Jumat, 22 Januari 2016

-

Hola semua!

aku mau minta maaf nih sebelumnya sama author author yang cerbungnya aku post di blog ini . soalnya sudah aku repost tanpa izin. sorry.... :(
awalnya aku cuma iseng aja ngerepost semua cerbung yang aku suka biar lebih gampang kalau mau re-read lagi.
jadi, buat author-author yang mungkin kurang berkenan ceritanya di re-post di sini , please kindly comment in the comment box below :)
aku pasti bakalan hapus kok. 
sekali lagi maaf yah semuanya. mwah!

thanku!
  -D-

ALUNAN UNTUK BEDA LAST PART


Sebuah headset putih yang menyalurkan i won't give up milik Jason mraz menyumpal kedua telinga Rio. Sebelah tangannya ia masukkan kedalam saku celana. Dengan ekspresi yang datar, ia menyusuri koridor sekolahnya saat bel tanda pulang berbunyi nyaring beberapa menit yang lalu.
Sayang, wajah one of the most top boy itu sedang lesu. Tak ada senyum keramahan yang biasanya menjadi ciri khas setiap kali orang melihatnya. Tiap tatapan heran orang-orang dengan sedikit luka memar diwajahnya, hanya dibalasnya dengan mengendikkan bahu. Malas sekali rasanya ia mengucapkan barang satu katapun.
Tapi sampai diujung koridor ia tersenyum tipis. Ada Gabriel disana yang sedang menggandeng mesra tangan Shilla dengan bahagia. Sepertinya tentangan untuk mereka sudah runtuh. Sepasang remaja itu seperti pasangan baru jadian tadi malam. Padahal sudah hampir setahun lebih mereka berkomitmen.
Rio kembali meneruskan jalannya. Mungkin hanya adegan mesra Gabriel-Shilla tadi satu-satunya objek yang bisa membuat tersenyum hari ini. Selebihnya hanya ia habiskan untuk menghela nafas sedikit keras guna menghilangkan sedikit demi sedikit rasa sesak dipalung hatinya. Apalagi saat tepat digerbang utama sekolah dilihatnya sebuah mobil bercat merah beserta sang pemilik yang berdiri kaku. Rio hanya mampu menatap sosok itu sebentar kemudian melangkah lebih cepat menuju motornya. Setelah kejadian kemarin, mungkin perjagaan untuk Ify bisa berhubungan dengannya makin dipersulit. Rio tersenyum kecut.
"Rio."
Panggilan tadi mau tak mau membuat Rio menoleh. Ia tak jadi menggunakan helmnya. Jika sosok itu belum puas menghajarnya kemarin, ia sudah pasang badan sekarang juga.
"Saya minta maaf atas kejadian kemarin. Saya terlanjur dibawa emosi saat tuntutan pekerjaan yang telah banyak dan...", Pria itu terkekeh sebentar. "Macetnya jakarta membuat saya yang terburu-buru untuk menghadiri rapat menjadi terlambat.", entah mengapa Pak Hanafi Umari justru mengutarakan sesuatu yang menurut Rio tidak harus ia tahu. Tapi dibiarkannya saja laki-laki itu menyelesaikan ceritanya.
"Saya ingin sekarang kamu temui Ify diujung jalan sana.", perintah pak Hanafi yang membuat Rio nyaris terlonjak ditempatnya. "Ajari juga dia untuk menghargai bukan hanya untuk mencintai.", lanjutnya sambil menepuk sebentar bahu kanan Rio.
Bukan dengan sebaris kata-kata, bukan pula dengan tawa yang merekah, tapi dengan  satu dekapan hangatnya, Rio mengucapkan terima kasihnya yang luar biasa dengan pria paruh baya itu. Pak Hanafi balas memeluknya, menepuk-nepuk lagi pundaknya lalu kemudian berkata. "Sudahlah cepat sana kamu pergi. Bawa pulang putri kecil saya kerumah ya."
Buru-buru Rio melepaskan pelukannya, ia segera memakai helm dan menunggangi kuda besi kesayangannya. Pergi secara terhormat demi menjalan titah tuan Umari yang hanya tersenyum ditempatnya. Bersatu dengan angin, larilah sampai tujuan !


***

Ify masih berdiri diam di sebuah halte diujung jalan sekolahnya. Ia sesekali menengok kejalan raya untuk menyetop jika ada taksi yang lewat. Tapi sampai dua puluh menit ia berdiri ditempat itu tak ada satupun taksi yang melintas. Kebanyakan hanya bus kota yang padat dan tak menjanjikan keamanan untuk seorang gadis berseragam sma sepertinya. Ia putuskan hanya bisa menunggu, menunggu, dan menunggu jika saja...ternyata sebuah cagiva hitam mengkilap berhenti tepat didepannya.
"Yuk naik !", ajak Rio langsung begitu ia menaikkan kaca helmnya.
Ify menggigit bibir bawahnya. Seksi gadis itu. "Ehm...kemana ?"
"Kemana ajalah, asal kamu yang ngajak aku akan selalu nurut kok", seloroh Rio kalem. Ia memberikan langsung efek dejavu pada Ify.
Ify menggeleng. "Aku nggak sanggup lagi bikin janji sama kamu kalo harus ngehancurin untuk kedua kalinya seperti waktu itu. Mungkin sebentar lagi orang rumah jemput aku."
Rio langsung turun dari motornya. Ia mengambil posisi berdiri disamping Ify. "Yaudah, aku nemenin kamu nunggu jemputan disini. Sepuluh menit ! Kalo nggak ada, kamu pulang sama aku.", kata Rio sambil menahan senyum gelinya. Ia hanya ingin mengerjai gadis cantik disebelahnya ini.
Ify tak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil sambil terus menatap jalan raya. Tak terlalu mau ambil peduli, sekalipun rasa rindu kini menguat dibalik dadanya. Ingin mengiyakan ajakan main dari Rio tadi. Ingin menghabiskan waktu berdua menuntut masa-masa merindu yang sebelumnya. Tapi ia lebih tak ingin lagi jika harus melihat tawa lebar dibibir pemuda itu harus lenyap saat janjinya tak bisa.
"Fy...", panggil Rio pelan.
"Hmm..."
"Kok gitu dong reaksinya ? Nggak kangen aku ?",
Ify sedikit mendongak, menatapnya. "Kangen."
"Terus kalo kangen ?", Rio mulai jahil. Ia tersenyum manis meski luka diujung bibirnya belum sembuh. Berkat senyum itu Ify berhasil melihatnya.
"Eh, itu kenapa ?", tanya Ify ketika sebuah luka robek terkuak dari ujung bibir Rio tanpa memperdulikan pertanyaan laki-laki itu sebelumnya. Refleks disentuhnya pelan.
"Aww...!", pekik Rio saat lukanya disentuh jemari Ify. Meskipun hanya pelan tapi rasa sakitnya tak mau kompromi.
"Bentar, aku beliin alkohol ya supaya cepat sembuh ?", Ify sudah hendak berlari menuju sebuah toko yang jaraknya agak jauh dari halte, tapi tangan Rio keburu menahannya.
Tanpa buang waktu, Rio memajukan wajahnya. Memberikan beberapa kali kecupan mesra dibibir merah delima Ify dengan mata yang terpejam. Sejenak ia begitu menikmati pagutan indah ini, apalagi saat sesekali dirasakannya jika gadis mungil itu mulai membalas ciumannya.
"Yang barusan supaya bibir aku cepat sembuh.", goda Rio kemudian sesaat setelah melepaskan ciumannya. Tangannya mengusap pipi Ify lembut.
Ify masih membeku ditempatnya sambil menggigit bibir bawahnya linglung. Tapi kemudian dia menyikut mesra perut Rio. "Kamu curang ! Gimana kalo tadi ada yang liat kita ?"
Rio terkekeh sambil menggeleng. "Siapa sih yang bakal liat ? Orang dari tadi nggak ada yang lewat.", Ify masih memanyunkan bibirnya.
"Lagian itung-itung ngabisin waktu yang sepuluh menit tadi. And time's up ! Yuk !", Rio langsung menggenggam tangan mungil Ify.
"Eh, belum juga sepuluh menit.", protesnya.
"Yaudah kalo gitu kita terusin yang tadi ya sampe pas sepuluh menit gimana?", kata Rio santai sambil mengerlingkan sebelah matanya dengan genit.
Ify langsung gelagapan. "Eng..yaudah deh iya !", katanya kemudian pasrah ditarik Rio menuju cagiva hitam tersebut.


***

Ify masih memeluk erat perut Rio, begitu cagiva yang ditumpanginya sudah berhenti tepat didepan pagar bercat hitam rumahnya. Pikirannya meliar. Takut tak bisa menjanjikan apa-apa setelah ini jika Rio harus terusir lagi dari rumahnya.
"Ayo turun !", perintah Rio kemudian. Mau tak mau akhirnya Ify menurut.
"Kenapa ? Kamu nggak mau aku masuk ?", tanya Rio lagi begitu melihat ekspresi gelisah diwajah gadis itu.
Buru-buru Ify menggeleng. Bukan hal itu yang ia inginkan. "Aku nggak mau liat kamu kecewa lagi yo...", desahnya sedih. Rio mengulurkan tangannya untuk mengusap pelan puncak kepala Ify. Tak juga ada kata yang ia suarakan.
"Ify !", suara pak Hanafi memanggil dari depan pintu rumah. Ify menatapnya sudah dengan kecepatan jantung yang diatas rata-rata. Jika mungkin, jantungnya itu akan berhasil mendobrak tulang rusuknya. Tapi kemudian gadis itu berganti bingung saat ucapan ayah selanjutnya, jauh diluar perkiraannya.
"Kenapa yang nganter pulang tidak disuruh masuk ?"
Sedetik dua detik gadis itu melongo. "Hah..."
"Ify ! Astaghfirullah bun, lihat itu tampang anakmu.", pak Hanafi gemas dengan reaksi putrinya. Istrinya nampak cekikikan disampingnya.
"Ayo sayang, ajak Rio masuk. Panas-panasan gitu diluar.", suruh bunda juga.
Ify akhirnya sadar dan kemudian memandang Rio dengan tatapan yang seolah berkata'gue-nggak-tanggung-jawab-loh-abis-ini'. "Yuk masuk.", ajaknya ragu. Dengan santai Rio mengangguk. Dituntunnya motornya itu masuk kehalaman rumah.
"Ayah kenapa sih ?", tanya Ify cepat begitu Pak Hanafi sudah hendak masuk kedalam rumahnya. Kebingungannya perlu jawaban.
"Ayahmu sudah capek bilang 'tidak' fy.", jawab bunda sambil memeluk lengan suaminya.
Pak Hanafi mengangguk. "Karena seribu kalipun ayah bilang 'tidak', anak muda disampingmu itu akan tetap meneror ayah dengan mendatangin dimanapun ayah berada. ", sambung beliau sebelum benar-benar masuk kedalam rumahnya. Detik itu juga setiap lara yang pernah membayangi Ify luruh.
"Ayah putuskan untuk nyerah sekarang !", seru Pak Hanafi dari dalam rumahnya.
Mungkin memang benar, ayahnya sudah lelah bilang 'tidak' selama setahun ini. Berkat perjuangan pemuda keras kepala inilah sebabnya. Tak tunggu apapun lagi, Ify langsung menabrak tubuh tegap Rio yang sudah merentangkan tangan menyambutnya. Dipeluknya erat leher pemuda itu sambil sesekali melonjak bahagia. Tak peduli jika ternyata Rio yang posisinya sedikit menunduk karena untuk menyamakan tinggi mereka, kewalahan juga. Yang penting ia bahagia !
"I love you...i love you so much !", bisik Ify tepat disamping telinga Rio. Masih juga ia tak melepaskan pelukan eratnya.
Rio terkekeh dibalik tubuhnya. "Kita juga cinta pa ngana.", Ify tergelak mendengarnya.
"Eh, ada si ceking disini. Main monopoli berenam asik nih !", seru Cakka dengan seringaiannya yang refleks membuat Rio dan Ify saling menjauhkan tubuh mereka. Empat mahasiswa itu mengganggu romansa anak sma !
"Ho'oh cuy !", Alvin menyetujui.
"Kakak ! Tapikan aku sama Rio mau main keluar.", protes Ify langsung.
"Nggak bisa de. Kalo Cakka ganteng yang ngeluarin perintah buat main monopoli, ya main. Nggak ada banding ! Protes lagi izin pacarannya kembali ditarik !", kata Cakka otoriter, yang dibuat-buat tentu saja. Ia langsung menyeringai senang setelahnya.
Ify mendengus pasrah tapi kemudian ia, Rio, Alvin, Via, juga Agni sama-sama duduk dilantai dipelataran rumahnya menunggu Cakka yang sedang mengambil papan kertas mainan yang sudah menjadi favorit mereka itu.
"Everybody, time for us to play !", seru Cakka sambil mengacungkan papan kertas monopoli diudara untuk kemudian mengambil posisi duduk diantara mereka berlima.
Sejak hari itu monopoli menjadi mainan rutin mereka berenam setelah pulang sekolah maupun pulang dari kampus. Rio pun hampir setiap hari mengunjungi rumah Ify untuk menemui peri cintanya itu atau hanya sekedar menerima ajakan Cakka bermain monopoli bersama. Yang jelas setelah hari itu semuanya berubah. Menjadi lebih indah tentunya.
Sebuah alunan merdu dan selaras pada akhirnya membawa satu perbedaan itu menemui muaranya. Hey, bukan untuk dipisahkan, tapi untuk menggenapkan. Karena manusia punya kelebihan dan kekurangannya sendiri untuk bisa menjadi sempurna.      Meski senja dan jingganya sunset tak pernah tercipta untuk mengindahkan dunia secara bersama sekalipun. Because they are created is different !

"Kita akan bertemu untuk kesamaan dikesempatan selanjutnya. Tapi sekarang, biarkan dulu kita bersatu untuk perbedaan yang ada"  -RIO




THE END

ALUNAN UNTUK BEDA PART 22


Gabriel refleks langsung mencengkram bahu Rio, begitu lelaki tampan itu mendadak mematikan mesin motornya ditengah jalan raya yang sedang dalam jam-jam macetnya. Mereka yang tadinya berboncengan menggunakan motor Rio untuk sekedar nongkrong di caffe atau toko kaset langganan mereka menjadi berhenti. Dengan cuek Rio menegakkan standar motornya.
"Lah..lah elo mau kemana yo ?", tanya Gabriel bingung. Ia masih duduk diboncengan motor Rio.
"Bentar yel !", serunya sambil berlari menjauh. Menerobos kemacetan diantara ratusan kendaraan.
"Ck ! Bentar sih bentar yo, ini dipinggirin dulu napa ?!", gerutu Gabriel. Terpaksa ia yang langsung maju dari boncengan mengambil posisi Rio tadi. Dihidupkannya mesin halus motor mahal itu kemudian dibawanya lebih kepinggir jalan.
Sementara Rio langsung mencari mobil pribadi berwarna merah yang ia hafal betul milik ayah Ify. Benda berwarna nyentrik itu nampak terjebak diantara kemacetan. Rio langsung buru-buru mendekatinya. Diketuknya kaca jendela kemudi.
"Om !",
Pintu kaca jendela diturunkan. "Apa lagi ?", tanya pak Hanafi dengan tampang gusar.
"Izinin saya bicara dengan om."
Pak Hanafi mendengus keras. "Sudahlah Rio, saya tidak bisa..."
"Om, saya laki-laki. Dan saya berhak untuk memilih perempuan mana yang ingin saya cintai.", ucap Rio tegas, yakin sekali. Tangannya mengepal disamping tubuhnya. Menuntaskan emosi diujung otaknya.
"Tapi perempuan yang kamu cintai, juga punya hak untuk menolakmu anak muda, ingat itu !", interupsinya dengan nada tinggi.
"Om...",
PLAK !
Sebuah tamparan sangat keras melukai ujung bibir kanan Rio sekaligus meninggalkan bekas merah cap lima jari di pipinya langsung dari tangan pak Hanafi. Dia langsung menunduk dalamsambil menyeka sedikit darah yang mengalir disudut bibirnya. Masih sangat terkejut dengan tindakan pria itu.
"Awww...!", pekik Gabriel ditempatnya saat dilihatnya pipi Rio ditampar sangat keras oleh ayah Ify. Dia sendiri langsung refleks memegang pipinya. Membayangkan jika hal yang langsung mengundang perhatian pengendara lain itu terjadi padanya.
Sedetik setelah tindakannya barusan, Hanafi Umari langsung terdiam. Ditatapnya telapak tangan kanannya yang sudah melukai Rio dengan tak seharusnya. "Astaghfirullah.."
 Dari kursi kemudi dia langsung mendongak, menatap Rio yang sudah agak menjauh dari posisinya barusan. Remaja itu sedang menunduk, mengusap cairan merah pekat diujung bibirnya. Pak Hanafi langsung menghela nafas.
"Maafkan saya. Sebaiknya kamu pergi saja.", suruhnya dingin pada Rio.
Rio menatapnya datar, tak ada lagi gejolak semangat seperti biasanya ketika ia secara tiba-tiba menemuinya. Pandangan sayu itu menajam dan mengeras, tapi sesaat kemudian Rio menjauh. "Makasih kalau gitu om."

Dengan raut putus asa, ayah Ify melepas kacamata framelessnya. Ditatapnya lagi punggung kokoh Rio yang mulai menghilang dibalik mobil-mobil lain yang juga terjebak macet. Sampai suara klakson dari mobil dibelakangnya terdengar tak sabaran, baru kemudian menyadarkan pria paruh baya itu untuk kembali menginjak gasnya dan melaju menyelesaikan urusannya.
            Gabriel langsung melompat turun dari motor Rio, begitu dilihatnya sahabatnya itu kembali dengan tampang dingin. Diujung bibirnya bercak darah segar masih tersisa meskipun sudah berkali-kali Rio usap dengan punggung tangannya.
"Bro...", Gabriel menepuk bahu Rio. Tapi lelaki itu tak bereaksi, ia yang hendak menjoki motornya langsung dicegah Gabriel. "Udah, biar gue aja deh yang bonceng. Salah-salah bisa masuk iccu kita abis ini.",
Setelah Gabriel sudah siap untuk menarik gas motornya, Rio kemudian duduk diboncengan masih dengan kebisuan. Motor besar itu melaju tanpa hambatan dipinggir jalan yang mulai tak macet lagi.


***


"Aww...!", pekik Rio begitu telunjuk Gabriel menyentuh luka sedikit robek dan memar diujung bibirnya.
"Baru sekarang yo, terasa sakitnya disitu, heh..", kata Gabriel.
Rio mengangkat bahu. "Kan dari tadi sakitnya disini yel.", sahutnya sambil menunjuk dadanya, tepat dihatinya.
Gabriel terkekeh. Kemudian dirangkulnya asal bahu Rio. Kaki kanannya berpijak pada si oranye. Saat ini mereka sedang menghabiskan sore disalah satu tempat favorit mereka. Kamar Rio.
"Perjuangannya masih mau terus dilanjutin kan komandan ?"
Rio mengendikkan bahunya. "Is not this is the end of the fight ?"
"You are sure to get here ?", Gabriel balik bertanya sembari mencari adakah lagi sisa-sisa keoptimisan sahabatnya itu. Tapi ternyata tak lagi ada.
"Well, maybe so."
Gabriel tersenyum. Dirangkulnya lebih hangat lagi tubuh jangkung disampingnya itu. Menawarkan pada Rio jika kebahagiaan yang juga datang dari persahabatan masih ada dan akan terus ada untuknya.
Sampai suara ponsel yang menggetar manja dari saku celananya sendiri, membuat Gabriel melepaskan rangkulannya. Ditatapnya sebentar nama yang tertera dilayar, kemudian ia sedikit menjauh dari Rio dengan isyarat bibirnya yang bergerak tanpa suara berkata 'dari Shilla'.
Rio mengangguk. Ia hanya menatap punggung Gabriel yang membelakanginya sambil sesekali menyentuh lukanya, kemudian ia meringis-ringis sendiri. Tak sampai sepuluh menit, Gabriel berbalik lagi dan menunjukkan seringaiannya.
"Shilla bilang bokapnya mau ketemu gue sekarang yo !", ucapnya dengan nada yang sangat senang. Rio paham itu. Meskipun nasibnya sendiri berbanding terbalik dengan Gabriel, tapi ia tetap ikut berbahagia jika sahabatnya itu pada akhirnya bisa meraih apa yang selama ini begitu mati-matian ia perjuangkan. Gabriel pantas untuk itu.
"Sip ! Congrats bro. Kabar baik selanjutnya ditunggu !", sahut Rio sambil mengacungkan kedua ibu jarinya. Ia sedikit memaksakan senyum, karena bagaimanapun lukanya belum sembuh. Tapi Gabriel tetap mampu melihat ada ketulusan disenyum sahabatnya itu.
"Elo juga baik-baik ya yo.", ucapnya sambil menepuk sebentar bahu kanan Rio dan segera melompati kusen jendela Rio dengan grasak-grusuk.
Rio menatapnya sebentar, kemudian pandangannya jatuh pada wallpaper ponselnya yang memperlihatkan senyuman manis seorang gadis berdagu tirus.
"Kamu tau fy aku sayang...", bersama dengan sepenggal kata yang tak lagi mampu Rio selesaikan, sebutir simbol kesakitan menuruni pipinya. Berasal dari sebelah mata sayunya. Saat itu sepeninggal Gabriel.
Dalam diam batin Rio sesak dengan harapan sedikit saja jika Sang Kuasa juga menjawab semua doa dan perjuangannya

ALUNAN UNTUK BEDA PART 21


"Ngapain sih lo yo ? Pulang liburan dari Manado jadi betah semedi gitu dikamar.", tanya Gabriel heran. Ia menghampiri sahabatnya itu dengan maksud untuk mengajak main basket dilapangan seberang komplek tapi Rio menolaknya mentah-mentah.
"Ntar aja kenapa sih yel ?! Gue lagi nggak bisa diganggu sekarang.", sahut Rio sebal. Sebal atas kekeraskepalaan Gabriel yang tak juga menyerah mengajaknya bermain.
Gabriel berdecak. "Ck ! Lo nggak asik amat deh yo. Kalo elo sibuk, sibuknya apaan ? Biar gue tau dan nggak ganggu lo lagi."
Rio menghela nafasnya. Ia yang sedang bersiap-siap mengancingkan kancing kemeja abu-abu polosnya langsung ikut mendudukkan diri diujung ranjangnya, disamping Gabriel. "Gue mau ngapelin bokapnya Ify. Puas lo ?!"
Gabriel melotot. "Gila lo ?!"
"Yel, kata paman gue lebih baik gue langsung nemuin bokapnya, terus bicarain semuanya, gue yakin kok ayahnya itu orang yang bijaksana. Dia bakal milih pilihan yang paling baik buat anaknya.", kata Rio tenang. Dia tersenyum-senyum sumringah.
"Tapi elo udah siap juga belum dicaci maki abis-abisan berani munculin batang idung lo didepan dia ?", tanya Gabriel masih tak percaya. "Eh iya lupa gue, elo kan nggak punya idung ya yo ?", lanjutnya menahan senyum geli.
Rio mendaratkan jitakannya dikepala Gabriel. "Sialan lo ! Liat aja nanti si pesek yang suka lo bully ini yang bakal duluan ngedapetin restu."
Kepala Gabriel mengangguk-angguk. "Yaudah, iya. Gue bantu doa aja deh ya dari rumah. Semoga elo pulang masih punya nafas atau minimal nggak ada yang jadi cacat deh. Hehe...", seloroh Gabriel. Ia kemudian mengibas-ngibaskan pelan tangannya dibahu Rio, seolah menyingkirkan jika ada sedikitpun kotoran pada kemeja yang sudah licin dan rapi tersebut.
"Gih sono pergi !"
"Elo dong yang pergi."
"Loh, kok jadi gue yang diusir ?"
"Ini kan kamar gue yel. Gimana gue mau pergi kalo elo aja masih nangkring disini ?"
Gabriel terkekeh. Ia akhirnya bangkit kemudian meloncati kusen jendela kamar Rio.  "Kalo pulang, pizza topping sapi lada hitam oke juga tuh !", serunya sambil terkikik.
Rio terkekeh kemudian merapatkan pintu jendelanya.


***


Berbekal sebuah alamat kantor yang sudah ia peroleh dengan penuh berbelit-belit dari Cakka, Rio memarkirkan cagivanya tepat didepan sebuah bangunan kantor megah berlantai lima yang ia ketahui adalah salah satu kantor pemerintahan. Sejak semalam tekadnya sudah tersusun teguh. Hari ini perjuangannya juga waktu backstreetnya yang kurang lebih satu tahun harus terjawab. Ify akan kembali bersamanya atau ia harus melupakannya. Semangat Rio !
Mata sayu Rio langsung tampak...sedikit kaget saat sosok ayah Ify sudah berjalan pelan menuju parkiran mobil. Buru-buru dia berlari kecil untuk menyongsongnya.
"Om Hanafi !", panggilnya.
Pak Hanafi langsung menoleh ketika ada yang memanggilnya. Tapi tatapannya datar, biasa saja begitu melihat Rio. "Kamu. Apa kabar kamu ?",
"Eh, saya baik om.", sahut Rio sambil masih terus mengikuti Pak Hanafi dari belakang.
"Saya mau bicara om ? Boleh ?"
Pak Hanafi otomatis mengentikan langkahnya, membuat Rio yang mengikutinya terhuyung, dan langsung sedikit kaget saat ia berbalik dan memasang tampang galaknya. "Ada apa lagi ?"
"Saya masih ingin sama Ify om. Saya sudah coba memenuhi permintaan tolong om waktu itu, tapi maaf saya nggak bisa om.", kata Rio pelan. Mata ayah Ify makin tajam memandang kearahnya.
"Saya juga minta maaf, saya tetap tidak bisa untuk itu anak muda."
"Om...", Rio meraih tangan Pak Hanafi. "Saya nggak pernah minta rasa ini ada sama saya. Tapi kenyataannya rasa ini ada dan itu untuk putri anda."
Pak Hanafi menarik lagi tangannya. Nafasnya kian sesak. Sesak atas komitmennya sendiri dan juga keteguhan yang jelas memancar dari pemuda didepannya kini. "Rio, saya jelas mengimpikan anak saya bisa mempunyai imam yang tepat untuknya. Dan saya tidak bisa main-main atas itu."
Rio menunduk."Saya juga tidak pernah main-main dengan cinta saya om."
Pak Hanafi mendengus keras. "Sudahlah Rio, saya rasa kamu sangat mungkin meneruskan hidupmu."
"Tapi saya rasa tidak mungkin om jika tanpa Ify."
Tak ada lagi kata-kata sahutan yang terlontar dari bibir ayah Ify. Ia lebih memilih segera menjauh meninggalkan Rio setelah lagi-lagi mengulang kata 'TIDAK' untuk pemuda itu. Ia takut ketulusan yang menguar dari diri Rio membuatnya luluh. Bagaimanapun Ify prioritas utamanya.


***

Ify ditengah dua pasang orang dewasa nampak manyun saat mereka justru asyik bermain monopoli dipelataran rumah sedangkan ia sedari tadi harus mendiamkan bidaknya dikolom masuk penjara.
"Eh jalan dong cuy !", kata Alvin sambil mencolek bahu Agni yang masih tak juga mengocok dadunya. Agni meringis sambil meraih dadunya.
"Enam tuh ! Yihaa ! Kena punya aku sayang.", kata Cakka sambil memainkan alisnya ke Agni yang menghentikan bidaknya ditanah milik Cakka.
"Eh...semuanya tujuh puluh dolar ag, kan rumahnya ada tiga ini.", kata Cakka menghitung jumlah rumahnya.
Agni memelas. "Utang deh Cak, nih uangnya nggak cukup sampe segitu.", dia memperlihatkan empat lembar uang dolar kertasnya.
"Yaudah deh, buat kamu aku ikhlasin aja ya. Semua aset-aset ini nggak lebih berharga dari sekedar senyuman manis kamu kok. Aseeeek..!", kata Cakka dengan gaya bicara yang lebay dan sukses membuat yang mendengarnya mendadak mual, kecuali Agni pastinya. Ia meringis-ringis tak karuan.
"Huuuu....arep semaput cuy dengernya. Hahaha..", kata Alvin sambil menoyor Cakka yang masih memasang tampang senang.
"Minta banget disumpel cd mulutnya. Awww ! hehehe...", sambung Sivia. Alvin gantian menoyor kepalanya tapi tidak sekeras Cakka tadi.
"Tau nih Via, ada anak kecil nih sama kita. Nanti salah ngartiin dia. Kocok dong fy !", suruh Alvin kemudian.
Ify mendelik. "Apanya yang dikocok kak ?", tanyanya polos.
Beberapa saat Alvin bengong, yang lainnya pun sama. Mereka langsung berpusat pada satu pikiran yang...
"Eh...dadunya maksud gue yang dikocok. Gimana sih !", kata Alvin gelagapan.
Toyoran Cakka ikut mendarat dikepalanya. "Hmm...makanya cuy elo sendiri ngomong penuh hawa nafsu gitu."
Serentak mereka semua tertawa. Ify hanya tersenyum kecut dan mulai mengocok dadunya sebanyak tiga kali guna memperoleh nilai kembar. Tapi sampai dadunya yang ketiga tak juga mendapat nilai kembar, ia kembali termenung ditempatnya. Menatap kosong pada permainan monopoli yang biasanya selalu membuatnya senang.
Dari balik gorden biru jendela ada sepasang mata yang menatapnya dengan pandangan sendu. Sebuah tangan halus langsung menepuk pelan pundaknya.
"Ayah tidak tahu tindakan ayah ini salah atau benar.", desah pak Hanafi sambil menoleh pada istrinya.
Bunda Ify tersenyum lembut. "Kalo saran bunda ya yah, sebaiknya ayah pikirin lagi keputusan ayah yang tempo hari. Toh, ini juga nggak serius-serius banget. Anak itu dan Ify kan cuma pacaran, belum tentu nanti kelanjutannya."
"Tapi apa itu nggak akan mengubah Ify ?"
Bunda menggeleng. "Tindakan ayah yang ini yang akhirnya mengubah Ify.", bunda melongokkan kepalanya. "Liat, dia jadi suka sedih gitu kan ?", pak Hanafi kembali menatap putri kecilnya.
"Rio itu anak yang baik yah, anak yang sopan dan bunda rasa dia nggak akan melakukan hal-hal aneh ke Ify.", setelah mengatakan itu bunda Ify beranjak pergi. Meninggalkan suaminya yang masih berada didepan jendela.

ALUNAN UNTUK BEDA PART 20


Manado, Sulawesi Utara...
Dalam sebuah meja makan yang dikeliling beberapa orang, Rio satu-satunya laki-laki termuda dalam keluarga itu sedang asyik menyantap makanan khas dari tanah tempatnya dilahirkan ini. Bersama hampir semua anggota keluarga Haling, ia bersama mama dan Acha nampak sekali dijamu dengan makanan yang istimewa.
"Bammana paniki masakan bibi ngana ?", tanya seorang laki-laki yang berperawakan persis seperti papa Rio, Ferly adik bungsu beliau.
Rio menuntaskan kunyahannya baru kemudian nyengir. "Makin enak om. Rio boleh nambah lagi nggak nih ?",
"Bolehlah, boleh sekali. Ceke sesuka' ngana, kalau habis dan ngana masih mau sana pigisibu le paniki dihutan lalu kasihkan pada bibi untuk dibuatnya le. Haaa'...hahaha", ucapan paman Ferly tadi membuat semua yang ada dimeja makan itu tergelak. Beliau ini memang humoris, salah satu sifat yang sepertinya dituruni Rio.
"Ngomong-ngomong sudah kelas berapa ngana yo ?", tanya seorang wanita yang Rio tahu adalah kakak tertua papanya.
"Abis liburan ini naik kelas tiga tan.", sahut Rio santai.
"Wah mo lulus kalau begitu. Nanti mo lanjut kemana ? Mo jadi angkatan kah seperti papangana ?"
Rio mengangkat bahu sambil tersenyum. Menjadi angkatan seperti papa memang cita-citanya sejak kecil. Mengenakan sebuah seragam yang jauh lebih keren dan berwibawa ketimbang hanya memakai kemeja yang dilapisi jas hitam serta celana kain ala orang-orang kantoran. Seragam berwarna hijau lumut seperti milik papa rasanya sangat cocok jika suatu saat nanti membungkus tubuh tinggi tegapnya. "Rio masih nggak tau, tan."
"Loh bammana bisa ngana nda' tau yo ? Ingat, cita-cita itu seharusnya sudah nganapikirkan sejak sekarang.", Rio menyeringai mendengarnya.
"Rio kan bulum juga lulus sekolah Neli, sudah ngana suruh pikirkan mo jadi apa dia nanti. Ujian nasional yang harus dipikirkannya dulu.", sahut seorang laki-laki lagi, paman Ferry, adik kedua papa Rio.
"Nda' gitu fer, tapikan akan jauh lebe bae, kalau sejak sekarang si Rio itu so tau arah hidupnya nanti."
"Dia pasti taulah nel, memangnya ngana, smp saja nyanda lulus. Hahaha.."
Alhasil, suasana makan siang itu menjadi ajang debat diantar paman dan bibinya. Rio hanya bisa tertawa pelan sesekali sambil terus menghabiskan kelelawar rica-rica yang luar biasa lezat hasil masakan bibi Rena dipiringnya. Acha pun yang sedari tadi diam tampak cekikikan bersama mama disampingnya. Ia tak heran dengan situasi ini. Bukankah kebanyakan orang Manado punya sifat yang keras ?
Perhatian Rio beralih saat ponsel yang dikantonginya berbunyi. Ia segera menariknya asal kemudian melihat ada nama Gabriel yang tertera disana.
"Rio angkat telepon dulu semua.", Rio bangkit dan menjauh.
"Anak itu so punya tona' kah manda ?", tanya bibi Neli penasaran. Ia memandang punggung kokoh ponakannnya itu hingga menghilang diujung pintu.
Amanda tersenyum. "Ada, waktu itu pernah dibawanya kerumah. Ya cha ya ?",
"Iya. Pacarnya bang Rio itu cantik tan, namanya kak Ify. Dia cewek muslim tan."
Bibi Neli nampak manggut-manggut ditempatnya.
"Iya yang ngana bilang itu Raissa ? Hmm...hebat juga ngana pe kaka' itu dapat perempuan muslim. Jadi mengingatkan kitorang sama si Adi ya ? Sekarang ngana pe om yang satu itu juga so hidop sanang di Padang sama istrinya. Masuk islam kan dia.", sahut paman Ferly kagum. Acha mengangguk-angguk.
Anggota keluarga Haling yang lain ikut mengangguk setuju mendengar ucapannya. Mereka memang umat kristiani yang kental, tapi dalam tradisi keluarga mereka toleransi beragama sangat dijunjung tinggi. Bahkan ketika salah satu anak keluarga Haling memutuskan untuk menikah dengan orang muslim dan ikut menjadi muslim juga mereka sama sekali tak melarang. Bagi mereka itu adalah pilihan hidup masing-masing diri. Hanya saja, kerukunan sebagai satu keluarga tak pernah mereka izinkan untuk berubah setelah itu. Dalam keluarganya, sepertinya Rio tak mendapat halangan atau tentangan sama sekali. Satu-satunya ganjalan adalah restu ikhlas dari ayah Ify.

***

Malam harinya...
Berdua paman Ferry, Rio menghabiskan malam terakhirnya di Manado dengan duduk-duduk santai ditemani dua gelas jahe hangat dipelataran rumah neneknya. Kencangnya angin malam, membuat sesekali rambut ikal yang menutupi dahi Rio berterbangan pelan. Suasana dingin malam seperti ini membuatnya tenang. Jarang sekali suasana ini menyelimuti Jakarta yang penuh hawa sesak dan masih juga membuat gerah meskipun malamnya tiba.
"Yo...", panggil paman Ferry setelah menyesap sedikit jahe hangatnya.
"Apa om ?"
"Ceritalah pada om tentang parampuang jakarta yang sudah menggaet hati ngana itu."
Rio sempat melongo mendengarnya tapi ia terkekeh juga. "Siapa yang kasitahu om ? Pasti Acha kan ?"
Paman Ferry mengangguk. "Iyalah, sapa lagi. Jadi seperti apa dia ?", Rio cuma menyeringai sok misterius pada pamannya itu.
"Baapa ngana cengar-cengir gitu ? Ayo bilang.", ucap paman Ferry lagi.
"Iya bentar om.", Rio merogoh saku jeansnya. Mengeluarkan ponselnya, dan mengutak-atiknya sebentar baru kemudian ia angsurkan pada lelaki berwajah lucu dihadapannya.
"Astaga yo..ckck !", paman Ferry berdecak. "Depe dagu seperti lebah bergantung saja ya.", lanjutnya saat melihat foto Ify didalam layar ponsel Rio. Gadis itu sedang mengenakan kerudung putih pasangan dari seragam sekolahnya.
Paman Ferry mengembalikan lagi ponsel tersebut pada pemiliknya. "Pantas sajalah nganatertarik. Liat parampuang itu jadi ingat bibi Keke om.", Rio terkikik sambil menerima ponselnya. Bibi Keke adalah istri paman Ferry.
"Parampuang so itu yang pantas ngana perjuangkan ! Nyesal nanti kalau diputusin."
Rio selesai menyesap jahe hangatnya kemudian bersandar pada sandaran kursi. "Iyalah om, perjuangan buat cewek kayak Ify bener-bener nggak mudah. Kita ditentang ayahnya."
Paman Ferry terpingkal sambil menepuk pundak Rio berkali-kali. Masalah klise itu ternyata selalu saja berakar dimanapun terdapat cinta diatas perbedaan. Tebakannya ternyata benar sedari tadi. "Bosan sekali om mendengar masalah itu yo. Sudah kita tebak dari tadi. Dulu om Adi juga mati-matian ditentang ayahnya Zahra, dia sampe nda' makang dua hari gara-gara itu."
"Tapikan akhirnya om Adi direstuin ayahnya bibi Zahra kan ? Sementara Rio ?", Rio mendesah lesu.
"Heh ! Ngana kira ka' dapat restunya aki-aki itu mudah ?", sahut paman Ferry sedikit kesal dan menoyor kepala Rio. "Ngana pe om depe laste memilih masuk islam kan demi itu ?"
Rio diam menatapnya. Benar ucapan paman Ferry. Segala sesuatu didunia ini ada konsekuensinya, ada harga yang harus dibayar. Tapi ia sendiri masih tak bisa mengambil keputusan seberani pamannya. Ada banyak sekali orang yang harus ia pikirkan disini, meskipun mereka sama sekali tak menentang jika suatu saat Rio mengambil keputusan seperti itu.
"Nah tapi, slak berjuang orang kan beda-beda yo. Kalau ngana pe om itu lebih memilih slakitu untuk dapat restu, ngana masih punya banyak pilihan lain yang bisa ngana lakukan.", sambung paman Ferry lagi sambil mengusap pelan rambut Rio.
Rio kembali menatapnya. "Misalnya om ?"
Sebuah seringaian langsung muncul diwajah paman Ferry. Ia yang meraih gelar sarjananya di Universitas of melbourne bak siap menyalurkan apa yang kini berkembang cukup aneh didalam otaknya. Telunjuknya bergerak, mengisyaratkan pada ponakannya itu untuk mendekat. "Kemari !"
Rio beranjak dari kursinya. Kemudian ia mengambil posisi berdiri dengan tulang punggung yang sedikit menunduk untuk bisa memberikan telinganya mendengar 'tips' apa yang akan disampaikan pamannya itu. Setelah itu ia juga ikut menyeringai sambil menyatukan telapak tangannya dan paman Ferry dengan penuh semangat.
Besok, Rio akan kembali pulang ke Jakarta dengan bekal ide cemerlang dari tanah Manado untuk melakukan perjuangan berikutnya demi peri cintanya, Alyssa.

ALUNAN UNTUK BEDA PART 19


Bunyi alarm yang terdengar melengking dari jam berbentuk kotak disebelah ranjang Ify tak membuatnya buru-buru bangkit dari kasur seperti pada pagi biasanya. Hari ini masih dalam rangka liburan sekolah. Sebelah tangannya langsung menggapai-gapai jam tersebut untuk kemudian mematikan tombol alarm. Setelah itu ia kembali menarik bed covernya yag tebal hingga setinggi pinggang. Tubuh mungilnya berbalik kekanan.
Ify berusaha lagi memejamkan matanya. Tapi yang ada justru setiap kali kelopak itu menutupi matanya, setiap ekspresi menyenangkan diwajah Rio kembali terlukis jelas. Ify mendesah lagi. Ia sangat-sangat merindukan lelaki itu.
Teringat sesuatu yang mungkin saja mampu membunuh rindunya, Ify kembali meraba-raba bawah bantalnya, mencari ponselnya. Kemudian dengan sedikit semangat disusurinya icon inbox. Ada beberapa pesan singkat yang beberapa hari lalu Rio kirimkan padanya, itupun bukan dengan nomor pribadinya. Menjelaskan jika saat ini lelaki tampan itu sedang ada diluar kota, Manado, Sulawesi Utara untuk mengisi liburannya. Sekaligus untuk menziarahi makan papanya. Salah satu hal yang baru Ify ketahui setelah lelaki itu akhirnya bercerita mengapa selama ini ketika melihat sosok ayah, Rio selalu berseri-seri.


***


Dengan wajah yang memerah, Ify akhirnya sampai juga pada tempat dimana ia mengucapkan janji dengan Rio untuk bertemu. Nafasnya satu-satu akibat berlari dengan jarak yang tak bisa dibilang dekat demi menatap langsung wajah tampan yang saat ini sedang nyengir mesra kearahnya.
"Hosh...hosh..kenapa masang muka gitu sih ?!", kata Ify kesal saat wajah Rio tampak sepolos bocah.
"Nggak apa-apa dong."
"Nggak tau aku capek gini, kehabisan nafas nih rasanya !",
Rio tersenyum. "Masa ? Pantesan aja muka kamu jadi lebih seksi gitu keliatannya. Haha..", ledek Rio sesaat setelah ia menggeser posisinya. Memberi tempat untuk Ify duduk.
Ify menyikut perut Rio asal, tapi ia tak bersuara lagi. Ia masih sibuk mengumpulkan oksigen untuk masuk kedalam rongga dadanya. Agar nafasnya kembali normal seperti biasanya.
"Udah nih, aku dianggurin gini aja ?", tanya Ify iseng saat Rio ternyata tak bersuara juga. Rio menoleh kearahnya kemudian nyengir kuda. Ekspresi itu yang hingga saat ini begitu sulit Ify lupakan.
"Sebelum kesini ngapain tadi ?"
Ify sempat bingung dengan pertanyaan Rio tapi akhirnya ia tetap menjawabnya. "Bikin kopi buat ayah sebelum dia berangkat kerja."
Rio mengangguk. "Gimana keadaan beliau fy ? Sehat ?"
"Ayah masih sehat juga masih kekeh nentang kita.", jawab Ify asal. Rio langsung menatapnya, tapi kemudian ia membentuk jarinya menjadi huruf V. Tak lupa nyengir juga. Keduanya jika sudah begitu terlihat mirip, dari cara nyengirnya terutama.
"Lagian dari tadi bukannya nanyain gimana aku, malah nanyain ayah mulu. Segitunya yang pengen dapet restu ayah, heeh.", Ify menatap Rio dengan seringaian usil.
"Nggak bukan gitu fy..", Rio menggaruk pelipisinya sebentar kemudian dia melanjutkan kata-katanya dengan nada yang berubah sedih. "Tiap liat ayah kamu, aku inget papa aku. Beliau udah nggak ada tiga tahun yang lalu, tertembak pas lagi tugas diposo."
Pantas, tiap kerumah Rio, papanya nggak pernah ada, pikir Ify kemudian. Karena tak tahu lagi harus berbuat apa, Ify justru hanya mendengarkan Rio dalam diam. Saat ini, lelaki itu hanya butuh didengarkan.
"Tiap ngeliat perabotan kayu dirumah, ngingetin aku sama papa. Dulu, pas lagi libur tugasnya ditni papa suka bikin-bikin gitu, aku yang bantuin beliau fy. Dari sana aku pertama kali bisa kenal sama alat-alat tukang dan pekerjaan apa yang harusnya laki-laki bisa."
Rio diam lagi. Matanya menerawang kosong, tapi dari sana Ify tahu jika rindu itu benar-benar jujur. Anak laki-laki ini begitu rindu papanya.
"Pas sekolah juga, beliau yang tiap hari nganter jemput. Dari tk, sampe sd. Kamu tau nggak fy...", Rio terkekeh sambil menoleh untuk menatap Ify. "Nggak tau gimana caranya beliau itu selalu aja udah nongkrong didepan gerbang sekolah tepat jam sepuluh, nggak peduli deh aku ada les tambahan atau enggak. Nggak peduli juga dia lagi kerja apa enggak. Pas banget, ketika aku udah smp beliau nggak ada. Mungkin beliau udah capek kali ya fy manjain aku belasan tahun. ", Ify semakin memeluk lengan kanan Rio.
"Engg...kursi rotan tua yang dibalkon tempo hari, beliau juga fy yang buat. Terus disana deh tiap sore aku sama papa ngabisin waktu sambil ngopi bareng. Nggak ngebayain kan anak kecil udah minum kopi tiap hari."
Ify mendesah. "Kamu suka kopi ?"
Rio menggeleng lagi. "Enggak. Aku cuma suka kopi buatan papa yang buat aku. Soalnya banyak dikasi susu daripada kopi hitamnya. Setelah beliau nggak ada, aku bahkan hampir nggak pernah nyentuh kopi hitam lagi."
 Ify terkekeh setelah Rio terkekeh. Perlahan pelukannya dilengan Rio semakin erat. Dagu tirusnya, Ify letakkan dibahu Rio. Membuatnya pipi mereka sesekali bersentuhan. Banyak pengunjung taman yang sekedar melirik atau bahkan membicarakan dengan iri keromantisan mereka. Hey, mereka tak pernah tau apa apa bukan ? Sepasang remaja itu hanya saling menguatkan.


***

Sebuah lengan kekar tiba-tiba saja memeluk tubuhnya dari belakang, membuat Ify yang sebelumnya melamun dengan pikiran yang mengingat tentang Rio sedikit kaget. Tanpa ia menolehpun, ia cukup tahu itu siapa. Dari aroma parfum musk tubuhnya. Dari cara orang itu memperlakukannya.
"Apaan kak ?", tanya Ify.
Cakka tak menjawabnya tapi gerakan bantal dibelakang Ify cukup membuatnya yakin jika kakaknya itu menggeleng. Ify biarkan saja pelukan hangat Cakka mengunci tubuh mungilnya secara ketat.
"Ceileee fy fy, segitu bisanya ya si ceking bikin kamu gegana gini.", bisik Cakka tepat ditelinga Ify. Ia juga berusaha menahan senyum geli.
Ify menggeliat kemudian membalik tubuhnya. Membuat tubuh mereka dalam posisi yang berhadapan. "Apa gegana kak ?", tanya Ify heran.
"Gelisah galau merana. Haha...",
Ify tersenyum kecil. "Alay lo kak !", sahutnya ketus kemudian buru-buru bangkit dari kasur. Membiarkan Cakka tertawa geli sambil guling-guling diatas kasurnya yang tak tertata lagi.

ALUNAN UNTUK BEDA PART 18


Gerakan mereka memang tak sama. Tapi sebenarnya sama-sama ingin menemui Tuhan. Mengadu pada-Nya sebagai hamba yang tak punya kuasa apa-apa. Mengajak Sang Maha Segala itu berbicara dengan bahasa yang berbeda, terjadi percakapan sederhana dengan bulir air mata. Sama-sama bermuara pada kedua mata mereka.

***

Selepas isya, Ify masih membiarkan mukena dan sajadahnya tergolek asal disamping ranjang, tak seperti biasanya yang langsung ia lipat dengan rapi. Karena kini mukena dan sajadah tebal berbulu lembut itu menemani Ify dalam tahajudnya. Waktu yang luar biasa memberi ketenangan diseperempat malam. Usai melaksanakan inti dari kegiatan malam itu, sebanyak dua rakaat, gadis itu duduk bersimpuh. Perlahan tangannya terangkat hingga setinggi dada, kemudian wajahnya menengadah.
Belum saja satu katapun yang keluar dari bibir Ify, aliran berair bening sudah menuruni pipinya, tepat dari sudut matanya. Membuatnya sesenggukan lirih dan memutuskan melantunkan setiap permohonannya dalam hati. Inilah anugerah baginya, karena Tuhan tak pernah memberikan konsekuensi ketika ia memendam rasa itu dalam diam dan sendirian.
"Yaallah, jika aku tulang rusuk yang keliru untuknya, kumohon kembalikan ia pada orang yang tepat, pada pemiliknya. Bagian yang nanti akan menjadi hidupnya."

***

Sebuah gereja mungil dipinggir kota yang selalu terbuka dua puluh empat jam.
Dalam bangunan itu banyak sekali barisan bangku kayu untuk para jemaatnya. Namun malam itu hanya ada satu bangku yang terisi. Oleh seorang pemuda bercardigan putih yang sedang melengkungkan tulang punggungnya letih. Sesaat ia mengangkat wajah. Menatap sebentar lambang besar yang tertempel dengan ukiran indah tepat ditengah dinding luas gereja itu.
Wajah Rio sedikit mengendur. Kemudian perlahan kedua sikunya menopang diatas meja, kedua tangannya saling menyatu dan menggenggam. Mata sayunya tertutup. Dalam gumaman hati, Rio yakin jika Tuhan kali ini sedang mendengar rapalan doanya. Untuk melafalkan ada sebait rindu yang kini terangkat singgah dari hatinya menuju tubuh mungil seorang gadis yang terus terikut dalam setiap kalimat yang tercetus lirih dari bibirnya.
"Tuhan, jika susunan tak lengkap tubuhku ini ada bersamanya, izinkan aku untuk menggapainya. Mengajaknya untuk meniti cinta ini berdua...", ada setitik air yang jatuh diatas meja kayu dengan polesan mengkilap itu. "Meskipun dengan cara dan jalan kami yang berbeda.