Dengan gerakan yang sudah setengil Gabriel, kali ini justru Rio yang gantian melompati balkon kamar sahabatnya itu dari balkon kamarnya sendiri. Hanya saja, gerakannya lebih santai, sehingga tak menimbulkan suara gaduh apapun selain hanya suara saat kaki panjangnya mendarat diatas balkon berubin dingin itu.
TOK...TOK...
Rio mengetuk kaca jendela Gabriel. "Yel.."
Tak lama setelahnya kaca jendela besar itu terbuka, memperlihatkan pada Rio tampang Gabriel yang tak karuan. Rambutnya acak-acakan, air mukanya sendu dan meredup, tak secerah seorang Gabriel yang biasanya.
"Elo yo ! Ngapain lo kesini ? Biasanya juga gue yang nenangga.", kata Gabriel ditutupi cengirannya. Bukan cengiran tengil melainkan cengiran yang sengaja hadir untuk menutupi dukanya.
Bukannya menjawab Rio hanya tersenyum miring dan lebih memilih duduk dikursi plasik tepat disamping jendela. Gabriel memilih posisi untuk duduk seadanya dikusen jendela.
"Ada apa sih yel ?", tatapan tajam mata Rio membuat Gabriel mendesah. Tak pernah sekalipun ia dapati pandangan menggigilkan itu dari sahabatnya. Kecuali memang ada sesuatu yang benar-benar membuat Rio tertekan. Dan kini tekanan itu nyaris menyeruak pada pancaran menusuk lelaki hitam manis itu.
Gabriel menatap Rio dengan pandangan kosong. Tapi begitu menyambar pancaran menohok dimata sahabatnya itu, angan Gabriel kembali mundur pada peristiwa sore kemarin. Peristiwa menyakitkan yang begitu saja mengobrak-abrik kehidupannya. Tentang tentangan itu, tentang larangan itu, tentang satu kata getas yang membuatnya memilih menundukkan muka.
***
Deru motor Gabriel langsung ia matikan begitu roda depannya sudah memasuki pekarangan rumah Shilla. Sambil menoleh kebelakang, ia menanti Shilla yang segera turun dari boncengannya. Sore yang cerah dan indah. Apalagi saat gadis itu mulai tersenyum manis sebagai ucapan terima kasihnya.
"Engg...makasih ya. Buat hari ini terutama.", tak tahu lagi harus mengatakan apa, Gabriel menggaruk sebentar belakang telinganya. Ternyata satu tahun lebih berpacaran dengan Shilla belum juga mampu melunturkan kesalahtingkahannya setiap kali baru saja melewatkan satu hal manis bersama. Shilla menunduk dengan jari yang justru memutar-mutar ujung cardigannya.
"Kamu !", suara berat dan terdengar ketus mengalihkan keduanya. Tepat didepan pintu rumah Shilla seorang lelaki berperawakan tinggi sedang menatap Gabriel dengan pandangan yang tak lebih dari sekedar virus kecil yang amat merusak.
"Papa...", hanya itu yang mampu Shilla katakan setelah sang ayah menatapnya dengan tajam pula. Seperti seorang hakim yang siap mengadili terdakwanya.
"Apasih yang diajarkan pada kamu ? Apa dikepercayaanmu tidak pernah diajarkan yang namanya tahu diri?", setiap kalimat yang diucapkan oleh papa Shilla terdengar menyakitkan. Sungguh mematikan.
Gabriel masih menunduk dalam, menggigit bibir bawahnya menahan geram.
"Harusnya kamu sadar, carilah perempuan lain yang berasal sepertimu. Jangan pernah merusak Shilla."
"Pa.."
"Diam kamu !", bentak papa Shilla pada putrinya itu dengan telunjuknya yang mengacung kaku tepat kearah Shilla yang mulai terisak.
Pandangannya kembali pada Gabriel. "Dan kamu ! Saya benar-benar tidak ingin anak saya dilaknat Tuhannya hanya gara-gara iblis kecil sepertimu. Menjauhlah dari Shilla !"
Ketika kalimat demi kalimat setajam ujung pedang itu semakin membelenggunya, yang mampu Gabriel lakukan hanya terdiam tanpa bisa berkata apa-apa. Bagaimanapun laki-laki didepannya itu orang tua. Tak pernah ada izin yang diberikan padanya untuk tidak menghormati orang tua. Dengan sisa sadarnya Gabriel mulai kembali memakai helmnya dan segera memutar motornya. Sebelum ia mendorong motornya keluar dari halaman rumah Shilla, ia sempat menengok kebelakang lagi. "Saya pamit pulang om."
Tak ada sahutan, papa Shilla masih menatapnya dengan sebelah alis yang terangkat tinggi lalu membuang ludah. Gabriel menormalkan posisi lehernya kembali. Dalam diam dia mulai menuntun pelan motornya keluar gerbang rumah Shilla.
"Pak to, tutup rapat gerbangnya ! Jangan pernah lagi izinkan anak itu masuk !", seru papa Shilla selangkah setelah Gabriel keluar dari wilayah pribadinya.
Gabriel memilih tak lagi memperdulikan kata-kata menyakitkan itu untuk yang kesekian kalinya. Dia lebih memilih segera menuntun motornya hingga ujung jalan dan segera menyalakan mesin dengan raungan yang halus.
***
Rio menelan ludahnya saat pelan sekali suara Gabriel selesai menceritakan apa yang terjadi sebenarnya. Setelah itu, diliriknya Gabriel yang sedang memijat pelan pangkal hidungnya sambil menunduk dalam. Laki-laki tengil itu tampak rapuh sekali dimata Rio.
"Gue nggak punya solusi apapun yel sekarang buat lo, tapi gue rasa doa lo bisa ngejawab semuanya.", ada sebuah aliran hangat yang Gabriel rasakan ketika tangan kokoh Rio menepuk pundaknya.
Sekali lagi mereka berdua saling berpandangan. Dua lelaki tampan yang menyendu dibawah siraman cahaya redup sang purnama. Berusaha saling menguatkan meskipun pada dasarnya diantara mereka tak pernah ada energi besar selain berasal dari kata tulus persahabatan.
Rio juga Gabriel sama-sama mendesah. Dengan tangan yang perlahan merangkul erat bahu Gabriel, Rio memberikan wajah lembutnya. Dengan senyum manis, dengan mata yang kembali teduh, dengan pandangan yang menegaskan pada sahabatnya itu jika setelah ini segalanya akan kembali baik-baik saja.
"Gue berharap, elo nggak pernah ngerasain ini juga yo.",
Senin, 05 Januari 2015
ALUNAN UNTUK BEDA PART 10
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
next dong.... kereeeen :)
BalasHapusnext dong? ceritanya keren, sayang kalo gak dilanjutin authornya. berharap happy ending nih cerita. ditunggu banget supaya cepet lanjut thor.
BalasHapusNext part nya dong
BalasHapusyagh... kok cuman segini doang.... Lanjutin donk jdi penasaran nich...
BalasHapus