Jumat, 22 Januari 2016

ALUNAN UNTUK BEDA PART 19


Bunyi alarm yang terdengar melengking dari jam berbentuk kotak disebelah ranjang Ify tak membuatnya buru-buru bangkit dari kasur seperti pada pagi biasanya. Hari ini masih dalam rangka liburan sekolah. Sebelah tangannya langsung menggapai-gapai jam tersebut untuk kemudian mematikan tombol alarm. Setelah itu ia kembali menarik bed covernya yag tebal hingga setinggi pinggang. Tubuh mungilnya berbalik kekanan.
Ify berusaha lagi memejamkan matanya. Tapi yang ada justru setiap kali kelopak itu menutupi matanya, setiap ekspresi menyenangkan diwajah Rio kembali terlukis jelas. Ify mendesah lagi. Ia sangat-sangat merindukan lelaki itu.
Teringat sesuatu yang mungkin saja mampu membunuh rindunya, Ify kembali meraba-raba bawah bantalnya, mencari ponselnya. Kemudian dengan sedikit semangat disusurinya icon inbox. Ada beberapa pesan singkat yang beberapa hari lalu Rio kirimkan padanya, itupun bukan dengan nomor pribadinya. Menjelaskan jika saat ini lelaki tampan itu sedang ada diluar kota, Manado, Sulawesi Utara untuk mengisi liburannya. Sekaligus untuk menziarahi makan papanya. Salah satu hal yang baru Ify ketahui setelah lelaki itu akhirnya bercerita mengapa selama ini ketika melihat sosok ayah, Rio selalu berseri-seri.


***


Dengan wajah yang memerah, Ify akhirnya sampai juga pada tempat dimana ia mengucapkan janji dengan Rio untuk bertemu. Nafasnya satu-satu akibat berlari dengan jarak yang tak bisa dibilang dekat demi menatap langsung wajah tampan yang saat ini sedang nyengir mesra kearahnya.
"Hosh...hosh..kenapa masang muka gitu sih ?!", kata Ify kesal saat wajah Rio tampak sepolos bocah.
"Nggak apa-apa dong."
"Nggak tau aku capek gini, kehabisan nafas nih rasanya !",
Rio tersenyum. "Masa ? Pantesan aja muka kamu jadi lebih seksi gitu keliatannya. Haha..", ledek Rio sesaat setelah ia menggeser posisinya. Memberi tempat untuk Ify duduk.
Ify menyikut perut Rio asal, tapi ia tak bersuara lagi. Ia masih sibuk mengumpulkan oksigen untuk masuk kedalam rongga dadanya. Agar nafasnya kembali normal seperti biasanya.
"Udah nih, aku dianggurin gini aja ?", tanya Ify iseng saat Rio ternyata tak bersuara juga. Rio menoleh kearahnya kemudian nyengir kuda. Ekspresi itu yang hingga saat ini begitu sulit Ify lupakan.
"Sebelum kesini ngapain tadi ?"
Ify sempat bingung dengan pertanyaan Rio tapi akhirnya ia tetap menjawabnya. "Bikin kopi buat ayah sebelum dia berangkat kerja."
Rio mengangguk. "Gimana keadaan beliau fy ? Sehat ?"
"Ayah masih sehat juga masih kekeh nentang kita.", jawab Ify asal. Rio langsung menatapnya, tapi kemudian ia membentuk jarinya menjadi huruf V. Tak lupa nyengir juga. Keduanya jika sudah begitu terlihat mirip, dari cara nyengirnya terutama.
"Lagian dari tadi bukannya nanyain gimana aku, malah nanyain ayah mulu. Segitunya yang pengen dapet restu ayah, heeh.", Ify menatap Rio dengan seringaian usil.
"Nggak bukan gitu fy..", Rio menggaruk pelipisinya sebentar kemudian dia melanjutkan kata-katanya dengan nada yang berubah sedih. "Tiap liat ayah kamu, aku inget papa aku. Beliau udah nggak ada tiga tahun yang lalu, tertembak pas lagi tugas diposo."
Pantas, tiap kerumah Rio, papanya nggak pernah ada, pikir Ify kemudian. Karena tak tahu lagi harus berbuat apa, Ify justru hanya mendengarkan Rio dalam diam. Saat ini, lelaki itu hanya butuh didengarkan.
"Tiap ngeliat perabotan kayu dirumah, ngingetin aku sama papa. Dulu, pas lagi libur tugasnya ditni papa suka bikin-bikin gitu, aku yang bantuin beliau fy. Dari sana aku pertama kali bisa kenal sama alat-alat tukang dan pekerjaan apa yang harusnya laki-laki bisa."
Rio diam lagi. Matanya menerawang kosong, tapi dari sana Ify tahu jika rindu itu benar-benar jujur. Anak laki-laki ini begitu rindu papanya.
"Pas sekolah juga, beliau yang tiap hari nganter jemput. Dari tk, sampe sd. Kamu tau nggak fy...", Rio terkekeh sambil menoleh untuk menatap Ify. "Nggak tau gimana caranya beliau itu selalu aja udah nongkrong didepan gerbang sekolah tepat jam sepuluh, nggak peduli deh aku ada les tambahan atau enggak. Nggak peduli juga dia lagi kerja apa enggak. Pas banget, ketika aku udah smp beliau nggak ada. Mungkin beliau udah capek kali ya fy manjain aku belasan tahun. ", Ify semakin memeluk lengan kanan Rio.
"Engg...kursi rotan tua yang dibalkon tempo hari, beliau juga fy yang buat. Terus disana deh tiap sore aku sama papa ngabisin waktu sambil ngopi bareng. Nggak ngebayain kan anak kecil udah minum kopi tiap hari."
Ify mendesah. "Kamu suka kopi ?"
Rio menggeleng lagi. "Enggak. Aku cuma suka kopi buatan papa yang buat aku. Soalnya banyak dikasi susu daripada kopi hitamnya. Setelah beliau nggak ada, aku bahkan hampir nggak pernah nyentuh kopi hitam lagi."
 Ify terkekeh setelah Rio terkekeh. Perlahan pelukannya dilengan Rio semakin erat. Dagu tirusnya, Ify letakkan dibahu Rio. Membuatnya pipi mereka sesekali bersentuhan. Banyak pengunjung taman yang sekedar melirik atau bahkan membicarakan dengan iri keromantisan mereka. Hey, mereka tak pernah tau apa apa bukan ? Sepasang remaja itu hanya saling menguatkan.


***

Sebuah lengan kekar tiba-tiba saja memeluk tubuhnya dari belakang, membuat Ify yang sebelumnya melamun dengan pikiran yang mengingat tentang Rio sedikit kaget. Tanpa ia menolehpun, ia cukup tahu itu siapa. Dari aroma parfum musk tubuhnya. Dari cara orang itu memperlakukannya.
"Apaan kak ?", tanya Ify.
Cakka tak menjawabnya tapi gerakan bantal dibelakang Ify cukup membuatnya yakin jika kakaknya itu menggeleng. Ify biarkan saja pelukan hangat Cakka mengunci tubuh mungilnya secara ketat.
"Ceileee fy fy, segitu bisanya ya si ceking bikin kamu gegana gini.", bisik Cakka tepat ditelinga Ify. Ia juga berusaha menahan senyum geli.
Ify menggeliat kemudian membalik tubuhnya. Membuat tubuh mereka dalam posisi yang berhadapan. "Apa gegana kak ?", tanya Ify heran.
"Gelisah galau merana. Haha...",
Ify tersenyum kecil. "Alay lo kak !", sahutnya ketus kemudian buru-buru bangkit dari kasur. Membiarkan Cakka tertawa geli sambil guling-guling diatas kasurnya yang tak tertata lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar