Jumat, 22 Januari 2016

ALUNAN UNTUK BEDA PART 17


Satu tahun kemudian...

Andai tak pernah ada adegan manis pada jumat siang 24 april tahun lalu yang membuatnya harus mengenal cinta dari seorang Mario, mungkin sekarang Ify tak perlu merasakan tekanan yang begitu luar biasa pada dirinya. Kumpulan rindunya menyerbu. Mengoyak selaput ringkih hatinya tanpa ampun. Segumpal rasa dengan segenap cinta itu hanya untuk sosoknya. Pemuda luar bisa hebat yang sejak saat itu hingga kini masih memiliki tahta terhebat atas segala rasanya.
Hari ini, tepat setahun setelah kejadian itu, Ify meringkuk letih diranjang kamarnya. Ada dengkuran halus yang berada disebelahnya, menandakan jika Sivia sudah terlelap sejak tadi. Tinggal ia, dan mungkin juga Rio yang masih terjaga. Mempertanyakan bagaimana nasibnya komitmen mereka yang sudah berjalan hampir setahun belakangan ini menggantung tak karuan. Sejak banyak sekali adegan pilu yang harus Rio terima demi penolakan ayahnya membuat Ify tak mampu bergerak lagi.
Setengah payah, Ify bangkit. Perlahan kakinya yang tak beralas menyeret menuju balkon. Membuka sedikit pintunya untuk sekedar menyapa lesu pada purnama bulat yang masih bertahta elok dilangit malam. Jika mungkin, Ify hanya ingin bertanya padanya, apakah Rio masih baik-baik saja ? Apakah ribuan telepati rindu yang coba ia kirimkan mampu Rio terima dengan jelas ? Apakah dalam setiap malamnya, masih terus terselip segala kenangan luar biasa indah yang pernah hadir diantara mereka ? Ah..apakah jika sekarang ini ada Rio, mungkin akhir dari cerita malam ini akan sedikit berakhir manis dalam rengkuhannya ?
Ify mendesah sakit kemudian terisak. Menelungkupkan kepalanya diatas lututnya. Sejak saat itu, tak ingat dengan jelas kapan tepatnya, setiap sentuhan mesra yang menengaskan jika disetiap incinya adalah cinta Rio adalah yang terakhir. Mungkin hingga saat ini. Tak pernah lagi ada waktu-waktu manis ketika mereka bertemu dikantin sekolah, atau ia yang sangat senang, jika sudah mengusap manja keringat yang mengalir dipelipis Rio, seusai laki-laki itu basket, atau mungkin sengaja bermain dulu ketempat-tempat seru sebelum diantar pulang oleh Rio. Atau bahkan momen ketika Rio bermain monopoli didepan rumahnya kemudian ikut makan malam bersama meskipun pada akhirnya harus terusir kejam oleh perkataan tegas ayahnya.
Yang jelas, semua itu berganti. Tinggal hari-hari lara yang harus Ify lewatkan saat disekolahpun ia seolah tak lagi bisa dengan mudah menemui selebritis sekolah itu. Rio bagai punya dunia baru. Tak sembarang orang kini bisa menjumpainya yang biasanya sangat sering berseliweran ditiap lorong-lorong sekolah sekedar membuat para fansnya menjerit tak ukuran. Pria itu menjadi seperti buronan.
"Setiap led nyala itu harapan aku selalu dari kamu..", desahnya pelan.


***

Titik titik air bening menerjang keras setiap atap bangunan yang berada dibawahnya kemudian jatuh deras ketanah. Menjadikan suasana hari yang biasanya biasa saja menjadi gemuruh luar biasa. Tapi setiap moment yang kadang menyebalkan bagi sebagian orang itu justru kadang juga mampu menciptakan adegan sungguh romantis disetiap drama india atau korea. Membuat siapapun yang menonton tayangan itu, tak segan sesenggukan sedih sambil berkhayal bisa melewatkan sedikit saja adegan didalam layar tersebut.
Dan bagi seorang pemuda berseragam lengkap sma yang terlihat tak karuan sedang duduk memangku dagunya disalah satu meja caffe, hujan deras yang mengguyur kota siang ini membuat angannya justru membumbung. Menjadikan setiap aliran tanpa rekayasa yang ia lihat diujung kanopi tempat itu melukiskan sebuah sketsa berwajah cantik ditengah pagelaran masal khayalannya. Hujan memang dapat meresonansikan ingatan masa lalu. Tentang tawanya, suara lembutnya, mata indahnya.
Rio berjingkat geli saat sesuatu terasa menggigit daun telinganya penuh nafsu. Ternyata sang sahabatnyalah pelakunya. Membuat adegan mesra sesama jenis tadi mengundang tatapan tak senonoh dari semua pasang mata kemejanya.
Dengan kesal ia menepuk tengkuk Gabriel. "Anjrit lo ! Jadi gay nggak kesampean ?!", desis Rio sewot.
Lalu Gabriel tertawa kecil dan mulai menarik kursi. Ia langsung duduk tepat dihadapan Rio masih memasang tampang tengilnya. "Abis gitu amat lo, ngeliatin hujan. Terobsesi ?"
Decakan tak minat membuat Gabriel berucap lagi. "Lagian elo kemana belakangan ini yo ? Jarang tebar-tebar pesona lagi disekolah, tiap gue nenangga juga, elo selalu belum pulang ?", tanya Gabriel. Tak ada sahutan. "Apa jangan-jangan elo lagi nyari pelampiasan ? Eh, ceck in sana sini misalnya ?", katanya lagi.
"Lo pikir gue buaya kayak lo ?!", sahut Rio sewot. Masih kesulitan menemukan mood yang tepat untuk berbicara dengan Gabriel saat ini.
Dahi Gabriel mengernyit. "Eh elo jangan salah yo, namanya buaya kan pastinya juga butuh lobang. Terus kalo kita jadi buayanya nih ya, yang punya lobangnya siapa ?", ucap Gabrie sedikit keras. Tapi Rio buru-buru mendesis aneh agar ucapan barusan tak langsung terdengar jernih kemeja-meja disekitar mereka yang lumayan penuh. Gabriel terkekeh lucu.
Setelah itu keduanya diam. Rio menatap dalam wajah Gabriel, sementara yang ditatap justru sibuk menegak habis capuccino pahit milik Rio. Setelah Gabriel meletakkan gelas kosongnya kembali pada tatakan, Rio juga mulai membuang nafas.
"Ini tentang Ify kan ? Udah lo perjuangin belum ?", tanya Gabriel santai.
"Selama ini apa yang gue lakuin masih belum pantes disebut perjuangan ?!",
Gabriel terkekeh. "Elo mau tau nggak gimana caranya biar langsung dapet restu ?", pancingnya kemudian. Sebuah senyum menahan geli menangkup wajah tampannya.
"Gimana ?",
"Gampang, keluarin didalem bro. Dengan gitu bokap Ify nggak punya pilihan lain.", kata Gabriel sedikit keras. Yang sedikit keras itu yang membuat sekelompok cewek dimeja sebelah mereka menoleh dan langsung melotot.
Rio memberi isyarat agar Gabriel mendekat kearahnya. Gabriel menurut.
"Bajingan lo !", bisik Rio pelan. Gelak tawa geli menyembur dari bibir Gabriel.
"Hahaha...buat sesepele mungkin lah bray, 'cause semua indah pada waktunya kok ! Lo tinggal usaha aja dan just go with the flow.", Nasehat bijak Gabriel akhirnya keluar, setelah sebelumnya hilang entah kemana. Tertutupi oleh otak mesumnya mungkin. Rio tersenyum tipis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar