Selasa, 26 Juni 2012

The Truth About Forever - Chapter 16 : She Is Fine (Ending)

Tersenyumlah saat kau mengingatku,



karena saat itu aku sedang merindukanmu.



Jangan teteskan air matamu saat kau merindukanku,



karena saat itu aku sudah tak berada di sampingmu,



dan jemariku sudah tak bisa lagi menghapus air matamu.



Tapi, pejamkanlah kedua mata indahmu,



karena saat itu aku akan terasa ada di dekatmu.



Mungkin, raga kita tak lagi bisa bertemu.



Mungkin, lengan ini sudah tak bisa lagi merengkuhmu.



Mungkin, diri ini sudah hilang dan mati bersama sang waktu.



Tetapi, cinta ini akan terus hidup bersamamu.





(Mario)





Pantai Bandung.



Langit lembayung keemasan.



Matahari terbenam.



Remang-remang.



Angin pantai berembus pelan.



Dingin.



Seorang gadis berdagu tiruis masih duduk bersandar pada batang pohon kelapa. Di tangannya terdapat iPod dan

sebuah novel yang kini sedang didekapnya erat-erat. Mata indahnya tertuju pada lintingan awan kemerahan di langit lembayung. Angin berembus dengan kencang, membuat tubuh mungilnya menggigil.



Dia mungkin tampak seperti sedang menunggu seseorang, tapi pada kenyataannya dia tidak sedang menunggu siapa pun. Dan, kini yang ada di dalam benaknya hanyalah seorang pemuda tampan manis yang tak pernah ditemuinya dalam tiga bulan ini—dan tidak akan pernah ditemuinya lagi. Terakhir kali dia melihat pemuda itu adalah saat pemakamannya, itu pun hanya sosok dingin yang sedang terbujur kaku saja yang dijumpainya. Ya, pemuda itu telah meninggalkannya untuk selamanya. Seseorang yang mencintainya. Seseorang yang juga amat dicintainya.



Hari ini pantai lebih sepi daripada hari-hari biasanya. Memang, cuaca hari ini sedang tidak kompak dengan kehendak orang-orang yang menantikan saat bersenang-senang di tengah buih ombak. Tapi, apabila alam berkehendak lain memangnya apa yang bisa kita lakukan?



Laut mulai pasang, angin pantai yang berembus membuat bulu roma merinding, dan juga ditambah dengan langit yang sudah remang-remang. Orang-orang pasti lebih memilih tinggal di rumah atau dalam kamar hotel.



Walau begitu, gadis itu tetap setia duduk di bawah pohon kelapa. Di telinganya masih terpasang sebuah headphone besar, dan entah sudah berapa kali dia mendengar suara hati seorang Mario Stevano, pemuda yang dicintainya. Ya, sebuah rekaman di dalam iPod pemberian pemuda tampan itu yang baru saja disadari keberadaannya oleh Ify, gadis berdagu tirus.



Sejak menyadari keberadaan rekaman itu—sekitar satu jam yang lalu, Ify terus menerus memutar ulang rekaman suara Rio, sampai baterai iPod-nya habis.



Sekarang, Ify sedang memandangi langit yang sudah mulai gelap, tanda bahwa sang malam sebentar lagi akan menyelimuti kota Bandung. Pikiran Ify sendiri sudah melayang entah ke mana.



Walau sudah tiga bulan berlalu, bayang Rio tak pernah lelah hinggap di pikiran gadis itu. Hampir setiap malam, Ify memimpikan Rio di alam tidurnya. Tak satu pun hal dari diri seorang Rio yang sanggup dilupakannya. Mata indahnya, hidung peseknya, kulit hitam manisnya, senyum simpul yang sering kali menghiasi bibirnya, tubuh jangkung yang dulu selalu direngkuhnya saat pemuda itu kesepian, tangan hangat yang mengusap kepala Ify saat gadis itu menangis, bahkan sampai semua kata-kata pedas yang pernah meluncur dari mulut Rio pun tak luput dari ingatan gadis bertubuh mungil itu.



"Rio," ucap Ify di tengah lamunannya. "Kamu sekarang lagi ngapain di Sana?"



Tanpa disadarinya, air mata mulai menetes dari mata indahnya, jatuh membasahi pasir putih yang sedari tadi menjadi alas duduknya. Setetes air mata mulai jatuh lagi, tapi kali ini cepat-cepat dihapus oleh Ify.



Dia tidak ingin menangis karena Rio lagi, dia harus menjadi seorang gadis yang tegar. Lagi pula, dia juga tak ingin Rio melihat air mata kesedihannya lagi di surga. Karena dia tahu kalau sampai saat ini pun, Rio masih tetap melihat dan menjaganya dari Sana. Jadi, dia hanya ingin Rio melihat senyum bahagianya saja.



Ya, tak akan ada lagi air mata kesedihan. Semua akan Ify jalani dengan senyuman, karena semuanya pasti akan berjalan dengan semestinya. Pasti akan baik-baik saja. 'Aku janji, aku nggak akan cengeng lagi, Yo,' tekad Ify dalam hati.



Ify tersenyum sambil masih menatap langit luas yang membentang di atas kepalanya. Dia seolah melihat Rio di sana. Rio yang sedang memandang lembut ke arahnya, seakan berbicara padanya, "Tetaplah tersenyum, Ify."



Walau raga Rio sudah tak berada di sisi Ify lagi, dia akan tetap selalu hidup di dalam hati Ify. Tak akan ada yang bisa memadamkan kobaran api cinta mereka berdua. Bahkan maut sekali pun.



"Gue kira nggak bakal ada orang yang mau ke pantai di saat pasang kayak gini."



Sebuah suara menyadarkan lamunan Ify.



Ify mengalihkan pandangannya ke asal suara, melihat orang yang kini sedang berdiri beberapa meter di sampingnya.

Orang itu hanya memakai kaus, yang dirangkap kemeja. Kancing kemejanya ia biarkan terbuka semua, mengakibatkan kemeja itu melambai-lambai tertiup angin. Celana panjangnya yang terlipat sedikit di bagian bawah dipenuhi pasir. "Alvin?"



"Hai, Fy," balas pemuda itu sambil menyunggingkan senyum ramah. Bertelanjang kaki, Alvin segera beranjak mendekati Ify, sepatunya ditenteng di tangan kirinya.



"Kok, kamu bisa ada di sini?" tanya Ify heran. "Aku denger dari Shilla, kamu udah nggak tinggal di Bandung lagi. Bukannya kamu udah menetap di Manado?"



"Gue..." Terbesit nada bingung dalam suara pemuda berambut nyentrik itu. "Gue nyariin lo."



Ify mengernyit bingung. "Nyari... aku?" Jelas saja kalau Ify bingung, karena dia baru pernah sekali bercakap-cakap secara langsung dengan Alvin—itu pun hanya beberapa menit, sesaat setelah pemakaman Rio selesai. "Ada perlu apa?"



Alvin terdiam sesaat, bingung dengan apa yang akan dikatakannya setelah ini. Sampai akhirnya….



"Gue mau minta maaf," ujarnya sambil berlutut di hadapan Ify. Kepalanya ditundukkan dalam-dalam.



"Eh? Kamu ngapain berlutut kayak gitu, Vin?" kata Ify kaget dengan apa yang baru saja dilakukan Alvin. Ify segera bangun dari duduknya dan beranjak menuju pemuda itu, berusaha menyuruhnya untuk tak lagi berlutut.



"Gue bener-bener minta maaf, Fy." Kepala pemuda bermata sipit itu masih menunduk, berusaha menyamarkan matanya yang sudah berkaca-kaca.



"Minta maaf?" Ify jadi makin bingung dengan kata-kata Alvin. "Minta maaf buat apa?"



"Maaf karena… gue udah ngebuat Rio pergi dari sisi lo." Suara Alvin terdengar bergetar, seperti sedang menahan tangis.



"Maksud kamu apa, sih?" tanya Ify, masih belum mengerti dengan arah pembicaraan pemuda yang sedang berlutut meminta maaf padanya itu.



"Gue yang menyebabkan Rio meninggal di hari itu, tiga bulan yang lalu," ucap Alvin setelah berhasil memantapkan diri untuk mengatakannya.



Ify kembali mengernyit bingung. Bukankah Rio meninggal karena kecelakaan saat mau menyelamatkan anak kecil yang terjatuh di tengah jalan? Setidaknya, itulah yang didengar Ify saat Manda—ibunda Rio—memberitahukan kabar

kematian Rio padanya.



"Gue yang udah ngebuat Rio ketabrak mobil di hari itu," kata Alvin lagi. Tubuhnya yang tadi berlutut di hadapan Ify, kini sudah melorot jatuh terduduk di pasir pantai. Wajahnya masih tertunduk, sedangkan kedua tangannya sibuk menjambak-jambak rambutnya frustasi. "Gue... gue yang udah ngebunuh dia, Fy."



"Tunggu sebentar, Vin! Maksud kamu apa, sih?" tanya Ify lagi, mulai kesal dengan perkataan Alvin yang sama sekali tak dapat dimengertinya. "Kenapa kamu bisa bilang kayak gitu? Bukannya Rio meninggal karena kecelakaan waktu mau nyelametin anak kecil yang jatuh di jalan?"



Alvin menatap pasir pantai di bawahnya dengan pandangan nanar. "Waktu itu... gue sama Rio baru aja selese ngeliat pemutaran film Rio. Sampai saat itu, keadaan masih baik-baik aja, Fy. Tapi setelah itu, tiba-tiba kami berdua denger suara teriakan seorang ibu yang anaknya terjatuh di tengah jalan raya, dan di saat itu juga, sebuah mobil melaju sangat cepat menuju anak kecil yang jatuh di jalan itu." Alvin terdiam sesaat untuk menarik napas. "Dan, gue secara refleks langsung lari ke tengah jalan, berusaha nolong anak itu. Tapi, terlambat. Jarak antara mobil itu dengan gue tinggal satu meter lagi.



"Waktu itu gue udah bener-bener pasrah dengan apa yang bakal terjadi sama gue selanjutnya, gue bahkan sempat berpikir kalo gue bakal mati ketabrak mobil sinting itu. Sampai akhirnya... gue denger suara teriakan Rio." Alvin sudah benar-benar tak kuasa membendung air matanya. "Dia... ngedorong gue sampai gue dan anak kecil yang ada di pelukan gue terjatuh, dan keluar dari jalur jalan mobil itu."



Ify terkesiap kaget mendengar cerita sebenarnya yang mengalir melalui mulut Alvin. "Terus... Rio...?"



"Ya, gue sama anak umur lima tahun itu emang selamat. Tapi, Rio... gara-gara dia ngedorong gue waktu itu... dia ketabrak mobil itu sampai terpental," kata Alvin sambil terisak. "Dia emang masih sempat bernapas sesaat setelah ketabrak mobil itu... tapi, beberapa menit kemudian... dia meninggal di lokasi kejadian.



"Gue bener-bener masih inget betul gimana sosok Rio saat itu. Sekujur tubuhnya yang bersimbah darah tergolek tak berdaya, luka di kepalanya seolah nggak bisa berhenti mengeluarkan darah segar, wajahnya yang berjuang menahan rasa sakit sesaat sebelum dia menghembuskan napas terakhirnya, gimana dia berusaha mengucapkan maaf sambil terus-terusan menyebut nama lo dengan sisa-sisa kekuatan yang dia punya, dan gimana dia meninggal tepat di depan kedua mata gue," ujar Alvin lagi.



Ify berusaha untuk tidak menangis setelah mendengar cerita Ichigo. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri, dan juga pada Rio, bahwa dia tidak akan cengeng lagi. Dia akan menjadi sosok gadis yang tegar. "Alvin..." Ify berusaha menyejajari pemuda yang tengah jatuh terduduk di pasir itu. Tangan kecilnya mengelus-elus punggung Alvin untuk menenangkannya.



"Ify..." Alvin mengangkat wajahnya, memerlihatkan air mata yang tadi dengan susah payah berusaha dibendungnya.

"Gue yang udah ngebunuh Rio. Gue nggak pantes buat jadi seorang sahabat bagi Rio."



Ify terdiam sebentar, tangannya berusaha menahan tangan Alvin yang akan menjambak rambut lagi. "Vin, kamu tau kenapa waktu itu Rio ngedorong kamu tanpa memedulikan keselamatan dirinya sendiri?"



Alvin menatap mata Ify tanpa bisa menjawab apa-apa.



"Karena dia nggak mau kehilangan seorang sahabat untuk yang kedua kalinya," kata Ify lagi. "Dia udah pernah ngerasain gimana rasanya kehilangan seorang sahabat, Vin. Dan, dia nggak mau ngerasain hal menyakitkan itu lagi."



Alvin terperangah mendengar ucapan Ify. "Gabriel?"



Ify mengangguk pelan. "Dia nggak mau kehilangan kamu, seperti dia kehilangan Gabriel dulu. Dia nggak mau menyesal di kemudian hari."



Alvin kembali tertunduk dalam diam.



"Jadi, jangan pernah sesali apa yang udah Rio perbuat tiga bulan yang lalu, Vin," ujar Ify sambil tersenyum manis.

"Dia menyelamatkan kamu bukan untuk membuat kamu menyesal atas kematiannya. Aku yakin, Rio bakal sedih banget di alam Sana kalo ngeliat kamu terpuruk kayak gini."



Ify membantu Alvin untuk berdiri dari duduknya. "Lagi pula, itu bukan kesalahan kamu, kok. Kamu, kan, cuma berniat baik buat nolong anak kecil itu. Bukannya sengaja mau menabrakkan diri ke mobil itu."



Ucapan Ify tadi membuat Alvin tersenyum lega. Ternyata pemikirannya selama ini salah. Dia kira, Ify akan membencinya setengah mati setelah tahu kalau dialah yang menyebabkan Rio meninggal saat itu.



"Ah, ngomong-ngomong, kenapa Tante Manda bilang ke aku kalau Rio meninggal karena nolongin anak kecil yang jatuh di jalan, ya?" tanya Ify heran.



Alvin tersenyum geli mendengar pertanyaan Ify yang tak jelas ditujukan kepada siapa. "Sebenernya, semua orang udah sepakat buat merahasiakan sebab kematian Rio yang sebenernya dari lo."



"Hah? Kok gitu, sih?" protes Ify sambil mengerucutkan bibirnya kesal. "Curang! Masa cuma aku yang nggak boleh tau?"



Alvin lagi-lagi tersenyum geli melihat tingkah Ify yang kekanak-kanakan. "Mereka semua ngelakuin itu karena gue. Mereka nggak pengen lo ngebenci gue setelah tau sebab kematian Rio yang sebenernya," jelas Alvin. "Lagian, Tante Manda nggak bohong-bohong amat, kan? Rio emang meninggal karena ngedorong gue yang mau nyelametin anak kecil."



Ify berdecak sebal membuat Alvin tergelak. "Itu beda tau!" ketusnya. "Ah, terus... kenapa kamu malah ngasih tau hal itu ke aku?"



Alvin terdiam seketika dari tawanya, lalu tersenyum miris. "Karena gue nggak bisa terus-terusan nutupin kesalahan gue. Setiap malem gue mimpi buruk tentang peristiwa kecelakaan itu," katanya kemudian. "Gue nggak peduli walaupun bakal lo benci seumur hidup setelah gue ngasih tau yang sebenernya sama lo, Fy."



"Tapi, buktinya aku nggak marah, kan?" sanggah Ify.



Alvin kembali tersenyum. "Itu dia yang bikin gue bingung."



Ify mengernyitkan dahinya, lalu menghela napas lelah. "Mau sampai kapan aku mesti terus-terusan bilang kalo itu bukan salah kamu?" katanya. "Aku nggak marah karena emang aku nggak berhak marah sama kamu yang nggak salah apa-apa. Jadi, berhentilah menyalahkan diri kamu sendiri, Vin."



Alvin lagi-lagi terperangah setelah mendengar ucapan-ucapan Ify, lalu tiba-tiba tergelak hebat.



"H-hei, Vin! Kamu udah gila, ya?" tanya Ify ngawur. "Tadi nangis, sekarang ketawa... Dasar aneh!"



Alvin masih saja tertawa, tak memedulikan ejekan pujaan hati almarhum sahabatnya itu. Tapi, tiba-tiba tawanya berhenti, lalu dia memandang Ify dengan lembut. "Gue jadi tau, kenapa Rio begitu mencintai lo."



Semburat merah tiba-tiba menghiasi wajah cantik Ify, membuatnya semakin terlihat manis di bawah sinar rembulan yang bersinar temaram. Ya, sang dewi malam memang sudah menampakkan dirinya, menandakan kalau hari sudah mulai malam. "M-maksud kamu?" tanya Ify terbata-bata.



Alvin tersenyum geli melihat Ify yang salah tingkah. "Udahlah. Lupain aja!" godanya sekali lagi sambil kabur sebelum terkena amukan gadis itu.



"A-Alvin!" teriak Ify kesal, sambil mengejar Alvin yang berusaha kabur.



"Ah, udah malem," ujar Alvin sambil berbalik menghadap Ify yang masih berada jauh di belakangnya—nampaknya gadis itu tidak bisa menyaingi kecepatan lari Ichigo. "Gue mau balik ke hotel. Lo gue enterin pulang, ya?"



Ify yang masih kelelahan akibat berlari tadi hanya bisa menjawab dengan anggukan kepala. "Kamu tinggal di hotel?" tanyanya beberapa saat kemudian.



"Iya," jawab Alvin. "Gue cuma sebentar di Bandung."



"Jadi, kamu ke sini cuma buat minta maaf sama aku?" tanya Ify heran.



"Awalnya, sih, gitu. Tapi, ternyata ada kerjaan juga yang harus gue beresin di sini," jelas Alvin.



Ify hanya ber'oh' ria setelah mendengar penjelasan pemuda yang berjalan di sampingnya itu. Mereka berdua sekarang sedang berjalan menuju tempat di mana Alvin memarkir mobilnya. "Kamu pulang ke Manado kapan?"



"Tiga hari lagi," jawab Alvin pendek. "Kenapa?"



"Eh? Nggak... nggak apa-apa," elak Ify sambil mengibas-ngibaskan tangan kanannya.



Alvin mengernyit heran. Lalu tiba-tiba, ide bagus terlintas di otaknya. "Lo mau ikut gue balik ke Manado?" tawar Alvin to the point.



"Apa?" Ify terkejut setengah mati mendengar tawaran Alvin. "M-maksud kamu apaan?"



"Eh? B-bukan... bukan gitu maksudnya." Kini, giliran Alvin yang salah tingkah, wajahnya sedikit memerah. "Maksud gue... kita sama-sama ke Manado. Lo pasti pengen ngunjungin makamnya Rio, kan? Dan, ntar selama di sana, lo bisa nginep di rumahnya Rio. Gue yakin, Om Zeth sama Tante Manda nggak bakal keberatan."



Mendengar hal itu, wajah Ify langsung berseri-seri, layaknya seorang anak kecil yang baru dibelikan mainan baru. Lalu dia mengangguk dengan mantap. "Iya, aku mau."



Alvin menghela napas lega karena kesalahpahaman tadi tidak kembali berlanjut. "Oke, kalo gitu. Lo gue jemput di rumah tante lo tiga hari lagi."



Ify kembali mengangguk riang. "Jam berapa?"



"Mungkin sekitar jam delapan pagi."



Mereka berdua pun segera melanjutkan langkah mereka menuju mobil Alvin yang terparkir tak jauh dari posisi mereka sekarang.



'Tunggu aku, ya,Yo,' ujar Ify tak sabar dalam hati. Dia benar-benar senang dengan tawaran Ichigo tadi. Sebenarnya, sudah lama Ify ingin mengunjungi makam pemuda yang dicintainya itu, tapi karena terbentur dengan masalah di-mana-dia-harus-tidur-selama-di-sana, dia tidak pernah jadi pergi ke Manado. Dan sekarang, ada sahabat Rio yang berbaik hati memberikan tumpangan dan mencarikan tempat tinggal sementara untuknya, mana mungkin dia menolak kesempatan emas itu.



Senyum kebahagiaan masih saja menghiasi wajah cantik Ify ketika Alvin menurunkannya tepat di depan rumah Winda—tante Ify.



"Sampai ketemu tiga hari lagi, ya, Fy," kata Alvin sebelum mereka benar-benar berpisah.



Ify mengangguk pasti. "Sampai ketemu. Makasih tumpangannya," katanya.



Setelah mengucapkan salam perpisahan, Alvin segera menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, kembali meluncur di jalan raya.



'Sepertinya dia baik-baik aja, Yo. Dia juga sepertinya udah nggak membutuhkan penjagaan dari gue. Dia udah tumbuh menjadi seorang cewek yang tegar,' ujarnya dalam hati sambil melirik kaca spion mobilnya yang menampilkan sosok Ify yang semakin mengecil seiring dengan laju mobilnya. 'Lo nyuruh gue buat ngegantiin lo? Yang bener aja!'



Alvin mendengus kesal. 'Dia mungkin nggak akan pernah bisa ngelupain lo, Rio, selamanya. Bahkan cuma dengan menyebut nama lo aja dia langsung girang kayak gitu,' katanya dalam hati. 'Lo bakal selalu tetap di hatinya.'



Alvin menatap jalan yang terbentang di hadapannya lurus-lurus. Pegangan tangannya pada kemudi mobilnya tiba-tiba menguat.



'Tapi, gue akan tetep ngejaga Ify, Yo,' tekad Alvin dalam hati. 'Demi janji gue sama lo.'





Tak ada lagi yang tersisa untukku,



selain kenangan-kenangan indah bersamamu.



Mata indah yang darinya aku bisa melihat keindahan cinta,



mata indah yang dulu adalah milikku,



mata indah yang kini sudah tak lagi bisa kupandang.



Kini, semua terasa jauh meninggalkanku.



Hidup ini terasa kosong tanpa alunan suaramu.



Hati, cinta, dan hidupku adalah milikmu.



Cintamu tak 'kan pernah membebaskanku.



Bagaimana mungkin aku bisa terbang untuk mencari cinta yang lain,



di saat sayap-sayapku telah patah dan hancur seiring kepergianmu.



(Alyssa Saufika)



Ify berjalan menelusuri jalan setapak, menuju pepohonan. Tempat ini cukup sepi, tak ada siapa pun. Yang terdengar hanya suara tapak kaki Ify dan suara pinggiran rok panjangnya yang mendesir membelai rerumputan.



Di tangan Ify terdapat seikat bunga lily putih. Ia berjalan menuju batu nisan yang bersembunyi di balik pohon kamboja. Ify mendengar nyanyian burung. Ia menengadah, terdapat sarang burung di salah satu dahan pohon kamboja itu. Induk burung sedang memberi makan anak-anaknya.



Sambil berlutut di depan nisan, Ify meletakkan seikat bunga yang dibawanya, lalu mulai berdoa. Sesaat setelah itu ia terdiam, memandang nama yang terukir di nisan itu: Mario Stevano. Di depan batu nisan itu juga terdapat sebuah foto yang memperlihatkan wajah tampan pemuda pemilik nama Rio itu, ditangan kanan pemuda itu tergenggam sebuah piala kemenangan yang terbuat dari kaca. Ify tersenyum ketika melihat wajah Rio yang begitu gembira di dalam foto itu.



Hari ini adalah hari yang selalu ditunggu-tunggu Ify, di mana dia akhirnya bisa mengunjungi makam Rio. Tapi, kali ini dia pergi sendiri. Alvin yang tak bisa mengantarnya karena ada pekerjaan penting, terpaksa meminta bantuan Shilla untuk menggantikannya mengantar Rukia.



Dan, Shilla memang mengantarnya menuju ke tempat pemakaman di mana Rio dimakamkan, tetapi tiba-tiba gadis itu juga ada urusan penting yang berhubungan dengan pekerjaannya, sehingga terpaksa ia tinggalkan Ify sendiri di makam Rio. Jika Ify sudah selesai, gadis itu disuruh menghubunginya, dan Shilla akan segera menjemputnya.



"Aku kangen sama kamu, Yo," ujar Ify lirih. "Setiap malem aku mimpiin kamu. Aku nggak pernah bisa ngelupain kamu, Yo."



Ify berbicara pada nisan itu. Pikirnya, mungkin dengan begitu Rio bisa mendengarnya. "Orang tua kamu juga pasti begitu. Mereka sayang banget sama kamu, Yo," katanya lagi. "Mereka juga baik banget sama aku. Selama aku tinggal di Manado, mereka ngebolehin aku buat nginep di rumah keluarga kamu."



Ify mengelus lembut nisan Rio. "Kamu juga punya temen-temen yang baik di sini. Mereka semua peduli sama kamu. Kamu bener-bener beruntung, ya, Yo."



Senyuman manis masih terkembang di wajah cantik Ify. "Kamu sendiri kangen, nggak, sama kami semua?"



"Dia nggak bakal ngejawab pertanyaan lo."



Ada seseorang berdiri di belakang Ify. Tangan kirinya menggenggam sebuket bunga lily putih, sementara tangan kanannya menenteng jas hitam yang disampirkannya di pundak sebelah kanan. Dasi yang digunakannya agak sedikit longgar berkibar tertiup angin.



"Alvin?" tanya Ify heran. "Ngapain kamu di sini? Kerjaan kamu udah selesai?"



Alvin hanya mengangguk kecil, lalu berjalan menghampiri Ify dan ikut berlutut di sebelahnya. Pemuda itu meletakkan bunga yang dibawanya di samping bunga yang baru saja diletakkan Ify tadi, lalu tiba-tiba dia mengernyit bingung.

"Lo tau dari mana kalo Rio suka bunga lily putih?"



"Eh? Ng... feeling aja." Ify sendiri juga bingung, kenapa dia lebih memilih membawa bunga lily putih dibandingkan bunga-bunga yang lain.



Alvin lalu kembali mengalihkan pandangannya ke batu nisan Rio. Dia menatap nanar nisan di hadapannya. Rio, sahabat terbaik yang pernah dimilikinya, tak lagi berdiri di atas tanah, melainkan kini ia berbaring di dalamnya.

Alvin bisa merasakannya.



Ia masih dapat mendengar napas Riro yang terputus-putus sesaat sebelum dia meninggalkan dunia ini.

Suara napas Rio yang terputus-putus itu tak akan pernah menghilang dari benaknya. Bayang-bayang saat itu selalu terlintas di matanya. Jeritan orang yang panik saat itu selalu terngiang di telinganya. Ia berharap saat itu tak pernah terjadi. Semoga saja waktu bisa berjalan mundur dan ia dapat mengulang semuanya.



Dengan tangan yang mengelus lembut nisan Rio, ingatan Alvin melayang ke kejadian tiga bulan yang lalu.





oOo Flashback oOo



"Lo segitu cintanya sama cewek itu, ya, Yo?" tanya Alvin sambil masih berkonsentrasi menyetir, sesekali mata cokelatnya melirik pemuda berambut putih yang sedang duduk di kursi sebelahnya sambil memandang ke luar

jendela.



Saat ini, mereka berdua sedang berada di dalam mobil Alvin. Mobil berwarna hitam itu kini sedang meluncur cepat di jalanan menuju tempat pemutaran film Rio yang berhasil memenangkan lomba film indie beberapa bulan lalu.

Ketika mendengar namanya dipanggil, pemuda bernama Rio itu pun segera menoleh menatap sahabatnya yang sedang sibuk menyetir mobil yang sedang mereka tumpangi itu. Alisnya dinaikkannya sebelah, pertanda bahwa pemuda itu tak mengerti dengan apa yang baru saja ditanyakan Alvin. "Maksud lo?"



"Nggak usah pura-pura nggak ngerti, deh, Yo. Lo lagi mikirin cewek itu, kan?" kata Alvin. "Buktinya lo ngelamun terus daritadi."



Rio terdiam sebentar, mulai mengerti siapa cewek yang dimaksud Alvin. "Hn."



"Hah? Jawaban macam apa itu? Lo belum jawab pertanyaan gue yang tadi, tau!" sahut Alvin, mulai kesal dengan sikap Rio yang terkadang suka berhemat dengan kata-kata.



"Pertanyaan lo yang mana?" Rio malah balas bertanya dengan entengnya.



"Ya, yang tadi," balas Alvin frustasi. "Lo bener-bener cinta sama cewek itu?"



"Tanpa gue jawab pun, gue rasa lo udah bisa nebak jawabannya," kata Rio sambil kembali mengalihkan pandangannya ke luar jendela.



"Oh, iya, deh, iya... Dasar ABG yang lagi kasmaran!" cibir Alvin membuat Rio tergelak.



"Lo pikir dua puluh satu tahun masih bisa disebut ABG?" ujar Rio.



"Ya, kenapa nggak?" sanggah Alvin. "Tua sama muda itu, kan, relatif."



Rio hanya diam saja mendengar sanggahan temannya itu.



Beberapa detik setelah itu, keheningan menyelimuti mereka berdua. Masing-masing dari mareka disibukkan dengan pikiran masing-masing. Hingga akhirnya Alvin memecahkan tabir keheningan di antara mereka.



"Lo kangen sama Ify, ya, Yo?"



"Emangnya kalo gue bilang 'nggak', lo bakal percaya?" kata Rio.



Alvin menghela napas lelah, mulai kuwalahan menghadapi sikap Rio yang kembali berbelit-belit. 'Ngomong 'ya' aja, kok, susah amat, sih!' gerutunya dalam hati.



"Gue cuma nggak nyangka, Vin. Gue udah berhasil ngeraih cita-cita gue, ditambah lagi pertemuan gue dengan Ify yang udah selangkah lebih dekat," ujar Rio sambil tersenyum simpul setelah melihat Alvin yang nampaknya mulai frustasi dengan jawaban-jawabannya yang menyebalkan. Mata pemuda itu kini menerawang menatap awan yang berarak cepat seiring dengan laju mobil yang Rio dan Alvin tumpangi. "Gue harap dia juga bisa ngeraih cita-citanya di Bandung sana."



"Dia pasti bisa. Lo percaya sama dia, kan?" kata Alvin membuat Rio kembali tersenyum tipis. "Tapi, gue bener-bener nggak bisa ngerti jalan pikiran lo—dari dulu sampai sekarang. Kalo lo emang kangen sama Ify, ya tinggal ketemu aja lagi. Ngapain musti nunggu sampai kalian berhasil ngeraih cita-cita kalian? Bukannya itu malah ngebuat perasaan kalian tersiksa? Lagian lo nggak kasihan, apa, sama Ify? Sejak kepergian lo dari Bandung satu setengah tahun yang lalu, lo nggak pernah ngasih kabar ke dia."



Lagi-lagi Rio hanya tersenyum saat mendengar celotehan panjang Alvin. "Lo emang nggak pernah dan nggak akan pernah bisa ngerti jalan pikiran gue, Vin," timpal Rio membuat Alvin kembali berdecak sebal.





oOoOoOo





"Akhirnya acara ini selesai juga," ujar Alvin sambil menghela napas lega. "Tapi, gue terharu ngeliat film lo tadi, Yo. Seolah-olah lo lagi nyeritain kisah hidup lo selama ini. Dimulai dari waktu lo tau kalo lo sakit, sampai saat lo bisa nerusin hidup lo setelah ketemu sama cewek itu. Ngomong-ngomong, kenapa lo mutusin buat ngebikin film dengan latar belakang kehidupan nyata lo?"



"Gue cuma nggak mau orang-orang yang bernasib sama kayak gue menyerah dalam menghadapi nasib," ujar Rio, semua kata-kata pemberi semangat yang pernah dilontarkan Ify padanya kembali terngiang-ngiang jelas di telinganya. Rio lalu kembali tersenyum tipis. "Semua makhluk yang diciptain hidup pasti pada akhirnya bakal mati, tapi

bukan berarti mesti diem aja nunggu kematian menjemput, kan? Walaupun mungkin beberapa di antara makhluk hidup itu ada yang udah divonis nggak bakal berumur panjang, kayak gue."



Alvin tertegun mendengar perkataan sahabatnya itu tadi. Pemuda yang sedang berdiri di depannya itu benar-benar berbeda dengan Mario Stevano yang pernah ditemuinya dulu di Bandung. Dulu, sosok Mario Stevano begitu rapuh, sudah terlalu putus asa dalam menghadapi hidupnya. Tapi sekarang? Dia berubah seratus delapan puluh derajat, menjadi seorang Mario Stevano yang semangat dan punya cita-cita. Ya, semua ini berkat gadis itu. Alyssa Saufika.



"Iya, deh, Pak Sutradara," canda Alvin membuat mereka berdua tergelak bersama. "Ah, iya. Kalo lo sama Ify ketemu ntar, tolong ingetin gue buat berterima kasih sama dia, karena udah mengembalikan Mario Stevano menjadi seperti yang dulu pernah gue kenal semasa SMA."



Rio menatap lama Alvin, berusaha mencerna kalimat yang baru saja didengarnya, sampai akhirnya Rio mengangguk pelan sambil tersenyum samar.



“Deva, awaaasss!" Teriakan seorang ibu muda di seberang jalan mengagetkan mereka berdua. Teriakan histeris itu jelas-jelas ditujukan pada sang anak yang sedang terjatuh saat berusaha menyeberang jalan.



Saat itu memang jalanan sedang sepi, tapi ada sebuah mobil Jeep yang sedang melaju kencang menuju ke arah anak kecil itu. Jarak antara Jeep dengan anak berumur sekitar lima tahun itu hanya tinggal beberapa meter lagi.

Alvin secara refleks langsung berlari secepat mungkin menghampiri bocah bernama Deva yang sedang jatuh terduduk di tengah jalan sambil menangis keras itu dan berusaha membantunya berdiri. Hingga akhirnya jarak antara mobil dengan mereka tinggal satu meter lagi.



Alvin kaget, melihat mobil Jeep yang melaju dengan kecepatan tinggi dalam radius satu meter siap menubruknya, jantungnya serasa berhenti berdetak.



Alvin seperti tersihir, badannya kaku tidak bisa digerakkan. Niat baiknya untuk menyelamatkan seorang anak berumur lima tahun dari kematian malah justru mengantarkan dirinya sendiri pada gerbang kematian. Alvin sendiri sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi padanya selanjutnya, dia menutup matanya dan mendekap Deva erat-erat di dada bidangnya.



"Astaga!" pekik ibunda bocah kecil itu. "Deva!"



"Alvin!" Terdengar seruan suara Rio.



Dan, tiba-tiba seseorang namun kuat mendorong Alvin dengan keras sehingga membuatnya dan Deva yang ada di dekapannya terdorong menjauhi jalur jalan sang Jeep yang masih melaju dengan kecepatan tinggi.



'Kciiiitt... brakk...!' Terdengar bunyi rem diinjak keras-keras yang kemudian disusul dengan suara tubrukan dua benda keras.



Alvin masih terlalu takut untuk membuka kedua matanya, dipeluknya Deva erat-erat.



"Deva!" jerit sang ibu sambil berlari tergopoh-gopoh menuju ke tempat Alvin terjatuh, lalu memeriksa keadaan sang buah hati. "Kamu nggak apa-apa, Nak?"



Alvin memberanikan diri untuk membuka kedua matanya, dan didapatinya sang ibu yang sedang memeluk erat anaknya dengan penuh keharuan.



Bocah kecil itu pun segera melepaskan pelukan sang ibu lalu menerjang Alvin dan memeluk penyelamatnya itu dengan senang. "Terima kasih banyak, ya, Nak."



Alvin kontan mengelus rambut Deva. "Sama-sama."



"Terima kasih banyak, Nak. Kamu telah menyelamatkan nyawa anak saya," ujar sang ibu sambil menghapus air mata harunya. "Tapi, maaf... Sepertinya teman kamu terluka sangat parah."



"Maksud... Ibu?" Alvin benar-benar tidak mengerti dengan apa yang baru saja dikatakan ibu itu. Tunggu dulu, bukankah sesaat sebelum dia terjatuh, ada sepasang tangan yang mendorongnya kuat-kuat sehingga dia tidak jadi tertabrak mobil tadi? Dan... 'Oh, iya... Rio! Di mana dia?' tanyanya dalam hati.



Alvin celingak-celinguk, sibuk mencari Rio di tempat dia dan sahabatnya tadi berdiri sebelum insiden kecelakaan tadi terjadi.



Tapi tak ada satu pun tanda-tanda keberadaan Rio, justru yang didapatinya hanyalah kerumunan orang di tengah jalan, beberapa meter dari tempatnya terjatuh tadi. Dia langsung berlari dan berbaur dengan mereka.



Jantung Alvin berdebar tak keruan, jelas ini pertanda buruk. Apalagi, samar-samar dia bisa mencium bau anyir darah di tengah kerumunan orang itu.



"Panggil ambulans, ada yang terluka!"



"Polisi, kita butuh polisi di sini!"



"Ini tabrak lari! Penabraknya menggunakan Jeep hijau!"



Alvim tanpa sengaja mendengar percakapan orang di sebelahnya, "Pemuda itu kasihan, ya... padahal masih muda... sepertinya lukanya sangat parah. Pelakunya malah lari..."



"Ya. Jeep tadi, kan, menabraknya sampai mental. Kasihan, mungkin dia takkan selamat." Mendengar kata-kata itu, Alvin serasa telah dihadapkan pada dosa besar. Ia berlari berusaha menerobos kerumunan, mencoba mencari tahu dengan mata kepalanya sendiri.



Di tengah jalan, seorang pemuda terkapar. Pakaiannya bersimbah darah. Darah segar terlihat keluar dari lubang hidung dan sela-sela bibirnya yang setengah terbuka. Matanya tertutup rapat. Ia tak sadarkan diri. Tapi, jika dilihat dari dadanya yang naik turun—menunjukkan bahwa dia masih bernapas, sepertinya masih ada tanda-tanda kehidupan di tubuh pemuda malang itu.



"Rio...!" jerit Alvin mendekap tubuh penuh darah Rio. Sayup-sayup, dia mendengar salah seorang pria berumur setengah baya di tengah kerumunan itu menyuruh seseorang agar cepat-cepat memanggil ambulans dan polisi.

Namun, rasanya saat itu hanya ada Alvin dan sahabatnya yang tengah terkulai lemah itu. Dia tak percaya ini terjadi, padahal beberapa menit yang lalu dia dan Rio masih tertawa bersama.



'Ini pasti mimpi,' kata Alvin dalam hati, berusaha meyakinkan dirinya. Tubuh Alvin bergetar hebat, terlalu takut untuk meyakini apa yang baru saja terjadi. 'Tapi, kenapa terasa begitu nyata?' Setetes air mata terjun bebas menuruni pipinya, hingga menetes di pipi Rio yang ada di dekapannya.



"Lo... nangis, ya... Vin?" ejek Rio pelan.Pemuda itu ternyata sudah membuka matanya, walaupun hanya setengah.

"Cowok macem apa... lo?"



"R-Rio?" seru Ichigo kaget bercampur senang. "Lo udah bangun? Bertahanlah! Ambulans bakal dateng sebentar lagi."



Toushiro terdiam sebentar, seperti sedang menarik napas. Lalu kembali berbicara dengan sisa-sisa tenaganya yang semakin menipis, "Nggak perlu... Vin... Waktu gue udah semakin dekat."



Kalimat tadi diakhiri dengan Rio yang terbatuk hebat, disusul dengan darah yang keluar dari mulutnya dalam jumlah yang tak bisa dibilang sedikit.



"Gue mohon, Yo! Bertahanlah!" pinta Alvin lagi. "Udah, lo nggak usah banyak ngomong. Tunggu ambulans-nya dateng sebentar lagi!"



Rio menggeleng lemah. "Dari dulu... gue emang... udah siap buat mati... kapan pun juga... Vin." Napasnya terasa semakin berat. Pandangannya mengabur perlahan. Tempat sekitarnya yang terang benderang semakin lama semakin terlihat suram dan redup. Wajah Alvin terlihat semakin menjauh. Suara yang terdengar paling jelas adalah bunyi napasnya sendiri yang terputus-putus. Rio tahu, inilah saatnya. Ia harus menyampaikan semuanya sebelum waktunya habis.



Alvin menatap marah pada sahabatnya yang sedang berada di ambang maut itu. "Ke mana semangat hidup yang lo dapet dari Ify dulu, Yo?" sahut Alvin. "Bukannya lo masih kepengen ketemu sama Ify?"



"Ify, ya...?" Rio tersenyum tipis. "Justru itu... tolong gantiin gue... buat ngejaga dia... Vin."

Alvin menatap Rio tak percaya. Sepertinya, sahabatnya itu benar-benar sudah pasrah jika harus meninggalkan dunia saat itu juga.



"Gue tau kalo suatu saat nanti... gue pasti harus ninggalin dia sendirian di dunia ini. Dan... di saat gue udah nggak bisa lagi ada di sisi dia... gue mohon... gantiin gue... untuk ngejaga dia dengan baik," pinta Rio dengan

terputus-putus akibat terlalu memaksakan diri untuk bicara dalam kondisi seperti itu. Rio kembali batuk disertai cairan merah pekat yang lagi-lagi mendesak keluar dari mulut kecilnya. "Jangan biarin dia sendirian... dan juga... jangan biarin dia nangis lagi. Dan... sampaikan... permintaan maaf gue sama Ify... karena gue... nggak bisa... ketemu sama dia... lagi... Maaf... karena... gue udah... ingkar janji."



"Rio! Jangan ngomong ngelantur gitu! Lo pasti selamat, Yo!" sahut Alvin, lalu segera mengalihkan pandangannya pada orang-orang yang sedaritadi masih mengerumuni mereka berdua—seolah sedang menonton teaterikal drama, bahkan ada beberapa yang sampai meneteskan air mata. "Hei! Kenapa kalian diam saja! Cepat panggil ambulans!"



"Gue, kan, udah bilang... nggak perlu, Vin," ujar Rio sambil menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan kekuatan untuk kembali berbicara. "Yang gue butuhin sekarang... cuma satu... berjanjilah... kalo lo... bakal ngejaga Ify... setelah kepergian gue..."



Baru saja Alvin membuka mulutnya—ingin kembali memprotes, Rio segera melanjutkan kata-katanya, "Vin... gue... mo... hon... Demi... gue..."



Alvin mengalihkan pandangannya. Bagaimana mungkin dia menjaga kekasih sahabatnya, setelah membuat sahabatnya itu sendiri sekarat.



"Al...vin...," desak Rio. Waktunya semakin dekat.



Alvin kembali menatap Rio yang seperti sudah mencapai batas kemampuannya, seolah benar-benar sudah tidak sanggup bertahan lagi. Alvin menarik napas berat. "Oke. Tapi, lo harus bertahan, Yo. Lo harus tetep hidup! Demi

Ify... demi orang tua lo... demi Shilla... dan juga, demi gue..."



Samar-samar, mereka mendengar bunyi sirene ambulans dan polisi mendekat.



Rio tersenyum penuh rasa terima kasih. "Ah... satu... lagi...," ucapnya kemudian. "Jangan pernah... menyalahkan... diri lo sendiri... atas... apa... yang udah... terjadi... sama gue... sekarang ini..."



Alvin menatap Rio dalam-dalam.



"Ini... udah jadi... kehendak... Tuhan... Vin...," ujar Rio.



"Rio..."Alvin menggenggam tangan Rio erat. "Lo harus bisa bertahan! Orang tua lo udah nunggu kepulangan kita di rumah."



Benar juga, Papa dan Mama pasti sedang menunggu kepulangan putra tunggal mereka itu di rumah. Tapi apa daya,

Rio tak kuasa jika memang Tuhan sudah menginginkannya kembali ke pelukan-Nya.



"Papa.. mama..," ucap Rio lirih. "Rio... sayang kalian."



Setetes air mata menuruni pipi Rio, sedikit melunturkan noda darah yang menempel di wajah tampannya.



"Ify...," bisik Rio dengan susah payah, berharap gadis yang berada nun jauh di sana itu bisa mendengar bisikan lirihnya. Tapi lidahnya terasa kelu. Mulutnya tidak mau membuka selebar keinginannya.



Alvin memerhatikan sahabatnya dengan hati miris. 'Tuhan! Jangan ambil nyawanya sekarang. Berikanlah dia waktu lebih lama.'



Rio melempar pandangannya ke hamparan langit yang kini mulai mendung, lalu bersusah payah menggerakkan lidahnya. Ia berjuang menyelesaikan kalimatnya. "Ify... gue...," bisiknya terputus-putus. "M-maafin... gue... Gue... sayang lo... Ify..."



Begitu Rio selesai mengakhiri kata-katanya, ia tersenyum sangat puas, lalu menutup kedua matanya dengan wajah tenang... dan lega.



Dan kali ini, ia mengatupkan kedua kelopak matanya untuk selama-lamanya.



Bersamaan dengan tersebutnya nama Ify dari mulut Rio tadi, pemuda malang itu menghebuskan napasnya untuk yang terakhir kalinya, sesaat sebelum para petugas medis dan polisi tiba di lokasi kejadian.



"Rio?" panggil Alvin dengan suara serak. "Rio, bangun!"



Namun, Rio sama sekali tidak menyahut.



"Rio, bangun!" seru Alvin panik. Ia mengguncang-guncang tubuh sahabatnya yang terbujur kaku.



Masih tak ada respon berarti dari tubuh yang mulai mendingin itu.



“RIOOO!" jerit Alvin histeris.



Alvin hanya bisa menangis sambil terus menyebut nama Rio melihat kepergian sahabat baiknya itu. Tak pernah disangkanya kalau Rio akan meninggal tepat di depan kedua matanya. Meninggal karena dirinya.





oOo End of Flashback oOo



Ingatan Alvin seakan begitu nyata. Seumur hidup ia tak akan mungkin melupakan kejadian itu. Alvin menggeleng, mengusir kenangan buruk itu. Ia kembali memfokuskan pandangannya pada nisan di hadapannya, lalu mulai berdoa.



Ify yang masih berlutut di samping Alvin hanya tersenyum memerhatikannya. Ify tahu pasti bahwa pemuda di sampingnya itu masih belum bisa sepenuhnya memaafkan dirinya sendiri. Tapi, seiring waktu, Ify yakin, Alvin pasti akan berhenti meyalahkan dirinya sendiri atas kematian Rio.



Ify bangkit lalu berjalan menjauhi Alvin, tangan kanannya merogoh saku untuk mencari ponsel, sedang mencoba menghubungi Shilla.



Alvin yang merasa Ify sudah selesai dengan urusannya di sini segera bergegas menghampiri gadis itu. "Lo balik bareng gue aja. Shilla udah gue kasih tau buat nggak usah jemput lo hari ini," ujarnya membuat Ify menghentikan usahanya untuk menelepon Shilla.



"Oh, oke," jawab Ify pendek.



Mereka berdua pun mulai berjalan beriringan menjauhi makam Rio, sampai akhirnya langkah mereka berdua terhenti ketika Alvin melihat sosok pemuda yang juga merupakan bagian dari masa lalunya bersama Rio. Pemuda yang sangat mirip dengan Rio itu berjalan mendekati mereka. Namun, langkah tegapnya juga berhenti saat melihat salah satu teman masa SMA-nya sedang menatap dengan pandangan tak suka padanya.



"Alvin?" Nama itu keluar begitu saja dari dalam mulut pemuda berambut hitam panjang itu.



Alvin masih menatap benci padanya. "Mau apa lo ke sini...?" tanya Alvin. Suaranya terdengar begitu sinis. "Gabriel?"



Ify kaget saat mendengar Alvin menyebutkan nama pemuda di hadapannya itu, lalu dia segera mengalihkan pandangannya pada pemuda yang dipanggil Gabriel oleh Alvin itu. Diakah yang bernama Gabriel? Orang itukah yang dulu begitu dibenci Rio?



"Gue...," kata Gabriel dengan suara tercekat. "Gue mau ngunjungin makam Rio. Gue nggak sempet dateng ke pemakamannya tiga bulan yang lalu."



Alvin kini melayangkan tatapan mengejek pada Gabriel. "Emangnya lo masih peduli sama dia, setelah lo udah ngehancurin hidupnya enam tahun yang lalu?"



Gabriel menundukkan kepalanya, seolah siap dengan apa pun yang akan dilakukan Alvin untuk mengadilinya.



Sekarang, giliran Ify yang menatap tak suka pada Alvin. Dia sama sekali tidak suka melihat sikap Alvin yang

cenderung memusuhi Gabriel itu. "Alvin," tegurnya. "Jaga sikap kamu!"



"Kenapa gue harus jaga sikap sama orang jahat kayak dia, Fy?" Suara Alvin mulai naik satu oktaf lebih tinggi. "Lo lupa, kalo dia yang udah ngebuat hidup Rio berantakan?"



Ify yang tidak menyangka akan dibentak seperti itu oleh Alvin, hanya terdiam membatu, tidak ingin semakin memperparah suasana.



Alvin yang sadar telah bertindak kelewat batas, langsung memasang ekspresi menyesal. "Sori, gue nggak maksud buat ngebentak lo," ujarnya sambil memalingkan muka.



Ify hanya mengangguk maklum. "Nggak apa-apa." Pandangannya kini beralih pada Gabriel yang masih menundukkan kepalanya. "Jadi, kamu, ya, yang namanya Gabriel?"



Berbeda dengan suara Alvin yang kasar, suara Ify benar-benar lembut dan sangat bersahabat.



Gabriel mengangkat wajahnya, lalu mengangguk pelan. Dia segera mengulurkan tangan kanannya. "Gabriel."



Ify menyambut uluran tangan pemuda itu dengan senang hati. "Aku Ify," katanya sambil memperkenalkan diri. Mata

Ify langsung tertumbuk pada sebuket bunga lily putih yang tergenggam erat di tangan kiri Gabriel.



"Kamu mau ke makamnya Rio, kan?" tambahnya sekali lagi. "Makamnya ada di sebelah sana." Jari telunjuk Ify menunjuk ke arah nisan yang baru saja selesai dikunjunginya.



Gabriel mengangguk berterima kasih. "Ngomong-ngomong, lo siapanya Rio?"



Ify bingung harus menjawab apa, wajahnya hanya sedikit menampakkan semburat merah di kedua pipinya.



"Dia pacarnya Rio." Jawaban Alvin tadi langsung membuat wajah Ify semakin memerah.



"Alvin...," kata Ify malu. "Aku sama Rio belum jadian, kok."



Raut wajah Alvin tiba-tiba berubah muram, senyuman getir terpampang di wajahnya. "Dan itu gara-gara gue, kan?"

katanya. "Kalo aja Rio masih hidup, kalian pasti udah pacaran."



Tanpa rasa belas kasihan sedikit pun, Ify segera memukul pelipis Alvin sehingga membuat pemuda yang sama sekali tak menyangka akan diserang itu terbanting ke jalan yang sedang mereka lalui. Entah dari mana munculnya kekuatan dahsyat itu. Kalau dilihat dari luar tak akan pernah ada yang menyangka kalau Ify bisa memukul jatuh seorang pemuda tinggi Alvin. "Harus aku bilang sampai berapa kali, sih, Vin?" sahut Ify jengkel. "Aku udah bilang berkali-kali, kan? Jangan terus-terusan nyalahin diri kamu sendiri kayak gitu!"



Alvin yang masih syok dengan pukulan Ify tadi hanya bisa terbengong-bengong mendengar kata-kata Ify.

Gabriel yang memang sedari tadi menjadi saksi terjadinya adegan "tidak senonoh" itu hanya bisa menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya yang tak gatal ketika Ify dengan tampang tak berdosanya melempar senyum ke arah Gabriel.



"Oh, iya, Yel." Ify kembali membuka pembicaraan. "Gimana keadaan kamu?"



Gabriel mengernyit bingung mendengar pertanyaan Ify.



"Yaaa, maksud aku... Gimana keadaan kamu selama satu setengah tahun ini?" jelas Ify. "Aku denger dari Rio, kamu syok banget setelah denger kalo kamu ternyata mengidap penyakit yang sama kayak Rio."



"Oh, itu..." Gabriel tersenyum miris. "Kehidupan gue setelah kejadian waktu itu perlahan-lahan mulai berantakan. Orang tua gue jadi makin nggak peduli sama gue. Temen-temen gue juga perlahan-lahan semakin ngejauhin gue.

Tapi, gue berusaha bertahan sampe gue lulus kuliah, karena setelah itu gue udah mutusin buat hidup sendiri. Toh, nggak ada bedanya juga, antara gue hidup sama orang tua gue sama nggak."



"Yah, hukum karma emang selalu berlaku, kan?" sela Alvin yang sudah berdiri dari jatuhnya.



Ify mendelik kesal pada Alvin, lalu kembali menatap Gabriel. "Jangan peduliin omongan kosok cina itu, ya, Yel."



Telinga Alvin memanas ketika mendengar panggilan baru dari Ify untuknya. "Lo bilang apa, Behel?"



Ctikkk.



Baru kali ini ada orang yang memanggil Ify seperti itu, tanpa peduli kalau orang itu adalah sahabat baik orang yang paling dikasihinya, Ify segera menabuh genderang perang pada pemuda yang menurutnya sangat menyebalkan itu.

Kilatan-kilatan api peperangan pun mulai terlihat.



"Udahlah, Fy," kata Gabriel, berusaha mendinginkan suasana. "Gabriel nggak salah, kok. Mungkin ini emang karma

buat gue, karena udah ngerusak hidup sahabat gue sendiri."



Alvin tersenyum puas. "Lo denger itu, kan, Behel Cungkring?"



"Berhenti manggil aku dengan sebutan itu, Cina!" sahut Ify marah, kaki kecilnya yang terbungkus sepatu kets menendang tulang kering Alvin kuat-kuat membuat pemuda itu mendesis kesakitan. Tanpa memedulikan

"korban"-nya yang masih kesakitan, Ify kemudian berbalik menatap Gabriel. "Kamu juga jangan terus-terusan berpikiran kayak gitu, Yel.”



"Rio mungkin dulu emang nganggep kamu sebagai orang yang udah membuat hidupnya berantakan. Tapi, setelah ketemu sama kamu, dan tau kalo kamu juga kena penyakit yang sama kayak dia, dia juga bener-bener syok.

Sebesar apa pun rasa benci dia ke kamu, dia nggak pernah sekali pun pengen kamu ngidap penyakit yang sama kayak dia. Dia nggak pengen kamu ngerasain apa yang selama ini dia rasa.



"Selain itu juga, dia ngerasa kalo hal itu bukan sepenuhnya salah kamu. Karena, gara-gara dia sering nyuekin kamu sejak dia kenal dunia film juga, kamu jadi malah bergaul sama orang-orang nggak bener kayak gitu.



"Dia bahkan juga ngerasa kalo dia orang yang jahat karena udah menimpakan semua kesalahan ke kamu, tanpa memerhatikan kesalahan dia sendiri." Ify tersenyum manis di akhir ceritanya. "Mungkin, dulu dia sempat benci banget sama kamu. Tapi, itu juga bukan berarti dia nggak bisa maafin kamu, Yel."



Gabriel sama sekali tidak pernah menyangka kalau Rio tidak sepenuhnya membenci dirinya. Tanpa ia sadari, kakinya melangkah menuju ke nisan yang ditunjukkan Ify tadi, lalu bersimpuh di depannya. Mata Gabriel memandang lekat-lekat ukiran nama di batu nisan itu. Ukiran nama sahabatnya. Orang yang dulu pernah menjadi orang paling penting di hidupnya, dan mungkin sampai sekarang pun masih seperti itu. Tangan kanan Gabriel mengusap lembut foto Rio yang memang sengaja diletakkan di sana, sedangkan tangan kirinya meletakkan sebuket bunga yang sedari tadi dibawanya.



"Maafin gue, Yo." Air mata mulai menggantung di ekor matanya. Rasa penyesalan yang amat besar kini tengah menghantui Gabriel. Kenapa dulu dia tidak pernah punya keberanian hanya untuk sekedar mengucap kata maaf?

Kenapa dulu ia terlalu takut untuk melihat langsung bagaimana reaksi Rio jika bertemu dengan dirinya, orang yang begitu dibencinya? Dan, kenapa keberanian itu justru muncul di saat semuanya sudah terlalu terlambat seperti sekarang ini?



Ify yang mengikuti langkah Gabriel tadi langsung tersenyum lega melihat pemuda itu.



Sedangkan Alvin yang berdiri di belakang Ify hanya memandangi wajah gadis manis itu, sesekali senyuman penuh arti terukir di wajahnya. 'Bener-bener cewek yang penuh kejutan,' batinnya. Pandangannya beralih ke nisan Rio. 'Lo beruntung banget bisa dapetin cewek kayak dia, Yo.'



Memang butuh waktu lama bagi Ify untuk benar-benar bisa merelakan kepergian Rio sepenuhnya. Tapi, setelah itu Ify bagaikan mendapatkan kekuatan baru. Semangat baru dari Rio. Dia jadi semakin serius untuk menekuni karirnya di bidang tulis-menulis. Hampir semua novel fiktif karangannya laris manis di pasaran, bahkan ada beberapa yang best-seller. Semua peminat karya tulis mengenal namanya, bahkan hingga ke mancanegara. Banyak buku-buku karangannya yang dicetak belasan kali dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.



Ify dikenal sebagai seorang penulis besar dengan tingkat kepedulian sosial yang tinggi, karena ia juga menikmati profesi sampingannya sebagai aktivis yang membantu para penderita HIV/AIDS. Sudah tidak terhitung banyaknya seminar dan penyuluhan yang dilakoninya. Reputasinya bahkan hampir menyamai seorang artis idola.



Dan kini, tak heran jika salah seorang produser di Hollywood, Amerika Serikat, telah membuat sebuah film berdasarkan novel terbaru Ify yang dalam waktu satu bulan cetakan pertamanya langsung habis diserbu pembeli. Judulnya adalah "Selepas Kau Pergi" yang dijadikan judul film dengan mengubahnya dalam bahasa Inggris menjadi

"After You're Gone".



Novel itu menceritakan tentang kehidupan seorang gadis yang berusaha menjalani hidupnya setelah orang yang sangat dicintainya meninggal dunia. Novel yang dibuat berdasarkan kisah nyata tentang kehidupan Ify yang ditinggalkan oleh orang-orang yang dicintainya satu per satu, mulai dari kepergian ayah dan ibunya lalu kemudian disusul dengan kepergian Rio. Novel itu benar-benar penuh dengan perasaan Ify.



Melalui novel itu, Ify ingin menyampaikan pada seluruh pembacanya bahwa meninggalkan dan ditinggalkan itu juga termasuk bagian dalam hidup. Jangan hanya karena telah ditinggalkan oleh orang yang kita sayangi lalu kita akan menjadi patah semangat, apalagi jika sampai tak mau kembali meneruskan hidup.



Dulu di awal karirnya sebagai penulis, ia pernah menciptakan sebuah novel tentang Marioo—seseorang yang hingga saat ini masih ia cintai dengan sepenuh hati. Kini giliran ia membuat sebuah novel yang menceritakan kehidupannya setelah kepergian Rio.



Besok Ify akan pergi ke Los Angeles. Dia diundang di pemutaran perdana film yang dibuat berdasarkan novel karyanya. Ify juga akan bertemu dengan para pendukung film itu, termasuk para pemeran dalam film itu. Sivia tentu saja ribut begitu tahu Ify akan bertemu bintang-bintang Hollywood yang terkenal. Dan tentu saja gadis itu memaksa ikut bersama Ify. Ify memang tidak keberatan kalau Sivia ikut, asal jangan membuat malu saja selama di sana. Lagi pula Sivia bisa menemani Ify selama di sana. Bahkan Sivia sampai tidak peduli walau harus bolos kerja selama hampir seminggu.



"Kerja, kan, bisa tiap hari, Fy. Tapi, kalo ketemu artis Hollywood yang cakep-cakep, mungkin cuma sekali dalam hidup gue." Begitulah alasan Sivia saat ditanya Ify.



Mulai kemarin, begitu semua urusan visa dan tiket selesai, Sivia—yang menginap di kost Ify sampai hari keberangkatan mereka—sibuk membuka-buka kamus untuk memperlancar bahasa Inggrisnya yang menurutnya masih amburadul.



"Gue, kan, nggak mau lo jadiin kambing congek selama di sana, Fy. Buat apa gue jauh-jauh pergi ke Hollywood dan ketemu sama cowok-cowok cakep, kalo pada akhirnya gue cuma jadi patung karena nggak ngerti dan nggak bisa ngomong?" Lagi-lagi, alasan tidak bermutu itulah yang dilontarkan Siva ketika ditanya.



Jam telah berdentang dua belas kali. Kamar terasa amat sepi.



Ify menoleh ke gadis yang tidur di sebelahnya. Sivia tertidur pulas. Semua orang di kost-nya dan juga di rumah tantenya pun pasti juga sudah terlelap. Tapi mata Ify tetap tak bisa menutup. Ia terus terjaga.

Ia menyingkirkan selimut yang menutupi kakinya dan meloncat keluar dari tempat tidur. Ify berjalan menuju jendela kamarnya dan membuka gorden. Ia menerawang dari balik kaca jendela. Ia menempelkan kedua telapak tangannya di kaca.



Ini sudah kesekian kalinya, sejak kematian Rio, ia mengalami insomnia. Merenung seorang diri di tengah gelap dan sunyinya malam.



Ify menyandarkan dirinya pada kaca. Namun tiba-tiba, ia kembali ke tempat tidur, mengambil iPod yang diletakkan di sana. Ia lalu berjalan kembali ke depan jendela kamarnya, kembali memandang langit malam dengan headphone besar terpasang di telinganya.



Saat Ify masih sibuk dengan pikirannya sambil memandang kosong ke arah langit, ponselnya yang ia letakkan di meja kecil di samping tempat tidur bergetar. Menandakan ada panggilan masuk.



Ify segera melangkahkan kaki kecilnya menuju ponselnya. Sambil mengernyit, ia meraih ponsel dengan paduan warna lavender-silver itu. Siapa yang meneleponnya tengah malam begini?



Kerutan di dahi Ify langsung sirna dan tergantikan oleh senyuman kecil yang menghiasi bibir tipisnya ketika membaca nama yang tertera di layar ponselnya.



Alvin Kodok.



Alvin, ya? Ify selalu saja tersenyum ketika mengingat pemuda itu. Alvin, orang yang selalu ada di sampingnya di saat ia sedang merasa membutuhkan seseorang. Orang yang selalu membuatnya tertawa di saat ia ingin menangis.



Alvin. Sosok yang setelah kepergian Rio selalu menghiasi hari-harinya. Pemuda yang tanpa disadarinya selalu menjaga dan melindunginya. Orang yang selalu menghiburnya.



Alvin belakangan ini sering berkunjung ke Bandung dan menemuinya, mulai dari ada urusan penting dengan pekerjaan dan sekedar mampir, hingga sampai sengaja menyempatkan diri untuk bertemu Ify sekaligus liburan karena memiliki banyak waktu luang.



Alvin kini memang telah menjadi sosok yang penting dalam kehidupan Ify. Kehadirannya bagaikan setetes embun yang kembali menyegarkan hari-hari Ify. Tapi, tak pernah sekali pun Ify menganggap Alvin sebagai orang yang dikirimkan Tuhan padanya untuk menggantikan posisi Rio di hatinya. Karena Alvin bukan Rio. Alvin adalah lvin.



Ia memang tak ingin terlalu larut dalam kenangan masa lalunya bersama Rio, tapi bukan berarti dia harus melupakan kenangan itu. Karena kenangannya bersama Rio akan selalu ada dan tak akan pernah bisa terhapus oleh waktu.



Ify sudah menganggap Alvin seperti seorang kakak baginya, layaknya ia memandang Ozy yang telah lama dikenalnya sebagai seorang sahabat. Tak lebih, tak kurang.



Senyum tipis kembali tersungging di bibir manisnya sebelum akhirnya ia menekan tombol dan mendekatkan ponsel i

tu ke telinganya. "Ya, Vin?"



"Lama banget, sih, ngangkatnya?" seru pemuda itu kesal dari seberang.



Ify memutar bola matanya sebal. Pemuda itu masih saja temperamental, seperti biasanya. "Yang penting, kan,

sekarang udah aku angkat, Vin."



Alvin terdiam sejenak, lalu mulai angkat suara. "Lo belum tidur?"



Ify mendengus kesal. "Kalo aku udah tidur, trus yang kamu telepon ini siapa?"



"Iya juga, ya." Terdengar tawa garing dari seberang telepon.



"Kenapa?" tanya Ify langsung, matanya menerawang menembus langit malam.



"Eh?"



"Ada perlu apa kamu nelepon aku?" ulang Ify. "Tengah malem gini, lagi."



"Ng..." Alvin nampaknya bingung harus berkata apa. Walau sudah mengenal Ify cukup lama, dia masih belum terbiasa dengan gadis itu. "Lo... berangkat besok, ya?"



Ify lagi-lagi tersenyum mendengar suara Alvin. "Iya," jawabnya. Tiba-tiba, cengiran nakal terpampang di wajah manisnya. "Kenapa? Kamu khawatir sama aku, ya?"



"A-apa?" Alvin nampaknya tidak siap dengan serangan mendadak Ify. "Y-ya... y-ya... Me-memangnya s-salah, k-kalo gue khawatir s-sama lo?" Ify bisa merasakan kalau wajah pemuda itu sudah memerah menahan malu.



"Yaaa... nggak salah, sih," kata Ify sambil terkikik geli. "Justru aku mau berterima kasih sama kamu karena udah care sama aku."



Alvin lagi-lagi terdiam. Tak tahu bagaimana harus merespon.



"Tapi, kamu nggak perlu khawatir," lanjut Ify sambil tersenyum manis. "Aku pasti baik-baik aja, kok."



Alvin tersenyum di seberang. "Ya."



"Oke. Udah selesai, kan?" Ify menguap keras-keras. "Aku udah ngantuk, nih."



"Ya. Hati-hati," kata Alvin lagi. "Sori, gue besok nggak bisa nganter lo ke bandara. Gue ada kerjaan."



"Ah, nggak pa-pa, kok." Ify mengibas-ngibaskan tangan kanannya.



"Ya udah," tutup Alvin. "Bye."



Ify mengangguk kecil. "Bye."



Telepon sudah benar-benar diputus. Ify meletakkan kembali ponsel miliknya di atas meja. Matanya melirik ke arah jendela, lalu ia pun mulai melangkahkan kakinya kembali ke arah jendela. Kembali menyandarkan dirinya pada jendela kamarnya yang terbuat dari kaca itu, matanya mulai menerawang hampa. Bohong besar saat ia mengatakan pada

Alvin kalau dia udah mengantuk, padahal jangankan mengantuk, matanya bahkan tak mau menutup saat ini.



Ekor matanya menangkap sosok Sivia yang masih tertidur pulas.



Dia sedang ingin sendiri. Dia sedang tidak ingin diganggu, bahkan oleh seorang Alvin sekali pun. Entah apa yang sedang memenuhi akalnya saat ini.



Beberapa detik kemudian, tangan mungilnya mulai membuka jendela kamarnya. Angin malam yang dingin berembus saat jendela kamar dibuka, membelai rambut hitamnya yang kini telah panjang mencapai punggungnya. Hawa dingin yang masuk ke dalam kamar membuat bulu tengkuknya berdiri.



Pikiran Ify melayang pada saat Rio meninggalkan tempat kost ini untuk kembali pulang ke keluarganya di Manado, saat ia mendengar suara Ify yang tercekat serta menahan tangis ketika mengabari dirinya tentang kematian Rio, saat dia menatap miris sosok Rio yang terbujur kaku tak bernyawa di hadapannya, saat jar-jari mungilnya tanpa sengaja menyentuh kulit wajah Rio yang mendingin, dan juga saat kedua kaki kecilnya tak lagi kuat menopang berat tubuhnya ketika menatap sosok pemuda yang amat dicintainya dimakamkan.



Ify tersenyum samar. Ia sadar, dirinya jadi mendapat pelajaran berharga mengenai kebersamaannya dengan Rio yang menurutnya terbilang singkat: Walau hanya satu menit atau bahkan satu detik sekali pun, tapi asalkan bisa bersama orang yang kita cintai, kita akan bahagia. Dan kebahagiaan itu akan menjadi sebuah kenangan yang akan terus terpatri di dalam hati kita tanpa pernah bisa terhapuskan oleh sang waktu.



Ify kembali melempar pandangannya pada langit malam yang cerah penuh taburan bintang-bintang yang seolah saling berlomba untuk bisa menjadi yang bersinar paling terang. Samar-samar, pandangannya menangkap sosok Rio di sana. Rio yang sedang tersenyum menghiburnya, dan di belakang Rio nampak kedua orang tua Ify yang telah lama meninggalkan Ify sendiri di dunia. Mereka menatap penuh kerinduan pada Ify, penuh dengan kasih sayang.



"Hidup untuk bagian kami juga, ya, Fy."



Sama seperti saat ia mendengar suara Rio di pantai Bandung, kali ini pun melalui angin malam yang tertiup semilir di sekitar telinganya, Ify bisa mendengar suara ayah dan ibunya. Tubuhnya pun seolah sedang di peluk dengan hangat oleh mereka berdua. Pelukan yang telah lama di rindukan oleh Ify.



"Papa... mama...," ucap Ify lirih. Dua kata yang entah sudah berapa lama tak ia sebut. Setetes air mata mulai jatuh menuruni pipinya, semakin lama semakin deras, namun kali ini tanpa disertai isakan. Ify menangis sepuasnya. Ia ingin melepaskan semua kepenatannya.



Selama lebih dari satu jam Ify menangis, hingga akhirnya ia seperti merasa sudah tak punya air mata lagi. Masih dengan bekas air mata yang ada di pipinya, Ify kembali menengadahkan kepalanya, pandangannya berusaha menembus selapis demi selapis langit malam. Berharap semoga 'orang itu' bisa mendengar bisikan lirihnya. "Terima kasih, Rio."



Cintamu akan tetap tinggal bersamaku hingga akhir hayatku,



hingga tangan Tuhan kembali mempersatukan kita.



Betapa pun hati ini telah terpikat pada sosok terang dalam kegelapan yang tengah kembali menghidupkan sinar redupku.



Namun, tak dapat menyinari dan menghangatkan perasaanku yang sesungguhnya.



Aku tak akan pernah bisa menemukan cinta yang lain,



selain cintamu,



karena tak satu pun dari mereka yang tertandingi oleh sosokmu dalam jiwaku.



Kau tak akan pernah terganti,



Bagaikan pecahan logam yang menangkalkan kesunyian, kesendirian, dan kesedihanku.





(Alyssa Saufika)

3 komentar: