Selasa, 26 Juni 2012

The Truth About Forever - Chapter 16 : She Is Fine (Ending)

Tersenyumlah saat kau mengingatku,



karena saat itu aku sedang merindukanmu.



Jangan teteskan air matamu saat kau merindukanku,



karena saat itu aku sudah tak berada di sampingmu,



dan jemariku sudah tak bisa lagi menghapus air matamu.



Tapi, pejamkanlah kedua mata indahmu,



karena saat itu aku akan terasa ada di dekatmu.



Mungkin, raga kita tak lagi bisa bertemu.



Mungkin, lengan ini sudah tak bisa lagi merengkuhmu.



Mungkin, diri ini sudah hilang dan mati bersama sang waktu.



Tetapi, cinta ini akan terus hidup bersamamu.





(Mario)





Pantai Bandung.



Langit lembayung keemasan.



Matahari terbenam.



Remang-remang.



Angin pantai berembus pelan.



Dingin.



Seorang gadis berdagu tiruis masih duduk bersandar pada batang pohon kelapa. Di tangannya terdapat iPod dan

sebuah novel yang kini sedang didekapnya erat-erat. Mata indahnya tertuju pada lintingan awan kemerahan di langit lembayung. Angin berembus dengan kencang, membuat tubuh mungilnya menggigil.



Dia mungkin tampak seperti sedang menunggu seseorang, tapi pada kenyataannya dia tidak sedang menunggu siapa pun. Dan, kini yang ada di dalam benaknya hanyalah seorang pemuda tampan manis yang tak pernah ditemuinya dalam tiga bulan ini—dan tidak akan pernah ditemuinya lagi. Terakhir kali dia melihat pemuda itu adalah saat pemakamannya, itu pun hanya sosok dingin yang sedang terbujur kaku saja yang dijumpainya. Ya, pemuda itu telah meninggalkannya untuk selamanya. Seseorang yang mencintainya. Seseorang yang juga amat dicintainya.



Hari ini pantai lebih sepi daripada hari-hari biasanya. Memang, cuaca hari ini sedang tidak kompak dengan kehendak orang-orang yang menantikan saat bersenang-senang di tengah buih ombak. Tapi, apabila alam berkehendak lain memangnya apa yang bisa kita lakukan?



Laut mulai pasang, angin pantai yang berembus membuat bulu roma merinding, dan juga ditambah dengan langit yang sudah remang-remang. Orang-orang pasti lebih memilih tinggal di rumah atau dalam kamar hotel.



Walau begitu, gadis itu tetap setia duduk di bawah pohon kelapa. Di telinganya masih terpasang sebuah headphone besar, dan entah sudah berapa kali dia mendengar suara hati seorang Mario Stevano, pemuda yang dicintainya. Ya, sebuah rekaman di dalam iPod pemberian pemuda tampan itu yang baru saja disadari keberadaannya oleh Ify, gadis berdagu tirus.



Sejak menyadari keberadaan rekaman itu—sekitar satu jam yang lalu, Ify terus menerus memutar ulang rekaman suara Rio, sampai baterai iPod-nya habis.



Sekarang, Ify sedang memandangi langit yang sudah mulai gelap, tanda bahwa sang malam sebentar lagi akan menyelimuti kota Bandung. Pikiran Ify sendiri sudah melayang entah ke mana.



Walau sudah tiga bulan berlalu, bayang Rio tak pernah lelah hinggap di pikiran gadis itu. Hampir setiap malam, Ify memimpikan Rio di alam tidurnya. Tak satu pun hal dari diri seorang Rio yang sanggup dilupakannya. Mata indahnya, hidung peseknya, kulit hitam manisnya, senyum simpul yang sering kali menghiasi bibirnya, tubuh jangkung yang dulu selalu direngkuhnya saat pemuda itu kesepian, tangan hangat yang mengusap kepala Ify saat gadis itu menangis, bahkan sampai semua kata-kata pedas yang pernah meluncur dari mulut Rio pun tak luput dari ingatan gadis bertubuh mungil itu.



"Rio," ucap Ify di tengah lamunannya. "Kamu sekarang lagi ngapain di Sana?"



Tanpa disadarinya, air mata mulai menetes dari mata indahnya, jatuh membasahi pasir putih yang sedari tadi menjadi alas duduknya. Setetes air mata mulai jatuh lagi, tapi kali ini cepat-cepat dihapus oleh Ify.



Dia tidak ingin menangis karena Rio lagi, dia harus menjadi seorang gadis yang tegar. Lagi pula, dia juga tak ingin Rio melihat air mata kesedihannya lagi di surga. Karena dia tahu kalau sampai saat ini pun, Rio masih tetap melihat dan menjaganya dari Sana. Jadi, dia hanya ingin Rio melihat senyum bahagianya saja.



Ya, tak akan ada lagi air mata kesedihan. Semua akan Ify jalani dengan senyuman, karena semuanya pasti akan berjalan dengan semestinya. Pasti akan baik-baik saja. 'Aku janji, aku nggak akan cengeng lagi, Yo,' tekad Ify dalam hati.



Ify tersenyum sambil masih menatap langit luas yang membentang di atas kepalanya. Dia seolah melihat Rio di sana. Rio yang sedang memandang lembut ke arahnya, seakan berbicara padanya, "Tetaplah tersenyum, Ify."



Walau raga Rio sudah tak berada di sisi Ify lagi, dia akan tetap selalu hidup di dalam hati Ify. Tak akan ada yang bisa memadamkan kobaran api cinta mereka berdua. Bahkan maut sekali pun.



"Gue kira nggak bakal ada orang yang mau ke pantai di saat pasang kayak gini."



Sebuah suara menyadarkan lamunan Ify.



Ify mengalihkan pandangannya ke asal suara, melihat orang yang kini sedang berdiri beberapa meter di sampingnya.

Orang itu hanya memakai kaus, yang dirangkap kemeja. Kancing kemejanya ia biarkan terbuka semua, mengakibatkan kemeja itu melambai-lambai tertiup angin. Celana panjangnya yang terlipat sedikit di bagian bawah dipenuhi pasir. "Alvin?"



"Hai, Fy," balas pemuda itu sambil menyunggingkan senyum ramah. Bertelanjang kaki, Alvin segera beranjak mendekati Ify, sepatunya ditenteng di tangan kirinya.



"Kok, kamu bisa ada di sini?" tanya Ify heran. "Aku denger dari Shilla, kamu udah nggak tinggal di Bandung lagi. Bukannya kamu udah menetap di Manado?"



"Gue..." Terbesit nada bingung dalam suara pemuda berambut nyentrik itu. "Gue nyariin lo."



Ify mengernyit bingung. "Nyari... aku?" Jelas saja kalau Ify bingung, karena dia baru pernah sekali bercakap-cakap secara langsung dengan Alvin—itu pun hanya beberapa menit, sesaat setelah pemakaman Rio selesai. "Ada perlu apa?"



Alvin terdiam sesaat, bingung dengan apa yang akan dikatakannya setelah ini. Sampai akhirnya….



"Gue mau minta maaf," ujarnya sambil berlutut di hadapan Ify. Kepalanya ditundukkan dalam-dalam.



"Eh? Kamu ngapain berlutut kayak gitu, Vin?" kata Ify kaget dengan apa yang baru saja dilakukan Alvin. Ify segera bangun dari duduknya dan beranjak menuju pemuda itu, berusaha menyuruhnya untuk tak lagi berlutut.



"Gue bener-bener minta maaf, Fy." Kepala pemuda bermata sipit itu masih menunduk, berusaha menyamarkan matanya yang sudah berkaca-kaca.



"Minta maaf?" Ify jadi makin bingung dengan kata-kata Alvin. "Minta maaf buat apa?"



"Maaf karena… gue udah ngebuat Rio pergi dari sisi lo." Suara Alvin terdengar bergetar, seperti sedang menahan tangis.



"Maksud kamu apa, sih?" tanya Ify, masih belum mengerti dengan arah pembicaraan pemuda yang sedang berlutut meminta maaf padanya itu.



"Gue yang menyebabkan Rio meninggal di hari itu, tiga bulan yang lalu," ucap Alvin setelah berhasil memantapkan diri untuk mengatakannya.



Ify kembali mengernyit bingung. Bukankah Rio meninggal karena kecelakaan saat mau menyelamatkan anak kecil yang terjatuh di tengah jalan? Setidaknya, itulah yang didengar Ify saat Manda—ibunda Rio—memberitahukan kabar

kematian Rio padanya.



"Gue yang udah ngebuat Rio ketabrak mobil di hari itu," kata Alvin lagi. Tubuhnya yang tadi berlutut di hadapan Ify, kini sudah melorot jatuh terduduk di pasir pantai. Wajahnya masih tertunduk, sedangkan kedua tangannya sibuk menjambak-jambak rambutnya frustasi. "Gue... gue yang udah ngebunuh dia, Fy."



"Tunggu sebentar, Vin! Maksud kamu apa, sih?" tanya Ify lagi, mulai kesal dengan perkataan Alvin yang sama sekali tak dapat dimengertinya. "Kenapa kamu bisa bilang kayak gitu? Bukannya Rio meninggal karena kecelakaan waktu mau nyelametin anak kecil yang jatuh di jalan?"



Alvin menatap pasir pantai di bawahnya dengan pandangan nanar. "Waktu itu... gue sama Rio baru aja selese ngeliat pemutaran film Rio. Sampai saat itu, keadaan masih baik-baik aja, Fy. Tapi setelah itu, tiba-tiba kami berdua denger suara teriakan seorang ibu yang anaknya terjatuh di tengah jalan raya, dan di saat itu juga, sebuah mobil melaju sangat cepat menuju anak kecil yang jatuh di jalan itu." Alvin terdiam sesaat untuk menarik napas. "Dan, gue secara refleks langsung lari ke tengah jalan, berusaha nolong anak itu. Tapi, terlambat. Jarak antara mobil itu dengan gue tinggal satu meter lagi.



"Waktu itu gue udah bener-bener pasrah dengan apa yang bakal terjadi sama gue selanjutnya, gue bahkan sempat berpikir kalo gue bakal mati ketabrak mobil sinting itu. Sampai akhirnya... gue denger suara teriakan Rio." Alvin sudah benar-benar tak kuasa membendung air matanya. "Dia... ngedorong gue sampai gue dan anak kecil yang ada di pelukan gue terjatuh, dan keluar dari jalur jalan mobil itu."



Ify terkesiap kaget mendengar cerita sebenarnya yang mengalir melalui mulut Alvin. "Terus... Rio...?"



"Ya, gue sama anak umur lima tahun itu emang selamat. Tapi, Rio... gara-gara dia ngedorong gue waktu itu... dia ketabrak mobil itu sampai terpental," kata Alvin sambil terisak. "Dia emang masih sempat bernapas sesaat setelah ketabrak mobil itu... tapi, beberapa menit kemudian... dia meninggal di lokasi kejadian.



"Gue bener-bener masih inget betul gimana sosok Rio saat itu. Sekujur tubuhnya yang bersimbah darah tergolek tak berdaya, luka di kepalanya seolah nggak bisa berhenti mengeluarkan darah segar, wajahnya yang berjuang menahan rasa sakit sesaat sebelum dia menghembuskan napas terakhirnya, gimana dia berusaha mengucapkan maaf sambil terus-terusan menyebut nama lo dengan sisa-sisa kekuatan yang dia punya, dan gimana dia meninggal tepat di depan kedua mata gue," ujar Alvin lagi.



Ify berusaha untuk tidak menangis setelah mendengar cerita Ichigo. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri, dan juga pada Rio, bahwa dia tidak akan cengeng lagi. Dia akan menjadi sosok gadis yang tegar. "Alvin..." Ify berusaha menyejajari pemuda yang tengah jatuh terduduk di pasir itu. Tangan kecilnya mengelus-elus punggung Alvin untuk menenangkannya.



"Ify..." Alvin mengangkat wajahnya, memerlihatkan air mata yang tadi dengan susah payah berusaha dibendungnya.

"Gue yang udah ngebunuh Rio. Gue nggak pantes buat jadi seorang sahabat bagi Rio."



Ify terdiam sebentar, tangannya berusaha menahan tangan Alvin yang akan menjambak rambut lagi. "Vin, kamu tau kenapa waktu itu Rio ngedorong kamu tanpa memedulikan keselamatan dirinya sendiri?"



Alvin menatap mata Ify tanpa bisa menjawab apa-apa.



"Karena dia nggak mau kehilangan seorang sahabat untuk yang kedua kalinya," kata Ify lagi. "Dia udah pernah ngerasain gimana rasanya kehilangan seorang sahabat, Vin. Dan, dia nggak mau ngerasain hal menyakitkan itu lagi."



Alvin terperangah mendengar ucapan Ify. "Gabriel?"



Ify mengangguk pelan. "Dia nggak mau kehilangan kamu, seperti dia kehilangan Gabriel dulu. Dia nggak mau menyesal di kemudian hari."



Alvin kembali tertunduk dalam diam.



"Jadi, jangan pernah sesali apa yang udah Rio perbuat tiga bulan yang lalu, Vin," ujar Ify sambil tersenyum manis.

"Dia menyelamatkan kamu bukan untuk membuat kamu menyesal atas kematiannya. Aku yakin, Rio bakal sedih banget di alam Sana kalo ngeliat kamu terpuruk kayak gini."



Ify membantu Alvin untuk berdiri dari duduknya. "Lagi pula, itu bukan kesalahan kamu, kok. Kamu, kan, cuma berniat baik buat nolong anak kecil itu. Bukannya sengaja mau menabrakkan diri ke mobil itu."



Ucapan Ify tadi membuat Alvin tersenyum lega. Ternyata pemikirannya selama ini salah. Dia kira, Ify akan membencinya setengah mati setelah tahu kalau dialah yang menyebabkan Rio meninggal saat itu.



"Ah, ngomong-ngomong, kenapa Tante Manda bilang ke aku kalau Rio meninggal karena nolongin anak kecil yang jatuh di jalan, ya?" tanya Ify heran.



Alvin tersenyum geli mendengar pertanyaan Ify yang tak jelas ditujukan kepada siapa. "Sebenernya, semua orang udah sepakat buat merahasiakan sebab kematian Rio yang sebenernya dari lo."



"Hah? Kok gitu, sih?" protes Ify sambil mengerucutkan bibirnya kesal. "Curang! Masa cuma aku yang nggak boleh tau?"



Alvin lagi-lagi tersenyum geli melihat tingkah Ify yang kekanak-kanakan. "Mereka semua ngelakuin itu karena gue. Mereka nggak pengen lo ngebenci gue setelah tau sebab kematian Rio yang sebenernya," jelas Alvin. "Lagian, Tante Manda nggak bohong-bohong amat, kan? Rio emang meninggal karena ngedorong gue yang mau nyelametin anak kecil."



Ify berdecak sebal membuat Alvin tergelak. "Itu beda tau!" ketusnya. "Ah, terus... kenapa kamu malah ngasih tau hal itu ke aku?"



Alvin terdiam seketika dari tawanya, lalu tersenyum miris. "Karena gue nggak bisa terus-terusan nutupin kesalahan gue. Setiap malem gue mimpi buruk tentang peristiwa kecelakaan itu," katanya kemudian. "Gue nggak peduli walaupun bakal lo benci seumur hidup setelah gue ngasih tau yang sebenernya sama lo, Fy."



"Tapi, buktinya aku nggak marah, kan?" sanggah Ify.



Alvin kembali tersenyum. "Itu dia yang bikin gue bingung."



Ify mengernyitkan dahinya, lalu menghela napas lelah. "Mau sampai kapan aku mesti terus-terusan bilang kalo itu bukan salah kamu?" katanya. "Aku nggak marah karena emang aku nggak berhak marah sama kamu yang nggak salah apa-apa. Jadi, berhentilah menyalahkan diri kamu sendiri, Vin."



Alvin lagi-lagi terperangah setelah mendengar ucapan-ucapan Ify, lalu tiba-tiba tergelak hebat.



"H-hei, Vin! Kamu udah gila, ya?" tanya Ify ngawur. "Tadi nangis, sekarang ketawa... Dasar aneh!"



Alvin masih saja tertawa, tak memedulikan ejekan pujaan hati almarhum sahabatnya itu. Tapi, tiba-tiba tawanya berhenti, lalu dia memandang Ify dengan lembut. "Gue jadi tau, kenapa Rio begitu mencintai lo."



Semburat merah tiba-tiba menghiasi wajah cantik Ify, membuatnya semakin terlihat manis di bawah sinar rembulan yang bersinar temaram. Ya, sang dewi malam memang sudah menampakkan dirinya, menandakan kalau hari sudah mulai malam. "M-maksud kamu?" tanya Ify terbata-bata.



Alvin tersenyum geli melihat Ify yang salah tingkah. "Udahlah. Lupain aja!" godanya sekali lagi sambil kabur sebelum terkena amukan gadis itu.



"A-Alvin!" teriak Ify kesal, sambil mengejar Alvin yang berusaha kabur.



"Ah, udah malem," ujar Alvin sambil berbalik menghadap Ify yang masih berada jauh di belakangnya—nampaknya gadis itu tidak bisa menyaingi kecepatan lari Ichigo. "Gue mau balik ke hotel. Lo gue enterin pulang, ya?"



Ify yang masih kelelahan akibat berlari tadi hanya bisa menjawab dengan anggukan kepala. "Kamu tinggal di hotel?" tanyanya beberapa saat kemudian.



"Iya," jawab Alvin. "Gue cuma sebentar di Bandung."



"Jadi, kamu ke sini cuma buat minta maaf sama aku?" tanya Ify heran.



"Awalnya, sih, gitu. Tapi, ternyata ada kerjaan juga yang harus gue beresin di sini," jelas Alvin.



Ify hanya ber'oh' ria setelah mendengar penjelasan pemuda yang berjalan di sampingnya itu. Mereka berdua sekarang sedang berjalan menuju tempat di mana Alvin memarkir mobilnya. "Kamu pulang ke Manado kapan?"



"Tiga hari lagi," jawab Alvin pendek. "Kenapa?"



"Eh? Nggak... nggak apa-apa," elak Ify sambil mengibas-ngibaskan tangan kanannya.



Alvin mengernyit heran. Lalu tiba-tiba, ide bagus terlintas di otaknya. "Lo mau ikut gue balik ke Manado?" tawar Alvin to the point.



"Apa?" Ify terkejut setengah mati mendengar tawaran Alvin. "M-maksud kamu apaan?"



"Eh? B-bukan... bukan gitu maksudnya." Kini, giliran Alvin yang salah tingkah, wajahnya sedikit memerah. "Maksud gue... kita sama-sama ke Manado. Lo pasti pengen ngunjungin makamnya Rio, kan? Dan, ntar selama di sana, lo bisa nginep di rumahnya Rio. Gue yakin, Om Zeth sama Tante Manda nggak bakal keberatan."



Mendengar hal itu, wajah Ify langsung berseri-seri, layaknya seorang anak kecil yang baru dibelikan mainan baru. Lalu dia mengangguk dengan mantap. "Iya, aku mau."



Alvin menghela napas lega karena kesalahpahaman tadi tidak kembali berlanjut. "Oke, kalo gitu. Lo gue jemput di rumah tante lo tiga hari lagi."



Ify kembali mengangguk riang. "Jam berapa?"



"Mungkin sekitar jam delapan pagi."



Mereka berdua pun segera melanjutkan langkah mereka menuju mobil Alvin yang terparkir tak jauh dari posisi mereka sekarang.



'Tunggu aku, ya,Yo,' ujar Ify tak sabar dalam hati. Dia benar-benar senang dengan tawaran Ichigo tadi. Sebenarnya, sudah lama Ify ingin mengunjungi makam pemuda yang dicintainya itu, tapi karena terbentur dengan masalah di-mana-dia-harus-tidur-selama-di-sana, dia tidak pernah jadi pergi ke Manado. Dan sekarang, ada sahabat Rio yang berbaik hati memberikan tumpangan dan mencarikan tempat tinggal sementara untuknya, mana mungkin dia menolak kesempatan emas itu.



Senyum kebahagiaan masih saja menghiasi wajah cantik Ify ketika Alvin menurunkannya tepat di depan rumah Winda—tante Ify.



"Sampai ketemu tiga hari lagi, ya, Fy," kata Alvin sebelum mereka benar-benar berpisah.



Ify mengangguk pasti. "Sampai ketemu. Makasih tumpangannya," katanya.



Setelah mengucapkan salam perpisahan, Alvin segera menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, kembali meluncur di jalan raya.



'Sepertinya dia baik-baik aja, Yo. Dia juga sepertinya udah nggak membutuhkan penjagaan dari gue. Dia udah tumbuh menjadi seorang cewek yang tegar,' ujarnya dalam hati sambil melirik kaca spion mobilnya yang menampilkan sosok Ify yang semakin mengecil seiring dengan laju mobilnya. 'Lo nyuruh gue buat ngegantiin lo? Yang bener aja!'



Alvin mendengus kesal. 'Dia mungkin nggak akan pernah bisa ngelupain lo, Rio, selamanya. Bahkan cuma dengan menyebut nama lo aja dia langsung girang kayak gitu,' katanya dalam hati. 'Lo bakal selalu tetap di hatinya.'



Alvin menatap jalan yang terbentang di hadapannya lurus-lurus. Pegangan tangannya pada kemudi mobilnya tiba-tiba menguat.



'Tapi, gue akan tetep ngejaga Ify, Yo,' tekad Alvin dalam hati. 'Demi janji gue sama lo.'





Tak ada lagi yang tersisa untukku,



selain kenangan-kenangan indah bersamamu.



Mata indah yang darinya aku bisa melihat keindahan cinta,



mata indah yang dulu adalah milikku,



mata indah yang kini sudah tak lagi bisa kupandang.



Kini, semua terasa jauh meninggalkanku.



Hidup ini terasa kosong tanpa alunan suaramu.



Hati, cinta, dan hidupku adalah milikmu.



Cintamu tak 'kan pernah membebaskanku.



Bagaimana mungkin aku bisa terbang untuk mencari cinta yang lain,



di saat sayap-sayapku telah patah dan hancur seiring kepergianmu.



(Alyssa Saufika)



Ify berjalan menelusuri jalan setapak, menuju pepohonan. Tempat ini cukup sepi, tak ada siapa pun. Yang terdengar hanya suara tapak kaki Ify dan suara pinggiran rok panjangnya yang mendesir membelai rerumputan.



Di tangan Ify terdapat seikat bunga lily putih. Ia berjalan menuju batu nisan yang bersembunyi di balik pohon kamboja. Ify mendengar nyanyian burung. Ia menengadah, terdapat sarang burung di salah satu dahan pohon kamboja itu. Induk burung sedang memberi makan anak-anaknya.



Sambil berlutut di depan nisan, Ify meletakkan seikat bunga yang dibawanya, lalu mulai berdoa. Sesaat setelah itu ia terdiam, memandang nama yang terukir di nisan itu: Mario Stevano. Di depan batu nisan itu juga terdapat sebuah foto yang memperlihatkan wajah tampan pemuda pemilik nama Rio itu, ditangan kanan pemuda itu tergenggam sebuah piala kemenangan yang terbuat dari kaca. Ify tersenyum ketika melihat wajah Rio yang begitu gembira di dalam foto itu.



Hari ini adalah hari yang selalu ditunggu-tunggu Ify, di mana dia akhirnya bisa mengunjungi makam Rio. Tapi, kali ini dia pergi sendiri. Alvin yang tak bisa mengantarnya karena ada pekerjaan penting, terpaksa meminta bantuan Shilla untuk menggantikannya mengantar Rukia.



Dan, Shilla memang mengantarnya menuju ke tempat pemakaman di mana Rio dimakamkan, tetapi tiba-tiba gadis itu juga ada urusan penting yang berhubungan dengan pekerjaannya, sehingga terpaksa ia tinggalkan Ify sendiri di makam Rio. Jika Ify sudah selesai, gadis itu disuruh menghubunginya, dan Shilla akan segera menjemputnya.



"Aku kangen sama kamu, Yo," ujar Ify lirih. "Setiap malem aku mimpiin kamu. Aku nggak pernah bisa ngelupain kamu, Yo."



Ify berbicara pada nisan itu. Pikirnya, mungkin dengan begitu Rio bisa mendengarnya. "Orang tua kamu juga pasti begitu. Mereka sayang banget sama kamu, Yo," katanya lagi. "Mereka juga baik banget sama aku. Selama aku tinggal di Manado, mereka ngebolehin aku buat nginep di rumah keluarga kamu."



Ify mengelus lembut nisan Rio. "Kamu juga punya temen-temen yang baik di sini. Mereka semua peduli sama kamu. Kamu bener-bener beruntung, ya, Yo."



Senyuman manis masih terkembang di wajah cantik Ify. "Kamu sendiri kangen, nggak, sama kami semua?"



"Dia nggak bakal ngejawab pertanyaan lo."



Ada seseorang berdiri di belakang Ify. Tangan kirinya menggenggam sebuket bunga lily putih, sementara tangan kanannya menenteng jas hitam yang disampirkannya di pundak sebelah kanan. Dasi yang digunakannya agak sedikit longgar berkibar tertiup angin.



"Alvin?" tanya Ify heran. "Ngapain kamu di sini? Kerjaan kamu udah selesai?"



Alvin hanya mengangguk kecil, lalu berjalan menghampiri Ify dan ikut berlutut di sebelahnya. Pemuda itu meletakkan bunga yang dibawanya di samping bunga yang baru saja diletakkan Ify tadi, lalu tiba-tiba dia mengernyit bingung.

"Lo tau dari mana kalo Rio suka bunga lily putih?"



"Eh? Ng... feeling aja." Ify sendiri juga bingung, kenapa dia lebih memilih membawa bunga lily putih dibandingkan bunga-bunga yang lain.



Alvin lalu kembali mengalihkan pandangannya ke batu nisan Rio. Dia menatap nanar nisan di hadapannya. Rio, sahabat terbaik yang pernah dimilikinya, tak lagi berdiri di atas tanah, melainkan kini ia berbaring di dalamnya.

Alvin bisa merasakannya.



Ia masih dapat mendengar napas Riro yang terputus-putus sesaat sebelum dia meninggalkan dunia ini.

Suara napas Rio yang terputus-putus itu tak akan pernah menghilang dari benaknya. Bayang-bayang saat itu selalu terlintas di matanya. Jeritan orang yang panik saat itu selalu terngiang di telinganya. Ia berharap saat itu tak pernah terjadi. Semoga saja waktu bisa berjalan mundur dan ia dapat mengulang semuanya.



Dengan tangan yang mengelus lembut nisan Rio, ingatan Alvin melayang ke kejadian tiga bulan yang lalu.





oOo Flashback oOo



"Lo segitu cintanya sama cewek itu, ya, Yo?" tanya Alvin sambil masih berkonsentrasi menyetir, sesekali mata cokelatnya melirik pemuda berambut putih yang sedang duduk di kursi sebelahnya sambil memandang ke luar

jendela.



Saat ini, mereka berdua sedang berada di dalam mobil Alvin. Mobil berwarna hitam itu kini sedang meluncur cepat di jalanan menuju tempat pemutaran film Rio yang berhasil memenangkan lomba film indie beberapa bulan lalu.

Ketika mendengar namanya dipanggil, pemuda bernama Rio itu pun segera menoleh menatap sahabatnya yang sedang sibuk menyetir mobil yang sedang mereka tumpangi itu. Alisnya dinaikkannya sebelah, pertanda bahwa pemuda itu tak mengerti dengan apa yang baru saja ditanyakan Alvin. "Maksud lo?"



"Nggak usah pura-pura nggak ngerti, deh, Yo. Lo lagi mikirin cewek itu, kan?" kata Alvin. "Buktinya lo ngelamun terus daritadi."



Rio terdiam sebentar, mulai mengerti siapa cewek yang dimaksud Alvin. "Hn."



"Hah? Jawaban macam apa itu? Lo belum jawab pertanyaan gue yang tadi, tau!" sahut Alvin, mulai kesal dengan sikap Rio yang terkadang suka berhemat dengan kata-kata.



"Pertanyaan lo yang mana?" Rio malah balas bertanya dengan entengnya.



"Ya, yang tadi," balas Alvin frustasi. "Lo bener-bener cinta sama cewek itu?"



"Tanpa gue jawab pun, gue rasa lo udah bisa nebak jawabannya," kata Rio sambil kembali mengalihkan pandangannya ke luar jendela.



"Oh, iya, deh, iya... Dasar ABG yang lagi kasmaran!" cibir Alvin membuat Rio tergelak.



"Lo pikir dua puluh satu tahun masih bisa disebut ABG?" ujar Rio.



"Ya, kenapa nggak?" sanggah Alvin. "Tua sama muda itu, kan, relatif."



Rio hanya diam saja mendengar sanggahan temannya itu.



Beberapa detik setelah itu, keheningan menyelimuti mereka berdua. Masing-masing dari mareka disibukkan dengan pikiran masing-masing. Hingga akhirnya Alvin memecahkan tabir keheningan di antara mereka.



"Lo kangen sama Ify, ya, Yo?"



"Emangnya kalo gue bilang 'nggak', lo bakal percaya?" kata Rio.



Alvin menghela napas lelah, mulai kuwalahan menghadapi sikap Rio yang kembali berbelit-belit. 'Ngomong 'ya' aja, kok, susah amat, sih!' gerutunya dalam hati.



"Gue cuma nggak nyangka, Vin. Gue udah berhasil ngeraih cita-cita gue, ditambah lagi pertemuan gue dengan Ify yang udah selangkah lebih dekat," ujar Rio sambil tersenyum simpul setelah melihat Alvin yang nampaknya mulai frustasi dengan jawaban-jawabannya yang menyebalkan. Mata pemuda itu kini menerawang menatap awan yang berarak cepat seiring dengan laju mobil yang Rio dan Alvin tumpangi. "Gue harap dia juga bisa ngeraih cita-citanya di Bandung sana."



"Dia pasti bisa. Lo percaya sama dia, kan?" kata Alvin membuat Rio kembali tersenyum tipis. "Tapi, gue bener-bener nggak bisa ngerti jalan pikiran lo—dari dulu sampai sekarang. Kalo lo emang kangen sama Ify, ya tinggal ketemu aja lagi. Ngapain musti nunggu sampai kalian berhasil ngeraih cita-cita kalian? Bukannya itu malah ngebuat perasaan kalian tersiksa? Lagian lo nggak kasihan, apa, sama Ify? Sejak kepergian lo dari Bandung satu setengah tahun yang lalu, lo nggak pernah ngasih kabar ke dia."



Lagi-lagi Rio hanya tersenyum saat mendengar celotehan panjang Alvin. "Lo emang nggak pernah dan nggak akan pernah bisa ngerti jalan pikiran gue, Vin," timpal Rio membuat Alvin kembali berdecak sebal.





oOoOoOo





"Akhirnya acara ini selesai juga," ujar Alvin sambil menghela napas lega. "Tapi, gue terharu ngeliat film lo tadi, Yo. Seolah-olah lo lagi nyeritain kisah hidup lo selama ini. Dimulai dari waktu lo tau kalo lo sakit, sampai saat lo bisa nerusin hidup lo setelah ketemu sama cewek itu. Ngomong-ngomong, kenapa lo mutusin buat ngebikin film dengan latar belakang kehidupan nyata lo?"



"Gue cuma nggak mau orang-orang yang bernasib sama kayak gue menyerah dalam menghadapi nasib," ujar Rio, semua kata-kata pemberi semangat yang pernah dilontarkan Ify padanya kembali terngiang-ngiang jelas di telinganya. Rio lalu kembali tersenyum tipis. "Semua makhluk yang diciptain hidup pasti pada akhirnya bakal mati, tapi

bukan berarti mesti diem aja nunggu kematian menjemput, kan? Walaupun mungkin beberapa di antara makhluk hidup itu ada yang udah divonis nggak bakal berumur panjang, kayak gue."



Alvin tertegun mendengar perkataan sahabatnya itu tadi. Pemuda yang sedang berdiri di depannya itu benar-benar berbeda dengan Mario Stevano yang pernah ditemuinya dulu di Bandung. Dulu, sosok Mario Stevano begitu rapuh, sudah terlalu putus asa dalam menghadapi hidupnya. Tapi sekarang? Dia berubah seratus delapan puluh derajat, menjadi seorang Mario Stevano yang semangat dan punya cita-cita. Ya, semua ini berkat gadis itu. Alyssa Saufika.



"Iya, deh, Pak Sutradara," canda Alvin membuat mereka berdua tergelak bersama. "Ah, iya. Kalo lo sama Ify ketemu ntar, tolong ingetin gue buat berterima kasih sama dia, karena udah mengembalikan Mario Stevano menjadi seperti yang dulu pernah gue kenal semasa SMA."



Rio menatap lama Alvin, berusaha mencerna kalimat yang baru saja didengarnya, sampai akhirnya Rio mengangguk pelan sambil tersenyum samar.



“Deva, awaaasss!" Teriakan seorang ibu muda di seberang jalan mengagetkan mereka berdua. Teriakan histeris itu jelas-jelas ditujukan pada sang anak yang sedang terjatuh saat berusaha menyeberang jalan.



Saat itu memang jalanan sedang sepi, tapi ada sebuah mobil Jeep yang sedang melaju kencang menuju ke arah anak kecil itu. Jarak antara Jeep dengan anak berumur sekitar lima tahun itu hanya tinggal beberapa meter lagi.

Alvin secara refleks langsung berlari secepat mungkin menghampiri bocah bernama Deva yang sedang jatuh terduduk di tengah jalan sambil menangis keras itu dan berusaha membantunya berdiri. Hingga akhirnya jarak antara mobil dengan mereka tinggal satu meter lagi.



Alvin kaget, melihat mobil Jeep yang melaju dengan kecepatan tinggi dalam radius satu meter siap menubruknya, jantungnya serasa berhenti berdetak.



Alvin seperti tersihir, badannya kaku tidak bisa digerakkan. Niat baiknya untuk menyelamatkan seorang anak berumur lima tahun dari kematian malah justru mengantarkan dirinya sendiri pada gerbang kematian. Alvin sendiri sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi padanya selanjutnya, dia menutup matanya dan mendekap Deva erat-erat di dada bidangnya.



"Astaga!" pekik ibunda bocah kecil itu. "Deva!"



"Alvin!" Terdengar seruan suara Rio.



Dan, tiba-tiba seseorang namun kuat mendorong Alvin dengan keras sehingga membuatnya dan Deva yang ada di dekapannya terdorong menjauhi jalur jalan sang Jeep yang masih melaju dengan kecepatan tinggi.



'Kciiiitt... brakk...!' Terdengar bunyi rem diinjak keras-keras yang kemudian disusul dengan suara tubrukan dua benda keras.



Alvin masih terlalu takut untuk membuka kedua matanya, dipeluknya Deva erat-erat.



"Deva!" jerit sang ibu sambil berlari tergopoh-gopoh menuju ke tempat Alvin terjatuh, lalu memeriksa keadaan sang buah hati. "Kamu nggak apa-apa, Nak?"



Alvin memberanikan diri untuk membuka kedua matanya, dan didapatinya sang ibu yang sedang memeluk erat anaknya dengan penuh keharuan.



Bocah kecil itu pun segera melepaskan pelukan sang ibu lalu menerjang Alvin dan memeluk penyelamatnya itu dengan senang. "Terima kasih banyak, ya, Nak."



Alvin kontan mengelus rambut Deva. "Sama-sama."



"Terima kasih banyak, Nak. Kamu telah menyelamatkan nyawa anak saya," ujar sang ibu sambil menghapus air mata harunya. "Tapi, maaf... Sepertinya teman kamu terluka sangat parah."



"Maksud... Ibu?" Alvin benar-benar tidak mengerti dengan apa yang baru saja dikatakan ibu itu. Tunggu dulu, bukankah sesaat sebelum dia terjatuh, ada sepasang tangan yang mendorongnya kuat-kuat sehingga dia tidak jadi tertabrak mobil tadi? Dan... 'Oh, iya... Rio! Di mana dia?' tanyanya dalam hati.



Alvin celingak-celinguk, sibuk mencari Rio di tempat dia dan sahabatnya tadi berdiri sebelum insiden kecelakaan tadi terjadi.



Tapi tak ada satu pun tanda-tanda keberadaan Rio, justru yang didapatinya hanyalah kerumunan orang di tengah jalan, beberapa meter dari tempatnya terjatuh tadi. Dia langsung berlari dan berbaur dengan mereka.



Jantung Alvin berdebar tak keruan, jelas ini pertanda buruk. Apalagi, samar-samar dia bisa mencium bau anyir darah di tengah kerumunan orang itu.



"Panggil ambulans, ada yang terluka!"



"Polisi, kita butuh polisi di sini!"



"Ini tabrak lari! Penabraknya menggunakan Jeep hijau!"



Alvim tanpa sengaja mendengar percakapan orang di sebelahnya, "Pemuda itu kasihan, ya... padahal masih muda... sepertinya lukanya sangat parah. Pelakunya malah lari..."



"Ya. Jeep tadi, kan, menabraknya sampai mental. Kasihan, mungkin dia takkan selamat." Mendengar kata-kata itu, Alvin serasa telah dihadapkan pada dosa besar. Ia berlari berusaha menerobos kerumunan, mencoba mencari tahu dengan mata kepalanya sendiri.



Di tengah jalan, seorang pemuda terkapar. Pakaiannya bersimbah darah. Darah segar terlihat keluar dari lubang hidung dan sela-sela bibirnya yang setengah terbuka. Matanya tertutup rapat. Ia tak sadarkan diri. Tapi, jika dilihat dari dadanya yang naik turun—menunjukkan bahwa dia masih bernapas, sepertinya masih ada tanda-tanda kehidupan di tubuh pemuda malang itu.



"Rio...!" jerit Alvin mendekap tubuh penuh darah Rio. Sayup-sayup, dia mendengar salah seorang pria berumur setengah baya di tengah kerumunan itu menyuruh seseorang agar cepat-cepat memanggil ambulans dan polisi.

Namun, rasanya saat itu hanya ada Alvin dan sahabatnya yang tengah terkulai lemah itu. Dia tak percaya ini terjadi, padahal beberapa menit yang lalu dia dan Rio masih tertawa bersama.



'Ini pasti mimpi,' kata Alvin dalam hati, berusaha meyakinkan dirinya. Tubuh Alvin bergetar hebat, terlalu takut untuk meyakini apa yang baru saja terjadi. 'Tapi, kenapa terasa begitu nyata?' Setetes air mata terjun bebas menuruni pipinya, hingga menetes di pipi Rio yang ada di dekapannya.



"Lo... nangis, ya... Vin?" ejek Rio pelan.Pemuda itu ternyata sudah membuka matanya, walaupun hanya setengah.

"Cowok macem apa... lo?"



"R-Rio?" seru Ichigo kaget bercampur senang. "Lo udah bangun? Bertahanlah! Ambulans bakal dateng sebentar lagi."



Toushiro terdiam sebentar, seperti sedang menarik napas. Lalu kembali berbicara dengan sisa-sisa tenaganya yang semakin menipis, "Nggak perlu... Vin... Waktu gue udah semakin dekat."



Kalimat tadi diakhiri dengan Rio yang terbatuk hebat, disusul dengan darah yang keluar dari mulutnya dalam jumlah yang tak bisa dibilang sedikit.



"Gue mohon, Yo! Bertahanlah!" pinta Alvin lagi. "Udah, lo nggak usah banyak ngomong. Tunggu ambulans-nya dateng sebentar lagi!"



Rio menggeleng lemah. "Dari dulu... gue emang... udah siap buat mati... kapan pun juga... Vin." Napasnya terasa semakin berat. Pandangannya mengabur perlahan. Tempat sekitarnya yang terang benderang semakin lama semakin terlihat suram dan redup. Wajah Alvin terlihat semakin menjauh. Suara yang terdengar paling jelas adalah bunyi napasnya sendiri yang terputus-putus. Rio tahu, inilah saatnya. Ia harus menyampaikan semuanya sebelum waktunya habis.



Alvin menatap marah pada sahabatnya yang sedang berada di ambang maut itu. "Ke mana semangat hidup yang lo dapet dari Ify dulu, Yo?" sahut Alvin. "Bukannya lo masih kepengen ketemu sama Ify?"



"Ify, ya...?" Rio tersenyum tipis. "Justru itu... tolong gantiin gue... buat ngejaga dia... Vin."

Alvin menatap Rio tak percaya. Sepertinya, sahabatnya itu benar-benar sudah pasrah jika harus meninggalkan dunia saat itu juga.



"Gue tau kalo suatu saat nanti... gue pasti harus ninggalin dia sendirian di dunia ini. Dan... di saat gue udah nggak bisa lagi ada di sisi dia... gue mohon... gantiin gue... untuk ngejaga dia dengan baik," pinta Rio dengan

terputus-putus akibat terlalu memaksakan diri untuk bicara dalam kondisi seperti itu. Rio kembali batuk disertai cairan merah pekat yang lagi-lagi mendesak keluar dari mulut kecilnya. "Jangan biarin dia sendirian... dan juga... jangan biarin dia nangis lagi. Dan... sampaikan... permintaan maaf gue sama Ify... karena gue... nggak bisa... ketemu sama dia... lagi... Maaf... karena... gue udah... ingkar janji."



"Rio! Jangan ngomong ngelantur gitu! Lo pasti selamat, Yo!" sahut Alvin, lalu segera mengalihkan pandangannya pada orang-orang yang sedaritadi masih mengerumuni mereka berdua—seolah sedang menonton teaterikal drama, bahkan ada beberapa yang sampai meneteskan air mata. "Hei! Kenapa kalian diam saja! Cepat panggil ambulans!"



"Gue, kan, udah bilang... nggak perlu, Vin," ujar Rio sambil menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan kekuatan untuk kembali berbicara. "Yang gue butuhin sekarang... cuma satu... berjanjilah... kalo lo... bakal ngejaga Ify... setelah kepergian gue..."



Baru saja Alvin membuka mulutnya—ingin kembali memprotes, Rio segera melanjutkan kata-katanya, "Vin... gue... mo... hon... Demi... gue..."



Alvin mengalihkan pandangannya. Bagaimana mungkin dia menjaga kekasih sahabatnya, setelah membuat sahabatnya itu sendiri sekarat.



"Al...vin...," desak Rio. Waktunya semakin dekat.



Alvin kembali menatap Rio yang seperti sudah mencapai batas kemampuannya, seolah benar-benar sudah tidak sanggup bertahan lagi. Alvin menarik napas berat. "Oke. Tapi, lo harus bertahan, Yo. Lo harus tetep hidup! Demi

Ify... demi orang tua lo... demi Shilla... dan juga, demi gue..."



Samar-samar, mereka mendengar bunyi sirene ambulans dan polisi mendekat.



Rio tersenyum penuh rasa terima kasih. "Ah... satu... lagi...," ucapnya kemudian. "Jangan pernah... menyalahkan... diri lo sendiri... atas... apa... yang udah... terjadi... sama gue... sekarang ini..."



Alvin menatap Rio dalam-dalam.



"Ini... udah jadi... kehendak... Tuhan... Vin...," ujar Rio.



"Rio..."Alvin menggenggam tangan Rio erat. "Lo harus bisa bertahan! Orang tua lo udah nunggu kepulangan kita di rumah."



Benar juga, Papa dan Mama pasti sedang menunggu kepulangan putra tunggal mereka itu di rumah. Tapi apa daya,

Rio tak kuasa jika memang Tuhan sudah menginginkannya kembali ke pelukan-Nya.



"Papa.. mama..," ucap Rio lirih. "Rio... sayang kalian."



Setetes air mata menuruni pipi Rio, sedikit melunturkan noda darah yang menempel di wajah tampannya.



"Ify...," bisik Rio dengan susah payah, berharap gadis yang berada nun jauh di sana itu bisa mendengar bisikan lirihnya. Tapi lidahnya terasa kelu. Mulutnya tidak mau membuka selebar keinginannya.



Alvin memerhatikan sahabatnya dengan hati miris. 'Tuhan! Jangan ambil nyawanya sekarang. Berikanlah dia waktu lebih lama.'



Rio melempar pandangannya ke hamparan langit yang kini mulai mendung, lalu bersusah payah menggerakkan lidahnya. Ia berjuang menyelesaikan kalimatnya. "Ify... gue...," bisiknya terputus-putus. "M-maafin... gue... Gue... sayang lo... Ify..."



Begitu Rio selesai mengakhiri kata-katanya, ia tersenyum sangat puas, lalu menutup kedua matanya dengan wajah tenang... dan lega.



Dan kali ini, ia mengatupkan kedua kelopak matanya untuk selama-lamanya.



Bersamaan dengan tersebutnya nama Ify dari mulut Rio tadi, pemuda malang itu menghebuskan napasnya untuk yang terakhir kalinya, sesaat sebelum para petugas medis dan polisi tiba di lokasi kejadian.



"Rio?" panggil Alvin dengan suara serak. "Rio, bangun!"



Namun, Rio sama sekali tidak menyahut.



"Rio, bangun!" seru Alvin panik. Ia mengguncang-guncang tubuh sahabatnya yang terbujur kaku.



Masih tak ada respon berarti dari tubuh yang mulai mendingin itu.



“RIOOO!" jerit Alvin histeris.



Alvin hanya bisa menangis sambil terus menyebut nama Rio melihat kepergian sahabat baiknya itu. Tak pernah disangkanya kalau Rio akan meninggal tepat di depan kedua matanya. Meninggal karena dirinya.





oOo End of Flashback oOo



Ingatan Alvin seakan begitu nyata. Seumur hidup ia tak akan mungkin melupakan kejadian itu. Alvin menggeleng, mengusir kenangan buruk itu. Ia kembali memfokuskan pandangannya pada nisan di hadapannya, lalu mulai berdoa.



Ify yang masih berlutut di samping Alvin hanya tersenyum memerhatikannya. Ify tahu pasti bahwa pemuda di sampingnya itu masih belum bisa sepenuhnya memaafkan dirinya sendiri. Tapi, seiring waktu, Ify yakin, Alvin pasti akan berhenti meyalahkan dirinya sendiri atas kematian Rio.



Ify bangkit lalu berjalan menjauhi Alvin, tangan kanannya merogoh saku untuk mencari ponsel, sedang mencoba menghubungi Shilla.



Alvin yang merasa Ify sudah selesai dengan urusannya di sini segera bergegas menghampiri gadis itu. "Lo balik bareng gue aja. Shilla udah gue kasih tau buat nggak usah jemput lo hari ini," ujarnya membuat Ify menghentikan usahanya untuk menelepon Shilla.



"Oh, oke," jawab Ify pendek.



Mereka berdua pun mulai berjalan beriringan menjauhi makam Rio, sampai akhirnya langkah mereka berdua terhenti ketika Alvin melihat sosok pemuda yang juga merupakan bagian dari masa lalunya bersama Rio. Pemuda yang sangat mirip dengan Rio itu berjalan mendekati mereka. Namun, langkah tegapnya juga berhenti saat melihat salah satu teman masa SMA-nya sedang menatap dengan pandangan tak suka padanya.



"Alvin?" Nama itu keluar begitu saja dari dalam mulut pemuda berambut hitam panjang itu.



Alvin masih menatap benci padanya. "Mau apa lo ke sini...?" tanya Alvin. Suaranya terdengar begitu sinis. "Gabriel?"



Ify kaget saat mendengar Alvin menyebutkan nama pemuda di hadapannya itu, lalu dia segera mengalihkan pandangannya pada pemuda yang dipanggil Gabriel oleh Alvin itu. Diakah yang bernama Gabriel? Orang itukah yang dulu begitu dibenci Rio?



"Gue...," kata Gabriel dengan suara tercekat. "Gue mau ngunjungin makam Rio. Gue nggak sempet dateng ke pemakamannya tiga bulan yang lalu."



Alvin kini melayangkan tatapan mengejek pada Gabriel. "Emangnya lo masih peduli sama dia, setelah lo udah ngehancurin hidupnya enam tahun yang lalu?"



Gabriel menundukkan kepalanya, seolah siap dengan apa pun yang akan dilakukan Alvin untuk mengadilinya.



Sekarang, giliran Ify yang menatap tak suka pada Alvin. Dia sama sekali tidak suka melihat sikap Alvin yang

cenderung memusuhi Gabriel itu. "Alvin," tegurnya. "Jaga sikap kamu!"



"Kenapa gue harus jaga sikap sama orang jahat kayak dia, Fy?" Suara Alvin mulai naik satu oktaf lebih tinggi. "Lo lupa, kalo dia yang udah ngebuat hidup Rio berantakan?"



Ify yang tidak menyangka akan dibentak seperti itu oleh Alvin, hanya terdiam membatu, tidak ingin semakin memperparah suasana.



Alvin yang sadar telah bertindak kelewat batas, langsung memasang ekspresi menyesal. "Sori, gue nggak maksud buat ngebentak lo," ujarnya sambil memalingkan muka.



Ify hanya mengangguk maklum. "Nggak apa-apa." Pandangannya kini beralih pada Gabriel yang masih menundukkan kepalanya. "Jadi, kamu, ya, yang namanya Gabriel?"



Berbeda dengan suara Alvin yang kasar, suara Ify benar-benar lembut dan sangat bersahabat.



Gabriel mengangkat wajahnya, lalu mengangguk pelan. Dia segera mengulurkan tangan kanannya. "Gabriel."



Ify menyambut uluran tangan pemuda itu dengan senang hati. "Aku Ify," katanya sambil memperkenalkan diri. Mata

Ify langsung tertumbuk pada sebuket bunga lily putih yang tergenggam erat di tangan kiri Gabriel.



"Kamu mau ke makamnya Rio, kan?" tambahnya sekali lagi. "Makamnya ada di sebelah sana." Jari telunjuk Ify menunjuk ke arah nisan yang baru saja selesai dikunjunginya.



Gabriel mengangguk berterima kasih. "Ngomong-ngomong, lo siapanya Rio?"



Ify bingung harus menjawab apa, wajahnya hanya sedikit menampakkan semburat merah di kedua pipinya.



"Dia pacarnya Rio." Jawaban Alvin tadi langsung membuat wajah Ify semakin memerah.



"Alvin...," kata Ify malu. "Aku sama Rio belum jadian, kok."



Raut wajah Alvin tiba-tiba berubah muram, senyuman getir terpampang di wajahnya. "Dan itu gara-gara gue, kan?"

katanya. "Kalo aja Rio masih hidup, kalian pasti udah pacaran."



Tanpa rasa belas kasihan sedikit pun, Ify segera memukul pelipis Alvin sehingga membuat pemuda yang sama sekali tak menyangka akan diserang itu terbanting ke jalan yang sedang mereka lalui. Entah dari mana munculnya kekuatan dahsyat itu. Kalau dilihat dari luar tak akan pernah ada yang menyangka kalau Ify bisa memukul jatuh seorang pemuda tinggi Alvin. "Harus aku bilang sampai berapa kali, sih, Vin?" sahut Ify jengkel. "Aku udah bilang berkali-kali, kan? Jangan terus-terusan nyalahin diri kamu sendiri kayak gitu!"



Alvin yang masih syok dengan pukulan Ify tadi hanya bisa terbengong-bengong mendengar kata-kata Ify.

Gabriel yang memang sedari tadi menjadi saksi terjadinya adegan "tidak senonoh" itu hanya bisa menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya yang tak gatal ketika Ify dengan tampang tak berdosanya melempar senyum ke arah Gabriel.



"Oh, iya, Yel." Ify kembali membuka pembicaraan. "Gimana keadaan kamu?"



Gabriel mengernyit bingung mendengar pertanyaan Ify.



"Yaaa, maksud aku... Gimana keadaan kamu selama satu setengah tahun ini?" jelas Ify. "Aku denger dari Rio, kamu syok banget setelah denger kalo kamu ternyata mengidap penyakit yang sama kayak Rio."



"Oh, itu..." Gabriel tersenyum miris. "Kehidupan gue setelah kejadian waktu itu perlahan-lahan mulai berantakan. Orang tua gue jadi makin nggak peduli sama gue. Temen-temen gue juga perlahan-lahan semakin ngejauhin gue.

Tapi, gue berusaha bertahan sampe gue lulus kuliah, karena setelah itu gue udah mutusin buat hidup sendiri. Toh, nggak ada bedanya juga, antara gue hidup sama orang tua gue sama nggak."



"Yah, hukum karma emang selalu berlaku, kan?" sela Alvin yang sudah berdiri dari jatuhnya.



Ify mendelik kesal pada Alvin, lalu kembali menatap Gabriel. "Jangan peduliin omongan kosok cina itu, ya, Yel."



Telinga Alvin memanas ketika mendengar panggilan baru dari Ify untuknya. "Lo bilang apa, Behel?"



Ctikkk.



Baru kali ini ada orang yang memanggil Ify seperti itu, tanpa peduli kalau orang itu adalah sahabat baik orang yang paling dikasihinya, Ify segera menabuh genderang perang pada pemuda yang menurutnya sangat menyebalkan itu.

Kilatan-kilatan api peperangan pun mulai terlihat.



"Udahlah, Fy," kata Gabriel, berusaha mendinginkan suasana. "Gabriel nggak salah, kok. Mungkin ini emang karma

buat gue, karena udah ngerusak hidup sahabat gue sendiri."



Alvin tersenyum puas. "Lo denger itu, kan, Behel Cungkring?"



"Berhenti manggil aku dengan sebutan itu, Cina!" sahut Ify marah, kaki kecilnya yang terbungkus sepatu kets menendang tulang kering Alvin kuat-kuat membuat pemuda itu mendesis kesakitan. Tanpa memedulikan

"korban"-nya yang masih kesakitan, Ify kemudian berbalik menatap Gabriel. "Kamu juga jangan terus-terusan berpikiran kayak gitu, Yel.”



"Rio mungkin dulu emang nganggep kamu sebagai orang yang udah membuat hidupnya berantakan. Tapi, setelah ketemu sama kamu, dan tau kalo kamu juga kena penyakit yang sama kayak dia, dia juga bener-bener syok.

Sebesar apa pun rasa benci dia ke kamu, dia nggak pernah sekali pun pengen kamu ngidap penyakit yang sama kayak dia. Dia nggak pengen kamu ngerasain apa yang selama ini dia rasa.



"Selain itu juga, dia ngerasa kalo hal itu bukan sepenuhnya salah kamu. Karena, gara-gara dia sering nyuekin kamu sejak dia kenal dunia film juga, kamu jadi malah bergaul sama orang-orang nggak bener kayak gitu.



"Dia bahkan juga ngerasa kalo dia orang yang jahat karena udah menimpakan semua kesalahan ke kamu, tanpa memerhatikan kesalahan dia sendiri." Ify tersenyum manis di akhir ceritanya. "Mungkin, dulu dia sempat benci banget sama kamu. Tapi, itu juga bukan berarti dia nggak bisa maafin kamu, Yel."



Gabriel sama sekali tidak pernah menyangka kalau Rio tidak sepenuhnya membenci dirinya. Tanpa ia sadari, kakinya melangkah menuju ke nisan yang ditunjukkan Ify tadi, lalu bersimpuh di depannya. Mata Gabriel memandang lekat-lekat ukiran nama di batu nisan itu. Ukiran nama sahabatnya. Orang yang dulu pernah menjadi orang paling penting di hidupnya, dan mungkin sampai sekarang pun masih seperti itu. Tangan kanan Gabriel mengusap lembut foto Rio yang memang sengaja diletakkan di sana, sedangkan tangan kirinya meletakkan sebuket bunga yang sedari tadi dibawanya.



"Maafin gue, Yo." Air mata mulai menggantung di ekor matanya. Rasa penyesalan yang amat besar kini tengah menghantui Gabriel. Kenapa dulu dia tidak pernah punya keberanian hanya untuk sekedar mengucap kata maaf?

Kenapa dulu ia terlalu takut untuk melihat langsung bagaimana reaksi Rio jika bertemu dengan dirinya, orang yang begitu dibencinya? Dan, kenapa keberanian itu justru muncul di saat semuanya sudah terlalu terlambat seperti sekarang ini?



Ify yang mengikuti langkah Gabriel tadi langsung tersenyum lega melihat pemuda itu.



Sedangkan Alvin yang berdiri di belakang Ify hanya memandangi wajah gadis manis itu, sesekali senyuman penuh arti terukir di wajahnya. 'Bener-bener cewek yang penuh kejutan,' batinnya. Pandangannya beralih ke nisan Rio. 'Lo beruntung banget bisa dapetin cewek kayak dia, Yo.'



Memang butuh waktu lama bagi Ify untuk benar-benar bisa merelakan kepergian Rio sepenuhnya. Tapi, setelah itu Ify bagaikan mendapatkan kekuatan baru. Semangat baru dari Rio. Dia jadi semakin serius untuk menekuni karirnya di bidang tulis-menulis. Hampir semua novel fiktif karangannya laris manis di pasaran, bahkan ada beberapa yang best-seller. Semua peminat karya tulis mengenal namanya, bahkan hingga ke mancanegara. Banyak buku-buku karangannya yang dicetak belasan kali dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.



Ify dikenal sebagai seorang penulis besar dengan tingkat kepedulian sosial yang tinggi, karena ia juga menikmati profesi sampingannya sebagai aktivis yang membantu para penderita HIV/AIDS. Sudah tidak terhitung banyaknya seminar dan penyuluhan yang dilakoninya. Reputasinya bahkan hampir menyamai seorang artis idola.



Dan kini, tak heran jika salah seorang produser di Hollywood, Amerika Serikat, telah membuat sebuah film berdasarkan novel terbaru Ify yang dalam waktu satu bulan cetakan pertamanya langsung habis diserbu pembeli. Judulnya adalah "Selepas Kau Pergi" yang dijadikan judul film dengan mengubahnya dalam bahasa Inggris menjadi

"After You're Gone".



Novel itu menceritakan tentang kehidupan seorang gadis yang berusaha menjalani hidupnya setelah orang yang sangat dicintainya meninggal dunia. Novel yang dibuat berdasarkan kisah nyata tentang kehidupan Ify yang ditinggalkan oleh orang-orang yang dicintainya satu per satu, mulai dari kepergian ayah dan ibunya lalu kemudian disusul dengan kepergian Rio. Novel itu benar-benar penuh dengan perasaan Ify.



Melalui novel itu, Ify ingin menyampaikan pada seluruh pembacanya bahwa meninggalkan dan ditinggalkan itu juga termasuk bagian dalam hidup. Jangan hanya karena telah ditinggalkan oleh orang yang kita sayangi lalu kita akan menjadi patah semangat, apalagi jika sampai tak mau kembali meneruskan hidup.



Dulu di awal karirnya sebagai penulis, ia pernah menciptakan sebuah novel tentang Marioo—seseorang yang hingga saat ini masih ia cintai dengan sepenuh hati. Kini giliran ia membuat sebuah novel yang menceritakan kehidupannya setelah kepergian Rio.



Besok Ify akan pergi ke Los Angeles. Dia diundang di pemutaran perdana film yang dibuat berdasarkan novel karyanya. Ify juga akan bertemu dengan para pendukung film itu, termasuk para pemeran dalam film itu. Sivia tentu saja ribut begitu tahu Ify akan bertemu bintang-bintang Hollywood yang terkenal. Dan tentu saja gadis itu memaksa ikut bersama Ify. Ify memang tidak keberatan kalau Sivia ikut, asal jangan membuat malu saja selama di sana. Lagi pula Sivia bisa menemani Ify selama di sana. Bahkan Sivia sampai tidak peduli walau harus bolos kerja selama hampir seminggu.



"Kerja, kan, bisa tiap hari, Fy. Tapi, kalo ketemu artis Hollywood yang cakep-cakep, mungkin cuma sekali dalam hidup gue." Begitulah alasan Sivia saat ditanya Ify.



Mulai kemarin, begitu semua urusan visa dan tiket selesai, Sivia—yang menginap di kost Ify sampai hari keberangkatan mereka—sibuk membuka-buka kamus untuk memperlancar bahasa Inggrisnya yang menurutnya masih amburadul.



"Gue, kan, nggak mau lo jadiin kambing congek selama di sana, Fy. Buat apa gue jauh-jauh pergi ke Hollywood dan ketemu sama cowok-cowok cakep, kalo pada akhirnya gue cuma jadi patung karena nggak ngerti dan nggak bisa ngomong?" Lagi-lagi, alasan tidak bermutu itulah yang dilontarkan Siva ketika ditanya.



Jam telah berdentang dua belas kali. Kamar terasa amat sepi.



Ify menoleh ke gadis yang tidur di sebelahnya. Sivia tertidur pulas. Semua orang di kost-nya dan juga di rumah tantenya pun pasti juga sudah terlelap. Tapi mata Ify tetap tak bisa menutup. Ia terus terjaga.

Ia menyingkirkan selimut yang menutupi kakinya dan meloncat keluar dari tempat tidur. Ify berjalan menuju jendela kamarnya dan membuka gorden. Ia menerawang dari balik kaca jendela. Ia menempelkan kedua telapak tangannya di kaca.



Ini sudah kesekian kalinya, sejak kematian Rio, ia mengalami insomnia. Merenung seorang diri di tengah gelap dan sunyinya malam.



Ify menyandarkan dirinya pada kaca. Namun tiba-tiba, ia kembali ke tempat tidur, mengambil iPod yang diletakkan di sana. Ia lalu berjalan kembali ke depan jendela kamarnya, kembali memandang langit malam dengan headphone besar terpasang di telinganya.



Saat Ify masih sibuk dengan pikirannya sambil memandang kosong ke arah langit, ponselnya yang ia letakkan di meja kecil di samping tempat tidur bergetar. Menandakan ada panggilan masuk.



Ify segera melangkahkan kaki kecilnya menuju ponselnya. Sambil mengernyit, ia meraih ponsel dengan paduan warna lavender-silver itu. Siapa yang meneleponnya tengah malam begini?



Kerutan di dahi Ify langsung sirna dan tergantikan oleh senyuman kecil yang menghiasi bibir tipisnya ketika membaca nama yang tertera di layar ponselnya.



Alvin Kodok.



Alvin, ya? Ify selalu saja tersenyum ketika mengingat pemuda itu. Alvin, orang yang selalu ada di sampingnya di saat ia sedang merasa membutuhkan seseorang. Orang yang selalu membuatnya tertawa di saat ia ingin menangis.



Alvin. Sosok yang setelah kepergian Rio selalu menghiasi hari-harinya. Pemuda yang tanpa disadarinya selalu menjaga dan melindunginya. Orang yang selalu menghiburnya.



Alvin belakangan ini sering berkunjung ke Bandung dan menemuinya, mulai dari ada urusan penting dengan pekerjaan dan sekedar mampir, hingga sampai sengaja menyempatkan diri untuk bertemu Ify sekaligus liburan karena memiliki banyak waktu luang.



Alvin kini memang telah menjadi sosok yang penting dalam kehidupan Ify. Kehadirannya bagaikan setetes embun yang kembali menyegarkan hari-hari Ify. Tapi, tak pernah sekali pun Ify menganggap Alvin sebagai orang yang dikirimkan Tuhan padanya untuk menggantikan posisi Rio di hatinya. Karena Alvin bukan Rio. Alvin adalah lvin.



Ia memang tak ingin terlalu larut dalam kenangan masa lalunya bersama Rio, tapi bukan berarti dia harus melupakan kenangan itu. Karena kenangannya bersama Rio akan selalu ada dan tak akan pernah bisa terhapus oleh waktu.



Ify sudah menganggap Alvin seperti seorang kakak baginya, layaknya ia memandang Ozy yang telah lama dikenalnya sebagai seorang sahabat. Tak lebih, tak kurang.



Senyum tipis kembali tersungging di bibir manisnya sebelum akhirnya ia menekan tombol dan mendekatkan ponsel i

tu ke telinganya. "Ya, Vin?"



"Lama banget, sih, ngangkatnya?" seru pemuda itu kesal dari seberang.



Ify memutar bola matanya sebal. Pemuda itu masih saja temperamental, seperti biasanya. "Yang penting, kan,

sekarang udah aku angkat, Vin."



Alvin terdiam sejenak, lalu mulai angkat suara. "Lo belum tidur?"



Ify mendengus kesal. "Kalo aku udah tidur, trus yang kamu telepon ini siapa?"



"Iya juga, ya." Terdengar tawa garing dari seberang telepon.



"Kenapa?" tanya Ify langsung, matanya menerawang menembus langit malam.



"Eh?"



"Ada perlu apa kamu nelepon aku?" ulang Ify. "Tengah malem gini, lagi."



"Ng..." Alvin nampaknya bingung harus berkata apa. Walau sudah mengenal Ify cukup lama, dia masih belum terbiasa dengan gadis itu. "Lo... berangkat besok, ya?"



Ify lagi-lagi tersenyum mendengar suara Alvin. "Iya," jawabnya. Tiba-tiba, cengiran nakal terpampang di wajah manisnya. "Kenapa? Kamu khawatir sama aku, ya?"



"A-apa?" Alvin nampaknya tidak siap dengan serangan mendadak Ify. "Y-ya... y-ya... Me-memangnya s-salah, k-kalo gue khawatir s-sama lo?" Ify bisa merasakan kalau wajah pemuda itu sudah memerah menahan malu.



"Yaaa... nggak salah, sih," kata Ify sambil terkikik geli. "Justru aku mau berterima kasih sama kamu karena udah care sama aku."



Alvin lagi-lagi terdiam. Tak tahu bagaimana harus merespon.



"Tapi, kamu nggak perlu khawatir," lanjut Ify sambil tersenyum manis. "Aku pasti baik-baik aja, kok."



Alvin tersenyum di seberang. "Ya."



"Oke. Udah selesai, kan?" Ify menguap keras-keras. "Aku udah ngantuk, nih."



"Ya. Hati-hati," kata Alvin lagi. "Sori, gue besok nggak bisa nganter lo ke bandara. Gue ada kerjaan."



"Ah, nggak pa-pa, kok." Ify mengibas-ngibaskan tangan kanannya.



"Ya udah," tutup Alvin. "Bye."



Ify mengangguk kecil. "Bye."



Telepon sudah benar-benar diputus. Ify meletakkan kembali ponsel miliknya di atas meja. Matanya melirik ke arah jendela, lalu ia pun mulai melangkahkan kakinya kembali ke arah jendela. Kembali menyandarkan dirinya pada jendela kamarnya yang terbuat dari kaca itu, matanya mulai menerawang hampa. Bohong besar saat ia mengatakan pada

Alvin kalau dia udah mengantuk, padahal jangankan mengantuk, matanya bahkan tak mau menutup saat ini.



Ekor matanya menangkap sosok Sivia yang masih tertidur pulas.



Dia sedang ingin sendiri. Dia sedang tidak ingin diganggu, bahkan oleh seorang Alvin sekali pun. Entah apa yang sedang memenuhi akalnya saat ini.



Beberapa detik kemudian, tangan mungilnya mulai membuka jendela kamarnya. Angin malam yang dingin berembus saat jendela kamar dibuka, membelai rambut hitamnya yang kini telah panjang mencapai punggungnya. Hawa dingin yang masuk ke dalam kamar membuat bulu tengkuknya berdiri.



Pikiran Ify melayang pada saat Rio meninggalkan tempat kost ini untuk kembali pulang ke keluarganya di Manado, saat ia mendengar suara Ify yang tercekat serta menahan tangis ketika mengabari dirinya tentang kematian Rio, saat dia menatap miris sosok Rio yang terbujur kaku tak bernyawa di hadapannya, saat jar-jari mungilnya tanpa sengaja menyentuh kulit wajah Rio yang mendingin, dan juga saat kedua kaki kecilnya tak lagi kuat menopang berat tubuhnya ketika menatap sosok pemuda yang amat dicintainya dimakamkan.



Ify tersenyum samar. Ia sadar, dirinya jadi mendapat pelajaran berharga mengenai kebersamaannya dengan Rio yang menurutnya terbilang singkat: Walau hanya satu menit atau bahkan satu detik sekali pun, tapi asalkan bisa bersama orang yang kita cintai, kita akan bahagia. Dan kebahagiaan itu akan menjadi sebuah kenangan yang akan terus terpatri di dalam hati kita tanpa pernah bisa terhapuskan oleh sang waktu.



Ify kembali melempar pandangannya pada langit malam yang cerah penuh taburan bintang-bintang yang seolah saling berlomba untuk bisa menjadi yang bersinar paling terang. Samar-samar, pandangannya menangkap sosok Rio di sana. Rio yang sedang tersenyum menghiburnya, dan di belakang Rio nampak kedua orang tua Ify yang telah lama meninggalkan Ify sendiri di dunia. Mereka menatap penuh kerinduan pada Ify, penuh dengan kasih sayang.



"Hidup untuk bagian kami juga, ya, Fy."



Sama seperti saat ia mendengar suara Rio di pantai Bandung, kali ini pun melalui angin malam yang tertiup semilir di sekitar telinganya, Ify bisa mendengar suara ayah dan ibunya. Tubuhnya pun seolah sedang di peluk dengan hangat oleh mereka berdua. Pelukan yang telah lama di rindukan oleh Ify.



"Papa... mama...," ucap Ify lirih. Dua kata yang entah sudah berapa lama tak ia sebut. Setetes air mata mulai jatuh menuruni pipinya, semakin lama semakin deras, namun kali ini tanpa disertai isakan. Ify menangis sepuasnya. Ia ingin melepaskan semua kepenatannya.



Selama lebih dari satu jam Ify menangis, hingga akhirnya ia seperti merasa sudah tak punya air mata lagi. Masih dengan bekas air mata yang ada di pipinya, Ify kembali menengadahkan kepalanya, pandangannya berusaha menembus selapis demi selapis langit malam. Berharap semoga 'orang itu' bisa mendengar bisikan lirihnya. "Terima kasih, Rio."



Cintamu akan tetap tinggal bersamaku hingga akhir hayatku,



hingga tangan Tuhan kembali mempersatukan kita.



Betapa pun hati ini telah terpikat pada sosok terang dalam kegelapan yang tengah kembali menghidupkan sinar redupku.



Namun, tak dapat menyinari dan menghangatkan perasaanku yang sesungguhnya.



Aku tak akan pernah bisa menemukan cinta yang lain,



selain cintamu,



karena tak satu pun dari mereka yang tertandingi oleh sosokmu dalam jiwaku.



Kau tak akan pernah terganti,



Bagaikan pecahan logam yang menangkalkan kesunyian, kesendirian, dan kesedihanku.





(Alyssa Saufika)

The Truth Abou Forever - Chapter 15 : The Promise

"Uwwaaah..." Ify meregangkan tubuhnya yang terasa penat. Sudah seharian dia mengerjakan naskah baru untuk novelnya yang kedua. Sekarang, dia sedang beristirahat di lantai tiga.



Ify berbaring di lantai semen, lalu menatap langit biru yang cerah tak berawan. Melakukan hal itu dia jadi teringat Rio, laki-laki yang satu setengah tahun lalu pernah datang ke kost ini dan menjadi cinta pertamanya.



Ify menghela napas, lalu memakai headphone besar dan menyetel iPod yang di berikan Rio setahun lalu sebelum dia pulang ke Manado. Dan, sudah setahun ini juga Ify mendengarkan musik-musik yang ada di iPod itu. Ify jadi tahu musik kesukaan Rio, dan Ify juga ikut menyukainya.



"Rio... kamu lagi apa sekarang?" gumam Ify sambil masih tetap menatap langit biru.



Selama setahun ini, Rio sama sekali tidak memberi kabar, tetapi Ify percaya padanya. Ify yakin, Rio pasti sedang berkonsentrasi pada cita-citanya. Ify tahu dari Shilla kalau Rio sedang kuliah di sekolah perfilman dan Ify sangat senang mendengarnya.



Ify juga tidak mau kalah. Sekitar sebulan yang lalu, sebuah penerbit menghubunginya dan mengatakan bahwa novel pertamanya akan diterbitkan.



"Sebentar lagi kita ketemu, ya...," gumam Ify lagi sambil tersenyum sendiri. "Rio, kamu juga berusaha, ya."



Ify baru akan menutup matanya ketika Winda—tantenya, memanggil dari bawah. Ify segera beranjak turun, lalu menatap bingung paket yang dipegang Winda.



"Ify, ini paket buat kamu," kata Winda sambil menyerahkan paket itu pada Ify.



Ify menerima paket itu lalu membukanya dengan bingung. Dia menarik salah satu buku dari paket itu, lalu terbelalak melihat judulnya.



"Tante!" seru Ify membuat Winda kaget. "Tante, ini buku Ify! Buku pertama Ify udah jadi!"



"Hah? Yang bener, Fy?" seru Winda, ikut kaget.



"Beneran!" sahut Ify girang. Teriakannya membuat Ozy dan Septian keluar dari kamarnya masing-masing.



"Ada apaan, sih, Fy?" tanya Ozy bingung.



"Zy! Buku gue udah jadi!" seru Ify sambil menyerahkan satu novel untuk Ozy dan satu lagi untuk Septian.



"Wah, selamet, ya!" sahut Septian.



Ify mengangguk senang. Dengan begini, dia sudah bisa bertemu dengan Rio.



"Rio, buruan dooong!" sahut Rukia lagi, membuat semua orang yang ada di sana menatap sekeliling, seolah mencari sesuatu.



"Hah? Mana Rio?" tanya Ozy bingung, sementara Ify hanya nyengir.



Ify menatap novel di tangannya. Ify benar-benar tidak percaya cita-citanya akan tercapai. Ify tidak percaya karyanya

sudah diterbitkan.



Neighbour from Mars. Itulah judul novelnya.



"Sivia! Bukuku udah jadi, lho!" sahut Ify membuat Sivia yang ada di seberang telepon mengamuk.



"Apaan, sih, teriak-teriak, budek, nih!" Ify balas menyahut tapi selanjutnya terdiam, sepertinya sedang mencermati perkataan(baca: teriakan) Rukia tadi. "EHH? Buku lo udah terbit?"



Ify nyengir gila-gilaan, sekarang dia sedang berbaring di tempat tidurnya.



"Iyaaa! Ntar kamu aku kirimin, deh!" sahut Ify lagi.



"Wah, keren, Fy! Novelnya... jadi tentang si Rio?" tanya Sivia hati-hati.



"Iya!" sahut Ify ceria. "Keren banget, deh, pokoknya kamu harus baca!"



Sivia tertawa kecil lalu terdiam sebentar. "Lo apa kabar, Fy? Kuliah beres? Jangan cuma nulis novel aja dong..."



"Ih, gaya aja yang udah kerja," kata Ify membuat Sivia terkekeh. "Bentar lagi juga aku lulus!"



"Bener, ya, ntar pas wisuda gue dateng, deh," kata Sivia. "Hmm... Fy, lo beneran nggak apa-apa?"



"Nggak apa-apa, kok. Aku malah seneng, berarti sebentar lagi aku bisa ketemu lagi sama Rio!" kata Ify



"Oh, gitu, ya. Kalo gitu, ntar kalo kalian ketemu, salamin dari gue, ya," ujar Sivia lagi.



"Iya, ntar aku salamin. Ya udah, deh, kalo gitu. Vie, yang semangat, ya!" kata Ify. "Dan, doain aku bisa tidur ntar

malem."



"Huu... dasar! Pasti grogi-grogi nggak jelas gitu, deh. Ya udah, dadah!"



Sivia memutuskan sambungan teleponnya. Ify menghela napas, dia menatap langit-langit kamarnya. Sivia memang sudah pasti menjadi orang pertama yang ingin diberitahunya tentang bukunya. Namun, sebenarnya, ada orang yang paling ingin diberitahu Ify, namun Ify tidak tahu bagaimana caranya.



Selama hari itu, Ify sudah berkali-kali menatap bukunya. Ify masih belum benar-benar percaya kalau dia sudah menerbitkan sebuah buku. Dan karena buku itu, Ify jadi semangat untuk membuat yang lain lagi.



Sekarang, Ify sedang berada di depan komputer, serius dengan naskah terbarunya. Kalau dulu dia menulis tentang Rio dalam novel pertamanya, sekarang dia ingin menulis sesuatu yang benar-benar berasal dari khayalannya.



Selama mengetik, Ify tidak henti-hentinya nyengir. Ify memikirkan tentang pertemuannya dengan Rio yang tinggal selangkah lagi. Setelah Rio berhasil membuat film, mereka pasti akan bertemu.



Karena merasa haus, Ify mengulurkan tangannya untuk mengambil gelas, tetapi gelas itu malah tersenggol dan jatuh ke lantai.



"Aaah!" seru Ify sambil berusaha menyelamatkan gelas itu, tapi gelas itu sudah terlanjur jatuh dan pecah. Ify bermaksud untuk membereskan pecahan gelas tersebut, tapi jarinya terkena pecahan itu hingga berdarah. Ify—secara spontan—segera mengisap darah yang merembes keluar dari celah kulitnya yang tersayat.



Mendadak, Ify teringat tentang kejadian saat dulu jari Rio juga pernah berdarah. Dan, mengingatnya membuat Ify tiba-tiba teringat saat Rio baru datang sampai akhirnya pergi lagi. Ify tersenyum, dan ketika dia mau mulai mengetik lagi, ponselnya berbunyi.



Ify mengernyit bingung saat melihat deretan angka di layar ponselnya. Ify merasa tidak mengenali nomor telepon itu, tapi pada akhirnya dia mengangkatnya juga.



"Hallo?" kata Ify.



"Hallo?" Terdengar suara lembut seorang wanita dari seberang, dan Ify merasa pernah mendengarnya di suatu

tempat. "Apa benar ini... Ify?"



"Iya benar. Maaf, tapi ini siapa, ya?" tanya Ify.



"Saya... ibunya Rio, Manda," jawab suara itu lagi membuat Ify terkejut.



"Ah, Tante. Eh, maaf, ibunya Toushiro," kata Ify serba salah.



"Panggil Tante juga tidak apa-apa, kok, Fy," kata Manda lembut.



"Oh, iya, Tante," jawab Ify lagi—masih gugup, tetapi selanjutnya dia merasa bingung, kenapa ibunya Rio meneleponnya.



"Saya dapat nomor kamu dari ponsel Rio," kata Manda lagi. "Saya mengganggu, ya?"



"Ah, tidak, kok, Tan," jawab Fy cepat.



"Fy... selama ini Rio selalu membicarakan kamu. Saya baru sempat berterima kasih sekarang, maaf ya," ujar Manda

lagi. "Terima kasih karena kamu sudah merawat Rio selama dia berada di sana. Terima kasih karena kamu mau mendengarkan Rio dan memberi harapan untuk Rio."



"Ah, tidak, Tante...," sanggah Ify.



"Rio kembali sekolah juga berkat kamu, saya tidak tahu harus bagaimana lagi berterima kasih sama kamu, Fy."



Ify terdiam, benar-benar tak tahu harus menjawab apa.



"Fy... Rio punya janji sama kamu, ya?" tanya Manda.



"Ng... iya, Tante," jawab Ify bingung.



"Fy... saya menelepon kamu untuk menyampaikan pesan dari Rio," kata Manda membuat jantung Ify tiba-tiba berdetak cepat. "Katanya... maaf karena sudah ingkar janji."



"Maksud... Tante...?" tanya Ify terbata-bata. Manda terdiam sesaat, terdengar seperti sedang menarik napas.



"Ify, kamu harus tahu, selama setahun ini Rio sudah sebisa mungkin berusaha," kata Manda lagi. "Rio melakukan semua itu demi bertemu dengan kamu lagi. Tapi, Rio tidak bisa memenuhi janjinya, Rio benar-benar minta maaf."



"Tante, apa maksud Tante dia gagal membuat film?" tanya Ify cepat. "Kalau memang dia gagal, nggak apa-apa! Aku masih mau ketemu sama dia!"



Manda terdiam sebentar. Ify bisa mendengar isakan wanita setengah baya itu. Ify tahu ini bukan pertanda yang baik, tapi Ify tak mau memercayainya.



"Ify, Rio... baru saja... meninggal," kata Manda membuat jantung Ify seperti berhenti berdetak. Tubuh Ify terasa lemas. Ify tidak bisa merasakan satu pun dari organ tubuhnya. Ify menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tadi pasti salah dengar. Rio tidak mungkin sudah meninggal.



"Tante, tadi aku salah dengar, kan, ya?" tanya Ify, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri. "Tadi, aku salah dengar, kan?"



"Ify, saya minta maaf. Tapi, sampai saat terakhir, Rio selalu minta maaf dan menyebut nama kamu," kata Manda, sudah terisak. Ify sendiri bergeming, air matanya sudah jatuh—bebas menuruni pipinya tanpa ada yang menyeka.



"Kenapa...?" gumam Ify lirih.



"Ify, semenjak bertemu kamu, semangat hidup Rio kembali. Dia jadi rajin minum obat, dia periksa ke dokter rutin, semuanya Rio lakukan supaya dia bisa tetap bertahan hidup," cerita Manda. "Tapi, takdir berkata lain, Fy. Dia meninggal karena kecelakaan."



"Kecelakaan...?" gumam Ify lagi.



"Dia baru pulang dari pemutaran filmnya," kata Manda lagi. "Dia tertabrak mobil waktu mau menyelamatkan anak-anak yang jatuh di jalan."



Ify tak bisa berkata-kata lagi. Air matanya sudah mengalir deras. Ify merasa dadanya sangat sesak sehingga tak sanggup untuk bicara.



"Fy, mungkin permintaan terakhir Rio adalah bertemu dengan kamu," kata Manda. "Jadi, besok kami akan menunggu kamu sebelum memakamkan Rio."



Ify terisak hebat. Dia tidak bisa mendengar kata-kata Manda yang selanjutnya. Ponselnya sudah jatuh tergeletak begitu saja. Ify mengambil iPod dari Rio dan mendekapnya erat-erat.



Malam itu, Ify menangis sejadi-jadinya. Air matanya seakan tak pernah bisa berhenti mengalir.

Ify tidak banyak bicara selama dalam perjalanan ke Manado. Winda meliriknya cemas. Pagi itu, Ify beserta Winda dan Joe berangkat ke Manado dengan Pesawat untuk menghadiri pemakaman Rio. Wanda sangat kaget saat semalam Ify tiba-tiba menghampirinya dengan menangis dan mengatakan bahwa Rio telah tiada.



Sepanjang perjalanan, Ify hanya menatap ke luar jendela sambil mendengarkan musik dari iPod milik Rio. Sesekali, Ify menangis, tetapi baik Winda maupun Joe tak ada yang mencoba untuk menghiburnya. Karena mereka tahu bahwa Ify tak akan bisa dihibur dengan cara apa pun juga.



Dan sekarang, mereka akhirnya sampai di depan rumah Rio yang sedang diselimuti dengan suasana duka. Ify turun dari mobil dan seketika itu juga kakinya terasa lemas—seakan tak kuat untuk menopang tubuh mungilnya. Dia merasa tidak akan sanggup melihat Rio. Joe pun segera memapahnya masuk ke dalam pekarangan, dan di sana sudah ada Alvin dan Shilla.



Masih ada bekas air mata yang telah mengering di kedua pipi Shilla. Sedangkan Alvin, dari luar dia memang terlihat tegar, tetapi tak ada saorang pun yang tahu kalau sebenarnya dialah yang merasa paling terpukul atas kematian Rio.

Di matanya terpancar rasa bersalah yang amat dalam. Dan sebisa mungkin, Alvin menghindari kontak mata dengan Ify, dia tidak ingin melihat kesedihan Ify. Karena semua ini adalah salahnya. Ya, kematian Rio adalah kesalahan terbesar yang pernah diperbuatnya.



"Ify," kata Shilla yang segera menghambur ke arah Ify dan memeluknya. Tangis Shilla pecah, tetapi Ify tidak menangis. "Fy, kamu harus kuat, ya?"



Ify mengangguk, lalu Joe membawanya masuk ke dalam rumah duka. Di dalam sana, sudah ada beberapa orang dengan pakaian serba hitam yang mengelilingi sosok kaku di tengah ruangan. Ify mendekati sosok kaku itu dengan langkah terseok.



Rio tampak begitu pucat dengan kapas yang menutupi kedua lubang hidungnya. Tapi meskipun begitu, wajah tampannya terlihat sangat damai—benar-benar polos tanpa beban sedikit pun. Ify juga bisa melihat senyuman tipis terpasang di bibir pucatnya menghiasi wajahnya yang kini nampak kaku. Ify terduduk di sampingnya dan menatapnya. Zeth dan Manda—orang tua Rio, menatap Ify sedih.



"Yo," kata Ify lirih. "Akhirnya... kita bisa ketemu lagi, ya?"



Tangis Manda mendadak pecah, lalu menangis di pelukan Zeth. Shilla juga sudah menangis di ambang pintu masuk, Alvin yang berada di sampingnya—dengan mata yang juga tak kalah berkaca-kaca—hanya bisa memeluk gadis itu, berusaha menenangkannya.



"Akhirnya... kita sama-sama berhasil, ya?" kata Ify lagi, lalu menunjukkan bukunya. "Nih, bukuku udah terbit. Isinya tentang kamu, lho."



Setetes air mata Ify sudah mulai jatuh.



"Yo, kok kamu diem aja, sih?" ujar Ify lagi. "Kok, kamu pucet banget? Ini apaan lagi, ada kapas di hidung. Jelek banget, tau."



Ify bermaksud melepas kapas yang menutupi lubang hidung Rio, tetapi tanpa sengaja dia menyentuh kulit wajah Rio yang sedingin es. Ify segera terisak, menyadari kalau Rio tidak akan pernah bisa menjawabnya lagi. Ify juga menyadari bahwa Rio tidak akan lagi bisa mengacak-acak rambutnya sambil mengatainya cengeng saat dia menangis.



"Yo, kamu nggak ingkar janji, kok," kata Ify lagi. "Kita udah ketemu, kan? Kita juga udah sama-sama berhasil meraih cita-cita kita, kan? Aku bangga sama kamu, Yo."



Manda terisak lebih kuat, sedangkan Zeth masih memeluknya erat.



"Yo, suatu saat nanti kita pasti bisa ketemu lagi," ujar Ify, masih terisak. "Suatu saat, kita pasti ketemu lagi. Dan

sampai saat itu tiba, kamu tunggu aku, ya."



Ify membelai pipi Rio yang terasa dingin bagai es, lalu terisak lagi. Ify ternyata tidak bisa kuat seperti janjinya.



Pemakaman Rio sudah berakhir. Ify sempat pingsan saat jasad Rio masuk ke liang kubur. Sekarang, Ify tidak bisa beranjak dari makam pria yang dicintainya itu. Air mata juga masih nampak di wajahnya yang sendu. Air mata memang ditakdirkan untuk menghiasi perpisahan. Ify sendiri enggan menghapus air matanya. Biarlah air mata itu menjadi saksi betapa besarnya ikatan cinta dan kasih sayangnya terhadap Rio.



Sudah satu jam Ify terduduk di depan makam Rio, membelakangi Alvin yang berdiri sekitar satu meter di belakangnya. Semua pelayat sudah pergi—termasuk Manda, Zeth, Shilla, serta Joe dan Winda, yang menunggu Ify di rumah Rio. Sehingga di sana hanya tertinggal Ify dan Alvin.



Tiba-tiba, Alvin berjalan mendekati Ify dari belakang.



"Ify?" panggil Alvin, membuat Ify menoleh dengan mata sembab. "Gue Alvin, temennya Rio."



Ify mengangguk. Alvin mengeluarkan sebuah piala yang terbuat dari kaca dan menyodorkannya pada Ify. Ify

menerimanya dengan bingung.



"Piala penghargaan buat Rio," jelas Alvin. "Kemarin dia menang lomba film indie."



Ify menatap Alvin tak percaya, lalu beralih menatap piala di tangannya.



"Rio benar-benar berusaha untuk bikin film itu," kata Alvin lagi. "Ini kopiannya, dia bikin khusus buat lo."



Ify menerima sebuah CD yang disodorkan Alvin, air matanya jatuh lagi. Alvin menatap Ify lama.



"Fy, terima kasih banyak karena udah menyelamatkan Rio," kata Alvin, matanya masih menatap lekat-lekat gadis di hadapannya. "Karena lo, Rio bisa meninggal dengan lebih baik." 'Tapi, maafin gue karena udah merampas dia dari hidup lo, Fy. Gue bener-bener minta maaf,' lanjutnya penuh penyesalan dalam hati.



"Tapi, aku nggak sempat ketemu sama dia," ujar Ify lirih.



"Walaupun kalian nggak sempat ketemu, lo pasti tau apa yang mau dia omongin, kan?" tanya Alvin membuat Ify menatapnya bingung. "Lo pasti tau."



Ify tidak tahu. Dia sama sekali tidak tahu apa yang akan dikatakan Rio seandainya mereka bertemu. Ify menatap makam Rio.



"Apa yang mau kamu omongin?" tanya Ify lirih. "Aku sama sekali nggak tau, Yo."



Alvin masih menatap Ify lama, lalu mengalihkan pandangannya ke langit yang terlihat mendung—seolah ikut berduka atas kematian Rio. Dan itu membuatnya kembali teringat akan pesan terakhir yang dikatakan Rio kepadanya, sesaat sebelum Rio meninggalkan dunia ini.



"Jaga Ify, Vin. Gue tau kalo suatu saat, gue pasti harus ninggalin dia. Dan di saat gue udah nggak bisa ngejaga dia, gue mohon, gantiin gue buat ngejaga dia dengan baik. Jangan biarin dia nangis lagi. Gue nggak bisa terus-terusan ngeliat dia nangis karena gue. Gue mohon, Vin. Jaga Ify... demi gue."



Alvin kembali menatap Ify yang masih terduduk di samping makam Rio. Alvin benar-benar sedang mengalami dilema. Di satu sisi, dia ingin melaksanakan pesan terakhir sahabatnya itu. Tapi di sisi lain, dia sendiri bingung, bagaimana bisa dia menggantikan Rio untuk menjaga Ify sementara dirinyalah yang menyebabkan Rio pergi untuk selamanya dari sisi gadis itu.



"Kenapa harus gue, Yo?" gumam Alvin lirih. "Mana bisa gue ngejaga orang yang bahkan nggak akan pernah bisa ngelupain lo selamanya."



Ify tidak mendengar Alvin. Ify sudah disibukkan dengan pikirannya sendiri, memikirkan apa kata-kata yang akan Rio ucapkan padanya seandainya mereka bertemu.



Sudah tiga bulan semenjak kematian Rio, dan Ify sudah bisa melanjutkan hidupnya. Novelnya menjadi best-seller dalam waktu tiga bulan itu. Film Rio juga sedang dalam proses untuk diangkat ke layar lebar berkat bantuan teman-teman kampusnya.



Film itu bercerita tentang kehidupan seorang penderita AIDS yang berjuang untuk meneruskan hidupnya, mirip seperti perjalanan hidup Rio sendiri. Dan, novel Ify menceritakan seorang Mario Stevano dari sudut pandangnya.



Ify sekarang juga sudah menjadi aktivis yang membantu penderita AIDS. Ify ingin membuat perubahan. Ify ingin menunjukkan bahwa penderita AIDS bukan untuk dijauhi, karena mereka juga manusia yang butuh perhatian dan kasih sayang dari orang lain. Ify membantu memberikan penyuluhan dan pengertian bahwa AIDS tidak menular lewat cara bersentuhan—seperti banyak orang-orang pikirkan.



Ify baru saja selesai memberikan penyuluhan di sebuah puskesmas di daerah sekitar Pantai Bandung, dan sekarang dia sedang berjalan-jalan di pantai. Melihat pantai ini, dia jadi teringat lagi saat dia dan Rio datang ke sini. Saat itu,

Rio mengatakan untuk jangan jatuh cinta kepadanya, dan Ify masih belum mengerti keadaan Rio.



Ify duduk di pasir sambil menikmati angin pantai yang berembus. Saat itu sudah sore, dan matahari sebentar lagi terbenam. Ify lalu memasang headphone dan menyetel iPod pemberian Rio. Dan kemudian, ingatannya kembali terbang ke saat Rio memberinya iPod itu.



oOo Flashback oOo



Rio melepasheadphone besar yang sedari tadi melingkar di lehernya dan memakaikannya pada Ify. Dia menyerahkan iPod-nya pada Ify yang terlihat bingung. "Nih, pegang. Ntar gue ambil lagi, jadi jangan dirusakin."



Ify menatap bingung iPod di tangannya.



"Beneran nggak apa-apa, Yo? Bukannya ini penting?" tanya Ify.



"Iya ini penting, ini suara hati gue," kata Rio sambil nyengir. "Makanya gue pinjemin. Ntar harus didengerin."

Ify mengangguk.



oOo End of Flashback oOo



Sejak saat itu, Ify selalu mendengarkan musik dari sana. Ini adalah musik yang selalu didengarkan Rio, dan Rio juga sudah memintanya untuk mendengarkannya. Katanya, musik-musik ini adalah suara hatinya.



Ify lalu memutuskan untuk berbaring, dan pada saat itulah musik di telinganya berhenti. Ify kembali duduk sambil memerhatikan layar iPod-nya. Baterainya masih penuh. Ternyata, Ify tadi tidak sengaja menekan suatu tombol yang membuatnya keluar dari menu musik ke mode rekaman. Bingung karena tidak pernah mengutak-atiknya, Ify sembarangan menekan tombol. Tahu-tahu dari headphone terdengar suara gemeresak.



Ehem, tes tes.



Ify terkejut setengah mati saat mendengar suara Rio ada di sana. Ify menekan headphone-nya lebih dalam ke telinganya, takut salah dengar. Ify lalu mendengarkannya baik-baik.



Ify?



Ini gue.



Ify membekap mulutnya. Ini memang benar suara Rio. Jantung Ify langsung berdetak tak beraturan. Sudah terlalu lama Ify tidak mendengar suara itu. Sungguh bohong besar jika dia bilang kalau dia tak merindukan suara itu.



Euhm... gue nggak tau kapan lo bakal ngedengerin rekaman ini.



Mungkin tepat setelah gue kasih iPod gue.



Atau baru sekarang ini, saat lo udah sedikit lebih canggih dan baru sadar kalo ada rekaman ini selain lagu.



Maaf, bercanda.



Maaf lagi karena udah nyakitin lo selama ini.



Maaf karena gue nggak pernah mau ngedengerin lo.



Maaf karena gue nggak pernah bisa membalas setiap kebaikan lo.



Maaf karena gue terlalu pengecut untuk ngomong semua ini langsung sama lo.



Gue takut kalo gue ngomong langsung, lo bakal nangis, dan gue nggak pengen liat lo nangis lagi.



Atau, gue yang bakal nangis dan nggak mau ninggalin lo.



Atau malah, kita sama-sama nangis, dan kalo udah gitu, nggak akan ada yang berubah.



Ify...



Gue yang sekarang ini terlalu memalukan buat lo.



Gue yang sekarang ini cuma bisa nyusahin lo.



Dan, gue mau lo kenal dengan Mario Stevano yang semangat dan punya cita-cita.



Gue bakal balik kayak Mario Stevano yang dulu, dan dengan keadaan itu, gue mau kita ketemu lagi.



Ify...



Terima kasih karena udah menyelamatkan gue.



Terima kasih karena udah mau menemani gue.



Terima kasih juga karena udah nerima keadaan gue.



Dan, lo pasti tau kalo selama ini gue selalu menyalahkan Tuhan atas semua hal yang terjadi di kehidupan gue.



Mulai dari penyakit mengerikan ini, sampai ke kebahagiaan yang terambil satu per satu dari kehidupan gue.



Tapi, belakangan ini gue sadar, bahwa ada baiknya kalau gue justru bersyukur dengan apa yang Tuhan takdirkan

sama gue selama ini.



Karena, tanpa keadaan gue yang terpuruk seperti itu—ditambah rasa dendam gue sama Gabriel, gue mungkin nggak bakal pernah pergi ke Bandung, apalagi ketemu sama lo.



Nah, sekarang udah nangis, kan?



Hapus, tuh, air mata, jelek banget tau.



Boong ding.



Lo cewek tercantik yang pernah gue kenal, dan lo adalah keajaiban terindah dalam hidup gue.



Walaupun kita ketemu dengan cara yang sulit, gue seneng bisa ketemu sama lo.



Dan, walaupun gue agak sedikit malu, gue bisa bilang ini.



Gue sayang sama lo.



Dan gue nggak akan maafin lo kalo buku lo nggak terbit-terbit.



Ify...



Sekali lagi terima kasih.



Gue akan berusaha nggak mati dulu sebelum ketemu sama lo lagi.



Tapi, kalo Tuhan berkehendak lain, maafin gue karena udah ninggalin lo.



I'll see you soon.



Ify sudah menangis sejadi-jadinya. Perasaan Ify campur aduk. Senang karena akhirnya bisa mendengar apa yang mau dikatakan Rio, dan menyesal karena tidak menyadarinya lebih awal. Ternyata, ini yang dimaksud Rio sebagai suara hatinya.



Ify menangis sampai dadanya terasa sesak, sampai kepalanya sakit. Sepertinya, air matanya terus keluar walaupun Ify mencoba untuk menghentikannya.



Selama satu jam dia terisak, sampai tiba-tiba dia merasakan sepasang tangan memeluknya dari belakang. Ify menggigit bibir bagian bawahnya, lalu perlahan memejamkan matanya. Ify bisa merasakan tubuh hangat Rio yang sedang memeluknya. Setetes air mata Ify jatuh lagi.



"Ify, hidup untuk bagian gue juga, ya."



Sayup-sayup Ify mendengar bisikan suara Rio. Bukan melalui headphone, tetapi melalui angin yang berembus lembut di sekitar telinganya.



Ify kemudian membuka mata, dan menyaksikan matahari yang terbenam. Ify lalu mngambil buku 'Neighbour from Mars' yang ada di sebelahnya dan membuka halaman pertamanya. Di sana terdapat tulisan:



Buku ini aku persembahkan untuk Mario Stevano, orang yang memberi awal dari kehidupanku yang sesungguhnya.



Orang yang lebih mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri.



Orang yang tersesat dan akhirnya menemukan jalan kembali.



Rio, sekian tahun aku bertanya-tanya, untuk apa aku dilahirkan ke dunia ini?



Dan, sekarang aku tahu jawabannya.



Untuk bertemu denganmu. Untuk membuat perubahan. Dan, untuk hidup bersama perubahan itu.



Sekali pun aku tidak pernah menyesali pertemuan kita.



Rio, terima kasih atas kepercayaanmu. Buku ini adalah tanda terima kasihku atas kepercayaanmu itu.



P.S. Setelah pulang ke Mars, jangan lupa untuk kembali ke Bumi, karena kamu masih punya janji dengan makhluk

Bumi ini.



Ify membalik halaman demi halaman bukunya itu, dan seketika memorinya terpanggil. Dari saat awal ketika bertemu Rio yang "datang" dari Mars, saat mereka pergi ke pantai ini, saat mereka menjalani hal-hal sulit bersama, sampai akhirnya mereka berjanji untuk bertemu lagi.



Dan, sekarang Ify sampai pada halaman terakhir. Halaman saat sang alien harus kembali ke Mars. Ify menutup bukunya, lalu tersenyum menatap lautan yang sudah berwarna oranye karena pantulan matahari.



Pasti, suatu saat Ify akan bertemu Rio lagi. Pasti.

The Truth About Forever - Chapter 14 : Will We Meet Again?

Semalaman, Rio dan Ify tidak bisa tidur. Malam itu adalah malam terakhir Rio berada di kost ini, sekaligus malam terakhir Rio di Bandung. Ify dan Rio sama-sama duduk bersandar di dinding pembatas kamar mereka, merenung di kamar masing-masing.



Dan pagi ini, Rio sudah siap untuk berangkat ke stasiun. Sedangkan Ify masih ada di kamarnya. Dia bercermin dan mendapati wajah muramnya. Ify menghela napas, lalu mencoba untuk tersenyum. Ify tidak boleh terlihat sedih di hadapan Rio. Ify harus terlihat kuat.



Ify kemudian keluar kamar dan mendapati Rio sedang berjongkok memakai sepatu. Seketika itu juga, Ify ingin menangis, tetapi berusaha ditahannya.



Rio menoleh, dan dalam sekali melihat Ify, dia bisa menyimpulkan bahwa gadis yang kini dicintainya itu juga tidak bisa tidur, sama seperti dirinya. Ify nyengir melihat Rio.



"Keretanya pukul 8, ya?" tanya Ify. Rio mengangguk. Dia sudah selesai mengikat sepatunya, lalu berdiri.



"Masih ada waktu," ujar Rio setelah melirik jam tangannya. "Ke atas, yuk?"



Ify mengangguk, mengikuti Rio naik ke lantai tiga. Ify sangat sedih melihat punggung Rio. Seolah Rio akan pergi dan tidak akan kembali lagi. Seolah dirinya tak akan bisa lagi memeluk tubuh pria itu, menatap lekat-lekat matanya, serta menikmati senyuman yang tersungging di wajah rupawannya. Dia juga pasti akan sangat merindukan suara Rio.

Benarkah semua akan berakhir hanya sampai di sini saja? Apakah dia tidak akan bisa bertemu dengan pria yang dicintainya itu lagi?



Ify segera menggeleng kuat-kuat, berusaha menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan yang baru saja dipikirkannya. Dan berusaha untuk berpikir positif. Semua akan baik-baik saja... Ya, setidaknya semua masih baik-baik saja...



"Ify," kata Rio sambil berbalik. Wajah tampannya tampak serius, dan Ify tahu akan ada pembicaraan yang tidak menyenangkan. "Lo tau, kan, gue bakal balik lagi," lanjutnya seolah bisa membaca pikiran-pikiran paranoid Ify.

Ify mengangguk pelan. Rio menghela napas, lalu bersandar pada pagar pembatas.



"Semalem gue berpikir... ternyata gue yang sekarang ini terlalu menyedihkan," kata Rio. "Nggak ada satu pun dari diri gue yang bisa dibanggain. Gue sama sekali nggak berguna."



"Itu nggak bener," sanggah Ify. Rio menggeleng.



"Gue emang nggak berguna, Fy—setidaknya untuk saat ini. Dan, gue yang sekarang ini nggak bakal punya kepercayaan diri untuk ada di samping lo," kata Rio lagi. Rio lalu menatap Ify dalam-dalam. "Fy, gue bakal meraih cita-cita gue."



Ify mengerjap-ngerjapkan matanya tak percaya.



"Kalo gue udah jadi sutradara, dan lo udah jadi penulis best-seller, ayo kita ketemu lagi," kata Rio lagi, dan pada detik berikutnya, setitik air mata jatuh ke pipi Ify. Ify cepat-cepat menghapus air mata itu, lalu tersenyum manis.



"Kalo gitu, janji, ya? Kalo kita udah sama-sama meraih cita-cita kita, kita ketemu lagi," ujar Ify sambil mengacungkan jari kelingkingnya. Rio menyambut jari mungil Ify itu dengan mengaitkan jari kelingkingnya pada jari Ify. Rio

tersenyum simpul, kemudian meregangkan tubuhnya.



"Uwaah... Gue pasti kangen banget sama tempat ini," kata Rio lalu cepat-cepat nyengir pada Ify yang cemberut.



Tiba-tiba, Rio melihat sebuah taksi berhenti tepat di depan kost-nya.



"Ah, taksi pesanan Tante Winda," kata Ify. "Katanya dia yang bayarin buat nganterin kamu ke stasiun."



"Hah? Kenapa pake pesen taksi segala, sih?" tanya Rio bingung.



"Tanya tante, dong," kata Ify. "Ng... aku antar ke stasiun, ya?"

Rio menatap Ify, lalu mengacak rambut hitamnya.



"Nggak usah. Gue nggak mau liat tampang jelek lo pas nangis," kata Rio membuat Ify cemberut.



"Siapa juga yang bakal nangis?" balasnya membuat Rio tertawa. Ify terdiam beberapa saat sambil memain-mainkan jarinya. "Yo... Ntar jangan lupain aku, ya."



"Jangan bego lo," kata Rio sambil menjentik kening Ify. Yang benar saja! Mana mungkin dia bisa melupakan gadis yang sekarang berada di urutan paling atas dalam daftar orang-orang paling penting dalam hidupnya?



Rio melepas headphone besar yang sejak tadi melingkar di lehernya, dan kemudian memakaikannya pada Ify. Dia juga menyerahkan iPod-nya pada Ify yang terlihat bingung. "Nih, pegang. Ntar gue ambil lagi waktu gue balik ke sini, jadi jangan dirusakin."



Ify menatap bingung iPod di tangannya.



"Bener nggak apa-apa, Yo? Bukannya ini penting?" tanya Ify.



"Iya ini emang penting, ini suara hati gue," kata Rio sambil nyengir. "Makanya gue pinjemin. Ntar harus di dengerin."



Ify mengangguk. Tak berapa lama, Winda—sang ibu kost—memanggil dari bawah. Rio dan Ify segera bergerak turun. Ternyata di bawah, semua penghuni kost yang lain serta keluarga sang empunya kost sudah menunggu. Rio menatap Winda beserta Joe dan Debo—suami dan anak Tante Winda, juga Ozy dan Septian yang sudah nyengir padanya.



"Kami denger kalo hari ini lo mau pindah," kata Ozy. "Kok cepet banget, sih, Yo? Gue belum sempet ngajak lo muter-muter Bandung, lho."



"Lain kali aja kalo gue ke sini lagi, Zy," kata Rio.



"Kamu bakal ke sini lagi, Yo?" tanya Septian. Rio mengangguk.



"Lain kali kalau ke sini lagi, kau harus makan bersama kami, karena kalau tidak, kau tidak boleh masuk," kata Joe membuat Rio tersenyum.



"Terima kasih, Om," kata Rio.



"Wah, baru kali ini, lho, kita lihat Rio senyum," kata Winda yang langsung dibenarkan oleh semua yang ada di sana. Rio melirik Ify yang sudah nyengir.



"Ya sudah, itu taksinya udah nunggu. Ify ikut nganter nggak?" tanya Winda.



"Nggak, Tan, Rio nggak mau," kata Ify sementara Rio tersenyum kaku pada Winda yang terlihat bingung.



"Tante Winda, terima kasih untuk taksinya, seharusnya Anda tidak perlu repot-repot," kata Rio.



"Ah, nggak apa-apa, Rio. Lagi pula uang kost kamu, kan, masih sisa banyak," canda Winda membuat semuanya tertawa. Rio lalu memasukkan tasnya ke dalam taksi.



"Semuanya, terima kasih karena sudah menerima saya dengan sangat baik," ujar Rio, mulai berpamitan, lalu melirik Ify. "Saya pasti akan ke sini lagi."



Semua orang yang ada di sana pun mengangguk sambil tersenyum. Rio masuk ke dalam taksi dan membuka jendelanya. Rio menatap Ify yang sudah tidak tersenyum. Sesungguhnya, berat rasanya bagi Rio untuk meninggalkan Ify.



"Eh, awas lho, ya, jangan sampe bukunya nggak terbit-terbit," kata Rio membuat Ify cemberut.



"Kamu juga, jangan sampai filmnya nggak jadi-jadi," balas Ify tak mau kalah, membuat Rio terkekeh. Rio lalu terdiam sebentar.



"Jaga diri lo, ya, Fy," kata Rio kemudian sambil tersenyum lembut. Suaranya kali ini sungguh berbeda dari suara Rio biasanya, suaranya kali ini terdengar sangat lembut dan sarat akan kasih sayang. Pancaran matanya yang sedikit sendu juga seolah menggambarkan kerinduan yang dalam.



"Kamu juga. Jaga kesehatan, ya. Minum obat yang teratur," ujar Ify. Rio mengangguk.



Rio menatap mata Ify sebentar, lalu menghela napas. Dia pasti akan sangat merindukan mata indah itu. Dan sekarang, sudah saatnya bagi Rio untuk pergi. Rio menatap ke sopir taksi, memberinya sinyal untuk berangkat.

"Dadaaah~!" seru Winda, membuat semua orang serentak melambai pada Rio—seolah-olah dikomando. Rio balas melambai singkat, lalu menatap Ify yang tersenyum padanya.



Taksi sudah bergerak perlahan, tetapi Rio belum juga menutup jendelanya. Ify menatap taksi yang mulai bergerak menjauh, lalu—tanpa disadarinya—Ify sudah berlari mengejar taksi itu. Rio yang melihatnya melalui kaca spion, langsung melongok dari jendela.



"Rio!" seru Ify sambil terus berlari. "Kita pasti ketemu lagi, kan?"



"Pasti!" sahut Rio, dan Ify berhenti berlari. Ify melambai-lambaikan tangannya sambil tersenyum, sementara taksi yang ditumpangi Rio berbelok.



Rio menghempaskan tubuhnya ke jok. Rio tidak tahu apa yang sudah diperbuatnya ini benar atau tidak, tetapi Rio percaya, Ify pasti akan bisa bertahan.



"Pacar, ya, Tuan?" tanya supir taksi menyadarkan Rio dari lamunannya. Rio menatapnya bingung sesaat, lalu mengangguk.



Supir taksi itu mengangguk-angguk paham.



"Pacaran jarak jauh, ya, Tuan?" tanyanya lagi, dan Rio hanya menjawabnya dengan anggukan lagi. "Tenang saja, Tuan. Sekarang, kan, pulsa telepon banyak yang murah. Jadi telepon-teleponan saja."



Rio hanya tersenyum simpul tanpa menjawab. Rio tidak akan menelepon Ify, karena kalau dia melakukan itu, Rio akan melupakan semuanya dan kembali pada Ify. Oleh karena itu, Rio akan menahan diri sampai dia benar-benar mencapai cita-citanya. Dengan begini, dia akan lebih bersemangat dan lebih cepat untuk bertemu Ify.



Rio berharap Ify akan melakukan hal yang sama dengannya. Namun, yang lebih Rio inginkan adalah, Ify dapat mendengarkan iPod-nya.





***





Kereta jurusan Jakarta berjalan tenang di antara persawahan. Dan di dalam kereta itu terdapat Rio yang tengah duduk sambil melihat ke luar jendela dengan pandangan menerawang. Dia akan menaiki pesawat dari Jakarta menuju kota kelahirannya. Saat itu, dia tengah memikirkan suatu hal yang ia rasa telah dilupakannya. Sesuatu yang seharusnya dilakukannya sebelum kembali ke Manado.



Tiba-tiba, ponsel yang ada di sakunya bergetar. Sebuah nama yang tertera di layar ponselnya langsung membuat dirinya teringat akan satu hal penting yang baru saja berusaha diingatnya. Alvin Jonathan. Ya, setelah kejadian yang menimpa Rio dan Gabriel kemarin, Rio jadi lupa memberi tahu tentang kepulangannya ke Manado pada Alvin.



"Ya, Vin?" jawab Rio pada dering ketiga tanpa mengucap salam.



"Oi, lo ke mana aja, Yo? Udah lama nggak ada kabar," tanya Alvin di seberang.



"Gue balik ke Manado hari ini, Vin," ujar Rio to the point.



"Apa? Lo balik hari ini? Kenapa nggak ngomong-ngomong sama gue dulu, sih?" tanya Alvin dengan nada sedikit kesal.



"Sori, gue lupa," jawab Rio kalem.



"Astaga... bisa-bisanya, ya, lo...," gumam Alvin. "Oh ya, kalo lo balik sekarang, terus Gabriel..."



"Gue udah ketemu sama dia kemarin," ujar Rio singkat.



"Terus... lo nggak...," kata Alvin, dari nada bicaranya bisa dirasakan ada sedikit kekhawatiran di dalam suaranya.



"Dia juga kena penyakit yang sama, Vin," kata Rio membuat Alvin yang ada di seberang telepon terkesiap kaget.

"Lo pikir, apa yang bisa gue perbuat pada orang yang juga sama terpuruknya dengan gue—yang bahkan baru tau

hal itu waktu gue bilang kalo gue sakit?" Riro balas bertanya sambil mendengus getir.



"Jadi... dia baru tau kalo dia sakit waktu lo kasih tau tentang penyakit lo ke dia kemaren?" tanya Alvin tak percaya.

Rio hanya diam saja, tak berusaha untuk menjawab pertanyaan sahabatnya itu.



"Terus, lo sekarang di mana?" tanya Alvin lagi, sepertinya sedang berusaha mengalihkan topik pembicaraan setelah mengerti kalau teman semasa SMA yang sedang diteleponnya itu tidak ingin membahas tentang Gabriel lebih jauh

lagi .



"Gue udah ada di kereta. Baru aja jalan lima belas menit yang lalu," jawab Rio.



"Oh..." Alvin mengangguk paham di seberang. "Terus... cewek itu gimana?"



Rio terdiam sejenak. "Ify... Dia tetep di Bandung," jawab Rio setelah mengerti siapa yang dimaksud Alvin tadi.

"Emang kenapa? Lo berharap, dia gue bawa ke Manado?"



"Yah, siapa tau, kan?" jawab Alvin cuek. "Oh iya, gue juga bakal pindah ke Manado dalam waktu dekat ini, Yo."



"Hah? Ngapain?" tanya Rio bingung. "Terus, kuliah lo gimana?"



"Gue udah dapet kerjaan bagus di sana," jawab Alvin santai. "Ah, gue, kan udah sampai semester akhir, dan gue juga udah ngerjain skripsi sampai tahap terakhir, udah hampir beres. Begitu urusan skripsi beres dan gue lulus kuliah, gue langsung pindah ke Manado."



"Oh, gitu," respon Rio pendek.



"Ng, ya udah, deh, Yo. Jaga diri lo, ya! Sampai ketemu di Manado."



"Ya," ujar Rio sambil memutus sambungan telepon.



Lalu, Rio pun membuang pandangannya ke luar jendela, pemandangan sawah yang menghijau masih membentang. Nampaknya, kereta masih melintasi persawahan. Pemandangan di luar jendela bergerak cepat seiring dengan laju kereta. Semua itu seolah membuat semua memori terputar kembali di otaknya.



Rio jadi teringat saat-saat dia pergi meninggalkan rumahnya di Manada dan segera pergi menuju kota Bandung hanya karena Alvin meneleponnya dan mengatakan kalau dia melihat Gabriel berkeliaran di sekitar Universitas Bandung, saat itu hanya ada satu hal dipikirannya, yaitu menemukan sumber dari segala permasalahan yang dialaminya.



Lalu saat di mana dia pertama kali bertemu dengan Ify, kejadian-kejadian yang pernah dialaminya bersama gadis manis itu, pertemuannya kembali dengan teman-teman masa SMA-nya—Alvin dan Shilla, saat akhirnya dia bisa memercayai Ify, hingga kejadian kemarin, saat dia hampir saja membunuh Gabriel, tetapi malah menemukan

kenyataan yang jauh lebih pahit.



Rio benar-benar tidak mengerti, kenapa Tuhan membuat benang takdirnya begitu rumit, saling membelit satu sama lain. Kenapa penderitaannya terasa begitu panjang dan seolah tiada habisnya. Lalu tanpa sadar, Rio mendengus dan tersenyum getir. Penderitaannya yang panjang seolah sangat kontras dengan waktu hidupnya di dunia yang kian pendek.



Entah kesalahan apa yang telah diperbuatnya sampai-sampai Tuhan menghukumnya dengan cobaan yang terus-menerus mengalir di sisa-sisa umurnya yang singkat.



Tapi, kini semuanya telah usai. Sekarang, sudah saatnya Rio untuk melanjutkan hidupnya, kembali berusaha menggapai cita-citanya, dan menganggap semua pahit hidup yang pernah ia rasakan sebagai sebuah pelajaran berharga. Rio tak ingin lagi menyia-nyiakan detik-detik terakhir hidupnya. Dia ingin berjuang di lima tahun sisa hidupnya. Seperti yang sudah dijanjikannya pada gadis yang ia cintai.



Namun, sayang sekali, Rio.



Sepertinya, Tuhan justru sangat menyayangimu, jauh dari yang pernah kau bayangkan.



Sampai-sampai, Ia sangat merindukanmu dan ingin kau segera kembali ke sisi-Nya.



Oleh karena itu—seperti yang sudah kau ketahui—waktumu tinggal sebentar lagi.



Dan mulai sekarang...



Baiklah, sudah saatnya countdown, Rio...



..5..



Tik.



..4..



Tik.



..3..



Tik.



..2..



Tik.



..1..