Selasa, 26 Juni 2012

Will You Marry Me? - Part 8

Prissy sudah kehabisan kesabaran, dikibaskannya tangan Alvin dan Ify yang mencengkramnya erat-erat.

“Pris... sabar, Pris...!” seru Ify. Dia berusaha memegangi terus tangan Prissy, begitu juga Alvin. Tapi usaha mereka sia-sia.

“Nggak usah cemas, gue nggak bakal ngotorin tangan gue buat mukul cewek bermulut besar ini!” ucap Prissy berusaha tetap tenang.

“Apa lo bilang?!” Ashilla terpancing, dia semakin emosi.

“Nona Besar... akui aja deh, lo bukan cewek pilihan Rio. Cewek inilah yang dipilih Rio sebagai calon istrinya.” Prissy menarik Ify ke depannya.

Ashilla memerhatikan Ify dari atas ke bawah, bawah ke atas, berulang-ulang. Lalu ditengoknya gerombolan cewek dibelakangnya. Dan tawa mereka pun menggelegar.

“Ha, ha, ha, masih jauh lebih cantik pembantu gue!” celetuk salah seorang teman Ashilla.

“Pendek begitu mau jadi istrinya Rio?! Kasihan Rio dong, harus nyiapin kursi kalo au nyium. Ha, ha, ha...” sambung yang lain.

“Coba lihat dandanannya, kampungan abis. Memangnya dia kira Rio bakal pede ngenalin dia ke teman dan keluarga?”

“Heran. Banyak banget ya gadis pemimpi sekarang ini. Orang miskin mau jadi putri raja. Yang bener aja?! Ini bukan zaman Cinderella. Ha, ha, ha...” suara-suara itu terus sahut-menyahut di telinga Ify. Kepalanya sampai panas dan siap meledak saking marahnya. Tapi Ify tetap mengatupkan mulut. Walau keningnya berkedut-kedut, meski tangannya terkepal erat.

“Nah, Upik Abu, lo denger sendiri, kan, pendapat mereka? Jadi, apa lagi yang lo tunggu? Pergi dari sini dan jangan pernah berharap mendapatkan Rio. Karena itu sia-sia, tikus...” Ashilla tampak puas mendengar cercaan teman-temannya barusan. Dia jadi nggak perlu repot-repot menyampaikan ejekannya.

“Fy, ngomong dong. Jangan diem aja,” desak Prissy dari belakang.

“Apa lo? Masih mau mengajukan orang lain bakal jadi istri Rio, heh? Atau lo sendiri yang bakal maju? Silakan aja, toh lo punya nyali, nggak kayak temen lo yang pengecut ini!” sambil berkata begitu, Ashilla menatap Ify setengah hati, lalu mencibir.

“Sohib gue bukannya nggak punya nyali, dia Cuma... Cuma...”

Suara tawa bala kurawa Ashilla kembali menggema menanggapi pernyataan Prissy yang menggantung, gagal meminta dukungan Ify.

“Biarin aja anjing menggonggong, Pris. Gue nggak peduli. Gue tahu, mereka ketawa untuk menutupi kekalahan mereka. Kalau sekarang gue tanggapi, sama artinya gue jadi bagian dari mereka. Toh gue nggak butuh pengakuan mereka tentang hubungan gue dan Rio. Bagi gue, pengakuan Rio atas gue udah lebih dari cukup. Kalaupun gue marah, nggak ada gunanya, dan itu seperti mengumumkan gue kalah dari mereka.” Ify bicara sangat tenang. Dia nggak mau terbawa emosi, walau sesungguhnya dia sangat marah atas semua yang terjadi. Dia berusaha tetap tenang.

Sebaliknya Ashilla semakin marah mendengar ucapan Ify. Wajahnya kian memerah, campuran antara marah dan malu. “Beraninya lo ngomong kayak begitu di daerah kekuasaan gue!”

Dengan penuh nafsu cewek itu menghampiri Ify. Dia mengangkat tangan ingin menamparnya, namun tiba-tiba sebuah suara yang sudah sangat dikenalnya memanggil namanya.

“Hentikan, Shilla!” Rio datang bersama Gabriel, yang sama terkejutnya dengan Ify. Keduanya sama sekali tidak menyangka akan bertemu di sana.

“Kakak...?” Ify tertegun.

“Gue... gue Cuma memastikan apa kalian jadi ke sini apa nggak?!” jawab Gabriel singkat. Tapi pandangannya bukan kepada Ify ataupun Rio, melainkan gerombolan gadis pembela Ashilla.

“Oow... Lihat, Siv, ternyata cowok gatel yang ngejar-ngejar lo itu kakaknya si tikus. Rupanya keluarga tikus sedang bermimpi memperbaiki keturunan!” ejek Ashilla. Pandangannya berpindah-pindah dari Gabriel, lalu ke temannya yang paling pendiam yang saat itu berdiri tertunduk di belakangnya.

“Rio, bilang sama mereka tentang hubungan lo sama Ify. Masa mereka nggak percaya kalian udah jadian?” Prissy yang lebih dulu mendekati Rio.

“Tenang, Pris, lebih baik kalian pulang,” jawab Rio tak memuaskan. “Vin, lo bawa mobil, kan?” Alvin mengangguk. “Tolong antar Ify dan Prissy pulang, ya.”

Lagi-lagi Alvin mengangguk.

“Fy, lo pulang sama Alvin, ya, besok gue ke rumah lo.”

Ify tidak menjawab. Dia hanya memandang Rio sekilas sebelum akhirnya melangkah meninggalkan semuanya. Air mata mengalir di pipi tanpa meminta persetujuannya. Hatinya sakit menerima perlakuan Rio.

Lo nggak malu ngakuin gue sebagai istri lo di depan teman-teman lo meski dandanan gue amburadul. Lo bahkan mengusir cewek cantik di bioskop itu demi menjaga kesetiaan lo ke gue. Tapi kenapa giliran dengan Ashilla, lo bahkan nggak menatap gue? Kenapa? Apakah rahasia yang disimpan Zahra itu adalah, lo ternyata pacaran sama Ashilla di sekolah ini? Kenapa lo siksa gue dengan perasaan ini, Yo? Semua pasti ada penjelasannya, kan, Yo?

Dengan perasaan seperti itu Ify menutup mulutnya rapat-rapat. Dia berhenti bicara dengan siapa pun. Gadis itu hanya diam. Prissy-lah yang merasa paling terpukul melihat diamnya Ify.

“Fy, maafin gue, gue nggak bermaksud...”

“Sudahlah, Pris... bukan salah lo. Gue yakin, semua ini pasti ada penjelasannya. Gue akan tunggu Rio, dia berutang penjelasan atas semua ini,” potong Ify pelan. Dia nggak mau Prissy lebih kecewa lagi. Dan dia juga akan pegang janji Rio untuk menjelaskan semua ini nanti. “Yang penting, kalian jangan lupa ngucapin selamat ultah ke gue lusa. Meskipun nggak dirayakan, gue tetep pengen tersenyum di hari ultah gue.”

Prissy dan Alvin berpandang-pandangan. “Tentu, Fy. Dan gue bakal labrak Rio di mana pun dia berada kalau sampai nggak datang lusa. Liat aja, dia belum tahu dengan siapa sebenarnya dia berurusan!” Ify ketawa samar melihat tingkah Prissy.

Terima kasih, kawan-kawan. Paling nggak, gue punya kalian.



@@@@@




Ify masih saja berwajah muram. Seharusnya tadi pagi Rio menjemputnya di sekolah. Tapi sampai Ify akhirnya terlambat pulang pun, Rio belum kelihatan batang hidungnya. Dia bahkan tidak menelepon Ify seperti biasa kalau mereka seharian nggak ketemu.

Tadinya Alvin dan Prissy bersikeras mengajak Ify pulang bareng. Tapi Ify menolak halus. “Sorry, Kawan, hari ini gue bener-bener lagi pengen sendiri,” jawabnya tersenyum pahit.

Alvin dan Prissy berpandang-pandangan, kemudian mengangkat bahu bersamaan. “Fy, lo jangan terlalu sedih. Pokoknya kalo sampai besok Rio nggak kasih kabar, gue nggak peduli lo larang juga, gue tetep mau labrak dia.” Prissy menyingsingkan lengan bajunya geram. Alih-alih seram, dia malah bikin Ify tersenyum geli. Prissy mengeluarkan sebatang cokelat dari tasnya. “Nih, kata nyokap gue, cokelat bisa merangsang perasaan bahagia. Lo boleh abisin sendiri deh.”

“Makasih, Pris.” Dan mereka meninggalkan Ify yang melenggang pulang seorang diri.

Namun Ify bahkan baru ingat kalo punya cokelat setelah dia menemukan dirinya ternyata sendirian dirumah. Hanya ada Mbok Sum yang sedang asyik dengan pekerjaan rumahnya. Ify baru menemukan cokelat itu waktu dia iseng membuka tas sekolahnya. Dia tersenyum sambil menimang cokelat pemberian Prissy itu.

“Lihat, Ayah, bukankah Ify tidak pernah kesepian? Mereka selalu ada buat Ify. Kapan pun, di mana pun. Hingga akhirnya Ify bisa melepas kepergian Ayah untuk kebahagiaan Ayah. Semua itu karena mereka juga,” kata Ify lembut pada bingkai foto yang memuat wajah gagah ayahnya yang mengenakan seragam kebesaran pilot. “Tapi... Ify rindu Ayah...” Diraihnya foto ayahnya dan didekapnya erat-erat. “Ify tahu bunda nggak punya banyak uang untuk merayakan ultah Ify. Tapi paling nggak, Ify ingin semuanya berkumpul hari ini. Juga Rio...” Ify melepas pelukannya, lalu kembali berkata jenaka kepada foto ayahnya, seakan-akan Ayah ada di sana, mendengarkan putrinya berkeluh-kesah. “Dia itu memang nyebelin, kan, Yah? Janji sendiri mau ngasih penjelasan, nggak tahunya hilang entah ke mana. Mana nggak nelepon, lagi. Masa Ify yang mesti nelepon? Gengsi dong!” katanya bersemangat. “Tapi dia baik, Ayah.” Nada suaranya melemah. “Dia bikin Ify nyaman kalo deket sama dia. Ify nggak mau kehilangan dia. Ayah, tolong minta sama Tuhan supaya Rio jangan pernah ninggalin Ify. Terlebih besok, waktu Ify ulang tahun.” Ify menarik napas panjang. “Hhh... Ify bahkan nggak yakin dia tahu ultha Ify.” Ify kembali putus asa. “Sudahlah, Yah, mending Ify di sini sama Ayah ngabisin cokelat. Mumpung Kak Iyel nggak ada, jadi Ify bisa abisin sendiri.” Dia baru akan mencomot sepotong cokelat saat Mbok Su muncul di pintu kamarnya.

“Mbak, Mbak Ify. Tuh Mas Rio-nya sudah datang. Mbak Ify jangan cemberut terus dong,” kata Mbok Sum senang. Ia berharap dapat memandang senyum juragan mudanya lagi setelah lenyap bersama hari-hari Ify tanpa Rio.

“Suruh pulang aja deh, Mbok. Ify lagi males. Bilang aja Ify nggak ada,” jawab Ify seraya memasukkan cokelat ke mulutnya.

“Lho, kok nggak mau nemuin sih? Kan Mas Rio udah jauh-jauh ke sini? Apalagi udah dua hari Mbak Ify nggak ketemu Mas Rio, memangnya nggak kangen?” Mbok Sum mendekati Ify yang meringkuk di tempat tidurnya.

“Bunda ke mana sih, Mbok?” Ify malah balik bertanya.

“Bunda lagi arisan, Mbak.”

“Kak Iyel?”

“Mas Iyel belum pulang kuliah.”

“Kalo gitu Mbok Sum aja yang nemenin Rio. Ify lagi males.”

“Lho, kok malah Mbok sih, Mbak?”

“Udah, pokoknya bilang aja yang Ify bilang.” Sambil berkata begitu, Ify membalikkan tubuh.

Pembantu setengah baya itu menghela napas panjang. Tanpa suara ia meninggalkan kamar Ify.

“Rasain, emang enak dikerjain?” gumam Ify seorang diri. Tapi pada foto ayahnya dia menambahkan, “Ify kok deg-degan ya, Yah? Aduh... mesti ngomong apa nih kalo dia ke sini?” Rasa marah yang kemarin mendera hatinya perlahan terkikis oleh kerinduan yang amat sangat.

Ify masih sibuk dengan pikirannya saat Rio berdiri di ambang pintu kamarnya.

“Males apa marah nih?” tanyanya singkat.

Ify menatap cowok yang sangat dirindukannya itu. “Nggak sopan banget sih, masuk kamar cewek seenaknya!” ucapnya sewot.

“O ya? Lebih nggak sopan lagi nggak mau nemuin tamu yang jauh-jauh datang hanya karena alasan males.” Rio mendekati kekasihnya yang sedang merajuk. Dia seperti sedang menyembunyikan sesuatu di belakang tangannya.

Ify melirik cowok yang sekarang berjongkok di sampingnya dan memandangnya lembut.

“Awas ya, jangan kurang ajar. Atau gue teriak sekarang?!” ancamnya sembari menyiapkan bantal sebagai tameng perlindungan.

“Tuan Putri cantik yang galak, saya kemari mau meminta maaf. Maukah Tuan Putri memaafkan saya?” Rio berlagak seperti pangeran yang melamar putri raja. Dia menyerahkan sekuntum mawar putih kepada Ify.

Ify tak bisa bohong, hatinya berbunga-bunga seindah bunga yang dipersembahkan Rio. Diterimanya mawar putih kesukaannya itu. Tapi rupanya dia tetap jaga gengsi dengan bersikukuh pada sikap galaknya. “Jangan lo pikir gue udah maafin lo, ya. Enak aja!” katanya manyun.

“Gue udah tahu kok lo bakal begini. Makanya gue sengaja siapin surprise buat lo,” Rio berkata tenang.

“Surprise? Buat gue?” Ify mulai tertarik. Jangan-jangan Rio tahu ultah gue, batinnya penasaran.

“Udah dulu marahnya, jelek tahu manyun begitu. Ganti baju, dandan yang cantik, baru gue kasih tahu kejutannya.”

“Serius?”

“He-eh.”

“Nggak bercanda, kan?”

“Nggak. Udah, cepetan ganti baju. Gue tunggu dibawah, oke?” Ify hanya mengangguk. Dia nggak tahu apa yang dimaksud kejutan oleh Rio. Karena itulah dia bergegas mengikuti perintah Rio, supaya bisa segera tahu surprise yang disiapkan kekasihnya itu. Semoga saja bukan kenyataan bahwa Rio ternyata memang pacar Ashilla, batin Ify harap-harap cemas.

Lima belas menit kemudian Ify sudah siap dengan jeans dan kaos fancy kesayangannya. Rambutnya juga sudah disisir rapi. Dia bahkan sudah pamit pada foto ayahnya sebelum akhirnya menemui Rio di ruang tengah.

“Nah, gitu kan cantik,” ucap Rio seraya bangkit dari duduknya. “Yuk berangkat!” Dia melihat jam tangan besar di tangan kanannya. “Kami keluar dulu, Mbok. Tadi Rio udah izin Bunda kok.”

“Iya, hati-hati, ya, Mas, macannya lagi ngamuk,” bisik Mbok Sum sambil melirik Ify.

“Apaan sih?” tanya Ify sewot.

“Nggak, nggak pa-pa,” balas Rio. “Tenang, Mbok, udah ada pawangnya,” bisiknya lagi kepada Mbok Sum yang mengantar mereka sampai pintu depan.

Pembantu paruh baya itu hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala mengantar kepergian majikan mudanya.




BERSAMBUNG.............................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar