Jumat, 22 Januari 2016

ALUNAN UNTUK BEDA PART 20


Manado, Sulawesi Utara...
Dalam sebuah meja makan yang dikeliling beberapa orang, Rio satu-satunya laki-laki termuda dalam keluarga itu sedang asyik menyantap makanan khas dari tanah tempatnya dilahirkan ini. Bersama hampir semua anggota keluarga Haling, ia bersama mama dan Acha nampak sekali dijamu dengan makanan yang istimewa.
"Bammana paniki masakan bibi ngana ?", tanya seorang laki-laki yang berperawakan persis seperti papa Rio, Ferly adik bungsu beliau.
Rio menuntaskan kunyahannya baru kemudian nyengir. "Makin enak om. Rio boleh nambah lagi nggak nih ?",
"Bolehlah, boleh sekali. Ceke sesuka' ngana, kalau habis dan ngana masih mau sana pigisibu le paniki dihutan lalu kasihkan pada bibi untuk dibuatnya le. Haaa'...hahaha", ucapan paman Ferly tadi membuat semua yang ada dimeja makan itu tergelak. Beliau ini memang humoris, salah satu sifat yang sepertinya dituruni Rio.
"Ngomong-ngomong sudah kelas berapa ngana yo ?", tanya seorang wanita yang Rio tahu adalah kakak tertua papanya.
"Abis liburan ini naik kelas tiga tan.", sahut Rio santai.
"Wah mo lulus kalau begitu. Nanti mo lanjut kemana ? Mo jadi angkatan kah seperti papangana ?"
Rio mengangkat bahu sambil tersenyum. Menjadi angkatan seperti papa memang cita-citanya sejak kecil. Mengenakan sebuah seragam yang jauh lebih keren dan berwibawa ketimbang hanya memakai kemeja yang dilapisi jas hitam serta celana kain ala orang-orang kantoran. Seragam berwarna hijau lumut seperti milik papa rasanya sangat cocok jika suatu saat nanti membungkus tubuh tinggi tegapnya. "Rio masih nggak tau, tan."
"Loh bammana bisa ngana nda' tau yo ? Ingat, cita-cita itu seharusnya sudah nganapikirkan sejak sekarang.", Rio menyeringai mendengarnya.
"Rio kan bulum juga lulus sekolah Neli, sudah ngana suruh pikirkan mo jadi apa dia nanti. Ujian nasional yang harus dipikirkannya dulu.", sahut seorang laki-laki lagi, paman Ferry, adik kedua papa Rio.
"Nda' gitu fer, tapikan akan jauh lebe bae, kalau sejak sekarang si Rio itu so tau arah hidupnya nanti."
"Dia pasti taulah nel, memangnya ngana, smp saja nyanda lulus. Hahaha.."
Alhasil, suasana makan siang itu menjadi ajang debat diantar paman dan bibinya. Rio hanya bisa tertawa pelan sesekali sambil terus menghabiskan kelelawar rica-rica yang luar biasa lezat hasil masakan bibi Rena dipiringnya. Acha pun yang sedari tadi diam tampak cekikikan bersama mama disampingnya. Ia tak heran dengan situasi ini. Bukankah kebanyakan orang Manado punya sifat yang keras ?
Perhatian Rio beralih saat ponsel yang dikantonginya berbunyi. Ia segera menariknya asal kemudian melihat ada nama Gabriel yang tertera disana.
"Rio angkat telepon dulu semua.", Rio bangkit dan menjauh.
"Anak itu so punya tona' kah manda ?", tanya bibi Neli penasaran. Ia memandang punggung kokoh ponakannnya itu hingga menghilang diujung pintu.
Amanda tersenyum. "Ada, waktu itu pernah dibawanya kerumah. Ya cha ya ?",
"Iya. Pacarnya bang Rio itu cantik tan, namanya kak Ify. Dia cewek muslim tan."
Bibi Neli nampak manggut-manggut ditempatnya.
"Iya yang ngana bilang itu Raissa ? Hmm...hebat juga ngana pe kaka' itu dapat perempuan muslim. Jadi mengingatkan kitorang sama si Adi ya ? Sekarang ngana pe om yang satu itu juga so hidop sanang di Padang sama istrinya. Masuk islam kan dia.", sahut paman Ferly kagum. Acha mengangguk-angguk.
Anggota keluarga Haling yang lain ikut mengangguk setuju mendengar ucapannya. Mereka memang umat kristiani yang kental, tapi dalam tradisi keluarga mereka toleransi beragama sangat dijunjung tinggi. Bahkan ketika salah satu anak keluarga Haling memutuskan untuk menikah dengan orang muslim dan ikut menjadi muslim juga mereka sama sekali tak melarang. Bagi mereka itu adalah pilihan hidup masing-masing diri. Hanya saja, kerukunan sebagai satu keluarga tak pernah mereka izinkan untuk berubah setelah itu. Dalam keluarganya, sepertinya Rio tak mendapat halangan atau tentangan sama sekali. Satu-satunya ganjalan adalah restu ikhlas dari ayah Ify.

***

Malam harinya...
Berdua paman Ferry, Rio menghabiskan malam terakhirnya di Manado dengan duduk-duduk santai ditemani dua gelas jahe hangat dipelataran rumah neneknya. Kencangnya angin malam, membuat sesekali rambut ikal yang menutupi dahi Rio berterbangan pelan. Suasana dingin malam seperti ini membuatnya tenang. Jarang sekali suasana ini menyelimuti Jakarta yang penuh hawa sesak dan masih juga membuat gerah meskipun malamnya tiba.
"Yo...", panggil paman Ferry setelah menyesap sedikit jahe hangatnya.
"Apa om ?"
"Ceritalah pada om tentang parampuang jakarta yang sudah menggaet hati ngana itu."
Rio sempat melongo mendengarnya tapi ia terkekeh juga. "Siapa yang kasitahu om ? Pasti Acha kan ?"
Paman Ferry mengangguk. "Iyalah, sapa lagi. Jadi seperti apa dia ?", Rio cuma menyeringai sok misterius pada pamannya itu.
"Baapa ngana cengar-cengir gitu ? Ayo bilang.", ucap paman Ferry lagi.
"Iya bentar om.", Rio merogoh saku jeansnya. Mengeluarkan ponselnya, dan mengutak-atiknya sebentar baru kemudian ia angsurkan pada lelaki berwajah lucu dihadapannya.
"Astaga yo..ckck !", paman Ferry berdecak. "Depe dagu seperti lebah bergantung saja ya.", lanjutnya saat melihat foto Ify didalam layar ponsel Rio. Gadis itu sedang mengenakan kerudung putih pasangan dari seragam sekolahnya.
Paman Ferry mengembalikan lagi ponsel tersebut pada pemiliknya. "Pantas sajalah nganatertarik. Liat parampuang itu jadi ingat bibi Keke om.", Rio terkikik sambil menerima ponselnya. Bibi Keke adalah istri paman Ferry.
"Parampuang so itu yang pantas ngana perjuangkan ! Nyesal nanti kalau diputusin."
Rio selesai menyesap jahe hangatnya kemudian bersandar pada sandaran kursi. "Iyalah om, perjuangan buat cewek kayak Ify bener-bener nggak mudah. Kita ditentang ayahnya."
Paman Ferry terpingkal sambil menepuk pundak Rio berkali-kali. Masalah klise itu ternyata selalu saja berakar dimanapun terdapat cinta diatas perbedaan. Tebakannya ternyata benar sedari tadi. "Bosan sekali om mendengar masalah itu yo. Sudah kita tebak dari tadi. Dulu om Adi juga mati-matian ditentang ayahnya Zahra, dia sampe nda' makang dua hari gara-gara itu."
"Tapikan akhirnya om Adi direstuin ayahnya bibi Zahra kan ? Sementara Rio ?", Rio mendesah lesu.
"Heh ! Ngana kira ka' dapat restunya aki-aki itu mudah ?", sahut paman Ferry sedikit kesal dan menoyor kepala Rio. "Ngana pe om depe laste memilih masuk islam kan demi itu ?"
Rio diam menatapnya. Benar ucapan paman Ferry. Segala sesuatu didunia ini ada konsekuensinya, ada harga yang harus dibayar. Tapi ia sendiri masih tak bisa mengambil keputusan seberani pamannya. Ada banyak sekali orang yang harus ia pikirkan disini, meskipun mereka sama sekali tak menentang jika suatu saat Rio mengambil keputusan seperti itu.
"Nah tapi, slak berjuang orang kan beda-beda yo. Kalau ngana pe om itu lebih memilih slakitu untuk dapat restu, ngana masih punya banyak pilihan lain yang bisa ngana lakukan.", sambung paman Ferry lagi sambil mengusap pelan rambut Rio.
Rio kembali menatapnya. "Misalnya om ?"
Sebuah seringaian langsung muncul diwajah paman Ferry. Ia yang meraih gelar sarjananya di Universitas of melbourne bak siap menyalurkan apa yang kini berkembang cukup aneh didalam otaknya. Telunjuknya bergerak, mengisyaratkan pada ponakannya itu untuk mendekat. "Kemari !"
Rio beranjak dari kursinya. Kemudian ia mengambil posisi berdiri dengan tulang punggung yang sedikit menunduk untuk bisa memberikan telinganya mendengar 'tips' apa yang akan disampaikan pamannya itu. Setelah itu ia juga ikut menyeringai sambil menyatukan telapak tangannya dan paman Ferry dengan penuh semangat.
Besok, Rio akan kembali pulang ke Jakarta dengan bekal ide cemerlang dari tanah Manado untuk melakukan perjuangan berikutnya demi peri cintanya, Alyssa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar