Selasa, 26 Juni 2012

The Truth About Forever - Chapter 14 : Will We Meet Again?

Semalaman, Rio dan Ify tidak bisa tidur. Malam itu adalah malam terakhir Rio berada di kost ini, sekaligus malam terakhir Rio di Bandung. Ify dan Rio sama-sama duduk bersandar di dinding pembatas kamar mereka, merenung di kamar masing-masing.



Dan pagi ini, Rio sudah siap untuk berangkat ke stasiun. Sedangkan Ify masih ada di kamarnya. Dia bercermin dan mendapati wajah muramnya. Ify menghela napas, lalu mencoba untuk tersenyum. Ify tidak boleh terlihat sedih di hadapan Rio. Ify harus terlihat kuat.



Ify kemudian keluar kamar dan mendapati Rio sedang berjongkok memakai sepatu. Seketika itu juga, Ify ingin menangis, tetapi berusaha ditahannya.



Rio menoleh, dan dalam sekali melihat Ify, dia bisa menyimpulkan bahwa gadis yang kini dicintainya itu juga tidak bisa tidur, sama seperti dirinya. Ify nyengir melihat Rio.



"Keretanya pukul 8, ya?" tanya Ify. Rio mengangguk. Dia sudah selesai mengikat sepatunya, lalu berdiri.



"Masih ada waktu," ujar Rio setelah melirik jam tangannya. "Ke atas, yuk?"



Ify mengangguk, mengikuti Rio naik ke lantai tiga. Ify sangat sedih melihat punggung Rio. Seolah Rio akan pergi dan tidak akan kembali lagi. Seolah dirinya tak akan bisa lagi memeluk tubuh pria itu, menatap lekat-lekat matanya, serta menikmati senyuman yang tersungging di wajah rupawannya. Dia juga pasti akan sangat merindukan suara Rio.

Benarkah semua akan berakhir hanya sampai di sini saja? Apakah dia tidak akan bisa bertemu dengan pria yang dicintainya itu lagi?



Ify segera menggeleng kuat-kuat, berusaha menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan yang baru saja dipikirkannya. Dan berusaha untuk berpikir positif. Semua akan baik-baik saja... Ya, setidaknya semua masih baik-baik saja...



"Ify," kata Rio sambil berbalik. Wajah tampannya tampak serius, dan Ify tahu akan ada pembicaraan yang tidak menyenangkan. "Lo tau, kan, gue bakal balik lagi," lanjutnya seolah bisa membaca pikiran-pikiran paranoid Ify.

Ify mengangguk pelan. Rio menghela napas, lalu bersandar pada pagar pembatas.



"Semalem gue berpikir... ternyata gue yang sekarang ini terlalu menyedihkan," kata Rio. "Nggak ada satu pun dari diri gue yang bisa dibanggain. Gue sama sekali nggak berguna."



"Itu nggak bener," sanggah Ify. Rio menggeleng.



"Gue emang nggak berguna, Fy—setidaknya untuk saat ini. Dan, gue yang sekarang ini nggak bakal punya kepercayaan diri untuk ada di samping lo," kata Rio lagi. Rio lalu menatap Ify dalam-dalam. "Fy, gue bakal meraih cita-cita gue."



Ify mengerjap-ngerjapkan matanya tak percaya.



"Kalo gue udah jadi sutradara, dan lo udah jadi penulis best-seller, ayo kita ketemu lagi," kata Rio lagi, dan pada detik berikutnya, setitik air mata jatuh ke pipi Ify. Ify cepat-cepat menghapus air mata itu, lalu tersenyum manis.



"Kalo gitu, janji, ya? Kalo kita udah sama-sama meraih cita-cita kita, kita ketemu lagi," ujar Ify sambil mengacungkan jari kelingkingnya. Rio menyambut jari mungil Ify itu dengan mengaitkan jari kelingkingnya pada jari Ify. Rio

tersenyum simpul, kemudian meregangkan tubuhnya.



"Uwaah... Gue pasti kangen banget sama tempat ini," kata Rio lalu cepat-cepat nyengir pada Ify yang cemberut.



Tiba-tiba, Rio melihat sebuah taksi berhenti tepat di depan kost-nya.



"Ah, taksi pesanan Tante Winda," kata Ify. "Katanya dia yang bayarin buat nganterin kamu ke stasiun."



"Hah? Kenapa pake pesen taksi segala, sih?" tanya Rio bingung.



"Tanya tante, dong," kata Ify. "Ng... aku antar ke stasiun, ya?"

Rio menatap Ify, lalu mengacak rambut hitamnya.



"Nggak usah. Gue nggak mau liat tampang jelek lo pas nangis," kata Rio membuat Ify cemberut.



"Siapa juga yang bakal nangis?" balasnya membuat Rio tertawa. Ify terdiam beberapa saat sambil memain-mainkan jarinya. "Yo... Ntar jangan lupain aku, ya."



"Jangan bego lo," kata Rio sambil menjentik kening Ify. Yang benar saja! Mana mungkin dia bisa melupakan gadis yang sekarang berada di urutan paling atas dalam daftar orang-orang paling penting dalam hidupnya?



Rio melepas headphone besar yang sejak tadi melingkar di lehernya, dan kemudian memakaikannya pada Ify. Dia juga menyerahkan iPod-nya pada Ify yang terlihat bingung. "Nih, pegang. Ntar gue ambil lagi waktu gue balik ke sini, jadi jangan dirusakin."



Ify menatap bingung iPod di tangannya.



"Bener nggak apa-apa, Yo? Bukannya ini penting?" tanya Ify.



"Iya ini emang penting, ini suara hati gue," kata Rio sambil nyengir. "Makanya gue pinjemin. Ntar harus di dengerin."



Ify mengangguk. Tak berapa lama, Winda—sang ibu kost—memanggil dari bawah. Rio dan Ify segera bergerak turun. Ternyata di bawah, semua penghuni kost yang lain serta keluarga sang empunya kost sudah menunggu. Rio menatap Winda beserta Joe dan Debo—suami dan anak Tante Winda, juga Ozy dan Septian yang sudah nyengir padanya.



"Kami denger kalo hari ini lo mau pindah," kata Ozy. "Kok cepet banget, sih, Yo? Gue belum sempet ngajak lo muter-muter Bandung, lho."



"Lain kali aja kalo gue ke sini lagi, Zy," kata Rio.



"Kamu bakal ke sini lagi, Yo?" tanya Septian. Rio mengangguk.



"Lain kali kalau ke sini lagi, kau harus makan bersama kami, karena kalau tidak, kau tidak boleh masuk," kata Joe membuat Rio tersenyum.



"Terima kasih, Om," kata Rio.



"Wah, baru kali ini, lho, kita lihat Rio senyum," kata Winda yang langsung dibenarkan oleh semua yang ada di sana. Rio melirik Ify yang sudah nyengir.



"Ya sudah, itu taksinya udah nunggu. Ify ikut nganter nggak?" tanya Winda.



"Nggak, Tan, Rio nggak mau," kata Ify sementara Rio tersenyum kaku pada Winda yang terlihat bingung.



"Tante Winda, terima kasih untuk taksinya, seharusnya Anda tidak perlu repot-repot," kata Rio.



"Ah, nggak apa-apa, Rio. Lagi pula uang kost kamu, kan, masih sisa banyak," canda Winda membuat semuanya tertawa. Rio lalu memasukkan tasnya ke dalam taksi.



"Semuanya, terima kasih karena sudah menerima saya dengan sangat baik," ujar Rio, mulai berpamitan, lalu melirik Ify. "Saya pasti akan ke sini lagi."



Semua orang yang ada di sana pun mengangguk sambil tersenyum. Rio masuk ke dalam taksi dan membuka jendelanya. Rio menatap Ify yang sudah tidak tersenyum. Sesungguhnya, berat rasanya bagi Rio untuk meninggalkan Ify.



"Eh, awas lho, ya, jangan sampe bukunya nggak terbit-terbit," kata Rio membuat Ify cemberut.



"Kamu juga, jangan sampai filmnya nggak jadi-jadi," balas Ify tak mau kalah, membuat Rio terkekeh. Rio lalu terdiam sebentar.



"Jaga diri lo, ya, Fy," kata Rio kemudian sambil tersenyum lembut. Suaranya kali ini sungguh berbeda dari suara Rio biasanya, suaranya kali ini terdengar sangat lembut dan sarat akan kasih sayang. Pancaran matanya yang sedikit sendu juga seolah menggambarkan kerinduan yang dalam.



"Kamu juga. Jaga kesehatan, ya. Minum obat yang teratur," ujar Ify. Rio mengangguk.



Rio menatap mata Ify sebentar, lalu menghela napas. Dia pasti akan sangat merindukan mata indah itu. Dan sekarang, sudah saatnya bagi Rio untuk pergi. Rio menatap ke sopir taksi, memberinya sinyal untuk berangkat.

"Dadaaah~!" seru Winda, membuat semua orang serentak melambai pada Rio—seolah-olah dikomando. Rio balas melambai singkat, lalu menatap Ify yang tersenyum padanya.



Taksi sudah bergerak perlahan, tetapi Rio belum juga menutup jendelanya. Ify menatap taksi yang mulai bergerak menjauh, lalu—tanpa disadarinya—Ify sudah berlari mengejar taksi itu. Rio yang melihatnya melalui kaca spion, langsung melongok dari jendela.



"Rio!" seru Ify sambil terus berlari. "Kita pasti ketemu lagi, kan?"



"Pasti!" sahut Rio, dan Ify berhenti berlari. Ify melambai-lambaikan tangannya sambil tersenyum, sementara taksi yang ditumpangi Rio berbelok.



Rio menghempaskan tubuhnya ke jok. Rio tidak tahu apa yang sudah diperbuatnya ini benar atau tidak, tetapi Rio percaya, Ify pasti akan bisa bertahan.



"Pacar, ya, Tuan?" tanya supir taksi menyadarkan Rio dari lamunannya. Rio menatapnya bingung sesaat, lalu mengangguk.



Supir taksi itu mengangguk-angguk paham.



"Pacaran jarak jauh, ya, Tuan?" tanyanya lagi, dan Rio hanya menjawabnya dengan anggukan lagi. "Tenang saja, Tuan. Sekarang, kan, pulsa telepon banyak yang murah. Jadi telepon-teleponan saja."



Rio hanya tersenyum simpul tanpa menjawab. Rio tidak akan menelepon Ify, karena kalau dia melakukan itu, Rio akan melupakan semuanya dan kembali pada Ify. Oleh karena itu, Rio akan menahan diri sampai dia benar-benar mencapai cita-citanya. Dengan begini, dia akan lebih bersemangat dan lebih cepat untuk bertemu Ify.



Rio berharap Ify akan melakukan hal yang sama dengannya. Namun, yang lebih Rio inginkan adalah, Ify dapat mendengarkan iPod-nya.





***





Kereta jurusan Jakarta berjalan tenang di antara persawahan. Dan di dalam kereta itu terdapat Rio yang tengah duduk sambil melihat ke luar jendela dengan pandangan menerawang. Dia akan menaiki pesawat dari Jakarta menuju kota kelahirannya. Saat itu, dia tengah memikirkan suatu hal yang ia rasa telah dilupakannya. Sesuatu yang seharusnya dilakukannya sebelum kembali ke Manado.



Tiba-tiba, ponsel yang ada di sakunya bergetar. Sebuah nama yang tertera di layar ponselnya langsung membuat dirinya teringat akan satu hal penting yang baru saja berusaha diingatnya. Alvin Jonathan. Ya, setelah kejadian yang menimpa Rio dan Gabriel kemarin, Rio jadi lupa memberi tahu tentang kepulangannya ke Manado pada Alvin.



"Ya, Vin?" jawab Rio pada dering ketiga tanpa mengucap salam.



"Oi, lo ke mana aja, Yo? Udah lama nggak ada kabar," tanya Alvin di seberang.



"Gue balik ke Manado hari ini, Vin," ujar Rio to the point.



"Apa? Lo balik hari ini? Kenapa nggak ngomong-ngomong sama gue dulu, sih?" tanya Alvin dengan nada sedikit kesal.



"Sori, gue lupa," jawab Rio kalem.



"Astaga... bisa-bisanya, ya, lo...," gumam Alvin. "Oh ya, kalo lo balik sekarang, terus Gabriel..."



"Gue udah ketemu sama dia kemarin," ujar Rio singkat.



"Terus... lo nggak...," kata Alvin, dari nada bicaranya bisa dirasakan ada sedikit kekhawatiran di dalam suaranya.



"Dia juga kena penyakit yang sama, Vin," kata Rio membuat Alvin yang ada di seberang telepon terkesiap kaget.

"Lo pikir, apa yang bisa gue perbuat pada orang yang juga sama terpuruknya dengan gue—yang bahkan baru tau

hal itu waktu gue bilang kalo gue sakit?" Riro balas bertanya sambil mendengus getir.



"Jadi... dia baru tau kalo dia sakit waktu lo kasih tau tentang penyakit lo ke dia kemaren?" tanya Alvin tak percaya.

Rio hanya diam saja, tak berusaha untuk menjawab pertanyaan sahabatnya itu.



"Terus, lo sekarang di mana?" tanya Alvin lagi, sepertinya sedang berusaha mengalihkan topik pembicaraan setelah mengerti kalau teman semasa SMA yang sedang diteleponnya itu tidak ingin membahas tentang Gabriel lebih jauh

lagi .



"Gue udah ada di kereta. Baru aja jalan lima belas menit yang lalu," jawab Rio.



"Oh..." Alvin mengangguk paham di seberang. "Terus... cewek itu gimana?"



Rio terdiam sejenak. "Ify... Dia tetep di Bandung," jawab Rio setelah mengerti siapa yang dimaksud Alvin tadi.

"Emang kenapa? Lo berharap, dia gue bawa ke Manado?"



"Yah, siapa tau, kan?" jawab Alvin cuek. "Oh iya, gue juga bakal pindah ke Manado dalam waktu dekat ini, Yo."



"Hah? Ngapain?" tanya Rio bingung. "Terus, kuliah lo gimana?"



"Gue udah dapet kerjaan bagus di sana," jawab Alvin santai. "Ah, gue, kan udah sampai semester akhir, dan gue juga udah ngerjain skripsi sampai tahap terakhir, udah hampir beres. Begitu urusan skripsi beres dan gue lulus kuliah, gue langsung pindah ke Manado."



"Oh, gitu," respon Rio pendek.



"Ng, ya udah, deh, Yo. Jaga diri lo, ya! Sampai ketemu di Manado."



"Ya," ujar Rio sambil memutus sambungan telepon.



Lalu, Rio pun membuang pandangannya ke luar jendela, pemandangan sawah yang menghijau masih membentang. Nampaknya, kereta masih melintasi persawahan. Pemandangan di luar jendela bergerak cepat seiring dengan laju kereta. Semua itu seolah membuat semua memori terputar kembali di otaknya.



Rio jadi teringat saat-saat dia pergi meninggalkan rumahnya di Manada dan segera pergi menuju kota Bandung hanya karena Alvin meneleponnya dan mengatakan kalau dia melihat Gabriel berkeliaran di sekitar Universitas Bandung, saat itu hanya ada satu hal dipikirannya, yaitu menemukan sumber dari segala permasalahan yang dialaminya.



Lalu saat di mana dia pertama kali bertemu dengan Ify, kejadian-kejadian yang pernah dialaminya bersama gadis manis itu, pertemuannya kembali dengan teman-teman masa SMA-nya—Alvin dan Shilla, saat akhirnya dia bisa memercayai Ify, hingga kejadian kemarin, saat dia hampir saja membunuh Gabriel, tetapi malah menemukan

kenyataan yang jauh lebih pahit.



Rio benar-benar tidak mengerti, kenapa Tuhan membuat benang takdirnya begitu rumit, saling membelit satu sama lain. Kenapa penderitaannya terasa begitu panjang dan seolah tiada habisnya. Lalu tanpa sadar, Rio mendengus dan tersenyum getir. Penderitaannya yang panjang seolah sangat kontras dengan waktu hidupnya di dunia yang kian pendek.



Entah kesalahan apa yang telah diperbuatnya sampai-sampai Tuhan menghukumnya dengan cobaan yang terus-menerus mengalir di sisa-sisa umurnya yang singkat.



Tapi, kini semuanya telah usai. Sekarang, sudah saatnya Rio untuk melanjutkan hidupnya, kembali berusaha menggapai cita-citanya, dan menganggap semua pahit hidup yang pernah ia rasakan sebagai sebuah pelajaran berharga. Rio tak ingin lagi menyia-nyiakan detik-detik terakhir hidupnya. Dia ingin berjuang di lima tahun sisa hidupnya. Seperti yang sudah dijanjikannya pada gadis yang ia cintai.



Namun, sayang sekali, Rio.



Sepertinya, Tuhan justru sangat menyayangimu, jauh dari yang pernah kau bayangkan.



Sampai-sampai, Ia sangat merindukanmu dan ingin kau segera kembali ke sisi-Nya.



Oleh karena itu—seperti yang sudah kau ketahui—waktumu tinggal sebentar lagi.



Dan mulai sekarang...



Baiklah, sudah saatnya countdown, Rio...



..5..



Tik.



..4..



Tik.



..3..



Tik.



..2..



Tik.



..1..


1 komentar:

  1. nice blog! wanna visit mine dear? :)

    http://choccopost.blogspot.com/

    BalasHapus