“Rame ya...” komentar Sivia akhirnya. Terus terang dia senang berada di
tengah keluarga kecil ini. Bercanda, makan bersama, saling peduli, beda
sekali dengan keluarganya yang hampir tak pernah tahu di mana yang satu
dan yang lainnya berada kecuali malam hari. Itu pun saat semuanya pulang
untuk tidur.
“Ify dan Gabriel memang selalu bertengkar. Tapi justru itu yang membuat rumah ini ramai,” Bunda tersenyum bijak.
Seandainya Mama sebijak Bunda, pikir Sivia.
“Tapi walaupun gue suka berantem sama Ify, gue tetep bakal jadi yang pertama maju kalo adik gue disakiti. Siapapun orangnya!”
Perkataan Gabriel menciptakan desiran aneh di dada Sivia.
Apakah ini merupakan peringatan tak langsung dari Gabriel untuknya?
Apakah Gabriel sebenarnya mengetahui kebohongannya? Sivia jadi tertunduk
karenanya.
“Hei, tapi jangan bilang Ify, ya, dia bisa geer.” Bisikan Gabriel membuat Sivia sedikit tenang.
Ah, mungkin ini ketakutanku aja. Mana mungkin Gabriel tahu tentang semua ini?
“Eh Siv, lo anak SMA Teitan ya?” tanya Ify.
“Iya,” jawab Sivia singkat. Ta Tuhan... semoga dia tidak mengenaliku.
“Sepertinya gue pernah ketemu lo deh.” Ify berusaha mengingat-ingat. “Lo kenal Rio nggak?”
“Rio?! Tahu sih, tapi nggak kenal akrab,” jawab Sivia seraya mengambil lauk yang disodorkan Gabriel.
“Ify, kamu ini kayak detektif aja, tanya ini, tanya itu. Kapan makannya?” sela Bunda.
“Nggak ada salahnya dong, Bun. Ify kan Cuma pengen kenal lebih dekat
ama calon kakak ipar,” balas Ify seraya melirik lucu kepada Sivia yang
tersipu malu. “Lagian Sivia-nya nggak keberatan kok. Ya kan, Siv?”
tambahnya diikuti anggukan kepala Sivia.
Gadis itu baru menenggak minumannya saat Ify bertanya, “Kalo
Ashilla, kenal nggak?” Sivia langsung tersedak sampai terbatuk-batuk.
“Ify, ngapain sih lo tanya-tanya yang nggak perlu? Makan ya makan
aja. Cerewet banget sih lo!” bentak Gabriel sambil mengelus pelan
punggung Sivia.
“Sorry... Ify nggak sengaja. Ify kan Cuma penasaran aja sama yang
namanya Ashilla. Siapa tau aja Sivia tau. Habis Rio nggak pernah cerita
apa-apa sih!” Tampang Ify yang penuh penyesalah membuat Sivia merasa
bersalah. Gadis seperti inikah yang bakal disakitinya?
“Nggak papa kok, Gab. Jangan marahin Ify kayak begitu ah,” ungkap Sivia tulus.
“Ya udah. Makannya diselesaikan dulu, baru kalian boleh ngobrol sepuasnya,” usul Bunda.
“Heh, tapi ingat ya, lo nggak usah tanya macem-macem soal siapa
tadi... Ashilla. Itu urusan lo sama Rio. Jangan bawa-bawa Sivia.
Ngerti?” Peringatan Gabriel membuat Ify manyun. Tapi toh dia menuruti
kata kakaknya juga. Sehabis makan mereka berbicara panjang-lebar tentang
ini-itu, dan tak satu pun pembicaraan yang menyinggung nama Ashilla.
@@@@@
Sivia sedang gelisah di kamarnya. Sejak tadi dia terus
memain-mainkan HP di tangannya. Apa gue harus telepon Shilla dan
mengkhianati gadis polos itu?
“Siv, kok lo bisa suka sih sama Kak Iyel? Udah orangnya nyebelin,
jail, suka seenaknya, lagi.” Terngiang di telinga Sivia percakapannya
dengan Ify sore itu.
Sivia tersenyum. “Dia nggak sejelek itu, lagi,” jawabnya. “Dia
ngasih begitu banyak perhatian ke gue. Dan dia juga ngenalin gue ke
keluarganya yang mengajarkan satu hal ke gue.”
“Apa itu?”
Gadis ayu itu kembali tersenyum. “Kasih sayang.” Jawabnya mantap.
Ify ikut tersenyum. “Kak Iyel memang begitu. Suka sok nggak peduli, padahal sebenarnya nggak tegaan,” tambah Ify.
“Lo sendiri? Gimana hubungan lo sama Rio?” Sampai juga Sivia ke pokok masalah.
“Rio... hmmm...” Ify memandang jauh ke taman bunga Bunda. “Dia itu
selalu banyak kejutan,” tambahnya. “Banyak yang belum gue tahu soal Rio.
Dia selalu misterius. Tapi gue udah janji akan percaya hanya padanya.
Lo tau, dia udah bikin gue jatuh cinta.” Wajah Ify tampak berseri-seri.
“Dia bisa jadi pacar, temen, kakak, bahkan ayah. Seperti kata Sheila on
7, Rio adalah ‘Anugerah Terindah yang Pernah Kumiliki’.” Tak sedetik pun
senyum lenyap dari wajah gadis mungil itu setiap kali ia menyebut nama
Rio.
Ya Tuhan... mana mungkin aku menghancurkan impian yang begitu indah ini? Apa yang harus kulakukan, Tuhan?
Ketika Sivia masih ragu untuk memencet nomor telepon Ashilla, gadis diktator itu sudah muncul di pintu kamarnya.
“Halo, Tuan Putri,” sapanya seramah mungkin. Itu pun tak berhasil
mengusir kekejutan Sivia. “Kenapa? Kaget ya? Nggak nyangka gue bakal
nagih janji ke sini? Gue bukan orang bodoh, Siv.” Ashilla tak
menghiraukan wajah kalut Sivia. Dia bahkan memilih duduk di pinggir
tempat tidur tempat Sivia duduk di tengahnya.
“Gue... gue baru mau ngabarin lo, Shil...” kata Sivia sedikit gugup.
“Oh... ya? Lo dapet apa?” tanya Ashilla to the point.
Sivia menelan ludah. Nggak ada salahnya kasih tahu kalo mereka
pacaran, kan? Itu sudah menjadi rahasia umum, Siv, jadi nggak ada
salahnya kasih tahu tentang hubungan mereka. Toh lama-lama Shilla pasti
akan tahu juga, bela hati kecilnya.
“Gue tunggu lo ngomong, Tuan Putri.” Ashilla membenarkan jepit rambutnya yang sedikit miring.
Sekali lagi Sivia menelan ludah. Tenang, Siv, nggak bakal terjadi
apa-apa. Bicaralah, desak hatinya. “Mm... anu, Shil, mereka... pacaran.”
Ya Tuhan, ampuni dosaku.
“Hoo... jadi benar mereka pacaran.” Ashilla meremas tas tangannya
hingga kusut saking marahnya. “Lo liat dengan mata kepala lo sendiri?”
Tatapannya tertuju kepada Sivia yang buru-buru menundukkan wajah.
“Gue... gue nggak ketemu Rio, tapi Ify yang cerita,” jawab Sivia di bawah tekanan.
“Apa aja yang dikatakannya?” tanya Ashilla geram.
“Nggak ada yang penting, Shil. Hanya ikrar cinta mereka. Dan kesan
bahwa Rio itu misterius. Itu aja.” Sivia berharap ceritanya ini tidak
menimbulkan dampak yang berbahaya bagi Ify, Rio, maupun dirinya.
Tadinya Sivia berpikir kemarahan Ashilla bakal meluap-luap. Memaki
dan mencaci dirinya seperti biasa. Siapa sangka dia malah berdiri dan
berpamitan pulang. “Baiklah, lo tetap di posisi lo. Gue pulang, gue mau
susun rencana yang istimewa buat tikus kurang ajar itu.”
Hhh... lega rasanya. Setelah kepergian Ashilla, Sivia langsung
merebahkan tubuh di kasur. “Syukurlah. Lewat juga hari ini. Gue yakin
cerita tadi gak akan merugikan siapa pun,” gumamnya seorang diri.
“Gabriel... gue cintaaa... banget sama lo,” tambahnya berseri-seri.
“Harusnya gue bersyukur Shilla ngasih tugas ini buat gue. Kalo nggak,
mana mungkin gue bisa deket lo?” Sivia terus daja tersenyum bahagia,
sama sekali tak mengetahui, betapa besar dampak ceritanya itu terhadap
kebahagian teman mungil barunya.
@@@@@
“Fy, siapa cewek cantik yang bantuin Bunda ngaduk kue?” tanya Prissy
saat masuk ke kamar Ify. Hari itu mereka ngumpul di rumah Ify untuk
menagih janji Rio bantuin ngerjain PR Bahasa Inggris mereka.
Ify yang sedang asyik dengan camilannya, mendongak ke arah Prissy yang baru datang dari toilet. “Siapa?” ia balik tanya.
“Itu, cewek yang pake seragam kayak Rio.”
“Oh... Sivia maksud lo?” jawab Ify cuek.
“Sivia? Siapa Sivia?” tanya Prissy yang belum puas dengan jawaban temannya.
“Fy, bagi kacangnya dong. Jerawatan baru tau rasa lo!” potong Alvin.
“Alaaah... bilang aja mau, pake nakut-nakutin gue segala. Nih, lo
abisin deh!” balas Ify seraya mengulurkan stoples kacang telur itu
kepada Alvin.
“Ify... siapa Sivia?” Prissy mengulang pertanyaannya dengan sedikit keki.
“Sivia ya Sivia. Pacarnya Kak Iyel,” jawab Ify sambil lalu. Dia sedang asyik mencari-cari sesuatu di dalam tas sekolahnya.
“Sivia? Sepertinya gue pernah liat dia deh. Di mana ya?” Prissy mencoba mengingat-ingat.
“Di dapur kali, sama Bunda,” goda Alvin dengan mulut penuh kacang telur.
“Bukan, gue bener-bener pernah lihat dia sebelumnya,” sergah Prissy.
“Perasaan lo aja kali, Pris.” Ify akhirnya menemukan yang dicarinya.
Permen lolipop yang sekarang sudah betengger di mulutnya. “Soalnya gue
juga pernah ngerasa begitu waktu pertama ketemu Sivia. Tapi setelah gue
pikir-pikir, anak SMA Teitan kan emang tinggi dan cantik-cantik. Jadi
kesannya wajah mereka hampir sama,” tambahnya panjang-lebar.
“Mungkin juga sih. Tapi... kayaknya gue bener-bener pernah ketemu deh.” Prissy masih belum yakin dengan pendapat Ify.
“Eh, gue tahu.” Alvin ikut nimbrung lagi. “Masih inget nggak waktu
lo nanya-nanyain Kak Iyel soal SMA Teitan? Naa... di situlah lo denger
soal dia. Siv... Siv... ingat?” katanya mengingatkan.
“Mmm... iya-iya.” Prissy manggut-manggut. “Tapi itu kan denger, Vin, bukan lihat!” bantahnya lagi.
“Udah deh, Pris. Cuma Sivia ini...”
“Jangan remehkan hal-hal yang remeh, kawan,” Prissy sok menasihati.
“Siapa tahu yang remeh itu kunci permasalahan yang penting,” tambahnya
makin mirip detektif swasta yang sedang mencari kunci jawaban.
“Terserah deh, tapi gue sarankan lo simpen dulu kecurigaan lo itu
sampai terjadi masalah penting. Sekarang mending lo konsentrasi ngerjain
PR. Oke, Nona Detektif?” kata Ify.
“Siapa yang Nona Detektif nih? Memangnya ada kasus apa?”
BERSAMBUNG...........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar