Jumat, 22 Januari 2016

ALUNAN UNTUK BEDA PART 22


Gabriel refleks langsung mencengkram bahu Rio, begitu lelaki tampan itu mendadak mematikan mesin motornya ditengah jalan raya yang sedang dalam jam-jam macetnya. Mereka yang tadinya berboncengan menggunakan motor Rio untuk sekedar nongkrong di caffe atau toko kaset langganan mereka menjadi berhenti. Dengan cuek Rio menegakkan standar motornya.
"Lah..lah elo mau kemana yo ?", tanya Gabriel bingung. Ia masih duduk diboncengan motor Rio.
"Bentar yel !", serunya sambil berlari menjauh. Menerobos kemacetan diantara ratusan kendaraan.
"Ck ! Bentar sih bentar yo, ini dipinggirin dulu napa ?!", gerutu Gabriel. Terpaksa ia yang langsung maju dari boncengan mengambil posisi Rio tadi. Dihidupkannya mesin halus motor mahal itu kemudian dibawanya lebih kepinggir jalan.
Sementara Rio langsung mencari mobil pribadi berwarna merah yang ia hafal betul milik ayah Ify. Benda berwarna nyentrik itu nampak terjebak diantara kemacetan. Rio langsung buru-buru mendekatinya. Diketuknya kaca jendela kemudi.
"Om !",
Pintu kaca jendela diturunkan. "Apa lagi ?", tanya pak Hanafi dengan tampang gusar.
"Izinin saya bicara dengan om."
Pak Hanafi mendengus keras. "Sudahlah Rio, saya tidak bisa..."
"Om, saya laki-laki. Dan saya berhak untuk memilih perempuan mana yang ingin saya cintai.", ucap Rio tegas, yakin sekali. Tangannya mengepal disamping tubuhnya. Menuntaskan emosi diujung otaknya.
"Tapi perempuan yang kamu cintai, juga punya hak untuk menolakmu anak muda, ingat itu !", interupsinya dengan nada tinggi.
"Om...",
PLAK !
Sebuah tamparan sangat keras melukai ujung bibir kanan Rio sekaligus meninggalkan bekas merah cap lima jari di pipinya langsung dari tangan pak Hanafi. Dia langsung menunduk dalamsambil menyeka sedikit darah yang mengalir disudut bibirnya. Masih sangat terkejut dengan tindakan pria itu.
"Awww...!", pekik Gabriel ditempatnya saat dilihatnya pipi Rio ditampar sangat keras oleh ayah Ify. Dia sendiri langsung refleks memegang pipinya. Membayangkan jika hal yang langsung mengundang perhatian pengendara lain itu terjadi padanya.
Sedetik setelah tindakannya barusan, Hanafi Umari langsung terdiam. Ditatapnya telapak tangan kanannya yang sudah melukai Rio dengan tak seharusnya. "Astaghfirullah.."
 Dari kursi kemudi dia langsung mendongak, menatap Rio yang sudah agak menjauh dari posisinya barusan. Remaja itu sedang menunduk, mengusap cairan merah pekat diujung bibirnya. Pak Hanafi langsung menghela nafas.
"Maafkan saya. Sebaiknya kamu pergi saja.", suruhnya dingin pada Rio.
Rio menatapnya datar, tak ada lagi gejolak semangat seperti biasanya ketika ia secara tiba-tiba menemuinya. Pandangan sayu itu menajam dan mengeras, tapi sesaat kemudian Rio menjauh. "Makasih kalau gitu om."

Dengan raut putus asa, ayah Ify melepas kacamata framelessnya. Ditatapnya lagi punggung kokoh Rio yang mulai menghilang dibalik mobil-mobil lain yang juga terjebak macet. Sampai suara klakson dari mobil dibelakangnya terdengar tak sabaran, baru kemudian menyadarkan pria paruh baya itu untuk kembali menginjak gasnya dan melaju menyelesaikan urusannya.
            Gabriel langsung melompat turun dari motor Rio, begitu dilihatnya sahabatnya itu kembali dengan tampang dingin. Diujung bibirnya bercak darah segar masih tersisa meskipun sudah berkali-kali Rio usap dengan punggung tangannya.
"Bro...", Gabriel menepuk bahu Rio. Tapi lelaki itu tak bereaksi, ia yang hendak menjoki motornya langsung dicegah Gabriel. "Udah, biar gue aja deh yang bonceng. Salah-salah bisa masuk iccu kita abis ini.",
Setelah Gabriel sudah siap untuk menarik gas motornya, Rio kemudian duduk diboncengan masih dengan kebisuan. Motor besar itu melaju tanpa hambatan dipinggir jalan yang mulai tak macet lagi.


***


"Aww...!", pekik Rio begitu telunjuk Gabriel menyentuh luka sedikit robek dan memar diujung bibirnya.
"Baru sekarang yo, terasa sakitnya disitu, heh..", kata Gabriel.
Rio mengangkat bahu. "Kan dari tadi sakitnya disini yel.", sahutnya sambil menunjuk dadanya, tepat dihatinya.
Gabriel terkekeh. Kemudian dirangkulnya asal bahu Rio. Kaki kanannya berpijak pada si oranye. Saat ini mereka sedang menghabiskan sore disalah satu tempat favorit mereka. Kamar Rio.
"Perjuangannya masih mau terus dilanjutin kan komandan ?"
Rio mengendikkan bahunya. "Is not this is the end of the fight ?"
"You are sure to get here ?", Gabriel balik bertanya sembari mencari adakah lagi sisa-sisa keoptimisan sahabatnya itu. Tapi ternyata tak lagi ada.
"Well, maybe so."
Gabriel tersenyum. Dirangkulnya lebih hangat lagi tubuh jangkung disampingnya itu. Menawarkan pada Rio jika kebahagiaan yang juga datang dari persahabatan masih ada dan akan terus ada untuknya.
Sampai suara ponsel yang menggetar manja dari saku celananya sendiri, membuat Gabriel melepaskan rangkulannya. Ditatapnya sebentar nama yang tertera dilayar, kemudian ia sedikit menjauh dari Rio dengan isyarat bibirnya yang bergerak tanpa suara berkata 'dari Shilla'.
Rio mengangguk. Ia hanya menatap punggung Gabriel yang membelakanginya sambil sesekali menyentuh lukanya, kemudian ia meringis-ringis sendiri. Tak sampai sepuluh menit, Gabriel berbalik lagi dan menunjukkan seringaiannya.
"Shilla bilang bokapnya mau ketemu gue sekarang yo !", ucapnya dengan nada yang sangat senang. Rio paham itu. Meskipun nasibnya sendiri berbanding terbalik dengan Gabriel, tapi ia tetap ikut berbahagia jika sahabatnya itu pada akhirnya bisa meraih apa yang selama ini begitu mati-matian ia perjuangkan. Gabriel pantas untuk itu.
"Sip ! Congrats bro. Kabar baik selanjutnya ditunggu !", sahut Rio sambil mengacungkan kedua ibu jarinya. Ia sedikit memaksakan senyum, karena bagaimanapun lukanya belum sembuh. Tapi Gabriel tetap mampu melihat ada ketulusan disenyum sahabatnya itu.
"Elo juga baik-baik ya yo.", ucapnya sambil menepuk sebentar bahu kanan Rio dan segera melompati kusen jendela Rio dengan grasak-grusuk.
Rio menatapnya sebentar, kemudian pandangannya jatuh pada wallpaper ponselnya yang memperlihatkan senyuman manis seorang gadis berdagu tirus.
"Kamu tau fy aku sayang...", bersama dengan sepenggal kata yang tak lagi mampu Rio selesaikan, sebutir simbol kesakitan menuruni pipinya. Berasal dari sebelah mata sayunya. Saat itu sepeninggal Gabriel.
Dalam diam batin Rio sesak dengan harapan sedikit saja jika Sang Kuasa juga menjawab semua doa dan perjuangannya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar