo berdua kayaknya.", tegur Patton langsung.
"Inget yo lapangan nih lapangan ! Bisa rusuh tuh fans lo.", Ozy melirik segerombol siswi yang berada tak jauh dari mereka sedang memasang ekspresi siap menerkam. "Ngeri tau ngeliatnya."
"Sukses ya ntar yo ! Gue yakin elo yang memang pantes jadi kapten basket !", berbeda dengan gaya bicara Patton dan Ozy, Lintar berkata dengan serius sambil menepuk pundak Rio. Khasnya yang biasa.
Rio terkekeh tapi kemudian balas menyalami ketiga temannya dari kelas penjurusan ips tersebut. "Sip ! Gue bakal berusaha ngeluarin semua yang terbaik dari gue. Thanks ya buat dukungan lo pada."
"Fy...", Ozy melirik Ify yang diam saja disamping Rio. "Siap-siap aja ntar semakin rusuh idup lo begitu Rio jadi kapten."
Ify tertawa kecil. Tahu sekali maksud ucapan cowok berwajah imut itu. Yah, jika Rio pada akhirnya akan menjadi kapten basket, bersama dengan itu pula akan lebih banyak yang mengidolakan Rio. Mengelu-elukan kekasihnya itu. Membuatnya harus ekstra tegar jika kelangsungan komitmennnya bersama Rio akan semakin banyak mendapat usikan. Membuatnya harus lebih sabar jika ada yang dengan seenaknya menyentuh Rio bahkan didepan matanya sendiri.

ALUNAN UNTUK BEDA PART 6

Ify menatap heran pada lelaki muda yang sudah nampak gagah sekali diatas motor besarnya. Berbalut seragam sma yang ditutupi sebuah jaket parasut berwarna biru tua, lengkap dengan helm fullface yang masih ia buka kacanya, lelaki itu masih menampakkan cengiran kecilnya untuk menarik minat Ify mengikuti ajakannya.
"Mau ngapain sih ?", tanya Ify sedikit tak berminat. Kedua tangannya terlipat didepan dada.
"Ck ! Ikut ajadeh, aku jamin begitu pulang tampang bete kamu itu langsung hilang.", bujuk Rio lagi dengan lembut. Ia tahu jika hari ini gadisnya itu sedang dalam mood yang anjlok. Sebuah nilai miris tercetak besar pada lembar ulangan kimia Ify. Dua puluh. Angka macam apa itu buat Ify yang biasanya mampu mencapai nilai diatas delapan puluh. Semalaman begadang untuk membaca novel terbaru yang menjadi sebabnya. Dan hingga kinipun tampang keki Ify masih tak berubah sejak tadi pagi.
"Hai yo !", sapa seorang siswi yang kebetulan lewat didepan mereka yang masih berada didepan gerbang megah sekolah.
"Hai Aren.", balas Rio sambil melambaikan tangannya. Ify hanya menatap gadis itu sedikit kesal. Dia menyapa Rio penuh kehangatan disaat yang tidak tepat.
"Ayodong ? Udah seharian ini aku dikasih tampang bete kamu.", rayu Rio lagi. Kali ini ia meraih pergelangan tangan mungil Ify.
Ternyata perlu bujukan super untuk membuat gadis berdagu tirus itu luluh juga akhirnya. Rio baru tahu jika Ify sangat keras kepala. Ambisius, tapi tak sampai menjadi otoriter. Dia tahu gadis itu sosok yang baik, yang hebat, yang mampu bertahan sendirian dalam keadaan apapun.
Rio tersenyum tipis, saat akhirnya Ify naik diboncengan motornya dan mulai memeluk perutnya. Menghapuskan sedikit ruang untuk sang angin menjadi sekat mereka.
"Udah siap ?", tanya Rio memastikan.
"Yeah.", desah Ify singkat.
Sedetik kemudian motor itu melaju dengan kecepatan meninggi. Berkelok-kelok lincah diantara puluhan kendaraan dijalan kota hingga kemudian memasuki kawasan sepi yang memiliki puluhan tanjakan cukup terjal. Ify semakin ngeri saat Rio justru menarik habis tali gas motornya. Membuat mereka seolah melayang, melawan angin yang kian deras menerpa wajah Ify.
"Rio..."
"Biasanya ini cara aku menghilangkan rasa yang mengganjal fy. Mudah-mudah cara ini juga efektif buat ngusir bete kamu. Sekarang kamu pegangan, karena semua bakal baik-baik aja.", seru Rio agak kencang agar gadis yang sedang memeluk erat perutnya itu mampu mendengarnya.
Ify memilih tak menjawab. Ia hanya menyembunyikan wajahnya dipunggung kokoh Rio, sedang tangannya makin erat memeluk perut lelaki itu. Ia tak ingin melihat jalanan barang sebentarpun. Efek ngeri yang dihasilkan oleh laju motor ini, membuatnya ciut. Namun ternyata, dengan begitu rasa deg-degan yang kini menyarangi dadanya justru kian menghimpit rasa sesaknya tadi. Hingga akhirnya hilang sama sekali. Tapi kemudian ada resah dihati gadis itu. Bukan karena perbuatan Rio ini yang bisa saja membahayakan nyawa mereka berdua. Melainkan aura maskulin Rio terasa begitu kentara menyumbat seluruh rongga dadanya. Dengan jarak yang baru Ify sadari nyaris tak ada diantara mereka.
Makin lama Ify merasa jika kecepatan kuda besi ini tak secepat tadi. Deru anginpun kini hanya menyapu wajahnya dengan lembut melambai. Sampai sebuah perintah bernada lembut nan manis terdengar dari sosok didekapannya.
"Udah nyampe fy, turun gih !"
Ify membuka matanya, melepaskan dekapannya kemudian turun dan berdiri disamping motor Rio yang terparkir didepan sebuah rumah besar namun tak ada kesan angkuh sedikitpun. Bangunan itu manis. Berwarna broken white sederhana dengan bentuk yang penuh selera tinggi. Disampingnya berdiri juga sebuah rumah dengan model yang tak jauh beda namun bercat coklat susu.
"Ini rumah aku, terus yang sebelah rumah Gabriel fy.", kata Rio seolah mampu membaca tiap perubahan ekspresi diwajah Ify.
Ify sedikit mendongak untuk memandang pemuda jangkung itu dengan tatapan tak percaya. "Serius ?", Rio mengangguk.
"Yaudah yuk, masuk dulu. Kita minum, pasti kamu tadi deg-degan ya ?", kata Rio sambil meraih tangan mungil Ify untuk digenggamnya.
"Bukan deg-degan lagi, tapi udah mati rasa tau.", keluh Ify manja yang langsung membuat Rio merangkul erat bahunya.
"Tapi udah nggak bete kan ?"
"Huuu... Tapi kamu rese.", Ify menyikut pelan perut Rio sambil mengulum senyum. Laki-laki ini selalu tahu cara membuatnya bahagia.
"Eh ada tamu ya.", sapa seorang perempuan paruh baya begitu mereka berada diambang pintu.
"Ini Ify mah yang sering Rio ceritain.", terang Rio yang sukses membuat Ify menunduk sungkan.
"Sini sayang. Wah, kamu ternyata lebih cantik dari yang difoto ya ?", perintah bu manda lembut pada Ify. "Hallo saya manda, mamahnya Rio.", kata bu Manda lagi sambil membiarkan Ify mengecup punggung tangannya.
"Alyssa saufika umari tante. Tapi biasa dipanggil Ify.", sahut Ify. Kini ia baru tahu dari mana sifat ramah, supel, dan hangat milik Rio, pasti dituruni oleh ibunya ini.
"Yaudah pergi kebalkon aja sana, biar mamah buatin minumnya dulu ya."
Rio mengangguk. "Yuk fy."

***

"Abang !", pekik seorang gadis kecil berusia tujuh tahunan begitu Rio dan Ify sampai pada balkon rumah. Dia Acha, adik perempuan Rio yang sedang bermain harmonika dilantai balkon yang dingin.
Rio tersenyum kemudian membawa Acha dalam gendongannya. "Hai sayang, ngapain lagi kamu hari ini ?", tanya Rio sesaat setelah mengecup manis pipi kiri gadis mungil itu.
"Main harmonika bang.", jawab Acha ceria. Dia kemudian melirik Ify yang diam disamping kakaknya itu. "Ini siapa bang ?", tanyanya penasaran.
"Kenalin, ini kak Ify." mendengar jawaban Rio, Acha melompat turun dari gendongannya.
"Kak Ify yang sering abang ceritain sama mamah sama Acha ?", mata Acha membulat penuh.
"Yaaaps !"
Acha menyeringai lucu. "Hai kak, aku Acha. Kakak cantik banget ternyata. Pantas, bang Iyo suka ceritain sama mamah sama Acha."
Ify berjongkok didepan gadis lucu itu. Sambil tersenyum ia kemudian menyambut uluran tangan Acha. "Hallo sayang, nama kakak Ify. Oya..masasih bang Rio suka nyeritain kakak ?"
Acha mengangguk cepat, tanda ia tak berbohong sama sekali. Ify terkekeh pelan melihatnya. Tingkah manja Acha mengingatkannya pada dirinya sendiri jika dirumah. Begitu manja pada Cakka.
"Ayo sini semua. Ini ada makan siangnya.", suara bu manda kembali mengalihkan perhatian. Dengan susah payah nampaknya perempuan itu membawa nampan yang berisi empat mangkuk entah berisi apa.
Dengan membuat bundaran mereka berempat duduk tanpa alas dilantai dingin balkon kemudian disodorkan masing-masing mangkok yang ternyata berisi sebuah bubur, entah bubur apa yang jelas Ify belum pernah sekalipun memakannya.
"Ini namanya bubur tinutuan fy, bubur khas Manado. Makanan kesukaan Rio. Kamu udah pernah makan ?", tanya bu manda yang menatap Ify sedang keheranan dengan hidangannya.
"Ehm...mah Ify muslim jadi...", kata Rio yang langsung terpotong.
"Iya mamah tau yo, yang punya Ify halal kok buat dia. Tadi mamah beli diujung komplek sana.", Sahut bu manda paham. "Dimakan ya fy, rasanya sama masakan tante mungkin nggak jauh beda kok."
Ify mengangguk. "Iya tante."
Sesuap demi sesuap akhirnya hidangan tradisional itu habis pada mangkuk-mangkuk mereka. Terlebih Ify, ia begitu cepat menghabiskan bubur yang ternyata cocok juga dilidahnya. Gurih, legit, dan kaya gizi. Banyak sekali sayuran yang menjadi bahan campuran masakan ini.
Rio terkekeh geli saat melihat bagaimana ekspresi Ify saat menghabiskan makanan yang juga favoritnya itu. Sangat menikmati sekali. Setelah mamahnya membawa kembali mangkuk-mangkuk kosong kebawah, dan Acha yang segera harus tidur siang maka kini hanya tinggal mereka berdualah yang masih mengisi balkon.
"Aku pikir semuanya nggak bakal kayak gini loh yo.", Suara lembut Ify memecah keheningan.
"Kamu pikir kamu bakal dimaki habis-habisan gitu sama mamah begitu aku ngenalin kamu ?", Rio terkekeh sebentar. "Beliau nggak gitu kali fy. Dia sangat menghargai perbedaan semacam ini kok.", sahut Rio tenang. Mengapa ia bisa berbicara setenang ini adalah karena memang keluarganya ini tak seperti yang Ify kira. Tak pernah ada sebuah kejahatan yang dibenarkan meskipun mereka menganut kepercayaan yang berbeda. Karena Rio percaya semua agama sama. Selalu mengajarkan kebenaran dan menentang kejahatan.
Ify mengangguk sambil tersenyum kecil. Dari ekor matanya ia juga melirik Rio yang sedang duduk tegap bersila disampingnya. Wajah tampan lelaki itu juga menyiratkan sebuah perasaan bahagia. Rio menatap lurus kedepan dengan sorot matanya yang biasa, sayu dan hangat. Bibirnya sesekali tertarik untuk tersenyum kecil. Tak sadar sama sekali jika Ify terus memandanginya bahkan mungkin sampai lupa kedip.
"Kamu tau nggak, kalo ngeliat sunset dari sini itu bagus banget fy. Balkon ini strategis, langsung menghadap barat. Aku sama Gabriel sering banget kalo abis main basket nyantainya ya disini.", celoteh Rio panjang lebar namun akhirnya terhenti begitu ia menoleh dan menangkap basah Ify jika gadis itu justru tak kedip menatapnya dari samping.
"Ah...apa tadi kamu bilang ?", Ify gelagapan setelah sekian detik baru menyadari jika siluet sempurna ukiran tegas Sang Maha Kuasa itu sudah menghadapnya.
"Ahahaha...", tawa renyah Rio menggema seksi saat tangan kokohnya juga terulur untuk mengacak-acak gemas puncak kepala Ify. Gadis itu hanya menggerutu pelan, namun tak juga berniat untuk menghindar. Ia tahu, setiap sentuhan yang Rio berikan padanya adalah cara untuk lelaki sempurna itu menyalurkan dengan jelas setiap inci rasa cintanya. "Kamu kalo kayak gitu udah kayak cewek-cewek sekolah yang kapanpun siap buat makan aku fy."
Ify menunduk malu sambil menggeleng. "Enggak...kamu nggak enak buat dimakan, enaknya buat dipeluk.", bisik Ify pelan sambil mengangkat wajahnya kemudian melirik penuh arti pada lengan kanan Rio yang menyampir manja dibahunya.
"Kalo kamu nggak enak buat dipeluk, soalnya kamu cungkring, nggak berasa.", sahut Rio sambil menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah siap menunggu reaksi Ify yang sedetik kemudian agak berjingkat dan memasang tampang super bete padanya. Tak terima atas ucapannya barusan.
"Tapi kamu enaknya di...", Rio menggantung kalimatnya dan mulai mendekatkan wajahnya kewajah Ify yang bertahan dengan raut linglung. Seolah membiarkan jika perlahan-lahan wajah yang dipahat nyaris tanpa cela itu mengurangi jarak diantara mereka.
"Eh...mmm...yo..", desis Ify lirih. Bahkan mungkin langsung lenyap dibawa angin. Tapi Rio menaikkan sebelah alisnya santai, tanda jika ia mengerti gelagat Ify.
Jarak mereka nyaris terhapus tepat didepan bibir mungil Ify yang sedikit terbuka tanpa sadar. Mulai bergetar resah jika sapuan lembut bibir Rio akan mengecupnya. Ify masih bertahan diposisinya dengan pasrah dan resah. Sampai kecupan lembut yang ditahan cukup lama oleh Rio itu justru mendarat mesra dipipi kanannya, tak terlalu jauh dari bibirnya. Nyaris. Cup !
"Semua yang ada sama kamu aku suka kok. Nggak peduli tentang kurang dan lebihmu. Karena semuanya sudah terlalu indah buat aku miliki fy.", tuturan manis bernada lembut dari bibir Riolah yang baru kemudian menyadarkan Ify. Dia menatap dalam mata sayu didepannya. Mengorek ada seberapa besar lagi rasa cinta lelaki itu yang masih tersimpan untuknya.
"Kamu...selalu rese ternyata !", ucap Ify sambil mengulum senyum ditengah wajah harunya yang menahan malu. Tangannya gantian mengacak-acak pelan rambut hitam Rio yang sudah tertata berantakan. Lalu serentak mereka berdua tertawa. Mengisi hari yang sudah termenung untuk memangku senja yang sebentar lagi akan segera datang. Menepati janji Rio, jika ditempat ini akan terjadi sunset yang indah. Ify merebahkan kepalanya dibahu kanan lelaki luar biasa itu.
Dari balik pintu balkon, ada sepasang mata sendu yang menatap siluet hitam menawan keduanya bersama langit jingga senja yang mulai merapati malam. Dadanya bergetar lirih tapi ia tetap tersenyum lembut. "Terima kasih Tuhan atas segala kuasa-Mu hari ini.", desahnya.

ALUNAN UNTUK BEDA PART 5

Gabriel sedikit heran saat melihat cagiva hitam mengkilap milik Rio memasuki area parkir sekolahnya. Bukan tentang motor kesayangan sahabatnya itu yang membuatnya heran, tapi tentang sosok mungil nan cantik yang ikut turun juga dari boncengan Rio. Mata Gabriel menyipit curiga, namun setelahnya terbit sebuah cengiran lebar yang ikut berbahagia.
"Ahha...kayaknya siang ini gue makan gratis nih !", serunya sumringah lalu sedetik kemudian berlari menyongsong kelasnya yang berada dilantai dua.
Sampai dikelas, lelaki jangkung itu langsung membanting ransel coklatnya keatas meja dan menarik resleting dengan terburu-buru. Kebiasaannya yang biasa, malas mengerjakan pr dan bermaksud untuk menyalin pekerjaan Kiki teman sekelasnya yang juga menjadi sumber paling terpercaya jika ada pr selain Rio. Hari ini Gabriel sedang tak berminat meminjam pr dengan sohibnya itu, karena ada hal yang lebih menarik yang ingin dilakukannya.
Saat derap langkah lelaki hitam manis itu terdengar semakin mendekat, bersama dengan itu pula Gabriel telah selesai melakukan aksi bajak prnya pada Kiki. Ia sudah kembali duduk manis dibangkunya sambil tersenyum-senyum jahil. Ketika Rio sudah sampai tepat didepan kelas, ia bersiul nyaring sambil menaikturunkan alisnya.
Melihat mimik wajah tengil yang sudah sangat ia hafal betul dari Gabriel membuat Rio hanya tertawa tanpa suara sambil menggeleng pelan. "Apa lo masang muka gitu ? Pr geo kan ? Nih...", baru saja Rio mau mengambil buku tugas geografinya dari dalam ransel, dilihatnya Gabriel justru menggeleng santai dan masih memamerkan senyum manisnya.
"Lo nggak mau nyalin ? Gaya bener lo yel.",
"Gue udah kalo pr.", sahut Gabriel ringan.
"Serius ? Ngerjain sendiri lo ?"
Gabriel menggeleng lagi. "Nggak. Kan ada Kiki tuh !."
Rio mengernyitkan dahinya sambil memandang Kiki yang berjarak dua meja dari mejanya sendiri. Ia tahu jika Kiki juga pintar, tapi ia juga tahu jika selama ini Gabriel tak pernah mau menyontek selain padanya.
"Terus kenapa tampang lo kayak gitu ?", tanya Rio sambil mendudukkan dirinya disamping Gabriel.
"Jadi ntar istirahat pj gue satu mangkok bakso, sepiring siomay sama es lime jelly ya yo."
"Maksud lo ?"
Gabriel berdecak. "Ck ! Cewek yang tadi tipe lo bangetlah yo. Cantik, tinggi, mulus, rambutnya panjang. Come on bro !"
Rio diam sebentar sambil menopang dagunya menyerap ucapan Gabriel. Baru beberapa detik setelahnya, ia sadar, jika sahabatnya yang kurang ajar ini pasti melihat Ify yang berangkat dengannya. Pemuda tampan itu kemudian tertawa lebar, memamerkan gigi gingsulnya.
"Ahahaha...anjrit lo yel. Tau-taunya Ify pacar gue.", kata Rio sambil menjitak gemas kepala Gabriel yang menyeringai senang.
"Ify yo namanya ? Tuhkan, yes ! Uang jajan gue hari ini utuh. Lumayan buat ngegame.", Gabriel mengecup penuh sayang selembar uang lima puluh ribuan yang ia tarik dari saku seragamnya. "Anak mana yo ?", tanyanya lagi masih dengan ekspresi kegirangan.
"Anak ipa 2."
Gabriel melotot serius. "Ipa 2 yo ? Temen sekelas Shilla ? Ahaha...", tawanya kembali pecah.
"Gab, ketawa lo jangan kenceng-kenceng dong. Ganggu gue nyalin pr tau nggak ?!", tegur seorang gadis berambut panjang yang duduknya tepat diseberang bangku Gabriel.
Rio dan Gabriel langsung sama-sama menatapnya yang sedang kesal. "Wailah, nyantai gimana sih mbak Nova. Nyalin doang juga fokusnya gitu amat.", canda Gabriel yang langsung membuat Nova mendelik sebal dan kembali melanjutkan aktivitasnya. Ia sadar tak akan habis perkara jika terus meladeni Gabriel. Pemuda tampan satu itu punya kelakuan jahil yang melebihi rata-rata orang normal.
"Jadi bener nih ya istirahat pj gue full !", lanjut Gabriel lagi dengan volume yang normal. Tak ingin mengundang gerutuan orang lebih banyak lagi tampaknya. Rio hanya tersenyum tipis menanggapi sahabatnya itu.

***

Semua yang ia minta pada Rio tadi sudah tersedia lengkap dihadapannya, tapi kali ini Gabriel justru memilih duduk berdua, berhadapan dengan Shilla seperti biasanya.
"Kok nggak dimakan sih ?", tanya Shilla heran melihat Gabriel sejak tadi malah asyik mengawasi Rio yang berada tak jauh dari meja mereka. Kekasihnya itu justru terlihat lebih tertarik pada sosok jangkung itu dan seorang gadis mungil yang Shilla kenal sebagai Ify, teman sekelasnya ketimbang beberapa makanan lezat yang sudah secara cuma-cuma sudah ia dapat.
Gabriel mengalihkan pandangannya sambil nyengir kuda. "Hehe...aku lagi asyik aja ngeliat si Rio pacaran."
"Emangnya selama ini Rio nggak pernah punya pacar ?"
Gabriel menggeleng. "Biar Rio orangnya ramah, pinter bergaul, terus juga welcome sama siapa aja, tapi dia juga nggak pernah gonta-ganti pacar yang sesering orang kira."
"Kenapa ? Harusnya tipe cowok kayak dia kan bisa dengan mudahnya nyari pacar kalo dia mau."
Sambil mengunyah siomay dalam mulutnya, Gabriel tersenyum kecil. Sedikit kewalahan menanggapi pertanyaan Shilla. Gadisnya itu punya rasa penasaran yang tinggi. Tak heran harus sedetail mungkin jika harus menjelaskan sesuatu pada gadis berkulit putih itu.
"Tapikan Rio juga bukan playboy sayang. Lagian biar dia welcome sama siapa aja, bukan berarti privasi dia juga harus welcome kan ?", Gabriel sedikit memajukan wajahnya kearah Shilla kemudian dia berbisik. "Lagian gaya bener si Rio kalo jadi playboy, ngalahin aku yang jelas lebih ganteng kemana-mana.", lanjutnya sambil terkikik geli menatap Shilla yang memasang wajah penasaran stadium atas kemudian mengernyit sebal dengan candaannya.
"Ih...aku serius yel.", gerutu Shilla sambil memukul lengan Gabriel yang berada diatas meja.
Lagi-lagi Gabriel tertawa kecil sambil mengacak pelan rambut Shilla. "Lagian kamu bawaannya serius mulu sih.", Shilla hanya mengerucutkan bibirnya dan menyuapkan sesendok nasi padang kedalam mulutnya.
"Tapi Ify itu gimana Shil ?", tanya Gabriel lagi. Kali ini Shilla yakin bahwa lelaki itu bertanya dengan serius. Terlihat dari ekspresi wajahnya. Tak menunjukkan ketengilan seperti tadi.
"Ify baik, asyik, cukup pinter karena semester lalu dia dapet peringkat dua dikelas, terus juga rajin sholat.", sahut Shilla.
Gabriel terbelalak. "Ify muslim Shil ?"
"Ya.", detik itu juga tawa renyah Gabriel kembali berhambur. Membuat Shilla menggeleng heran mengapa kekasihnya itu akhir-akhir ini sangat doyan tertawa.
"Kenapa ?"
"Mereka beda juga Shil. Ahhaa..."
"Terus kamu seneng gitu ?"
Bahu Gabriel terangkat acuh. "Emm...seenggaknya kita bukan satu-satunya pasangan yang beda Shil. Mereka sama kayak kita."
Shilla mendesah lesu. "Harusnya kamu nggak seneng yel. Karena gimanapun jadi seperti kita nggak mudah. Mereka akan ngerasain penentangan yang kuat sama seperti yang lagi kita rasain."
Kata-kata Shilla membuat Gabriel sadar. Benar, dalam kisah semacam ini bahagia tak melulu ada. Lebih banyak kecewa yang tercipta saat sepasang hati yang terlanjur bersatu dipaksa saling mematahkan. Seharusnya mereka berhak bahagia. Seharusnya cinta yang bisa memegang tahta atas semuanya. Karena mereka dipertemukan oleh cinta dan bukan oleh beda.
Gabriel meraih tangan Shilla. Digenggamnya erat agar kekasihnya itu mampu merasakan jika cinta mereka akan selalu kuat. Tak akan sekedar terpuruk dengan setiap penentangan yang berkali-kali. "Kita harus tetap berjuang terus terus dan terus. Agar semua nggak ada yang sia-sia sayang."
Shilla mengangguk pelan dan mencoba menarik sedikit ujung bibirnya. Agar senyum manisnya tercipta serta mampu menenangkan gundah lelaki tampan didepannya.

ALUNAN UNTUK BEDA PART 4

Sambil asyik bercakap-cakap via telepon dengan seseorang, laki-laki tampan itu menaiki tangga menuju lantai dua rumahnya. Dengan setoples kripik kentang favoritnya, rencananya ia akan menghabiskan waktu dibalkon rumah sambil masih terus meletakkan ponsel diantara telinga dan bahu kanannya.
"Iya sayang, udah sholat kok. Kamu ?", Cakka masih asyik saja berceloteh mesra dengan Agni, gadis yang kurang lebih satu setengah tahun ini menjalani komitmen dengannya.
"Oh, hehehe...ya maaf aku nggak tau kalo kamu lagi red day.", sahutnya lagi. Entah apa yang dikatakan Agni diseberang sana, yang jelas dalam setiap percakapan itu membuat Cakka begitu bahagia. Ia telah merasa menemukan gadis yang tepat. Sosok cantik yang Tuhan ciptakan dari tulang rusuknya sendiri.
Sampai balkon, Cakka langsung mendudukkan dirinya disebuah ayunan rotan tepat disamping adik kecilnya, siapa lagi kalo bukan Ify. Ia bahkan sempat melirik, jika gadis itu tampak tersenyum-senyum sendiri sambil menekuni layar ponselnya. Seolah asyik dengan dunianya sendiri dan sama sekali tak menanggapi kedatangannya.
Cakka menyuapkan satu bagian besar kripik kentang kedalam mulutnya baru kemudian terkekeh pelan. "Yaudah, besok aku tunggu depan ya. Bye!", ia kemudian meletakkan benda canggih itu disampingnya dan melanjutkan kegemarannya untuk menyemil.
"Mau de ?", tawarnya pada Ify yang masih saja asyik. Dilihatnya Ify menggeleng cuek. Tersenyum kecil masih dengan layar ponselnya.
Cakka mendengus sebal. "Lagi smsan sama siapa sih ?", tanya Cakka penasaran. Kepalanya ia dekatkan pada Ify. Tapi belum sempat ia bisa mengutip bacaan dilayar, Ify sudah dengan cepat menyinggahkan ponselnya.
"Kakak nih keponya kebangetan deh.", gerutu Ify.
"Ya abis asyik banget dari tadi, sampai kakak disini juga kamu masih aja gitu. Lagian udah sholat belum kamu de ?", kata Cakka lagi. Ia kembali memasukkan satu bagian kripik kentang dimulutnya.
Ify menghela nafas. "Udah dari tadi Cakka nuraga. Kakak nih makin bawel ya ?!"
Melihat raut kesal pada wajah adik perempuannya membuat Cakka menyeringai lucu. Setelah satu toples kripik kentang sudah ia pastikan tandas, diletakkannya tempat kosong itu disampingnya. Baru kemudian dia mulai menjahili Ify yang lagi-lagi asyik pada sesuatu diponselnya.
"Kakak rese ! Berhenti nggak !", jerit Ify kencang saat tangan kokoh Cakka mulai menggelitiki pinggangnya, lalu kemudian memeluk lehernya dengan sedikit arogan. Membuatnya terganggu sekaligus tak fokus lagi untuk mengetik balasan untuk Rio.
"Nggak mau. Yaudah terusin smsannya ya terusin. Ahaha...",
"Ayaaaaah ! Kakak lagi kumat nih !", pekik Ify kemudian mendapat celah menarik kuat rambut Cakka.
"Aw...de lepasin ah ! Kenceng banget kamu ngejambaknya.",
"Nggak mau. Lepasin aku dulu baru kakak aku lepasin juga."
"Oh oke, nih !", bukannya membebaskan Ify dari kunciannya, Cakka justru membuat adiknya itu makin tak berkutik didekapannya. Bukan dekapan lembut dan manis yang seperti kemaren sore Ify dapat dari Rio saat mereka baru saja resmi jadian. Melainkan dekapan gemas seorang kakak pada adik mungilnya yang mulai menjalani fase-fase remajanya.
"Bundaaaaa !"
"Cakka Ify berhenti seperti anak kecil. Ini sudah malam. Astaghfirullah !", tegur sebuah suara lembut dari kamar bawah mendengar dua buah hatinya berbuat ulah lagi.

ALUNAN UNTUK BEDA PART 3

Suasana siang ini masih sama. Masih menjadi jam-jam tersibuk dan terpadat dikantin sekolah yang sekejap saja sudah dipenuhi manusia-manusia yang sudah tak kuasa menanggung kelaparan juga kebosanan sejak jam pertama pelajaran dimulai pagi tadi.
Seperti biasa pula, Rio menghabiskan waktu istirahat pertamanya dengan beberapa temannya. Mengingat sang sahabat, Gabriel sudah lebih dulu mencuri start untuk makan siang berdua Shilla, kekasihnya. Maka kali ini Rio lebih memilih duduk berhadap-hadapan dengan beberapa anak dari kelas penjurusan ips, Lintar, Patton serta pemuda berwajah imut yang biasa disapa Ozy yang ia kenal melalui ekskul musik.
"Ntar siang kita ekskul ?", Lintar laki-laki hitam manis yang dikenal berwajah tanpa ekspresi ini bertanya dengan tampang datarnya.
"Iyalah, inikan rabu.", jawaban acuh terdengar dari Ozy yang masih saja asyik mengaduk soto ayam kepunyaannya.
Sementara itu, Rio yang berada ditengah ketiganya masih asyik berkutat pada layar handphone touchscreennya. Mengabaikan sepiring siomay berbau sedap yang menjadi dingin biasa saja dihadapannya.
"Hai yo !", sapa seorang gadis cantik berkulit putih yang sekedar lewat didepan mejanya.
Rio mendongak. "Oh hay ze.", sahutnya sambil tersenyum. Sikapnya yang biasa selalu welcome pada siapa saja. Justru itulah yang membuat Patton dihadapannya menekuk wajah. Gadis yang menyapa Rio tadi, Zevana. Bidadari cantik yang diklaim Patton akan menjadi jodohnya. Tapi sampai sekarangpun tak ada tindakan berarti untuk sekedar mendekati gadis incarannya itu.
"Kenapa Rio aja yang disapa ? Gue nggak.", desah Patton sedikit kesal. Sementara Rio masih asyik menekuni layar benda pintar ditangannya sambil nyengir kuda mendengar temannya itu kesal. Setelah meletakkan handphonennya disamping piring siomay, barulah Rio menatap Patton dengan tampang geli.
"Makanya elo kalo suka bertindak. Jangan diem ditempat.", nasehat Rio pelan.
"That's right tuh yo ! Cuma ngandelin kepercayaan doang kalo si Zevana bakal jadi jodohnya apa bisa ?!", sambung Ozy menggebu-gebu sambil mengacung-acungkan sendok makan dihadapan Patton.
"Gue mesti ngapain ?"
"Dikejar, didapetin, dipacarin abis itu.", Ozy tampak bangga dengan perkataannya barusan. Mengundang tawa pelan dari Lintar yang sedari tadi justru sebagai pendengar setia saja diantara mereka. Rio mengangguk-angguk setuju. Tapi kemudian matanya terpatri pada seseorang yang hendak melewati mejanya membawa sebuah gelas berisi es jeruk dan sepiring mie goreng.
"Hei fy !", sapanya ramah. Ozy, Patton langsung menatap Ify serentak. Sementara Lintar masih menyuap bakso kuahnya baru kemudian ikut menatap gadis itu.
"Hei yo.",
"Cek handphone fy.", perintah Rio lembut. Ify yang semula tersenyum sedikit malu langsung mengernyitkan dahinya bingung. Tapi kemudian ia sedikit menunduk, mengamati lampu led ponselnya yang berada didalam saku seragam ternyata berkelip-kelip merah. Namun karena kedua tangannya membawa gelas dan piring, dibiarkannya dulu.
"Ehm...okey.", sahutnya pelan.
Tak tunggu waktu lagi Ify segera berlalu membawa makanan dan minumannya dimeja kosong yang tak jauh dari meja Rio. Setelah meletakkan piring dan gelasnya diatas meja, gadis itu segera merogoh sakunya untuk mengeluarkan handphonennya yang dalam keadaan silent.

Siang ini dilapangan basket ya fy.

Sebuah pesan singkat terdiri dari enam baris kalimat langsung mengembangkan senyum Ify. Ribuan pemain perkusi sedang menabuh jantungnya. Sedang saat ini para dewa cinta sedang menggodanya habis-habisan. Meninggalkan semburat lembut berwarna merah jambu dikedua pipinya yang kian menghangat. Ify kemudian mengangkat wajahnya, menyambar manik mata elang diseberang sana yang juga mengawasinya dengan lembut. Pelan-pelan gadis itu mengangguk.

***

Entah untuk alasan apa, dua sosok itu kembali bertemu. Menciptakan susana lapangan sekolah yang sudah sangat sepi ditangkupi atmosfer romantis. Sejak tadi, sudah hampir setengah jam mereka duduk bersisian dibangku kayu ditepi lapangan, namun tak juga ada yang ingin memulai membuka bicara.
Gadis manis itu, yang lebih memilih menunduk sambil sesekali menggigit bibir bawahnya canggung terus menatap sepatu flatnya yang kini bergoyang-goyang kecil akibat dari gerakan kakinya. Sementara lelaki tampan disampingnya, justru sedang terlihat termenung sambil memandang pada suatu titik imajinasi yang ia ciptakan sendiri nun jauh disana. Sebuah gitar coklat mengkilap terdekap diantara perut dan kedua lengannya yang kekar.
"Ehm...yo ?", akhirnya rasa jenuh sedikit mampu membuat Ify membuka bibirnya. Jujur saja sedari tadi ia heran, apa maksud Rio memintanya kesini. Bertemu lagi. Berdua.
Suara lembut Ify berhasil mengaburkan keasyikan Rio yang sedari tadi justru termenung kosong. Ia mengusap wajah sebentar, baru kemudian mengubah posisi duduknya agar lebih bisa menghadap pada Ify sambil tertawa kecil. Dilihatnya gadis itu juga tersenyum. Menantinya mengucapkan maksudnya.
Gadis manis itu betul-betul masih membuat Rio terkesan. Sekaligus penasaran. Bahkan hingga hari ini siluet wajah berdagu tirus itu masih setia menangkup seluruh pikirannya. Menciptakan letupan-letupan kecil asing yang baru ia yakini bahwa istilah 'love at first sight' benar-benar ada. Mungkin bisa dikatakan begitu atau apapun lah selama itu mampu mendeskripsikan jalaran perasa halus yang akhir-akhir ini mulai merajut harinya.
Dari cara Rio menatapnya, fokus namun begitu lembut membuat Ify tahu jika ada yang ingin diutarakan oleh lelaki itu. Belum lagi tarikan nafas Rio yang menjadi terlihat tak wajar. Tertahan oleh sesuatu yang akan segera ia ungkapkan.
"Apa ?", tanya Ify yang semakin dibuat penasaran oleh one of the most top boy sekolah disampingnya itu.
Semuanya kembali hening. Rio masih bertahan dengan kediamannya. Hanya ada beberapa kata sederhana yang ingin ia susun menjadi seuntai kalimat manis dalam otaknya yang biasanya begitu brilian dalam memahami setiap mata pelajaran. Tapi tidak untuk kali ini. Sekarang-atau-tidak-sama-sekali-yo-!
"Kita pacaran yuk fy ?"
Ify menoleh kaget. Pertanyaan macam apa yang baru saja Rio katakan tadi ? Apapun arti dari sederet kata-kata barusan, yang jelas langsung efektif membuat gadis itu spot jantung mendadak. Dengan ekspresi yang seolah tak tahu harus berbuat apa, Ify menggerakkan bola matanya tepat pada bola mata hitam yang sedang berbinar dihadapannya. Menimbulkan gejolak yang lebih dahsyat dari sekedar pertanyaan singkat tadi. Sungguh keindahan yang tercetak sempurna pada dua mutiara kelam yang seangkuh berlian.
Rio menyeringai lucu saat ekspresi cengo diwajah cantik Ify tak juga sudah sejak ia selesai mengucapkan maksudnya tadi. Tampaknya gadis itu syok berat. Dengan gerakan pelan, telunjuk panjangnya menyentil lembut ujung hidung bangir Ify.
"Kalo tau reaksi lo kayak orang mau kesurupan gini, gue nggak jadi deh fy.", tegur Rio sambil terkekeh renyah, melihat masih betapa lucunya raut wajah Ify.
Ify langsung mengerucutkan bibir mungilnya dengan sebal. Ia tahu jika saat ini Rio mengerjainya sekaligus ehm...menembaknya. Mana mungkin tipe lelaki supel nan hangat seperti Rio mampu bertahan dalam kecanggungannya.
"Lo rese ah yo !", sungut Ify sambil memegang hidungnya yang tadi disentil Rio.
"Hehe...jadi gimana ?"
"Gimana apanya ?" Ify memandang Rio dengan tatapan gemas saat sosok tampan itu mulai memetik lirih senar-senar kaku gitar dipangkuannya.
Secara otomatis jemari Rio berhenti menari diatas senar gitarnya. Ia lalu menyapukan pandangan lembutnya pada wajah cantik Ify yang masih kekeh menunggu lanjutan jawabannya. Mereka saling berpandangan. "Kita pacaran ?", sahut Rio tenang.
Poni yang selalu jatuh lembut dikening Ify bergoyang pelan mengikuti gerakan naik turun kepalanya. Dengan bahasa tubuh yang masih juga canggung, jemari Ify yang berada dipangkuannya bergerak resah memilin-milin gelang. Tapi tangan kokoh milik Rio kemudian meraih tangannya. Membentuk anyaman mungil hidup dengan jari-jemari mereka yang saling bertautan.
"Thanks...", desah Rio lembut tepat disamping telinga Ify. Membangkitkan bulu halus yang sudah meremang ditubuh gadis itu.
Ify mengangguk pelan. Beberapa kali pandangannya bergantian menatap wajah tampan yang sekarang resmi menjadi miliknya itu dan kedua tangannya yang terasa menghangat dalam genggaman lembut dan ketat tangan Rio. Sungguh Ify menyukai caranya bahagia kali ini.
"So, ceritain sama aku gimana bisa secepat ini prosesnya ?", pinta Ify manja sambil mengerlingkan sebelah matanya dengan genit. Menyambut kekehan geli dari lelaki yang baru saja resmi memacarinya itu.
Tangan Rio melepaskan kunciannya. Meletakkan kembali tangan mungil Ify dipangkuan gadis itu. Kemudian ia tersenyum kecil. "Aku ceritanya lewat lagu aja ya."

Ada sebuah cerita tentang aku dan dia
Jumpa pertama kudengannya disatu siang yang cerah
Singkat kata singkat cerita kuberjalan dengannya
Namun apa yang aku rasa mungkinkah ini cinta?
Dan hatiku bayangkan dirimu
Mulai ada rindu...
Duniaku terhenti karena kamu
Mungkin bisa jadi milikku
Semoga lagu cinta ini bersarang tepat dihatimu

Satu kali kubertemu
Dualam sudah rasaku
Tiga kata yang kutahu
Aku cinta padamu !
Empat malam kumenunggu jawaban cinta darimu
Lima tanda yang kau beri
Enampaknya kau cinta pa..daku..
Nananana..lalalala...yeee

Lagu ceria dengan aransemen yang lucu berhasil Rio nyanyikan sebagai janjinya untuk menceritakan bagaimana bisa ia langsung jatuh hati secepat ini pada Ify. Sebenarnya tak perlu punya alasan yang banyak, karena dengan senatural mungkin, gadis itu sudah mampu membuat orang berpaling kearahnya. Rio menjadi salah satunya dan semoga akan menjadi satu-satunya.

ALUNAN UNTUK BEDA PART 2

TOK...TOK...TOK
Sebuah ketukan memaksa dijendela kamarnya setelah sebelumnya terdengar bunyi berisik yang tak wajar akibat tindakan seseorang yang melompati balkon kamarnya, membuat Rio yakin siapa yang kini ada dibalik jendela lebar yang tertutup rapat. Dia yang masih terjaga sambil berbaring, segera melirik jam berbentuk bola basket dimeja samping tempat tidur. Jam sebelas lewat dua puluh enam malam. Tak ada manusia kurang sopan yang masih ingin menyatroninya malam-malam begini selain anak sulung dari tetangga sebelah sekaligus sahabatnya, Gabriel. Setengah malas, Rio menyeret langkah menuju jendela besar kamarnya. Seringaian lucu milik Gabriel langsung menyapanya secara kurang ajar begitu jendela kamar terbuka lebar.
"Yo !", pekik Gabriel setengah tertahan. Tapi raut wajahnya penuh kobaran semangat.
Tanpa aba-aba, Rio langsung melompati jendela kamar menuju balkon. Sesaat kemudian dua pemuda jangkung itu sudah mendudukkan diri mereka diatas sebuah kursi rotan uzur kesayangan Rio. Entah untuk alasan apa, benda tua itu mati-matian ia pertahankan saat beberapa kali mamanya ingin mengganti dengan yang baru. Ada banyak kenangan yang menjadikan kursi tua itu saksi bisu. Mulai dari awal kisah persahabatannya dengan Gabriel, lalu ribuan sore yang selalu ia lewati bersama papanya dengan secangkir kopi susu, dan hal-hal kecil lainnya yang membuat Rio tak mudah melepaskan begitu saja.
"Pulang jam berapa lo tadi ?", tanya Gabriel akhirnya. Membungkam suara jangkrik yang sedari tadi sudah menjadi latar suara diantara mereka.
"Elo yang tadi pulang jam berapa ? lo pikir lo bisa ngadalin gue brother ?!", ucap Rio sambil menoyor kesal kepala Gabriel.
Tawa renyah Gabriel pecah, saat Rio lagi-lagi mampu membalik keadaan. Secara total membuatnya kalang kabut jika setelah ini menyusul pertanyaan-pertanyaan yang wajib jawaban jujur darinya. Sahabatnya itu lebih cocok menjadi hakim ketua dibanding menjadi pembasket hebat, selalu begitu argumen andalan Gabriel.
"Shilla ngajak nonton dulu tadi.", aku Gabriel sambil menggaruk tengkuknya.
Tak ada sahutan lagi dari Rio. Dia hanya mengendikkan bahunya secara acuh kemudian mendongak. Pekatnya awan hitam mengusik pikirannya. Sebuah hal yang selama ini jarang sekali singgah diotak tuan muda Haling itu. Karena pelajaran, basket, juga musik sudah cukup menyita hampir seluruh memori otak jeniusnya.
"Heeh !", Gabriel menyenggol lengan Rio secara tiba-tiba ketika ia sadar ternyata sosok disebelahnya itu sedang melamun.
"Hmm..."
"Kenapa lo ngelamun ?"
"Gue ngantuk kambing."
"Oh !",
Rio menoleh. Memamerkan ekspresi yang seolah berkata -nggak tau diri banget lo sumpah !-. Membuat Gabriel yang duduk disebelahnya sekaligus memandanginya dengan senyum lebar menjadi tahu diri. Sudah saatnya kembali kekamar masing-masing sepertinya. Lagipula ia tadi hanya berniat mengambil sesuatu dikamar Rio, bukan untuk begadang bersama begini.
"Iya-iya nyantai aja kali ekspresinya yo. Bikin gue pengen nyium elo tau nggak. Yaudah gue pulang nih !",Gabriel berdiri dari duduknya. Ia mulai melangkah tapi kemudian melompati jendela kamar Rio yang terbuka. Membuat sipemilik mendengus kesal ditempatnya.
"Ngapain lagi lo ?",
"Ck ! Gue cuma mau ngambil bola yo.", sahut Gabriel yang sudah kembali melompat keluar jendela kamar Rio dengan tangan kiri dan pinggang yang mengapit benda bundar tersebut.
"Yaudah minggir elo dari situ, gue mau masuk.", kata Rio sambil berkacak pinggang dihadapan Gabriel yang menutupi jalannya.
"Yaudah nih !", Gabriel menggeser posisi tubuhnya. Memberi sedikit jalan untuk Rio yang sesaat kemudian sudah berada didalam kamarnya dan menutup jendela tanpa permisi tepat didepan muka lelaki berwajah charming tersebut.
"Eh..buset! Perlu gue ajarin sopan santun lagi elo kayaknya bro !", kata Gabriel lagi sambil menggelengkan kepalanya.

ALUNAN UNTUK BEDA PART 1

Apa ada yang mampu memikirkan apakah indahnya sunset akan mampu sempurna tanpa adanya senja yang mencokolinya ? Jika tidak, itu salah. Jingganya sunset adalah separo milik senja. Kuas warna mempesona yang hanya dimiliki dimensi waktu yang satu itu.
Mereka memang saling menghidupkan, saling mengindahkan, saling bertautan. Tapi mereka tak pernah tercipta untuk disatukan, tak pernah ada untuk saling dikukuhkan. Mereka hanya dua elemen yang jika ada akan menciptakan indah, namun malam berjanji jika ia datang keduanya akan musnah.
Seperti itulah kisah dua cinta yang saling mengeratkan genggaman, namun sangat mudah tersentak hingga terlepas hanya dengan satu perbedaan. Hal yang justru terlihat mengindahkan adalah betapa perjuangan terkecilpun begitu mampu mengajak secuil harapan untuk berdansa bersama nirwana menuju bahagia, meski itu ternyata hanya kesia-siaan belaka.


PART 1


Dentuman merdu sioranye hitam yang beradu dengan lapangan dibawahnya serta acapkali dibuat melambung dengan gerakan supercantik oleh dua pemuda yang masih nampak asyik berduel ditengah luasnya lapangan basket sekolah yang terasa mini untuk mereka. Gerakan keduanya bukannya menyurut, justru meliar meski sudah puluhan menit berlalu sejak jam pulang sekolah tadi. Peluh pun sudah nyaris penuh membayangi baju kemeja seragam kedua pemuda tampan itu. Tapi tak ada yang ingin terlihat duluan menyerah sepertinya. Tak ingin kata-kata 'bencong banget lo !' yang menjadi cibiran paling keramat untuk mereka berdua kembali terdengar diselingi dengan kelakaran yang lain. Sama-sama ingin membuktikan kebolehan mereka dibidang yang satu ini selain juga untuk menghindari tiga kata penuh konotasi super negatif itu.
"Shoot yo !", seru pemuda jangkung pertama sepersekian detik setelah mengoper si oranye pada kawannya. Gabriel Stevent namanya.
Dari jarak yang masih berdekatan dengan Gabriel, Mario -pemuda kedua- langsung mengambil ancang-ancang untuk membuat shootnya kali ini tepat sasaran. Meskipun jaraknya saat ini berdiri dengan ring seolah meneriakkan ketidakmungkinan. Mata elangnya menyipit tajam, memandangi si oranye kesayangan yang masih ada dicengkraman tangan kokohnya.
Dengan gerakan penuh kekeran, kedua lengan Rio -biasa ia disapa- terangkat, dan melemparkan si oranye dengan hitungan dalam hatinya yang semoga tidak meleset kali ini. Benda bundar itu sudah mencapai mulut ring, berputar-putar diatas cukup lama. Menciptakan dua kemungkinan saja, ia akan masuk dengan mulus, atau keluar dan terpentul percuma ketanah. Ditempatnya, Rio mengawasinya dengan tatapan percaya. Dan Gabriel dengan senyum jumawanya sambil berkacak pinggang. Sedikit harapan jika kali ini, shoot sahabatnya itu meleset dan ia bisa dengan puas mengatai Rio ''bencong banget lo !''. Hal yang selama ini terlebih kali ini begitu ia inginkan. Satu angka diawal duel seru ini yang sudah ia kantongi menjadi penyombong sedikit. Mengingat si tirus (tinggi kurus) Rio tak pernah berhasil ia kalahkan. Berkali-kali dipecundangi sang sahabat membuat Gabriel ingin sekali membalasnya.
"Ayolah sayang...", kata Rio sambil menyipitkan matanya mulai ragu pada si oranye. Tapi...dug...dug...dug...si oranye berdentum merdu lagi ketanah setelah sebelumnya berhasil memasuki ring dengan gerakan yang indah nan mulus. Amazing !
Rio mengangguk-anggukan kepalanya dengan bangga lalu menoleh dan mengerling genit pada sahabatnya yang kembali harus siap ia pecundangi.
"Ahha ! Kubur dulu tuh ambisi lo buat ngatain gue ''yo, bencong banget lo !'' ", ucapnya lagi sambil merangkul asal bahu kokoh Gabriel yang hanya bisa berdecak. Si oranye lagi-lagi tak mau nurut padanya.
"Elo pake susuk ya yo ? Kenapa kalo main sama lo, si oranye nggak pernah mau ngasih angka hoki buat gue ?!", gerutu Gabriel sambil melepaskan rangkulan Rio. Wajahnya yang innocent, berlagak serius yang langsung membuat sahabatnya itu tertawa geli.
"Haha...nggak usah pake ngeles ya lo yel ?", Rio diam sebentar. Tangannya mulai beraksi jahil untuk membelai rahang Gabriel dengan manja. "Kalo bencong ya bencong aja, darling.", lanjutnya sambil terpingkal.
Perbuatan Rio barusan langsung membuat Gabriel berjingkat menjauh. Bakat Rio di basket memang tidak perlu diragukan lagi, dan bakatnya untuk menjadi dua kepibadian layak diberi aplouse juga sepertinya. Natural sekali gaya rempongnya.
"Dih, jauh-jauh lo dari gue yo ! Cucok parah lo jadi gay.", Gabriel bergidik.
"Iya, elo kan pasangannya."
Toyoran penuh dendam mendarat keras dikepala Rio yang tak ada persiapan apapun saat Gabriel melakukannya secara tiba-tiba. "Amit-amit gue punya cinta terlarang sama lo yo."
"Elo pikir kisah cinta lo sama Shilla, nggak terlarang yel ?", sahut Rio dengan tatapan aneh plus dibumbui senyumnya yang menyumir sambil mengusap-usap kepalanya yang cedera ringan akibat ulah Gabriel.
"Weits, nggak usah bawa-bawa yang itu lo yo ! Kayak gue baru rasa lo !"
"Boleh juga tuh tawaran lo yel. Hhaha..."
"Kucrut lo dasar ! Udah ah, gue mau balik. Elo nggak balik ?"
Rio menggeleng sambil mendrible si cantik oranye yang sudah kembali lulut ditangannya. Sesekali mencuri pandang pada Gabriel yang mulai memasukkan barang-barangnya kedalam ransel coklat ditepi lapangan. Bahkan hingga sang sahabat sudah siap dengan jaket kulit dan ransel yang sudah bertengger dipunggungnnya.
"Kapan lo balik ? Mau gantiin tugasnya pak Min lo jaga sekolahan ?", cerocos Gabriel lagi sambil melirik jam seiko dipergelangan kirinya.
"Ntaran aja gue. Udah elo yang sana, daripada makin banyak comel lo disini.", usir Rio tak minat.
"Yaudah deh, gue cabut ! Cepet pulang lo !", seru Gabriel yang mulai beranjak meninggalkan tepi lapangan basket sekolah menuju parkiran utama sekolah.
Rio mengapit bola basket oranye yang dibelinya dari hasil sumbangan berdua dengan Gabriel dipinggang dan tangan kanannya. Matanya yang sayu menatap lurus ransel Gabriel yang bergoyang kesana kemari akibat gerakan pemiliknya yang terkesan grasak-grusuk. Sikap dan kebiasaan sahabatnya itu yang sekaligus menjadi hiburan tersendiri untuk lelaki hitam manis tersebut.
Sikapnya saja yang slengean, tapi dalam urusan solidaritas, Gabriel mungkin adalah salah satu orang yang menyabet predikat sebagai sahabat terbaik didunia. Dan itulah yang Rio rasakan. Persahabatannya dengan cowok yang punya postur tubuh yang sangat mirip dengannya itu, sudah berjalan nyaris separuh hidup. Ada banyak moment penting yang selalu ia maupun Gabriel lewati secara bersama. Bahkan dalam hal basket. Dunia ini adalah salah satu faktor yang semakin mengukuhkan kekompakan mereka sebagai dua bocah ingusan kemaren sore yang kini menjadi dua pemuda tampan berbalut seragam putih abu-abu dalam membentuk jati diri.
Setelah puas menuntaskan kebiasaannya mengamati gerakan lucu ransel Gabriel, Rio menghela nafas sambil terkekeh lagi. Ia kemudian kembali membuang si oranye ketanah dan mulai mendriblenya lagi. Seragam putihnya tak lagi berada rapi dibalik celana, bahkan aroma tubuhnya tak lagi kentara wangi dari parfum dior homme. Hanya ada peluh dan aroma matahari yang makin gencar menyengat tubuhnya. Tapi semakin begitu, Rio semakin suka.


***


Namanya Alyssa Saufika Umari. Seorang gadis belia dengan anugerah paras yang luar biasa ayu dari Sang Maha Pencipta. Dengan otak yang cerdas dan banyak menuai berbagai pujian. Sikapnya santun dan anggun. Hal yang terbentuk akibat dari didikan moral yang kuat dari kedua orang tuanya. Dan kini ia berjalan gontai menyusuri ubin-ubin dingin koridor sekolahnya dari kantin yang berada disayap kanan bangunan untuk menunggu jemputan kakak laki-lakinya yang hingga saat ini tak juga datang. Padahal jam sekolah sudah berlalu sejak satu jam yang lalu karena ini adalah hari jum'at.
Ify -panggilan sayang dari keluarganya- sesekali melirik jam tangan mungilnya yang sedang semangat mendorong lajur jarum pendek dan panjangnya untuk menunjukkan sudah pukul 11. 30 siang. Ponsel keluaran terbaru yang terselip ditangan kanannya pun tak lupa terus ia periksa. Berharap jika benda pintar itu berdering dan suara berat sang kakak terdengar diujung sana untuk memberitahukan bahwa ia sudah ada diluar gerbang. Tapi nihil.
Langkah mungil Ify terus bertambah, hingga ia nyaris memutari lorong panjang sekolah jika saja tak ada suara dentuman berkali-kali yang berasal dari lapangan basket sekolah yang langsung mengusik perhatiannya. Gadis itu memutuskan untuk mendekati tempat berbentuk persegi yang berada dibagian terkiri bangunan itu.
Ada pantulan bola berwarna oranye yang sesekali melayang diudara untuk kemudian jatuh lagi dan dipantulkan tanah dibalik punggung kokoh seorang pemuda tinggi yang langsung membuat Ify menduduki sebuah kursi kayu panjang ditepi lapangan. Meski jaraknya kurang strategis tapi dengan mendiamkan diri, ia terus menonton tiap gerakan menawan dari tubuh pemuda itu bersama si bola basket yang membuatnya berdecak kagum. Tenang tapi penuh emosi. Perlahan tapi sarat energi. Bahkan posisi untuk menembak lurus tepat diatas ring yang Ify rasa sangat-sangat tidak pas, nyatanya mampu juga membobol ring itu dengan gerakan penuh keyakinan dari sang pemain.
Dibawah efek kagumnya, Ify berdiri kemudian bertepuk tangan riuh dengan menggeleng-gelengkan kepala tak percaya.
"Wow ! It's amazing, heh!", serunya dengan senyum lebar.


***

Rio terlonjak kaget sesaat setelah lagi-lagi berhasil menembakkan si oranye kedalam ring yang berjarak satu setengah meter didepannya membuahkan tepuk tangan seseorang yang berasal dari tepi lapangan. Ia pikir Gabriel yang bisa saja kembali lagi kesini dan menonton aksinya secara diam-diam. Tapi saat ia berbalik, yang terlihat justru sosok mungil dengan dandanan apa adanya sedang berjingkrak-jingkrak senang ditempatnya.
Mata sayu pemuda tampan itu menyipit. Mengamati penonton gelapnya yang langsung terdiam saat mungkin tersadar jika ia terusik. Setelah mengambil si oranye yang sempat ia biarkan bergulir entah kemana beberapa detik tadi, Rio mengayunkan tungkainya perlahan menuju tepi lapangan. Sebuah ekspresi hangat langsung menangkup wajah tampan Rio, saat jarak yang berkurang mulai memperlihatkan jelas wajah cantik berdagu tirus ditepi lapangan karena kedua matanya yang menderita min.
Terdiam ditempat dengan cengiran tak enak. Ify juga langsung pasrah saat sosok yang tadi mungkin terganggu akibat tepuk tangannya yang riuh adalah Rio. Siswa seangkatannya. Anak kelas ipa 1, tetangga kelasnya. Cowok yang sejak pertama kali mos sudah mampu mencuri perhatian sekolah sekaligus langsung membuatnya dilirik tim basket karena aksinya yang berhasil mempecundangi Debo -kapten tim basket- dalam duel satu lawan satu. Sebuah hukuman akibat keteledoran Riolah yang akhirnya membuat cowok hitam manis itu mau tak mau menunjukkan kebolehannya pada warga satu sekolah.
"Hei, gue pikir elo Gabriel tadi.", sapa Rio hangat. Sambil tersenyum kecil ia masih mengamati sosok mungil didepannya dengan jeli. Gadis berponi lembut berbalut seragam sekolah yang sama ditutupi sebuah cardigan berwarna peach. Cengirannya terlihat salah tingkah, namun begitu menarik.
Ify menggeleng bingung saat Rio menyangkanya Gabriel. Tapi melihat kesan 'easy going' yang ditunjukkan sosok Rio, Ify berusaha ikut bersikap sesantai dia. Benar berita yang selama ini beredar, meskipun namanya sudah tersohor keseantero sekolah, tapi laki-laki itu begitu sederhana. Ia supel, ramah, mau bergaul dengan siapapun, dan terpenting ia begitu 'welcome' pada Ify yang jelas-jelas menonton aksi memukaunya secara diam-diam pula.
"Eh bukan bukan...gue Ify.", kata Ify sambil menggaruk pelipisnya yang seolah terasa gatal.
"Ehm...sori ya kalo gue ganggu elo main tadi.", lanjutnya lagi.
Rio yang sudah mendudukkan dirinya disamping kanan Ify mengangkat sebelah alisnya. "Nggak usah berlebihan, elo cuma duduk doang gitu sambil tepuk tangan juga."
Sebuah senyum manis, lagi-lagi terpoles halus dibibir Rio. Membuat Ify yang melihatnya dari samping hanya bisa mengaduh dalam hati. Manisnya orang satu ini memang berbeda. Tak banyak pemuda yang dianugerahkan keluarbiasaan semacamnya. Wajah Rio tampan. Selain bentuk fisiknya yang juga begitu menggoda. Dengan tubuh yang tegap, kurus, dan lumayan tinggi. Rambutnya cepak dan selalu tertata berantakan. Terakhir, gayanya dalam berseragam begitu menarik. Cukup rapi tapi juga sangat asik. Bahkan banyak sekali yang tahu kebiasaannya mengeluarkan baju seragam adalah disaat-saat ingin bermain basket. Entah untuk duel atau hanya untuk hiburannya saja.
Saat geraman lembut Rio terdengar baru menyadarkan Ify jika sedari tadi ia mendiamkan makhluk manis itu begitu saja. Tapi Ify tak berani menoleh. Tak berani lagi menyapukan pandangannya pada raut sempurna itu. Bahkan ia tak berani bebas bernafas saat sapuan angin samar-samar mempersilahkannya mencium aroma menggoda dari tubuh Rio. Wangi legit dari parfum beraroma maskulin bercampur aroma sengatan matahari siang yang sedari tadi sudah menyengat tubuh pemuda itu. Akh...seksi sekali.
"Terus elo ngapain jam segini masih ada disekolah ? Emangnya elo kelas berapa ?", tanya Rio memecah keheningan diantara mereka. Mematahkan kesunyian yang sudah tak sengaja ia maupun Ify ciptakan sejak tadi.
"Gue lagi nunggu jemputan, tapi nggak datang-datang. Gue kelas sebelas...uhm, sebelas ipa 2.", sahut Ify pelan.
"Gue Rio, ipa 1 fy. Eh, tunggu berarti elo sekelas sama Shilla kan ?", Rio menoleh dan memandang Ify secara penuh. Memindai wajah cantik berhidung bangir disampingnya. Dan Rio tak sadar jika gadis ini pelan-pelan mulai mencuri hatinya.
"Iya, elo kenal Shilla juga ?", jawabnya sambil tersenyum sebentar. Rio menggangguk pelan.
"Iya, dia kan ceweknya sohib gue. Gabriel.", Rio terkekeh sendiri dengan jawabannya. Sontak ia menumbukkan punggungnya pada sandaran kursi. Masih terlalu bangga saja dengan Gabriel yang menurutnya mau sekali menjalani kisah cinta yang dramatis. Cinta yang harus terus bertahan, meskipun sudah sekian kali rapuh ditempa perbedaan. Dan jujur saja Rio benci keadaan semacam itu.
Apa kabarnya sikap toleransi beragama yang diajarkan selama enam tahun full dalam pelajaran kewarganegaraan di sekolah dasar, jika hanya untuk sekedar teori dan materi pendidikan ? Ketika semuanya butuh pembuktian, bullshit !
Ataukah memang cinta yang terlalu buta ? Tak peduli pada siapapun, mau bagaimanapun, dalam keadaan apapun, atau bahkan dengan segudang perbedaan sekalipun ! Miris. Jika sudah begitu yang dirasa paling pantas menanggung beban kesalahan atas cinta beda agama itu adalah dua tokoh krusialnya.
"Ehm...yo ?", teguran lembut dari suara jernih Ify terdengar lagi.
"Hmm..."
"Elo sendiri ngapain belum pulang ? Nggak sholat jum'at ?"
Punggung Rio meninggalkan sandaran kursi. Tubuh jangkungnya menegak. Bola matanya yang hitam kelam secara serentak mengunci bola mata bening milik Ify yang terlihat sangat polos seperti anak kecil sedang menatapnya tak kalah bingung.       Sayup-sayup lantunan syahdu suara adzan jum'at yang berasal dari sebuah masjid megah yang terletak tak jauh dari jalanan kompleks sekolah turut mengisi celah pada hari yang tiba-tiba sunyi dan menyepi ini. Jernihnya suara sang muadzin kembali membuat Ify sadar jika waktu masih terus berdenting.
"Itu udah adzan.", kata Ify polos. Telunjuknya terangkat setinggi pelipisnya, memberikan isyarat. Namun matanya masih tetap konsisten disatu poros didepannya.
Dan perlahan senyum tipis terpoles samar. "Sori, gue nonmuslim fy...", ucap Rio sambil menggeleng mantab. Ia langsung menunduk. Menatap aneh pada si oranye yang berada dipangkuannya.
"Eh...gue yang sori yo sekali lagi, gue kira elo muslim.", lirih Ify tak enak.
"Nggak apa-apa fy."
Entah untuk alasan yang seperti apa, serentak mereka saling berpandangan. Mendiamkan keadaan. Ify mencengkram erat tali dari ransel broken whitenya sementara Rio menyusuri tekstur sedikir kasar pada permukaan melengkung bola basketnya. Akhirnya sebuah ringtone panggilan yang menggetar manja dari ponsel Ify menuntaskan aksi itu.
"Ya ?", sapa Ify setelah mendekatkan benda itu ketelinganya.
"Iya kak, Ify keluar."
Buru-buru gadis itu bangkit. Menepuk-nepuk sebentar bagian belakang rok pendek abu-abunya untuk kemudian menatap tak enak hati pada Rio yang mendongak untuk menatapnya juga sambil menyunggingkan tawa lebar. Gigi gingsul yang mencuat dari balik bibir tipisnya kali ini membuat Ify sesak napas. Manisnya lelaki satu itu ajaibnya tak pernah bosan untuk dilihat, apalagi dipandang lama.
"Gue pulang dulu yo, udah dijemput.", pamit Ify kaku.
"Hmm...oke.", Rio menggigit bibir bawahnya. "Gue minta nomor lo dulu fy !", lanjutnya lagi sambil mengeluarkan ponselnya dari saku. Setelah menyalin deretan angka acak dua belas digit yang disebutkan Ify padanya, Rio mendekatkan ponselnya ketelinga. Tak lama ringtone panggilan masuk kembali terdengar dari ponsel didalam genggaman tangan mungil Ify.
"Itu nomor gue. Take care fy.", kata Rio singkat. Ify mengangguk sambil menatapnya.
Serentak ada yang langsung melentingkan kesadaran keduanya. Bahwa mereka baru saja mempersilahkan malaikat penuh rasa cinta menuliskan goresan dramatis seperti kisah Gabriel dan Shilla. Bahwa setelah ini ada mereka yang harus siap ditempa habis-habisan oleh benteng tinggi yang tak terkalahkan. Jika kesamaan ada untuk saling menyempurnakan, maka izinkan sebuah perbedaan untuk bisa menggenapkan.
Punggung mungil gadis cantik itu menjauh dan menghilang diujung koridor utama sekolah, tapi Rio masih mengawasinya dengan ekspresi sulit terbaca. Tidak dari air mukanya, tidak juga dari matanya.
"Sial ! Manjur banget sumpahan Gabriel ke gue.", gerutu Rio cemas.


***


Ify memasang wajah sewajar mungkin saat sesosok lelaki muda yang masih berada diatas motor besarnya yang berwarna hitam mengkilap melepas helm. Dibalik helm fullface itu muncul seringaian penuh rasa bersalah dari wajah tampan milik kakak lelakinya, Cakka.
"Maaf cantik, kakak telat. Tadi ada urusan mendadak.", kata Cakka lembut. Setelah Ify mencapai sampingnya, tangannya bergerak mengusap pelan puncak kepala gadis yang berumur tiga tahun dibawahnya itu.
Ify pura-pura memasang tampang kesal. Meskipun rasa kesalnya pada Cakka akibat keterlambatan ini sudah lenyap entah kemana. Didalam rongga dadanya hanya ada luapan kebahagiaan juga kekhawatiran.
"Ck ! Enak aja maaf doang. Kakak tahu, aku nungguin udah dari jam berapa ?"
"Jam sebelas."
"Ahha ! Dan ini udah jam berapa ?"
Cakka melirik arloji mahalnya. "Jam satu lewat lima."
Ify menjentikkan jarinya tepat dihadapan kakaknya itu. Sebuah senyum sinis menyemu dibibirnya. "Udah berapa jam aku nunggu kakakku sayang ?"
"Iya-iya nggak usah bossy gitu ah ! Sebagai tanda maaf, kakak traktir makan siang di mall dekat sini gimana ?", rayu Cakka lagi. Senyuman sayang dari pria satu ini yang selalu membuat Ify tak tahan untuk marah lama-lama dengannya.
Ify memajukan bibirnya. Berlagak berpikir sambil melipat tangan didepan dada. Tapi ia akhirnya mengangguk senang.
"Maaf diterima. Eh tapi kakak nggak jum'atan ?", lanjutnya penuh selidik.
Cakka berdecak tak sabaran. "Ck ! Udah deh Alyssa bawelnya kamu itu lama-lama bikin kamu kakak tinggal lagi disini nih !"
Mendengar ancaman dari kakaknya itu, Ify buru-buru meraih pundak Cakka dan memilih segera naik diboncengan. Sambil nyengir, ia memeluk erat perut Cakka agar si cakep ini tak banyak omong untuk menyuruhnya ini dan itu. Cukup dia saja yang boleh bawel.
"Hehe...yuk ! Cheese burgernya ditambah satu ya kak, upah tutup mulutnya dari ayah kalo kakak nggak jum'atan hari ini."
Sambil memakai helmnya lagi, Cakka menggeleng pelan sambil menggerutu gemas. "Sekalian fy, borong aja satu toko."
Adiknya yang satu ini memang hoby sekali mengakalinya. Meminta ini itu padanya dengan raut manja yang selalu membuatnya tak tegaan. Tanpa menolak atau apapun, Cakka hanya mengangkat bahu santai, dan kemudian menarik gas motornya dengan kecepatan sedang.