"Kita nggak punya masa depan," cerita Ify lesu.
"Hah?" seru Sivia kaget. "Maksudnya?"
Ify mengangkat bahu, lalu menyeruput jus melon-nya tanpa semangat. "Andai aja aku tau."
"Kalian toh belum tentu nikah, kan? Jadi, apa maksudnya ngomong begitu?" tanya Sivia lagi. "Masa depan apa, sih,
yang dia maksud?"
Ify meletakkan pipinya ke meja, lalu mendesah. Sivia menatap sahabatnya itu khawatir.
"Sivia, kalo pendapat gue, sih, lo jangan terlibat terlalu jauh sama
dia. Gue punya perasaan dia agak berbahaya," kata Sivia membuat Ify
mendongak.
"Berbahaya?" tanya Ify.
"Sebelum semuanya serius, berhenti aja berharap dari dia, Sivia.
Kalo dia emang cowok baik-baik, dia nggak akan bersikap bunglon nggak
jelas kayak gini ke elo," kata Sivia lagi.
Kalau mau jujur, Ify memiliki perasaan yang sama dengan Sivia.
Kata-kata Rio kemarin sama saja dengan menolak Ify mentah-mentah. Namun,
setelah mereka pulang dari pantai, Rio tidak bersikap dingin, malah
cenderung bersahabat.
Dari awal, Rio seperti sedang mempermainkan perasaan Ify.
"Kayaknya kamu bener, Vie," ujar Ify akhirnya. Ify tidak mau salah mengartikan sikap hangat Rio lagi.
Ify merasakan tangan Sivia meremas bahunya. Sivia sendiri tahu,
kalau benar Ify menyukai alien aneh ini, berarti ini adalah cinta
pertama Ify. Dan Sivia tidak mau cinta pertama Ify jatuh pada orang yang
salah.
"Ada apa, Vin?" tanya Rio antusias begitu bertemu dengan Alvin di
kafetaria. Semalam, Alvin menelponnya dan berkata ingin bertemu. "Dia
udah ketemu?"
"Bukan itu," kata Alvin, dan wajah Rio langsung bingung.
"Jadi, ada apa?" tanyanya lagi.
"Duduk dulu, deh," ujar Alvin, dan Rio duduk di depannya. Alvin lalu mencondongkan wajahnya ke arah Rio.
"Seharusnya, gue yang tanya ada apa. Sebenernya lo serius nggak, sih, nyari orang itu?"
Rio mengernyit. "Maksud lo apa, Vin?"
Alvin mendesah, menatap Rio serius. "Yo, gue kemaren liat lo lewat
di depan tempat kerja gue. Naek motor, sama cewek. Gue pikir lo datang
kemari mau nyari dia."
Rio mengerjap-ngerjapkan matanya sesaat, dan akhirnya tersadar.
"Vin! Gue serius nyari dia!" sahut Rio panas sambil menggebrak meja,
beberapa mahasiswa yang juga mengunjungi kafetaria itu terkejut dan
memandang Rio heran, tapi Rio tak menggubrisnya. "Kalo kemaren lo liat
gue, itu karena pikiran gue udah butek—keruh—banget, makanya gue ke
pantai buat menenangkan diri!"
"Sama cewek?" tanya Alvin curiga. Rio berdecak.
"Cewek itu anak kost gue. Gue pinjem motornya, dan tanpa gue sadari
dia udah ngikut gue. Dia takut motornya kenapa-napa," kata Rio lagi,
suaranya sudah sedikit memelan, tetapi Alvin tampak masih belum percaya.
"Vin, lo harus percaya sama gue. Gue nggak punya waktu untuk yang
laen."
"Sebaiknya begitu," kata Alvin lagi. "Denger, Yo, gue bener-bener mau bantu lo. Tapi kalo lo sendiri malah senang-senang..."
"Alvin, gue nggak pernah punya pikiran buat senang-senang," ujar Rio
tegas. "Setelah gue dapet dia, gue bakal secepatnya pergi dari sini."
Alvin menghela napas, tampak sudah menyesal karena tak memercayai Rio.
"Sori Yo, kalo gue udah marah-marah nggak jelas. Tapi, setelah
dipikir-pikir, lo butuh waktu senggang juga. Jangan terlalu mikirin
dia," ujar Alvin.
"Gue nggak butuh waktu senggang...," jawab Rio cepat. "Toh waktu gue
juga udah nggak banyak lagi," lanjutnya sambil tersenyum miris.
Selama beberapa detik, Alvin hanya bisa menatap sahabat SMA-nya itu
dengan pandangan sedih. Sampai akhirnya dia kembali angkat bicara. "Soal
cewek itu, mungkin ada bagusnya juga kalo lo jalan sama dia."
Rio menatap Alvin tak percaya.
"Lo gila ya, Vin? Gue udah nggak ada niat sama hal-hal begituan! Lo
pikir gue masih punya hak buat yang begituan?" sahut Rio berang.
"Bener juga. Sori," ucap Alvin menyesal. "Kalo lo masih mau egois dikit, mungkin lo dulu nggak akan melepas Shilla."
Ekspresi wajah Rio mengeras saat Alvin menyebut nama itu. Nama yang sudah sekian lama dikuburnya rapat-rapat di
dalam hatinya.
"Jangan pernah sebut nama itu lagi," kata Rio dingin.
"Oke. Sori," kata Alvin, dan setelah itu, tak ada satu pun yang berbicara lagi.
Rio berjalan gontai menuju kost-nya yang suram. Ozy dan Septian
sedang tidak ada, dan rumah Bu Winda juga sepi. Rio naik tangga dan
orang yang sedang tidak ingin dia temui malah sedang berjalan ke
arahnya. Di tangannya, terdapat mug yang mengepul.
"Dari mana jam segini baru pulang?" tanya Ify heran, ia melihat rambut dan baju Rio yang basah karena kehujanan.
Ify buru-buru masuk ke dalam kamarnya, mengambil handuk dan mengelap wajah Rio. "Kok nggak bawa payung, sih? Ntar pilek, lho!"
Rio menatap Ify yang tampak khawatir, lalu dia menepis tangan cewek
itu. Hingga menyebabkan handuk yang dipegang Ify jatuh ke lantai. Ify
menatap Rio heran, sedangkan yang ditatap malah balas menatapnya dingin.
"Jangan peduliin gue," kata Rio dengan rahang mengeras. "Jangan bersikap baik sama gue."
"Kenapa?" tanya Ify.
"Gue bilang jangan, ya, jangan!" sahut Rio membuat Ify terlonjak.
"Jangan tanya apa-apa lagi sama gue, lo ngerti? Urus aja kehidupan lo
sendiri!"
Rio berjalan melewati Ify yang bergeming. Dia berusaha membuka
pintunya yang terkunci. Dicari-carinya kunci pintu itu di bajunya dengan
tak sabar.
"Jelek," gumam Ify pelan, namun masih bisa didengar jelas oleh Rio,
dan membuat cowok itu menoleh padanya. Ify menatap Rio sendu. "Kalo
lagi begini, aku bilang kamu lagi jelek."
"Hah?" kata Rio tak mengerti.
"Mood kamu. Selalu berubah-ubah dan nggak bisa ditebak. Hari ini,
kamu marah-marah, besok baik. Selalu aja bilang, 'Jangan peduliin gue',
tapi nanti ngomong hal-hal baik buat menggantikannya," ujar Ify, air
mata sudah menggenang di pelupuk matanya. "Nggak bisakah kamu memilih
salah satu?"
Rio menatap Ify nanar.
"Tadinya aku mau berusaha mengerti soal sikap aneh kamu ini, tapi aku sama sekali nggak ngerti!" sahut Ify.
"Nggak ada yang nyuruh lo buat mengerti gue," ujar Rio kemudian. "Tolong jangan ngomong hal-hal yang merepotkan."
Ify menatap Rio tak percaya, sementara Rio berhasil menemukan
kuncinya dan segera masuk ke dalam kamarnya. Rio melempar ranselnya,
lalu duduk di kasur. Pikirannya berkecamuk hebat. Tiba-tiba dia teringat
perkataan Alvin tadi siang.
"Kalo aja lo mau sedikit egois, lo pasti nggak akan melepaskan Shilla."
Namun, Rio sudah melepas Shilla. Sekarang, Rio tidak berminat pada
percintaan apa pun lagi. Kalaupun berminat, dia tetap tidak berhak. Rio
tidak menyesal dengan nasibnya itu. Yang Rio sesalkan, kenapa dia tidak
menjauhi Ify sejak awal. Ya, karena Rio sudah meremehkannya.
Tiba-tiba, Rio mendengar suara pintu sebelah ditutup. Dia menghela
napas, lalu membuka layar handycam-nya dan menonton video yang
direkamnya di pantai kemarin. Rio menatap kosong layar yang menampilkan
Ify sedang berlari-lari dengan gembira. Rio menutup layar itu.
Masa bersenang-senang sudah berakhir.
***
Ify bangun dengan mata sembab. Semalam, Ify menangis karena
kata-kata kejam Rio. Ify menatap cermin, lalu bermaksud untuk mengompres
matanya dengan mentimun dingin. Mungkin tantenya punya. Ify tidak
mungkin ke kampus dengan mata seperti ini.
Ify membuka pintu kamarnya, bersamaan dengan Rio. Ify menoleh dan
tatapannya bertaut dengan Rio. Ify terdiam selama beberapa detik, namun
kemudian segera menutup mukanya, sadar kalau mungkin wajahnya sudah
seperti
"panda" sekarang.
Rio sudah melihat mata Ify, dan dia tidak tahan melihatnya
lama-lama. Dia menutup pintu kamarnya, menguncinya, lalu memakai sepatu.
Ify mengintip dari sela-sela jarinya.
"Mau..." Ify tiba-tiba terdiam, tak meneruskan kata-katanya. Dia
sebenarnya ingin bertanya Rio mau ke mana, tetapi tidak jadi
dilakukannya setelah teringat perkataan Rio semalam.
Rio menghela napas, melewati Ify tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Dia tak mau mengulangi kesalahan yang sama. Kemarin, cewek itu
menyuruhnya untuk memilih dan seharusnya sekarang dia sudah tahu mana
yang dipilih
Rio. Rio akan menjauhinya sebisa mungkin.
Ify menatap punggung Rio yang perlahan menjauh. Ify tahu Rio tak akan pernah bersikap baik padanya lagi.
***
Rio sekarang berada di depan Fakultas Ilmu Budaya Univesitas
Bandung. Matanya hitam kejoranya terlihat sibuk mencari-cari, namun
pikirannya melayang ke mana-mana.
Rio tidak tahu harus bicara apa pada Ify yang matanya sembab seperti
itu. Rio merasa dirinya tak pantas untuk ditangisi. Namun, mungkin
kata-katanya semalam memang sudah keterlaluan.
Mendadak, Alvin muncul di depan matanya. Membuat Rio ternganga melihatnya.
"Ngapain lo di sini?" tanya Rio, masih terkejut.
"Lo lupa ya, gue kuliah di sini!" sahut Alvin sambil terkekeh. "Yang
ngapain tuh elo! Kalo mau nyari dia, dia nggak ada di sini. Gue udah
cek satu per satu nama mahasiswa di sini."
"Oh," kata Rio, merasa bodoh karena lupa Alvin kuliah di Sastra Inggris. "Sori, gue lupa."
"Ngomong-ngomong, kenapa tampang lo?" tanya Alvin tiba-tiba seperti menyadari sesuatu. "Apanya yang sakit?"
"Apaan, sih, lo!" sahut Rio sambil nyengir. "Gue baik-baik aja."
"Oh, syukur deh. Tapi kenapa muka lo ruwet banget? Oh, gue tau, deh.
Pasti ada hubungannya sama cewek anak kost lo itu," tebak Alvin, dan
Rio tak menjawab. "Bener, kan?"
"Kayaknya dia suka sama gue, Vin," kata Rio. "Nyusahin aja."
"Dari awal, harusnya lo jauhin dia," ujar Alvin. "Kecuali, kalo lo juga punya perasaan sama dia."
Rio tak segera menjawab.
"Gue nggak bisa punya perasaan sama siapa pun, Vin," ucapnya kemudian.
"Rio, lo tau nggak jatuh cinta itu apa?" tanya Alvin, membuat orang
yang ditanya olehnya itu hanya bisa mengernyit. "Artinya, lo jatuh ke
dalam cinta tanpa disengaja. Jadi, walaupun lo nggak mau jatuh cinta, lo
bakalan
tetep jatuh."
Rio terdiam mendengar perkataan Alvin, kemudian tertawa miris.
"Vin, lo nggak ngerti juga, ya? Gue nggak bisa jatuh cinta, atau apa
pun itu, sama siapa pun. Gue nggak bisa mementingkan perasaan gue
sendiri. Jadi, tolong, berhenti ngomong omong kosong kayak yang tadi,"
kata Rio. Dia mengeluarkan rokok dan menyalakannya dengan tak sabar.
Alvin menatap Rio kasihan. Kasihan karena walaupun ingin, temannya
itu tak bisa lagi merasakan kebahagiaan, meskipun cuma sedikit.
***
Lagi-lagi, Rio pulang tanpa hasil, tetapi dia tak
mempermasalahkannya. Langkahnya terhenti di tangga, teringat pada wajah
sembab Ify tadi pagi. Rio sama sekali tak ingin bertemu dengannya,
tetapi dia tak punya pilihan lain karena di luar hujan dan Alvin harus
bekerja malam ini. Rio menggigit bibir bawahnya ragu.
"Mau sampai kapan kamu berdiri di situ? Ngehalangin jalan, tau!"
kata seseorang di belakangnya membuat Rio terkejut. Rio menoleh dan
ternyata Ify. Kepalanya terbungkus handuk dan wajahnya tampaknya sudah
baik-baik saja.
"Oh," kata Rio setelah menyadari kalau dia masih menghalangi jalan,
lalu berjalan naik. Ify mengikutinya dari belakang. Rio melirik cewek
itu dari ekor matanya.
"Keran di sini macet, nggak tau kenapa. Jadi, kalo mau mandi, nebeng
aja di rumah Tante Winda. Dia juga nggak ada, lagi ke tempat
mertuanya," kata Ify lagi. Rio hanya menggumam tak jelas untuk
menanggapinya. Dia masih menatap Ify heran.
Ify balas menatap Rio, kemudian menghela napas.
"Kenapa? Kamu berharap aku masih sedih?" tanya Ify membuat Rio
segera mengalihkan pandangannya. Dia lalu sibuk mencari kunci. Ify
menghela napas lagi. "Aku orangnya sensitif. Jadi, lain kali jangan
ngomong sekejam itu."
Rio mengernyit, menatap Ify yang sudah tersenyum jahil sambil
melangkah masuk ke kamarnya. Rio menggeleng-gelengkan kepalanya bingung,
kemudian masuk ke kamarnya.
Rio melemparkan ranselnya ke kasur dan membuka sweternya. Beberapa
detik kemudian terdengar suara lagu mengalun dari kamar Ify, disusul
oleh suara cempreng yang memekakkan telinga. Rio terkekeh pelan, sambil
duduk bersandar pada dinding yang membatasi kamarnya dengan kamar Ify.
Apa pun mantra yang dipakai cewek ini, jelas-jelas Rio tidak bisa
menghindarinya. Namun, sesakit apa pun, Rio harus bisa menangkalnya.
Mereka tidak punya masa depan. Setidaknya, Rio yang tidak punya.
***
Ify sedang menyapu depan kamarnya saat Rio keluar kamar dengan wajah
bangun tidur dan rambut acak-acakan. Ify menatap sosok itu lekat-lekat.
Semalam, Ify sudah memutuskan untuk menerima sikap bunglon Rio.
Mungkin, Rio punya masalah sehingga membuatnya cepat naik darah. Kalau
sudah begitu, Ify akan mendiamkannya untuk beberapa saat lalu
mengajaknya ngobrol lagi kalau Rio sudah tenang. Selama ini yang terjadi
seperti itu, jadi Ify tak perlu khawatir.
Rio menoleh, menatap Ify dengan mata setengah tertutup.
"Lo liatin gue selama apa pun juga, gue nggak bakal naksir sama lo," ujar Rio kejam membuat Ify menganga.
"Eh! Pe de banget, sih! Ntar kena karma baru tau rasa, kamu!" sahut Ify sebal, sementara Rio menguap lebar sambil
berjalan ke kamar mandi.
Begitu Rio menghilang di balik pintu kamar mandi, Ify tersenyum.
Memang, beginilah harusnya menghadapi seorang Rio. Ify bersiul senang
sambil masuk ke dalam kamar dan melompat-lompat heboh. Tiba-tiba, dia
tak sengaja menabrak rak buku kayu miliknya, tangannya menggapai mencari
pegangan, tetapi malah memagang rak buku gantung yang ikut patah. Rak
itu jatuh bergedebukan. Kepala Ify malah sempat tertimpa kamus John
Echlos yang tebalnya na'udzubillah dan patahan rak.
"Aduuuhhhh...," rintihnya sambil memijat kakinya yang keseleo dan tertimpa rak.
Tiba-tiba, Rio sudah ada di depan pintu kamar Ify, dan menatap Ify datar.
"Kurang bego apa, sih, lo," komentarnya pendek dengan wajah mengejek, lalu berjalan masuk ke kamarnya.
"Kurang ajaaar!" sahut Ify sambil melemparinya buku, tetapi Rio sudah keburu masuk kamar.
Ify menyingkirkan rak yang patah dari kakinya, sambil merangkak dan
membereskan buku-bukunya. Ify menatap rak gantungnya sedih. Tiba-tiba,
sesuatu yang hangat mengalir dari dahi Ify. Ify menyeka dahinya
sembarangan, dia mendadak terpaku melihat darah di punggung
tangannya.Ify bengong sebentar, kemudian berteriak histeris.
Rio menghela napas dari kamar sebelah. Apa lagi, sih, yang dilakukan
cewek itu? Rio menutup telinganya dengan headphone, lalu menyetel
volume iPod-nya keras-keras sambil merapikan kaset-kaset yang bertebaran
di atas kasurnya.
Tahu-tahu, Rio merasakan getaran. Tadinya, Rio berpikir kalau itu
gempa bumi, tetapi getaran itu halus dan hanya sebentar, dan sepertinya
berasal dari kamar sebelah. Rio melirik dinding sebelahnya, melepas
headphone-nya, kemudian beranjak untuk menegur cewek sebelah kamarnya
itu karena terlalu berisik. Rio membuka pintu kamarnya, dia bergerak ke
kamar Ify yang pintunya masih terbuka lebar.
"Oi, lo berisik amat...," Rio tak jadi meneruskan kalimatnya dan
melongo melihat Ify yang sudah terbaring tak sadarkan diri di lantai
bersama buku-buku. Rio segera menghampiri Ify, dia mengguncang-guncang
tubuh cewek itu.
"Woi! Woi! Lo kenapa?" sahut Rio panik. Dia lalu memeriksa tubuh Ify
dan kaget saat melihat dahi Ify sudah berdarah. Rio menepuk-nepuk pipi
Ify. "Woi! Sadar!"
Setelah menyadari bahawa Ify tidak akan bangun, Rio segera mencari
kain untuk menutup luka Ify. Dia menggendong Ify dan membawanya ke
bawah. Ozy yang sedang membetulkan motor menatap Rio bingung.
"Lho, ada apa, Yo?" sahutnya.
"Ketimpa rak buku," jawab Rio cepat. "Rumah sakit yang deket sini di mana ya?"
"Ya, gue tau! Udah, biar gue aja yang anter Ify! Bentar, gue ambil
kunci motor dulu!" sahut Ozy sambil buru-buru masuk dan keluar dengan
memegang kunci motor. "Lo nyusul aja pake motornya Ify! Sana cepat ambil
kuncinya!"
Rio mengangguk, meletakkan Ify di motor Ozy, dan segera naik ke atas
lagi untuk mengambil kunci motor Ify. Beberapa detik kemudian, dia
sudah menyusul dan mengikuti Ozy dari belakang sambil mengawasi
kalau-kalau Ify terjatuh. Ozy memegang Ify dengan satu tangan dan
berjalan pelan agar dia tidak terjatuh.
Sesampainya di rumah sakit, Ify segera masuk UGD dan menerima
perawatan, sementara Ozy dan Rio menunggu di luar. Rio menatap kausnya
yang terkena darah Ify.
"Anaknya emang agak ceroboh," kata Ozy membuat Rio menoleh. "Jadi, tolong sekalian dijagain, ya."
Rio hanya bisa diam, tak menjawab.
Tak berapa lama kemudian, pintu UGD terbuka dan Ify berjalan keluar dengan dahi diplester. Rio dan Ozy sama-sama bengong.
"Kata dokter, aku cuma pingsan karena terlalu syok ngeliat darah," katanya malu-malu. "Sori ya, udah ngrepotin."
Ify nyengir bersalah dan Ozy menghela napas lega. Rio sendiri langsung berdiri.
"Kalo gitu, ayo pulang," katanya pendek sambil berjalan mendahului mereka.
Ify menatap punggung Rio sebal, dia melirik kakinya yang juga diperban.
"Sakit, lho," gumamnya pelan. Ify tersenyum geli, lalu menepuk kepala Ify.
"Sini, gue bantuin," katanya sambil mengalungkan lengan Ify ke pinggangnya dan membantunya berjalan.
***
Rio menatap langit-langit kamarnya hampa. Kejadian tadi benar-benar
membuatnya pusing. Kenapa dia harus sepanik itu pada cewek yang baru
dikenalnya? Kenapa setiap Rio mau menjauh ada-ada saja yang terjadi?
Mendadak, terdengar suara-suara berisik dari kamar sebelah. Rio melirik dinding di sebelahnya sebal. Kali ini apa lagi?
Rio baru mau memejamkan matanya ketika suara-suara itu malah tambah
keras dan mulai mengganggu. Rio berdecak kesal, dia bangkit dan keluar
kamar. Lalu dia mendapati Ify sedang berjongkok di depan kamarnya dengan
memegang palu. Di depannya ada rak buku yang patah dan paku-paku yang
beserakan.
Rio mengernyit heran. Ify menoleh sebentar, kemudian kembali mencoba
untuk menyatukan bagian yang patah di raknya. Ify mengetukkan palu
kuat-kuat dan seketika pakunya bengkok.
"Nggak bisa besok aja, ya? Berisik, nih," kata Rio.
"Aku nggak bisa tidur kalo ada yang belum selesai kayak gini.
Lagian, kamarku udah jadi lautan buku, tau," ujar Ify sambil kembali
mencoba memalu pakunya, tetapi lagi-lagi tidak berhasil.
Rio menatap Ify yang sedang mencoba lagi. Rio kemudian mengambil
palu dari tangan Ify kemudian berjongkok di sebelahnya. Ify menatap Rio
takjub. Rio mencoba untuk tidak mempedulikannya. Dia mengambil paku,
lalu
memakunya dengan mudah.
"Hmm... ternyata baik juga, ya," gumam Ify membuat Rio hampir memaku jarinya sendiri.
"Ini supaya cepet selesai. Atau gue yang nggak bakal bisa tidur," kelit Rio. Ify mengangguk-angguk jahil.
"Yang tadi siang, makasih ya," ujar Ify kemudian.
"Bukan apa-apa," balas Rio sambil cepat-cepat mengambil paku, berharap rak itu cepat selesai. "Tapi, pingsannya
nggak penting. Cuma, lo pikir lo enteng?"
Ify terkekeh pelan. "Aku emang punya fobia sama darah. Setahun yang
lalu, aku liat gimana ayah dan ibuku berdarah-darah. Sejak itu aku takut
ngeliat darah," jelas Ify membuat Rio terdiam sejenak. Dia kemudian
melanjutkan memaku.
"Tapi tadi kamu khawatir, kan, sama aku?" lanjut Ify lagi membuat
palu Rio berhenti di udara. "Kata Ozy muka kamu pucat banget waktu
ngangkat aku. Seneng, deh."
Rio tak berkomentar apa pun menghadapi cengiran Ify. Dia
mengetuk-ngetuk paku cepat-cepat. Rio takut kalau sedikit lebih lama
bersama cewek ini, dia akan mulai berharap untuk mendapatkan setitik
kebahagiaan.
"Ayo ngaku, deh, Yo, waktu kamu liat aku pingsan tadi, kamu pasti
panik berat, kan? Kamu pasti nyesel udah ngejek-ngejek aku
sebelumnya...," ujar Ify lagi. "Makanya, jangan suka ketawa di atas
penderitaan orang lain..."
Mungkin sedikit waktu saja boleh. Rio melirik Ify yang sedang
mengamati perban di kakinya. Mungkin, Rio bisa menghabiskan waktu
bersama gadis ini, walaupun hanya sebentar saja.
"Kakiku udah kayak kena penyakit kaki gajah, lho, Yo. Gede banget, biru-biru lagi. Tapi, enaknya, besok nggak ke kampus, deh..."
Semua beban Rio seperti terangkat saat bersama gadis ini, seakan Rio
baik-baik saja. Kalau gadis ini begitu sulit dijauhi, kenapa Rio tidak
membiarkannya saja? Kenapa harus bersusah payah menjauhinya?
"Rio?" tanya Ify membuat Rio tersadar. Ify mengangguk-angguk dengan tampang jahil. "Nah ya... Kena karma, kan?"
Blush.
Rio jadi salah tingkah, buru-buru mengetuk paku yang dipegangnya,
tetapi justru ibu jarinya yang terpukul. Rio segera meringis kesakitan.
"Ya ampun Rio!" seru Ify panik. "Kamu nggak apa-apa, kan?"
Rio menggeleng cepat, tetapi ibu jarinya sudah mengeluarkan darah. Wajah Ify langsung pucat.
"A... aku cari tisu dulu!" sahut Ify yang segera masuk ke dalam
kamarnya dengan langkah berjinjit. Tak berapa lama kemudian, dia sudah
keluar sambil membawa tisu dan kemudian menyodorkannya pada Rio. rio
segera menggunakannya untuk menghentikan pendarahan. "Ng... aku ambilin
plester, ya!" ujar Ify lagi.
Ify segera masuk lagi ke kamarnya untuk mencari plester. Rio menekan
tisu itu sambil menahan perih di ibu jarinya. Darah dengan cepat
merembes di tisu itu, dan saat itulah Rio tersadar. Tubuh Rio tiba-tiba
membeku. Jari-jari tangannya dingin. Matanya terpancang pada tisu yang
sudah berwarna merah.
"Rio, ini plesternya. Sini, biar aku pasang..."
Rio menepis tangan Ify yang akan menempel plester. Ify menatap bingung rio yang membatu dan berkeringat dingin.
"Rio? Kenapa..."
Rio bangkit mendadak, bergerak ke kamarnya tanpa berkata sepatah
kata pun. Dia masuk ke kamarnya, meninggalkan Ify yang masih bingung.
Rio mengunci pintu kamarnya, Kemudian terduduk lemas di lantai.
Memang tidak bisa. Sebentar saja tidak bisa. Sedetik pun tak boleh.
Rio memang tidak ditakdirkan untuk mendapatkan kebahagiaan apa pun.
Rio menatap tisu di tangannya nanar, mengambil korek api dan
menyalakannya, lalu membakar tisu itu. Tisu yang sebelumnya putih
bersih, kini telah ternodai oleh darah kotor yang dimilikinya. Air mata
Rio tiba-tiba menetes, menyadari bahwa seharusnya dia tak pernah
berharap apa pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar