"Ngapain sih lo yo ? Pulang liburan dari Manado jadi betah semedi gitu dikamar.", tanya Gabriel heran. Ia menghampiri sahabatnya itu dengan maksud untuk mengajak main basket dilapangan seberang komplek tapi Rio menolaknya mentah-mentah.
"Ntar aja kenapa sih yel ?! Gue lagi nggak bisa diganggu sekarang.", sahut Rio sebal. Sebal atas kekeraskepalaan Gabriel yang tak juga menyerah mengajaknya bermain.
Gabriel berdecak. "Ck ! Lo nggak asik amat deh yo. Kalo elo sibuk, sibuknya apaan ? Biar gue tau dan nggak ganggu lo lagi."
Rio menghela nafasnya. Ia yang sedang bersiap-siap mengancingkan kancing kemeja abu-abu polosnya langsung ikut mendudukkan diri diujung ranjangnya, disamping Gabriel. "Gue mau ngapelin bokapnya Ify. Puas lo ?!"
Gabriel melotot. "Gila lo ?!"
"Yel, kata paman gue lebih baik gue langsung nemuin bokapnya, terus bicarain semuanya, gue yakin kok ayahnya itu orang yang bijaksana. Dia bakal milih pilihan yang paling baik buat anaknya.", kata Rio tenang. Dia tersenyum-senyum sumringah.
"Tapi elo udah siap juga belum dicaci maki abis-abisan berani munculin batang idung lo didepan dia ?", tanya Gabriel masih tak percaya. "Eh iya lupa gue, elo kan nggak punya idung ya yo ?", lanjutnya menahan senyum geli.
Rio mendaratkan jitakannya dikepala Gabriel. "Sialan lo ! Liat aja nanti si pesek yang suka lo bully ini yang bakal duluan ngedapetin restu."
Kepala Gabriel mengangguk-angguk. "Yaudah, iya. Gue bantu doa aja deh ya dari rumah. Semoga elo pulang masih punya nafas atau minimal nggak ada yang jadi cacat deh. Hehe...", seloroh Gabriel. Ia kemudian mengibas-ngibaskan pelan tangannya dibahu Rio, seolah menyingkirkan jika ada sedikitpun kotoran pada kemeja yang sudah licin dan rapi tersebut.
"Gih sono pergi !"
"Elo dong yang pergi."
"Loh, kok jadi gue yang diusir ?"
"Ini kan kamar gue yel. Gimana gue mau pergi kalo elo aja masih nangkring disini ?"
Gabriel terkekeh. Ia akhirnya bangkit kemudian meloncati kusen jendela kamar Rio. "Kalo pulang, pizza topping sapi lada hitam oke juga tuh !", serunya sambil terkikik.
Rio terkekeh kemudian merapatkan pintu jendelanya.
***
Berbekal sebuah alamat kantor yang sudah ia peroleh dengan penuh berbelit-belit dari Cakka, Rio memarkirkan cagivanya tepat didepan sebuah bangunan kantor megah berlantai lima yang ia ketahui adalah salah satu kantor pemerintahan. Sejak semalam tekadnya sudah tersusun teguh. Hari ini perjuangannya juga waktu backstreetnya yang kurang lebih satu tahun harus terjawab. Ify akan kembali bersamanya atau ia harus melupakannya. Semangat Rio !
Mata sayu Rio langsung tampak...sedikit kaget saat sosok ayah Ify sudah berjalan pelan menuju parkiran mobil. Buru-buru dia berlari kecil untuk menyongsongnya.
"Om Hanafi !", panggilnya.
Pak Hanafi langsung menoleh ketika ada yang memanggilnya. Tapi tatapannya datar, biasa saja begitu melihat Rio. "Kamu. Apa kabar kamu ?",
"Eh, saya baik om.", sahut Rio sambil masih terus mengikuti Pak Hanafi dari belakang.
"Saya mau bicara om ? Boleh ?"
Pak Hanafi otomatis mengentikan langkahnya, membuat Rio yang mengikutinya terhuyung, dan langsung sedikit kaget saat ia berbalik dan memasang tampang galaknya. "Ada apa lagi ?"
"Saya masih ingin sama Ify om. Saya sudah coba memenuhi permintaan tolong om waktu itu, tapi maaf saya nggak bisa om.", kata Rio pelan. Mata ayah Ify makin tajam memandang kearahnya.
"Saya juga minta maaf, saya tetap tidak bisa untuk itu anak muda."
"Om...", Rio meraih tangan Pak Hanafi. "Saya nggak pernah minta rasa ini ada sama saya. Tapi kenyataannya rasa ini ada dan itu untuk putri anda."
Pak Hanafi menarik lagi tangannya. Nafasnya kian sesak. Sesak atas komitmennya sendiri dan juga keteguhan yang jelas memancar dari pemuda didepannya kini. "Rio, saya jelas mengimpikan anak saya bisa mempunyai imam yang tepat untuknya. Dan saya tidak bisa main-main atas itu."
Rio menunduk."Saya juga tidak pernah main-main dengan cinta saya om."
Pak Hanafi mendengus keras. "Sudahlah Rio, saya rasa kamu sangat mungkin meneruskan hidupmu."
"Tapi saya rasa tidak mungkin om jika tanpa Ify."
Tak ada lagi kata-kata sahutan yang terlontar dari bibir ayah Ify. Ia lebih memilih segera menjauh meninggalkan Rio setelah lagi-lagi mengulang kata 'TIDAK' untuk pemuda itu. Ia takut ketulusan yang menguar dari diri Rio membuatnya luluh. Bagaimanapun Ify prioritas utamanya.
***
Ify ditengah dua pasang orang dewasa nampak manyun saat mereka justru asyik bermain monopoli dipelataran rumah sedangkan ia sedari tadi harus mendiamkan bidaknya dikolom masuk penjara.
"Eh jalan dong cuy !", kata Alvin sambil mencolek bahu Agni yang masih tak juga mengocok dadunya. Agni meringis sambil meraih dadunya.
"Enam tuh ! Yihaa ! Kena punya aku sayang.", kata Cakka sambil memainkan alisnya ke Agni yang menghentikan bidaknya ditanah milik Cakka.
"Eh...semuanya tujuh puluh dolar ag, kan rumahnya ada tiga ini.", kata Cakka menghitung jumlah rumahnya.
Agni memelas. "Utang deh Cak, nih uangnya nggak cukup sampe segitu.", dia memperlihatkan empat lembar uang dolar kertasnya.
"Yaudah deh, buat kamu aku ikhlasin aja ya. Semua aset-aset ini nggak lebih berharga dari sekedar senyuman manis kamu kok. Aseeeek..!", kata Cakka dengan gaya bicara yang lebay dan sukses membuat yang mendengarnya mendadak mual, kecuali Agni pastinya. Ia meringis-ringis tak karuan.
"Huuuu....arep semaput cuy dengernya. Hahaha..", kata Alvin sambil menoyor Cakka yang masih memasang tampang senang.
"Minta banget disumpel cd mulutnya. Awww ! hehehe...", sambung Sivia. Alvin gantian menoyor kepalanya tapi tidak sekeras Cakka tadi.
"Tau nih Via, ada anak kecil nih sama kita. Nanti salah ngartiin dia. Kocok dong fy !", suruh Alvin kemudian.
Ify mendelik. "Apanya yang dikocok kak ?", tanyanya polos.
Beberapa saat Alvin bengong, yang lainnya pun sama. Mereka langsung berpusat pada satu pikiran yang...
"Eh...dadunya maksud gue yang dikocok. Gimana sih !", kata Alvin gelagapan.
Toyoran Cakka ikut mendarat dikepalanya. "Hmm...makanya cuy elo sendiri ngomong penuh hawa nafsu gitu."
Serentak mereka semua tertawa. Ify hanya tersenyum kecut dan mulai mengocok dadunya sebanyak tiga kali guna memperoleh nilai kembar. Tapi sampai dadunya yang ketiga tak juga mendapat nilai kembar, ia kembali termenung ditempatnya. Menatap kosong pada permainan monopoli yang biasanya selalu membuatnya senang.
Dari balik gorden biru jendela ada sepasang mata yang menatapnya dengan pandangan sendu. Sebuah tangan halus langsung menepuk pelan pundaknya.
"Ayah tidak tahu tindakan ayah ini salah atau benar.", desah pak Hanafi sambil menoleh pada istrinya.
Bunda Ify tersenyum lembut. "Kalo saran bunda ya yah, sebaiknya ayah pikirin lagi keputusan ayah yang tempo hari. Toh, ini juga nggak serius-serius banget. Anak itu dan Ify kan cuma pacaran, belum tentu nanti kelanjutannya."
"Tapi apa itu nggak akan mengubah Ify ?"
Bunda menggeleng. "Tindakan ayah yang ini yang akhirnya mengubah Ify.", bunda melongokkan kepalanya. "Liat, dia jadi suka sedih gitu kan ?", pak Hanafi kembali menatap putri kecilnya.
"Rio itu anak yang baik yah, anak yang sopan dan bunda rasa dia nggak akan melakukan hal-hal aneh ke Ify.", setelah mengatakan itu bunda Ify beranjak pergi. Meninggalkan suaminya yang masih berada didepan jendela.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar