Semalaman, Rio dan Ify tidak bisa tidur. Malam itu adalah malam terakhir
Rio berada di kost ini, sekaligus malam terakhir Rio di Bandung. Ify
dan Rio sama-sama duduk bersandar di dinding pembatas kamar mereka,
merenung di kamar masing-masing.
Dan pagi ini, Rio sudah siap untuk berangkat ke stasiun. Sedangkan
Ify masih ada di kamarnya. Dia bercermin dan mendapati wajah muramnya.
Ify menghela napas, lalu mencoba untuk tersenyum. Ify tidak boleh
terlihat sedih di hadapan Rio. Ify harus terlihat kuat.
Ify kemudian keluar kamar dan mendapati Rio sedang berjongkok
memakai sepatu. Seketika itu juga, Ify ingin menangis, tetapi berusaha
ditahannya.
Rio menoleh, dan dalam sekali melihat Ify, dia bisa menyimpulkan
bahwa gadis yang kini dicintainya itu juga tidak bisa tidur, sama
seperti dirinya. Ify nyengir melihat Rio.
"Keretanya pukul 8, ya?" tanya Ify. Rio mengangguk. Dia sudah selesai mengikat sepatunya, lalu berdiri.
"Masih ada waktu," ujar Rio setelah melirik jam tangannya. "Ke atas, yuk?"
Ify mengangguk, mengikuti Rio naik ke lantai tiga. Ify sangat sedih
melihat punggung Rio. Seolah Rio akan pergi dan tidak akan kembali lagi.
Seolah dirinya tak akan bisa lagi memeluk tubuh pria itu, menatap
lekat-lekat matanya, serta menikmati senyuman yang tersungging di wajah
rupawannya. Dia juga pasti akan sangat merindukan suara Rio.
Benarkah semua akan berakhir hanya sampai di sini saja? Apakah dia
tidak akan bisa bertemu dengan pria yang dicintainya itu lagi?
Ify segera menggeleng kuat-kuat, berusaha menyingkirkan
kemungkinan-kemungkinan yang baru saja dipikirkannya. Dan berusaha untuk
berpikir positif. Semua akan baik-baik saja... Ya, setidaknya semua
masih baik-baik saja...
"Ify," kata Rio sambil berbalik. Wajah tampannya tampak serius, dan
Ify tahu akan ada pembicaraan yang tidak menyenangkan. "Lo tau, kan, gue
bakal balik lagi," lanjutnya seolah bisa membaca pikiran-pikiran
paranoid Ify.
Ify mengangguk pelan. Rio menghela napas, lalu bersandar pada pagar pembatas.
"Semalem gue berpikir... ternyata gue yang sekarang ini terlalu
menyedihkan," kata Rio. "Nggak ada satu pun dari diri gue yang bisa
dibanggain. Gue sama sekali nggak berguna."
"Itu nggak bener," sanggah Ify. Rio menggeleng.
"Gue emang nggak berguna, Fy—setidaknya untuk saat ini. Dan, gue
yang sekarang ini nggak bakal punya kepercayaan diri untuk ada di
samping lo," kata Rio lagi. Rio lalu menatap Ify dalam-dalam. "Fy, gue
bakal meraih cita-cita gue."
Ify mengerjap-ngerjapkan matanya tak percaya.
"Kalo gue udah jadi sutradara, dan lo udah jadi penulis best-seller,
ayo kita ketemu lagi," kata Rio lagi, dan pada detik berikutnya,
setitik air mata jatuh ke pipi Ify. Ify cepat-cepat menghapus air mata
itu, lalu tersenyum manis.
"Kalo gitu, janji, ya? Kalo kita udah sama-sama meraih cita-cita
kita, kita ketemu lagi," ujar Ify sambil mengacungkan jari
kelingkingnya. Rio menyambut jari mungil Ify itu dengan mengaitkan jari
kelingkingnya pada jari Ify. Rio
tersenyum simpul, kemudian meregangkan tubuhnya.
"Uwaah... Gue pasti kangen banget sama tempat ini," kata Rio lalu cepat-cepat nyengir pada Ify yang cemberut.
Tiba-tiba, Rio melihat sebuah taksi berhenti tepat di depan kost-nya.
"Ah, taksi pesanan Tante Winda," kata Ify. "Katanya dia yang bayarin buat nganterin kamu ke stasiun."
"Hah? Kenapa pake pesen taksi segala, sih?" tanya Rio bingung.
"Tanya tante, dong," kata Ify. "Ng... aku antar ke stasiun, ya?"
Rio menatap Ify, lalu mengacak rambut hitamnya.
"Nggak usah. Gue nggak mau liat tampang jelek lo pas nangis," kata Rio membuat Ify cemberut.
"Siapa juga yang bakal nangis?" balasnya membuat Rio tertawa. Ify
terdiam beberapa saat sambil memain-mainkan jarinya. "Yo... Ntar jangan
lupain aku, ya."
"Jangan bego lo," kata Rio sambil menjentik kening Ify. Yang benar
saja! Mana mungkin dia bisa melupakan gadis yang sekarang berada di
urutan paling atas dalam daftar orang-orang paling penting dalam
hidupnya?
Rio melepas headphone besar yang sejak tadi melingkar di lehernya,
dan kemudian memakaikannya pada Ify. Dia juga menyerahkan iPod-nya pada
Ify yang terlihat bingung. "Nih, pegang. Ntar gue ambil lagi waktu gue
balik ke sini, jadi jangan dirusakin."
Ify menatap bingung iPod di tangannya.
"Bener nggak apa-apa, Yo? Bukannya ini penting?" tanya Ify.
"Iya ini emang penting, ini suara hati gue," kata Rio sambil nyengir. "Makanya gue pinjemin. Ntar harus di dengerin."
Ify mengangguk. Tak berapa lama, Winda—sang ibu kost—memanggil dari
bawah. Rio dan Ify segera bergerak turun. Ternyata di bawah, semua
penghuni kost yang lain serta keluarga sang empunya kost sudah menunggu.
Rio menatap Winda beserta Joe dan Debo—suami dan anak Tante Winda, juga
Ozy dan Septian yang sudah nyengir padanya.
"Kami denger kalo hari ini lo mau pindah," kata Ozy. "Kok cepet
banget, sih, Yo? Gue belum sempet ngajak lo muter-muter Bandung, lho."
"Lain kali aja kalo gue ke sini lagi, Zy," kata Rio.
"Kamu bakal ke sini lagi, Yo?" tanya Septian. Rio mengangguk.
"Lain kali kalau ke sini lagi, kau harus makan bersama kami, karena
kalau tidak, kau tidak boleh masuk," kata Joe membuat Rio tersenyum.
"Terima kasih, Om," kata Rio.
"Wah, baru kali ini, lho, kita lihat Rio senyum," kata Winda yang
langsung dibenarkan oleh semua yang ada di sana. Rio melirik Ify yang
sudah nyengir.
"Ya sudah, itu taksinya udah nunggu. Ify ikut nganter nggak?" tanya Winda.
"Nggak, Tan, Rio nggak mau," kata Ify sementara Rio tersenyum kaku pada Winda yang terlihat bingung.
"Tante Winda, terima kasih untuk taksinya, seharusnya Anda tidak perlu repot-repot," kata Rio.
"Ah, nggak apa-apa, Rio. Lagi pula uang kost kamu, kan, masih sisa
banyak," canda Winda membuat semuanya tertawa. Rio lalu memasukkan
tasnya ke dalam taksi.
"Semuanya, terima kasih karena sudah menerima saya dengan sangat
baik," ujar Rio, mulai berpamitan, lalu melirik Ify. "Saya pasti akan ke
sini lagi."
Semua orang yang ada di sana pun mengangguk sambil tersenyum. Rio
masuk ke dalam taksi dan membuka jendelanya. Rio menatap Ify yang sudah
tidak tersenyum. Sesungguhnya, berat rasanya bagi Rio untuk meninggalkan
Ify.
"Eh, awas lho, ya, jangan sampe bukunya nggak terbit-terbit," kata Rio membuat Ify cemberut.
"Kamu juga, jangan sampai filmnya nggak jadi-jadi," balas Ify tak mau kalah, membuat Rio terkekeh. Rio lalu terdiam sebentar.
"Jaga diri lo, ya, Fy," kata Rio kemudian sambil tersenyum lembut.
Suaranya kali ini sungguh berbeda dari suara Rio biasanya, suaranya kali
ini terdengar sangat lembut dan sarat akan kasih sayang. Pancaran
matanya yang sedikit sendu juga seolah menggambarkan kerinduan yang
dalam.
"Kamu juga. Jaga kesehatan, ya. Minum obat yang teratur," ujar Ify. Rio mengangguk.
Rio menatap mata Ify sebentar, lalu menghela napas. Dia pasti akan
sangat merindukan mata indah itu. Dan sekarang, sudah saatnya bagi Rio
untuk pergi. Rio menatap ke sopir taksi, memberinya sinyal untuk
berangkat.
"Dadaaah~!" seru Winda, membuat semua orang serentak melambai pada
Rio—seolah-olah dikomando. Rio balas melambai singkat, lalu menatap Ify
yang tersenyum padanya.
Taksi sudah bergerak perlahan, tetapi Rio belum juga menutup
jendelanya. Ify menatap taksi yang mulai bergerak menjauh, lalu—tanpa
disadarinya—Ify sudah berlari mengejar taksi itu. Rio yang melihatnya
melalui kaca spion, langsung melongok dari jendela.
"Rio!" seru Ify sambil terus berlari. "Kita pasti ketemu lagi, kan?"
"Pasti!" sahut Rio, dan Ify berhenti berlari. Ify melambai-lambaikan
tangannya sambil tersenyum, sementara taksi yang ditumpangi Rio
berbelok.
Rio menghempaskan tubuhnya ke jok. Rio tidak tahu apa yang sudah
diperbuatnya ini benar atau tidak, tetapi Rio percaya, Ify pasti akan
bisa bertahan.
"Pacar, ya, Tuan?" tanya supir taksi menyadarkan Rio dari lamunannya. Rio menatapnya bingung sesaat, lalu mengangguk.
Supir taksi itu mengangguk-angguk paham.
"Pacaran jarak jauh, ya, Tuan?" tanyanya lagi, dan Rio hanya
menjawabnya dengan anggukan lagi. "Tenang saja, Tuan. Sekarang, kan,
pulsa telepon banyak yang murah. Jadi telepon-teleponan saja."
Rio hanya tersenyum simpul tanpa menjawab. Rio tidak akan menelepon
Ify, karena kalau dia melakukan itu, Rio akan melupakan semuanya dan
kembali pada Ify. Oleh karena itu, Rio akan menahan diri sampai dia
benar-benar mencapai cita-citanya. Dengan begini, dia akan lebih
bersemangat dan lebih cepat untuk bertemu Ify.
Rio berharap Ify akan melakukan hal yang sama dengannya. Namun, yang lebih Rio inginkan adalah, Ify dapat mendengarkan iPod-nya.
***
Kereta jurusan Jakarta berjalan tenang di antara persawahan. Dan di
dalam kereta itu terdapat Rio yang tengah duduk sambil melihat ke luar
jendela dengan pandangan menerawang. Dia akan menaiki pesawat dari
Jakarta menuju kota kelahirannya. Saat itu, dia tengah memikirkan suatu
hal yang ia rasa telah dilupakannya. Sesuatu yang seharusnya
dilakukannya sebelum kembali ke Manado.
Tiba-tiba, ponsel yang ada di sakunya bergetar. Sebuah nama yang
tertera di layar ponselnya langsung membuat dirinya teringat akan satu
hal penting yang baru saja berusaha diingatnya. Alvin Jonathan. Ya,
setelah kejadian yang menimpa Rio dan Gabriel kemarin, Rio jadi lupa
memberi tahu tentang kepulangannya ke Manado pada Alvin.
"Ya, Vin?" jawab Rio pada dering ketiga tanpa mengucap salam.
"Oi, lo ke mana aja, Yo? Udah lama nggak ada kabar," tanya Alvin di seberang.
"Gue balik ke Manado hari ini, Vin," ujar Rio to the point.
"Apa? Lo balik hari ini? Kenapa nggak ngomong-ngomong sama gue dulu, sih?" tanya Alvin dengan nada sedikit kesal.
"Sori, gue lupa," jawab Rio kalem.
"Astaga... bisa-bisanya, ya, lo...," gumam Alvin. "Oh ya, kalo lo balik sekarang, terus Gabriel..."
"Gue udah ketemu sama dia kemarin," ujar Rio singkat.
"Terus... lo nggak...," kata Alvin, dari nada bicaranya bisa dirasakan ada sedikit kekhawatiran di dalam suaranya.
"Dia juga kena penyakit yang sama, Vin," kata Rio membuat Alvin yang ada di seberang telepon terkesiap kaget.
"Lo pikir, apa yang bisa gue perbuat pada orang yang juga sama terpuruknya dengan gue—yang bahkan baru tau
hal itu waktu gue bilang kalo gue sakit?" Riro balas bertanya sambil mendengus getir.
"Jadi... dia baru tau kalo dia sakit waktu lo kasih tau tentang penyakit lo ke dia kemaren?" tanya Alvin tak percaya.
Rio hanya diam saja, tak berusaha untuk menjawab pertanyaan sahabatnya itu.
"Terus, lo sekarang di mana?" tanya Alvin lagi, sepertinya sedang
berusaha mengalihkan topik pembicaraan setelah mengerti kalau teman
semasa SMA yang sedang diteleponnya itu tidak ingin membahas tentang
Gabriel lebih jauh
lagi .
"Gue udah ada di kereta. Baru aja jalan lima belas menit yang lalu," jawab Rio.
"Oh..." Alvin mengangguk paham di seberang. "Terus... cewek itu gimana?"
Rio terdiam sejenak. "Ify... Dia tetep di Bandung," jawab Rio setelah mengerti siapa yang dimaksud Alvin tadi.
"Emang kenapa? Lo berharap, dia gue bawa ke Manado?"
"Yah, siapa tau, kan?" jawab Alvin cuek. "Oh iya, gue juga bakal pindah ke Manado dalam waktu dekat ini, Yo."
"Hah? Ngapain?" tanya Rio bingung. "Terus, kuliah lo gimana?"
"Gue udah dapet kerjaan bagus di sana," jawab Alvin santai. "Ah,
gue, kan udah sampai semester akhir, dan gue juga udah ngerjain skripsi
sampai tahap terakhir, udah hampir beres. Begitu urusan skripsi beres
dan gue lulus kuliah, gue langsung pindah ke Manado."
"Oh, gitu," respon Rio pendek.
"Ng, ya udah, deh, Yo. Jaga diri lo, ya! Sampai ketemu di Manado."
"Ya," ujar Rio sambil memutus sambungan telepon.
Lalu, Rio pun membuang pandangannya ke luar jendela, pemandangan
sawah yang menghijau masih membentang. Nampaknya, kereta masih melintasi
persawahan. Pemandangan di luar jendela bergerak cepat seiring dengan
laju kereta. Semua itu seolah membuat semua memori terputar kembali di
otaknya.
Rio jadi teringat saat-saat dia pergi meninggalkan rumahnya di
Manada dan segera pergi menuju kota Bandung hanya karena Alvin
meneleponnya dan mengatakan kalau dia melihat Gabriel berkeliaran di
sekitar Universitas Bandung, saat itu hanya ada satu hal dipikirannya,
yaitu menemukan sumber dari segala permasalahan yang dialaminya.
Lalu saat di mana dia pertama kali bertemu dengan Ify,
kejadian-kejadian yang pernah dialaminya bersama gadis manis itu,
pertemuannya kembali dengan teman-teman masa SMA-nya—Alvin dan Shilla,
saat akhirnya dia bisa memercayai Ify, hingga kejadian kemarin, saat dia
hampir saja membunuh Gabriel, tetapi malah menemukan
kenyataan yang jauh lebih pahit.
Rio benar-benar tidak mengerti, kenapa Tuhan membuat benang
takdirnya begitu rumit, saling membelit satu sama lain. Kenapa
penderitaannya terasa begitu panjang dan seolah tiada habisnya. Lalu
tanpa sadar, Rio mendengus dan tersenyum getir. Penderitaannya yang
panjang seolah sangat kontras dengan waktu hidupnya di dunia yang kian
pendek.
Entah kesalahan apa yang telah diperbuatnya sampai-sampai Tuhan
menghukumnya dengan cobaan yang terus-menerus mengalir di sisa-sisa
umurnya yang singkat.
Tapi, kini semuanya telah usai. Sekarang, sudah saatnya Rio untuk
melanjutkan hidupnya, kembali berusaha menggapai cita-citanya, dan
menganggap semua pahit hidup yang pernah ia rasakan sebagai sebuah
pelajaran berharga. Rio tak ingin lagi menyia-nyiakan detik-detik
terakhir hidupnya. Dia ingin berjuang di lima tahun sisa hidupnya.
Seperti yang sudah dijanjikannya pada gadis yang ia cintai.
Namun, sayang sekali, Rio.
Sepertinya, Tuhan justru sangat menyayangimu, jauh dari yang pernah kau bayangkan.
Sampai-sampai, Ia sangat merindukanmu dan ingin kau segera kembali ke sisi-Nya.
Oleh karena itu—seperti yang sudah kau ketahui—waktumu tinggal sebentar lagi.
Dan mulai sekarang...
Baiklah, sudah saatnya countdown, Rio...
..5..
Tik.
..4..
Tik.
..3..
Tik.
..2..
Tik.
..1..
nice blog! wanna visit mine dear? :)
BalasHapushttp://choccopost.blogspot.com/