TOK...TOK...TOK
Sebuah ketukan memaksa dijendela kamarnya setelah sebelumnya terdengar bunyi berisik yang tak wajar akibat tindakan seseorang yang melompati balkon kamarnya, membuat Rio yakin siapa yang kini ada dibalik jendela lebar yang tertutup rapat. Dia yang masih terjaga sambil berbaring, segera melirik jam berbentuk bola basket dimeja samping tempat tidur. Jam sebelas lewat dua puluh enam malam. Tak ada manusia kurang sopan yang masih ingin menyatroninya malam-malam begini selain anak sulung dari tetangga sebelah sekaligus sahabatnya, Gabriel. Setengah malas, Rio menyeret langkah menuju jendela besar kamarnya. Seringaian lucu milik Gabriel langsung menyapanya secara kurang ajar begitu jendela kamar terbuka lebar.
"Yo !", pekik Gabriel setengah tertahan. Tapi raut wajahnya penuh kobaran semangat.
Tanpa aba-aba, Rio langsung melompati jendela kamar menuju balkon. Sesaat kemudian dua pemuda jangkung itu sudah mendudukkan diri mereka diatas sebuah kursi rotan uzur kesayangan Rio. Entah untuk alasan apa, benda tua itu mati-matian ia pertahankan saat beberapa kali mamanya ingin mengganti dengan yang baru. Ada banyak kenangan yang menjadikan kursi tua itu saksi bisu. Mulai dari awal kisah persahabatannya dengan Gabriel, lalu ribuan sore yang selalu ia lewati bersama papanya dengan secangkir kopi susu, dan hal-hal kecil lainnya yang membuat Rio tak mudah melepaskan begitu saja.
"Pulang jam berapa lo tadi ?", tanya Gabriel akhirnya. Membungkam suara jangkrik yang sedari tadi sudah menjadi latar suara diantara mereka.
"Elo yang tadi pulang jam berapa ? lo pikir lo bisa ngadalin gue brother ?!", ucap Rio sambil menoyor kesal kepala Gabriel.
Tawa renyah Gabriel pecah, saat Rio lagi-lagi mampu membalik keadaan. Secara total membuatnya kalang kabut jika setelah ini menyusul pertanyaan-pertanyaan yang wajib jawaban jujur darinya. Sahabatnya itu lebih cocok menjadi hakim ketua dibanding menjadi pembasket hebat, selalu begitu argumen andalan Gabriel.
"Shilla ngajak nonton dulu tadi.", aku Gabriel sambil menggaruk tengkuknya.
Tak ada sahutan lagi dari Rio. Dia hanya mengendikkan bahunya secara acuh kemudian mendongak. Pekatnya awan hitam mengusik pikirannya. Sebuah hal yang selama ini jarang sekali singgah diotak tuan muda Haling itu. Karena pelajaran, basket, juga musik sudah cukup menyita hampir seluruh memori otak jeniusnya.
"Heeh !", Gabriel menyenggol lengan Rio secara tiba-tiba ketika ia sadar ternyata sosok disebelahnya itu sedang melamun.
"Hmm..."
"Kenapa lo ngelamun ?"
"Gue ngantuk kambing."
"Oh !",
Rio menoleh. Memamerkan ekspresi yang seolah berkata -nggak tau diri banget lo sumpah !-. Membuat Gabriel yang duduk disebelahnya sekaligus memandanginya dengan senyum lebar menjadi tahu diri. Sudah saatnya kembali kekamar masing-masing sepertinya. Lagipula ia tadi hanya berniat mengambil sesuatu dikamar Rio, bukan untuk begadang bersama begini.
"Iya-iya nyantai aja kali ekspresinya yo. Bikin gue pengen nyium elo tau nggak. Yaudah gue pulang nih !",Gabriel berdiri dari duduknya. Ia mulai melangkah tapi kemudian melompati jendela kamar Rio yang terbuka. Membuat sipemilik mendengus kesal ditempatnya.
"Ngapain lagi lo ?",
"Ck ! Gue cuma mau ngambil bola yo.", sahut Gabriel yang sudah kembali melompat keluar jendela kamar Rio dengan tangan kiri dan pinggang yang mengapit benda bundar tersebut.
"Yaudah minggir elo dari situ, gue mau masuk.", kata Rio sambil berkacak pinggang dihadapan Gabriel yang menutupi jalannya.
"Yaudah nih !", Gabriel menggeser posisi tubuhnya. Memberi sedikit jalan untuk Rio yang sesaat kemudian sudah berada didalam kamarnya dan menutup jendela tanpa permisi tepat didepan muka lelaki berwajah charming tersebut.
"Eh..buset! Perlu gue ajarin sopan santun lagi elo kayaknya bro !", kata Gabriel lagi sambil menggelengkan kepalanya.
Senin, 05 Januari 2015
ALUNAN UNTUK BEDA PART 2
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar