Selasa, 26 Juni 2012

Will You Marry Me? - Part 15

Kepercayaan Ify benar-benar diuji. Setelah surat undangan itu, ia juga harus menerima kenyataan bahwa belakangan ini Rio sering sekali absen ke rumahnya. Rio juga banyak berubah. Dia selalu kelihatan capek dan malas bertemu Ify. Hingga suatu ketika Ify nekat menanyai Rio, “Yo, kok kayaknya sibuk banget sih akhir-akhir ini? Sampai nggak sempet mampir ke sini. Ada apa sih?”

Rio menjawab dengan nada lelah. “Sorry ya, Fy, gue emang lagi banyak urusan nih.” Wajahnya kelihatan kusut.

“O ya?! Apa misalnya? Ngapelin cewek lain ya?” goda Ify.

“Lo ngomong apa sih? Udah deh, nggak usah mulai lagi. Gue lagi capek banget nih!” sergah Rio cepat, seakan menyembunyikan sesuatu.

Ify terpukul mendengar jawaban itu. Apalagi Rio mengatakannya dengan nada tinggi. Pikirannya langsung tertuju ke undangan ulang tahun Ashilla yang tersimpan aman di kamarnya. Apa benar lo bakal tunangan sama Ashilla, Yo?

Tadinya kalimat itu ingin langsung dilontarkannya, tapi urung saat terngiang perkataan Ashilla bahwa maling nggak mungkin teriak maling. Sebagai gantinya dia berkata, “Kalo emang capek, pulang aja.”

Rio sampai melongo nggak percaya. “Lo nggak lagi ngusir gue kan, Fy?” tanyanya ragu.

“Nggak. Cuma lo kan capek, lagi pula gue juga banyak PR.” Anehnya, Rio yang biasanya kekeuh di samping Ify walau akhirnya Cuma lima menit aja, langsung pamit pulang tanpa basa-basi lagi. Bikin Ify semakin yakin dengan prasangkanya. Rio memang mau tunangan dengan Ashilla.

Setelah Rio pulang Ify mengurung diri di kamar, asyik dengan diamnya. Beberapa malam belakangan dia sulit memejamkan mata. Pikirannya dipenuhi pertanyaan seputar rencana pertunangan Rio dan Ashilla.

Benarkah lo sekejam itu, Yo? Lalu apa arti semua yang telah kita jalani selama ini? Kenapa lo tunangan dengan Ashilla? Dan kenapa lo masih mempertahankan gue? apa sebenarnya yang lo inginkan dari gue, Yo?

Terus dan terus Ify berpikir serta bertanya dalam hati. Namun semua jawaban rasanya jauh dari yang diharapkan. Kadang semua malah membentuk sebuah pikiran... kosong...

Hingga tibalah hari itu..........




@@@@@





Sivia mendandani Ify dan meminjamkan gaunnya yang terindah. Meskipun Ify merasa itu tidak perlu, tapi Sivia memaksanya dengan dalih tak ingin mempermalukan Ify di pesta Ashilla. Dia ingin Ify terlihat cantik, sehingga tidak jadi bahan ejekan teman-temannya. Ify menurut saja. Dia bahkan nggak peduli sekalipun Sivia mendandaninya dengan dandanan norak seperti saat ia dan Prissy ngerjain Rio. Toh, bukankah pada akhirnya tetap saja hatinya yang bakal terluka?

Untung dua hari ini Bunda sibuk dengan pesanan kateringnya, sampai-sampai ia tidak menyadari perubahan sikap putrinya. Bahkan saat Ify bersiap ke pesta Ashilla, Bunda sudah berangkat mengantar berbagai masakan ke tempat pemesannya.

Sivia juga telah menyiapkan mobil untuk pergi ke pesta Ashilla. Gabriel tadinya memaksa ikut. “Ayolah, sebenarnya kalian ini mau ke mana sih? Rukun amat. Pokoknya gue ikut!” paksanya.

“Gab, ini pesta cewek-cewek. Lagian gue Cuma punya dua undangan. Nah, kalo lo cewek, gue pasti ajak lo alih-alih Ify deh.”

Gabriel akhirnya mengalah dan membiarkan dua cewek yang disayanginya itu meluncur pergi dari hadapannya. “Hati-hati ya. Ingat, Bunda Cuma nganter pesanan, jadi beliau langsung pulang. Makanya kalian jangan malam-malam kalo nggak pengen dimarahin Bunda!” seru Gabriel sebelum mobil Sivia lenyap di belokan jalan.

Ify tampak tegang. “Siv, lo pinter nyetir ya,” ia berusaha mencairkan suasana.

“Mm... ya... gue sekolah setir waktu masuk SMA. Tapi tetap nggak diizinin bawa mobil sendiri kalo sekolah. Jadi selama ini gue nebeng Shilla. Mmm... maksud gue...”

“Nggak pa-pa kok. Nggak perlu sungkan nyebut namanya,” potong Ify menenangkan.

“Oke,” jawab Sivia singkat. “Tapi Papa akhirnya ngizinin gue bawa mobil sejak gue naik taksi tiap hari sejak... ya... Ashilla minta gue jauhin dia. Demi misi,” tambahnya. “Oh ya, Alvin dan Prissy nggak curiga?” tanyanya kemudian.

“Nggak. Gue berusaha bersikap biasa di depan mereka, walau mata Prissy yang jeli sempat menangkap kegelisahan gue. Tapi gue berhasil meyakinkan dia kalo gue sedang mikir tentang lo yang ternyata teman Ashilla. Untung dia percaya. Dan malah ngasih solusi berlebihan. Dasar Prissy.” Ify tersenyum mengingat sikap lucu Prissy menanggapi ceritanya. “Maaf, gue bawa-bawa nama lo untuk ngibulin Prissy,” tambahnya.

“Nggak papa kok.” Sivia tersenyum. Lumayan untuk mengusir ketegangan.

Ketika mobil memasuki pelataran luas sebuah rumah mewah, keduanya masih membisu.

Ify tampak ragu untuk turun dari mobil. Sivia-lah yang kemudian berinisiatif membuka pintu untuknya.

“Tenang aja, gue nggak akan ninggalin lo,” ucapnya. Ify, gadis mungil yang tampak sangat cantik dalam balutan gaun putih itu mengangguk dan turun dari mobil.

Ify mengedarkan pandang. Banyak sekali mobil yang diparkir di pelataran rumah itu. “Apa kita terlambat?”

“Nggak. Kalau sudah sampai di dalam, lo bakal bersyukur nggak berangkat terlalu awal,” kata Sivia.

Ify tiba-tiba terpaku di samping pintu rumah Ashilla. Matanya nanar memandang papan ucapan SELAMAT BERTUNANGAN yang penuh dihiasi bunga segar. Jelas sekali nama MARIO & ASHILLA tertulis di situ.

Jadi benar. Ternyata benar. Mereka memang bertunangan.

Hati Ify hancur berkeping-keping. Berkali-kali diejanya tulisan di papan ucapan itu. Barangkali dia salah baca. Tapi tetap saja nama Rio yang terbaca. Dia juga memohon semoga ini hanya mimpi buruk yang langsung lenyap bila dia terbangun. Namun tangannya sampai perih karena berulang-ulang dicubitnya. Ah, rupanya dia tidak bermimpi.

Sivia merengkuh bahu Ify agar gadis itu tidak jatuh. Dia tidak berani bertanya apakah mau terus masuk atau sebaiknya diurungkan saja dan pulang. Sebagai gantinya, Sivia menggerakkan kepala dan menatap Ify dengan saksama.

Ify tersenyum samar, lalu mengangguk.

Tanpa sepengetahuan mereka, tiga gadis modis tertawa tertahan di samping tembok tempat karangan bunga diletakkan. “Kayaknya bakal seru nih,” kata salah satu di antaranya, diikuti tawa kecil yang lain.

“Ayo, kita singkirkan karangan bunga ini sebelum ketahuan Rio,” terdengar yang lain berkata, yang kemudian dijawab dengan anggukan kedua temannya.

Begitu Ify dan Sivia sudah masuk ke ruang pesta, mereka pun bergegas menghampiri karangan bunga itu. Perlahan mereka mengangkat dan memasukkannya ke gudang rumah Ashilla.

Ruang tengah telah dipenuhi tamu-tamu yang berdandan borjuis. Sivia benar, Ify bersyukur tidak datang lebih awal. Rupanya sebelum acara dimulai, semua yang hadir sibuk ngerumpi dan pamer busana. Ify melihat Ashilla yang tengah tertawa dengan beberapa temannya. Dia tampak cantik dalam gaun merah muda. Beruntung bagi Ify, Ashilla tidak melihatnya. Ia bisa bebas menebar pandang mencari sosok yang sangat dikenalinya.

Sebenarnya, bagi Ify, papan ucapan tadi saja sudah cukup menjelaskan semua pertanyaan dalam hatinya. Tapi ia ingin melihat Rio yang telah mengkhianatinya. Dia ingin menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri wajah pengkhianat yang membuat hatinya teramat terluka. Dan setelah ini, dia akan ingat baik-baik wajah pecundang itu, sebagai peringatan bagi dirinya untuk tidak mendekati wajah itu lagi sampai kapan pun.

“Hei, ini minumnya.” Sivia mengulurkan jus jeruk kepada Ify.

“Eh ya, terima kasih,” jawab Ify seraya tersenyum.

Sivia juga menawarkan beberapa makanan kecil, tapi Ify menolaknya dengan halus. Matanya kembali mencari sosok yang sebenarnya tak ingin ditemuinya di tempat itu.

Dia tidak datang. Dia pasti tidak datang, pikirnya dengan emosi terpendam. Tapi... kelebatan tuksedo hitam itu membuyarkan harapannya.

Pemuda itu tampak lain dari tamu yang datang. Pakaiannya rapi dan seperti telah dipersiapkan dengan sangat baik. Ify menahan napas sesaat. Terngiang di telinganya percakapan terakhirnya dengan Rio Jumat lalu.

“Yo... besok lo ada acara nggak?” pancing Ify. Ini kesempatan terakhir Rio untuk berkata jujur padanya. Dan kalaupun kejujuran Rio menghancurkan hatinya, Ify lebih bisa menerimanya, daripada ia dikhianati di belakang dan dijadikan cewek simpanan. Ify jadi jijik mengingat betapa hina dirinya nanti.

“Besok... ada sih. Makanya gue sebenernya mau izin nggak ngapel dulu besok. Memangnya kenapa?” Rio tampak canggung dengan jawabannya.

“Oh... acara apa sih, Yo? Boleh nggak gue ikut?”

“Aduh sorry, Fy. Gue perginya sama Bokap. Jadi ya..., lo maklum, kan?”

Ify memandang tajam ke arah Rio yang tak melihatnya di antara kerumunan banyak orang.

Mana bokap lo, Yo? Mereka pasti hadir kan di hari pertunangan putra tercinta mereka? Bagaimana pendapat mereka kalau tahu anak yang mereka besarkan adalah pecundang dan pengkhianat?

“ATTENTION PLEASE.”

Suara pembawa acara membuat semuanya tenang. Perlahan-lahan hadirin berkumpul di depan kue tart yang menjulang tinggi dan indah. Ashilla berdiri di belakang kue dengan senyumnya yang selalu mengembang. Jelas sekali kebahagiaan terpancar di wajahnya. Sementara Rio berdiri di samping Ashilla dengan sikapnya yang cuek.

Ify dan Sivia berdiri di barisan paling belakang sehinggak tak terlihat dari depan.

“Nah, teman-teman. Gue mewakili Ashilla mengucapkan terima kasih atas kedatangan kalian semua di acara ultah sekaligus...” pembawa acara itu menengok sebentar ke Ashilla yang mengedipkan sebelah matanya. “Sekaligus... surprise...!!!”

“Huu...!!!” sorakan tidak puas datang dari para tamu yang hadir.

“Tenang, tenang. Tentang surprise itu akan diumumkan sendiri oleh yang berulang tahun,” tambah pembawa acara. “Nah, sekarang kita nyanyikan lagu, sementara Ashilla meniup lilin dan memotong kuenya. Setuju?!”

“Setuju...”

Lalu, berkumandanglah lagu Selamat Ulang Tahun dan Happy Birthday di seluruh ruangan, disusul pemotongan kue.

Lagi-lagi hati Ify harus menjerit sakit saat Ashilla menyerahkan kue spesialnya kepada Rio. Lebih sakit lagi karena Rio menyambutnya sambil menempelkan kedua pipinya bergantian ke pipi Ashilla. Ingin rasanya Ify berteriak saat itu juga. Untung Sivia memegangi pundaknya.

Kemudian prosesi selanjutnya adalah pengumuman surprise Ashilla. Ify yang sudah mengetahui isi pengumuman itu, mencengkram erat tangannya sendiri, menahan emosi. Dicarinya sosok Rio yang tampak asyik bercanda dengan salah satu temannya.

Kalau memang harus terjadi, terjadilah. Dan gue akan segera pergi dari tempat ini, pikirnya.

“Teman-teman, bersamaan dengan ultah gue, gue mau mengumumkan acara pertunangan gue dengan...” Ashilla menghampiri Rio yang kebetulan sedang menerima telepon di HP-nya dan menggandengnya maju. Rio tampak bingung saat ditarik ke depan. Ia menutup pembicaraannya di telepon. “Dengan Rio,” tambah Ashilla begitu sampai di depan panggung bersama Rio di sampingnya.

Gemuruh suara tepuk tangan memenuhi ruangan. Rio tampak tidak mengerti. “Shilla..., ada apa sih?” bisiknya.

“Gue baru aja mengumumkan pertunangan kita,” kata Ashilla di depan mikrofon. Mendengar itu, semua kembali bersorak. Namun suara sorakan itu dipecahkan oleh teriakan pilu yang membahana.

“TIDAAAKKK...!!!”

Semua menengok ke asal suara. Ify menatap tajam ke arah Rio. Napasnya tersengal tak beraturan, air matanya bercucuran membasahi pipi.

“Ify...,” gumam Rio tak percaya. Cowok itu berdiri terpaku. Dengan mata kepala sendiri ia melihat Ify yang selalu dijaganya selama ini berlinangan air mata. Wajah Ify yang sedih dan penuh amarah tergambar jelas di mata Rio. Dia ngeri melihat kesedihan itu, sampai-sampai dia tak sanggup berbuat dan berucap sepatah kata pun. Pita suaranya seolah putus saat itu juga. Rio hanya berdiri mematung.

Ketika itulah keadaan dikuasai sepenuhnya oleh Ashilla. Dengan sangat angkuh ia menghampiri Ify. “Halo, tikus. Sudah berapa banyak makanan gue yang lo telan heh?” Ify masih terdiam. “Gue rasa lo mesti tahu satu hal. Semua makanan yang ada di sini gue pesen dari ibu lo yang miskin itu. Ha ha ha. Tapi tentu kue ultahnya sih nggak, karena gue sangsi ibu lo bisa bikin. Ha... ha... ha... ha... Dan tenang aja, gue udah bayar. Kontan!” Ashilla mendekatkan wajahnya ke wajah Ify.

Perhatian para tamu kini tertuju kepada Ify. Mereka berbisik-bisik dan sebagian memandang remeh ke arah Ify.

Melihat semua itu Sivia segera memegang pundak Ify dan berusaha menariknya keluar dari situ. Rio masih terpaku dan dikuasai oleh perasaan bersalahnya yang teramat sangat.

Dia baru menyadari apa yang terjadi saat Ashilla berteriak ke arah Ify yang setengah diseret Sivia meninggalkan tempat itu. “Jangan pernah kembali lagi, tikus kotor! Sekarang Rio tunangan gue!”

Plok! Sebuah tamparan mendarat tepat di pipi kanan Ashilla.

“Rio.” Ashilla memegangi pipinya yang memerah. Dia tak percaya Rio menamparnya di depan banyak orang. Rio tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya menatap Ashilla tajam dengan pandangan sangat marah. Sesaat kemudian cowok itu meninggalkan pesta tanpa sepatah kata pun.

“Rio! Rio! Come back here!” teriak Ashilla geram. “Rio... Shit! Rio!” Ashilla berusaha mengejarnya.

Namun sia-sia. Rio terus saja melangkah meninggalkan pesta, dan menghilang seiring lenyapnya deru mobil kesayangannya.






BERSAMBUNG.......................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar