Senin, 05 Januari 2015

ALUNAN UNTUK BEDA PART 8

Begitu peluit panjang ditiupkan oleh Pak Dave tanda pertandingan dimulai, serentak jeritan heboh langsung terdengar dari pinggir-pinggir lapangan. Puluhan pasang mata hawa begitu dimanjakan oleh aksi memukau dari sederet bintang lapangan yang sudah tenar sekali. Angkatan kelas XI yang langsung berduel dengan kelas senior XII.
Pertandingan masih berjalan santai namun tetap terlihat keren diantara mereka. Rio yang sesekali coba mengoper bola basket hitam yang berada ditangannya pada Gabriel sedikit mengerang dalam hati. Sahabatnya itu kali ini harus ia akui payah sekali. Sama sekali tak fokus pada pertandingan ini terutama pada bola yang lebih banyak direbut lawan ketimbang dipertahankannya. Rio tahu ini bukanlah seorang Gabriel Stevent yang biasanya.
Matahari semakin tinggi mencapai puncak singgasananya. Sinarnya sungguh menyengat, selayaknya kobaran semangat dari dua belas pemuda ditengah lapangan. Seragam sekolah mereka tak lagi rapi, kemeja yang bagian belakangnya sudah dibayangi keringan mencuat kemana-mana dari celana. Rio salah satunya. Ambisinya terdongkrak naik, begitu skor angka dipapan nilai terpampang. Ia hanya butuh tiga angka untuk menuntaskan pertandingan ini dan menang atas kelas XII.
Sambil menyeka keringatnya secara asal, mata elang Rio mengamati satu per satu timnya. Hanya Gabriel sebenarnya yang menjadi dia yakini mampu untuk menerima operannya. Tapi untuk kali ini. Terlalu beresiko jika mempercayakan pada Gabriel.
"Ray !", seru Rio disusul operan jitunya pada seorang pemuda gondrong yang berposisi lebih menguntungkan.
Ray dengan sigap menerima operan Rio. Ia mendrible sebentar tapi ketika tim lawan ia rasa tengah mengepung, dilepaskannya lagi bola itu pada Rio. Membuat Rio langsung berusaha fokus pada ring untuk melakukan shoot jitunya sekarang. Sebelum sempat Debo merebut bola itu darinya lagi, Rio sudah lebih dulu melemparnya. Selanjutnya menunggu detik-detik mematikan yang akan segera terjadi sesaat lagi.
Dug..dug..dug ! "Yeah !", pekik Rio girang dengan tangan yang mengepal diudara. Sibola jatuh ketanah setelah dengan mudahnya memasuki ring.
"YEEEEEEE RIOOOO !!!", koor heboh kembali menggema.

***

Sedetik aksi berbakat tadi, langsung membuat Ify tersenyum manis ditempatnya. Pandangannya berbinar, menatap Rio yang sedang menyeringai bangga sambil menyebarkan pandangannya pada semua penonton ditepi lapangan. Sudah seperti seorang atlet dunia yang baru saja membawa pulang sebuah kemenangan untuk negaranya. Seperti biasa, Rio pasti akan bertanding maksimal. Karena laki-laki itu tak hanya muncul berbekal wajah tampan, tapi dia juga mampu menjanjikan segudang kebolehan.
Tak mampu Ify pungkiri, sejumput rasa bangga juga menerbangkannya. Bagaimana seorang Rio Haling yang namanya dielu-elukan seluruh sekolah adalah seseorang yang telah membagi waktu khusus bersamanya. Tapi kemudian binaran senang diwajah Ify lenyap seketika, saat ia lihat masih betapa sendunya wajah Shilla. Gadis yang duduk tepat disampingnya itu termenung tak bersuara sejak tadi. Lebih tepatnya sejak ia turun kesekolah. Entah apa yang terjadi pada Shilla, tapi Ify merasa yang akhir-akhir ini dekat dengannya cemas. "Shil, anak kelas XI menang tuh !", tegur Ify bersikap wajar.
Shilla sedikit terlonjak. Ia kemudian menatap Ify dan memandang lurus ketengah lapangan. Sebuah senyum palsu terpaksa ia sunggingkan. "Mereka memang hebat kok.".
"Kalau boleh gue tau, elo kenapa Shil ?", Ify tak bisa tertipu oleh topeng wajah Shilla yang 'semuanya-sok-baik-baik-saja' itu.
Shilla menggeleng sambil tertawa. Tawa yang terdengar hambar sekali. Dia memalingkan wajah sebentar entah untuk apa tapi kemudian menatap Ify.
"Gue nggak apa-apa kok fy.", katanya lirih. Suaranya saja terdengar serak dan parau, apakah itu yang ia bilang baik-baik saja ? Ify mendesah. Ia memang tak sedekat sekarang dengan Shilla. Satu-satunya hal yang membuat mereka dekat adalah sepasang sahabat yang menjadi pacar mereka, Rio dan Gabriel.
"Yaudah. Tapi kadang masalah itu ada yang untuk diselesaikan ada juga yang untuk direnungkan Shil. Gue nggak tau yang mana yang lagi ngebebanin lo.", Ify menarik nafas dalam-dalam dan menepuk pundak Shilla. "Tapi yang jelas, semoga lo bisa ngatasinnya deh."
Cukup lama Shilla memandang gadis berdagu tirus disampingnya dengan mata yang mulai memanas. Ify teman yang cerdas, yang akan sangat bijaksana jika ia ajak bicara. Tapi Shilla juga tahu, cepat atau lambat Ify juga akan merasakan hal yang sama dengannya. Untuk itu, biarlah setiap jengkal kesakitan ini ia pendam sendiri. Ify tak boleh merasakan terpuruk dua kali.
Shilla mengangguk pelan. "Thanks fy.",
Ify memilih tersenyum sambil mengurut pelan lengan Shilla.

***

Dari tempat Rio berdiri, sekelebat bayangan pelan sosok jangkung yang meninggalkan tengah lapangan dengan punggung yang sedikit menunduk mengalihkan perhatiannya. Rio sendiri tak mengerti apa yang sudah terjadi dengannya, karena sepanjang pagi laki-laki dengan seringaian lucu itu belum ada menemuinya. Baru tadi, beberapa menit ketika pertandingan ini akan dimulai.
Entah apa yang sudah mengubah laki-laki jangkung itu sedrastis ini. Hidupnya yang biasanya penuh canda, tiba-tiba berbanting menjadi dia yang sedang terluka. Rio hanya mampu menghela nafasnya. Dalam diam ia biarkan tiap detak jantungnya berdoa pada Tuhan untuk sosok itu, si Gabriel sahabatnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar