Kepercayaan Ify benar-benar diuji. Setelah surat undangan itu, ia
juga harus menerima kenyataan bahwa belakangan ini Rio sering sekali
absen ke rumahnya. Rio juga banyak berubah. Dia selalu kelihatan capek
dan malas bertemu Ify. Hingga suatu ketika Ify nekat menanyai Rio, “Yo,
kok kayaknya sibuk banget sih akhir-akhir ini? Sampai nggak sempet
mampir ke sini. Ada apa sih?”
Rio menjawab dengan nada lelah. “Sorry ya, Fy, gue emang lagi banyak urusan nih.” Wajahnya kelihatan kusut.
“O ya?! Apa misalnya? Ngapelin cewek lain ya?” goda Ify.
“Lo
ngomong apa sih? Udah deh, nggak usah mulai lagi. Gue lagi capek banget
nih!” sergah Rio cepat, seakan menyembunyikan sesuatu.
Ify
terpukul mendengar jawaban itu. Apalagi Rio mengatakannya dengan nada
tinggi. Pikirannya langsung tertuju ke undangan ulang tahun Ashilla yang
tersimpan aman di kamarnya. Apa benar lo bakal tunangan sama Ashilla, Yo?
Tadinya
kalimat itu ingin langsung dilontarkannya, tapi urung saat terngiang
perkataan Ashilla bahwa maling nggak mungkin teriak maling. Sebagai
gantinya dia berkata, “Kalo emang capek, pulang aja.”
Rio sampai melongo nggak percaya. “Lo nggak lagi ngusir gue kan, Fy?” tanyanya ragu.
“Nggak.
Cuma lo kan capek, lagi pula gue juga banyak PR.” Anehnya, Rio yang
biasanya kekeuh di samping Ify walau akhirnya Cuma lima menit aja,
langsung pamit pulang tanpa basa-basi lagi. Bikin Ify semakin yakin
dengan prasangkanya. Rio memang mau tunangan dengan Ashilla.
Setelah
Rio pulang Ify mengurung diri di kamar, asyik dengan diamnya. Beberapa
malam belakangan dia sulit memejamkan mata. Pikirannya dipenuhi
pertanyaan seputar rencana pertunangan Rio dan Ashilla.
Benarkah
lo sekejam itu, Yo? Lalu apa arti semua yang telah kita jalani selama
ini? Kenapa lo tunangan dengan Ashilla? Dan kenapa lo masih
mempertahankan gue? apa sebenarnya yang lo inginkan dari gue, Yo?
Terus
dan terus Ify berpikir serta bertanya dalam hati. Namun semua jawaban
rasanya jauh dari yang diharapkan. Kadang semua malah membentuk sebuah
pikiran... kosong...
Hingga tibalah hari itu..........
@@@@@
Sivia
mendandani Ify dan meminjamkan gaunnya yang terindah. Meskipun Ify
merasa itu tidak perlu, tapi Sivia memaksanya dengan dalih tak ingin
mempermalukan Ify di pesta Ashilla. Dia ingin Ify terlihat cantik,
sehingga tidak jadi bahan ejekan teman-temannya. Ify menurut saja. Dia
bahkan nggak peduli sekalipun Sivia mendandaninya dengan dandanan norak
seperti saat ia dan Prissy ngerjain Rio. Toh, bukankah pada akhirnya
tetap saja hatinya yang bakal terluka?
Untung dua hari ini
Bunda sibuk dengan pesanan kateringnya, sampai-sampai ia tidak
menyadari perubahan sikap putrinya. Bahkan saat Ify bersiap ke pesta
Ashilla, Bunda sudah berangkat mengantar berbagai masakan ke tempat
pemesannya.
Sivia juga telah menyiapkan mobil untuk pergi
ke pesta Ashilla. Gabriel tadinya memaksa ikut. “Ayolah, sebenarnya
kalian ini mau ke mana sih? Rukun amat. Pokoknya gue ikut!” paksanya.
“Gab, ini pesta cewek-cewek. Lagian gue Cuma punya dua undangan. Nah, kalo lo cewek, gue pasti ajak lo alih-alih Ify deh.”
Gabriel
akhirnya mengalah dan membiarkan dua cewek yang disayanginya itu
meluncur pergi dari hadapannya. “Hati-hati ya. Ingat, Bunda Cuma nganter
pesanan, jadi beliau langsung pulang. Makanya kalian jangan malam-malam
kalo nggak pengen dimarahin Bunda!” seru Gabriel sebelum mobil Sivia
lenyap di belokan jalan.
Ify tampak tegang. “Siv, lo pinter nyetir ya,” ia berusaha mencairkan suasana.
“Mm...
ya... gue sekolah setir waktu masuk SMA. Tapi tetap nggak diizinin bawa
mobil sendiri kalo sekolah. Jadi selama ini gue nebeng Shilla. Mmm...
maksud gue...”
“Nggak pa-pa kok. Nggak perlu sungkan nyebut namanya,” potong Ify menenangkan.
“Oke,”
jawab Sivia singkat. “Tapi Papa akhirnya ngizinin gue bawa mobil sejak
gue naik taksi tiap hari sejak... ya... Ashilla minta gue jauhin dia.
Demi misi,” tambahnya. “Oh ya, Alvin dan Prissy nggak curiga?” tanyanya
kemudian.
“Nggak. Gue berusaha bersikap biasa di depan
mereka, walau mata Prissy yang jeli sempat menangkap kegelisahan gue.
Tapi gue berhasil meyakinkan dia kalo gue sedang mikir tentang lo yang
ternyata teman Ashilla. Untung dia percaya. Dan malah ngasih solusi
berlebihan. Dasar Prissy.” Ify tersenyum mengingat sikap lucu Prissy
menanggapi ceritanya. “Maaf, gue bawa-bawa nama lo untuk ngibulin
Prissy,” tambahnya.
“Nggak papa kok.” Sivia tersenyum. Lumayan untuk mengusir ketegangan.
Ketika mobil memasuki pelataran luas sebuah rumah mewah, keduanya masih membisu.
Ify tampak ragu untuk turun dari mobil. Sivia-lah yang kemudian berinisiatif membuka pintu untuknya.
“Tenang
aja, gue nggak akan ninggalin lo,” ucapnya. Ify, gadis mungil yang
tampak sangat cantik dalam balutan gaun putih itu mengangguk dan turun
dari mobil.
Ify mengedarkan pandang. Banyak sekali mobil yang diparkir di pelataran rumah itu. “Apa kita terlambat?”
“Nggak. Kalau sudah sampai di dalam, lo bakal bersyukur nggak berangkat terlalu awal,” kata Sivia.
Ify tiba-tiba terpaku di samping pintu rumah Ashilla. Matanya nanar memandang papan ucapan SELAMAT BERTUNANGAN yang penuh dihiasi bunga segar. Jelas sekali nama MARIO & ASHILLA tertulis di situ.
Jadi benar. Ternyata benar. Mereka memang bertunangan.
Hati
Ify hancur berkeping-keping. Berkali-kali diejanya tulisan di papan
ucapan itu. Barangkali dia salah baca. Tapi tetap saja nama Rio yang
terbaca. Dia juga memohon semoga ini hanya mimpi buruk yang langsung
lenyap bila dia terbangun. Namun tangannya sampai perih karena
berulang-ulang dicubitnya. Ah, rupanya dia tidak bermimpi.
Sivia
merengkuh bahu Ify agar gadis itu tidak jatuh. Dia tidak berani
bertanya apakah mau terus masuk atau sebaiknya diurungkan saja dan
pulang. Sebagai gantinya, Sivia menggerakkan kepala dan menatap Ify
dengan saksama.
Ify tersenyum samar, lalu mengangguk.
Tanpa
sepengetahuan mereka, tiga gadis modis tertawa tertahan di samping
tembok tempat karangan bunga diletakkan. “Kayaknya bakal seru nih,” kata
salah satu di antaranya, diikuti tawa kecil yang lain.
“Ayo,
kita singkirkan karangan bunga ini sebelum ketahuan Rio,” terdengar
yang lain berkata, yang kemudian dijawab dengan anggukan kedua temannya.
Begitu
Ify dan Sivia sudah masuk ke ruang pesta, mereka pun bergegas
menghampiri karangan bunga itu. Perlahan mereka mengangkat dan
memasukkannya ke gudang rumah Ashilla.
Ruang tengah telah
dipenuhi tamu-tamu yang berdandan borjuis. Sivia benar, Ify bersyukur
tidak datang lebih awal. Rupanya sebelum acara dimulai, semua yang hadir
sibuk ngerumpi dan pamer busana. Ify melihat Ashilla yang tengah
tertawa dengan beberapa temannya. Dia tampak cantik dalam gaun merah
muda. Beruntung bagi Ify, Ashilla tidak melihatnya. Ia bisa bebas
menebar pandang mencari sosok yang sangat dikenalinya.
Sebenarnya,
bagi Ify, papan ucapan tadi saja sudah cukup menjelaskan semua
pertanyaan dalam hatinya. Tapi ia ingin melihat Rio yang telah
mengkhianatinya. Dia ingin menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri
wajah pengkhianat yang membuat hatinya teramat terluka. Dan setelah ini,
dia akan ingat baik-baik wajah pecundang itu, sebagai peringatan bagi
dirinya untuk tidak mendekati wajah itu lagi sampai kapan pun.
“Hei, ini minumnya.” Sivia mengulurkan jus jeruk kepada Ify.
“Eh ya, terima kasih,” jawab Ify seraya tersenyum.
Sivia
juga menawarkan beberapa makanan kecil, tapi Ify menolaknya dengan
halus. Matanya kembali mencari sosok yang sebenarnya tak ingin
ditemuinya di tempat itu.
Dia tidak datang. Dia pasti tidak datang, pikirnya dengan emosi terpendam. Tapi... kelebatan tuksedo hitam itu membuyarkan harapannya.
Pemuda
itu tampak lain dari tamu yang datang. Pakaiannya rapi dan seperti
telah dipersiapkan dengan sangat baik. Ify menahan napas sesaat.
Terngiang di telinganya percakapan terakhirnya dengan Rio Jumat lalu.
“Yo...
besok lo ada acara nggak?” pancing Ify. Ini kesempatan terakhir Rio
untuk berkata jujur padanya. Dan kalaupun kejujuran Rio menghancurkan
hatinya, Ify lebih bisa menerimanya, daripada ia dikhianati di belakang
dan dijadikan cewek simpanan. Ify jadi jijik mengingat betapa hina
dirinya nanti.
“Besok... ada sih.
Makanya gue sebenernya mau izin nggak ngapel dulu besok. Memangnya
kenapa?” Rio tampak canggung dengan jawabannya.
“Oh... acara apa sih, Yo? Boleh nggak gue ikut?”
“Aduh sorry, Fy. Gue perginya sama Bokap. Jadi ya..., lo maklum, kan?”
Ify memandang tajam ke arah Rio yang tak melihatnya di antara kerumunan banyak orang.
Mana
bokap lo, Yo? Mereka pasti hadir kan di hari pertunangan putra tercinta
mereka? Bagaimana pendapat mereka kalau tahu anak yang mereka besarkan
adalah pecundang dan pengkhianat?
“ATTENTION PLEASE.”
Suara
pembawa acara membuat semuanya tenang. Perlahan-lahan hadirin berkumpul
di depan kue tart yang menjulang tinggi dan indah. Ashilla berdiri di
belakang kue dengan senyumnya yang selalu mengembang. Jelas sekali
kebahagiaan terpancar di wajahnya. Sementara Rio berdiri di samping
Ashilla dengan sikapnya yang cuek.
Ify dan Sivia berdiri di barisan paling belakang sehinggak tak terlihat dari depan.
“Nah,
teman-teman. Gue mewakili Ashilla mengucapkan terima kasih atas
kedatangan kalian semua di acara ultah sekaligus...” pembawa acara itu
menengok sebentar ke Ashilla yang mengedipkan sebelah matanya.
“Sekaligus... surprise...!!!”
“Huu...!!!” sorakan tidak puas datang dari para tamu yang hadir.
“Tenang,
tenang. Tentang surprise itu akan diumumkan sendiri oleh yang berulang
tahun,” tambah pembawa acara. “Nah, sekarang kita nyanyikan lagu,
sementara Ashilla meniup lilin dan memotong kuenya. Setuju?!”
“Setuju...”
Lalu, berkumandanglah lagu Selamat Ulang Tahun dan Happy Birthday di seluruh ruangan, disusul pemotongan kue.
Lagi-lagi
hati Ify harus menjerit sakit saat Ashilla menyerahkan kue spesialnya
kepada Rio. Lebih sakit lagi karena Rio menyambutnya sambil menempelkan
kedua pipinya bergantian ke pipi Ashilla. Ingin rasanya Ify berteriak
saat itu juga. Untung Sivia memegangi pundaknya.
Kemudian
prosesi selanjutnya adalah pengumuman surprise Ashilla. Ify yang sudah
mengetahui isi pengumuman itu, mencengkram erat tangannya sendiri,
menahan emosi. Dicarinya sosok Rio yang tampak asyik bercanda dengan
salah satu temannya.
Kalau memang harus terjadi, terjadilah. Dan gue akan segera pergi dari tempat ini, pikirnya.
“Teman-teman,
bersamaan dengan ultah gue, gue mau mengumumkan acara pertunangan gue
dengan...” Ashilla menghampiri Rio yang kebetulan sedang menerima
telepon di HP-nya dan menggandengnya maju. Rio tampak bingung saat
ditarik ke depan. Ia menutup pembicaraannya di telepon. “Dengan Rio,”
tambah Ashilla begitu sampai di depan panggung bersama Rio di
sampingnya.
Gemuruh suara tepuk tangan memenuhi ruangan. Rio tampak tidak mengerti. “Shilla..., ada apa sih?” bisiknya.
“Gue
baru aja mengumumkan pertunangan kita,” kata Ashilla di depan mikrofon.
Mendengar itu, semua kembali bersorak. Namun suara sorakan itu
dipecahkan oleh teriakan pilu yang membahana.
“TIDAAAKKK...!!!”
Semua
menengok ke asal suara. Ify menatap tajam ke arah Rio. Napasnya
tersengal tak beraturan, air matanya bercucuran membasahi pipi.
“Ify...,”
gumam Rio tak percaya. Cowok itu berdiri terpaku. Dengan mata kepala
sendiri ia melihat Ify yang selalu dijaganya selama ini berlinangan air
mata. Wajah Ify yang sedih dan penuh amarah tergambar jelas di mata Rio.
Dia ngeri melihat kesedihan itu, sampai-sampai dia tak sanggup berbuat
dan berucap sepatah kata pun. Pita suaranya seolah putus saat itu juga.
Rio hanya berdiri mematung.
Ketika itulah keadaan dikuasai
sepenuhnya oleh Ashilla. Dengan sangat angkuh ia menghampiri Ify.
“Halo, tikus. Sudah berapa banyak makanan gue yang lo telan heh?” Ify
masih terdiam. “Gue rasa lo mesti tahu satu hal. Semua makanan yang ada
di sini gue pesen dari ibu lo yang miskin itu. Ha ha ha. Tapi tentu kue
ultahnya sih nggak, karena gue sangsi ibu lo bisa bikin. Ha... ha...
ha... ha... Dan tenang aja, gue udah bayar. Kontan!” Ashilla mendekatkan
wajahnya ke wajah Ify.
Perhatian para tamu kini tertuju kepada Ify. Mereka berbisik-bisik dan sebagian memandang remeh ke arah Ify.
Melihat
semua itu Sivia segera memegang pundak Ify dan berusaha menariknya
keluar dari situ. Rio masih terpaku dan dikuasai oleh perasaan
bersalahnya yang teramat sangat.
Dia baru menyadari apa
yang terjadi saat Ashilla berteriak ke arah Ify yang setengah diseret
Sivia meninggalkan tempat itu. “Jangan pernah kembali lagi, tikus kotor!
Sekarang Rio tunangan gue!”
Plok! Sebuah tamparan mendarat tepat di pipi kanan Ashilla.
“Rio.”
Ashilla memegangi pipinya yang memerah. Dia tak percaya Rio menamparnya
di depan banyak orang. Rio tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya menatap
Ashilla tajam dengan pandangan sangat marah. Sesaat kemudian cowok itu
meninggalkan pesta tanpa sepatah kata pun.
“Rio! Rio! Come back here!” teriak Ashilla geram. “Rio... Shit! Rio!” Ashilla berusaha mengejarnya.
Namun sia-sia. Rio terus saja melangkah meninggalkan pesta, dan menghilang seiring lenyapnya deru mobil kesayangannya.
BERSAMBUNG.......................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar