Jumat, 22 Januari 2016

ALUNAN UNTUK BEDA LAST PART


Sebuah headset putih yang menyalurkan i won't give up milik Jason mraz menyumpal kedua telinga Rio. Sebelah tangannya ia masukkan kedalam saku celana. Dengan ekspresi yang datar, ia menyusuri koridor sekolahnya saat bel tanda pulang berbunyi nyaring beberapa menit yang lalu.
Sayang, wajah one of the most top boy itu sedang lesu. Tak ada senyum keramahan yang biasanya menjadi ciri khas setiap kali orang melihatnya. Tiap tatapan heran orang-orang dengan sedikit luka memar diwajahnya, hanya dibalasnya dengan mengendikkan bahu. Malas sekali rasanya ia mengucapkan barang satu katapun.
Tapi sampai diujung koridor ia tersenyum tipis. Ada Gabriel disana yang sedang menggandeng mesra tangan Shilla dengan bahagia. Sepertinya tentangan untuk mereka sudah runtuh. Sepasang remaja itu seperti pasangan baru jadian tadi malam. Padahal sudah hampir setahun lebih mereka berkomitmen.
Rio kembali meneruskan jalannya. Mungkin hanya adegan mesra Gabriel-Shilla tadi satu-satunya objek yang bisa membuat tersenyum hari ini. Selebihnya hanya ia habiskan untuk menghela nafas sedikit keras guna menghilangkan sedikit demi sedikit rasa sesak dipalung hatinya. Apalagi saat tepat digerbang utama sekolah dilihatnya sebuah mobil bercat merah beserta sang pemilik yang berdiri kaku. Rio hanya mampu menatap sosok itu sebentar kemudian melangkah lebih cepat menuju motornya. Setelah kejadian kemarin, mungkin perjagaan untuk Ify bisa berhubungan dengannya makin dipersulit. Rio tersenyum kecut.
"Rio."
Panggilan tadi mau tak mau membuat Rio menoleh. Ia tak jadi menggunakan helmnya. Jika sosok itu belum puas menghajarnya kemarin, ia sudah pasang badan sekarang juga.
"Saya minta maaf atas kejadian kemarin. Saya terlanjur dibawa emosi saat tuntutan pekerjaan yang telah banyak dan...", Pria itu terkekeh sebentar. "Macetnya jakarta membuat saya yang terburu-buru untuk menghadiri rapat menjadi terlambat.", entah mengapa Pak Hanafi Umari justru mengutarakan sesuatu yang menurut Rio tidak harus ia tahu. Tapi dibiarkannya saja laki-laki itu menyelesaikan ceritanya.
"Saya ingin sekarang kamu temui Ify diujung jalan sana.", perintah pak Hanafi yang membuat Rio nyaris terlonjak ditempatnya. "Ajari juga dia untuk menghargai bukan hanya untuk mencintai.", lanjutnya sambil menepuk sebentar bahu kanan Rio.
Bukan dengan sebaris kata-kata, bukan pula dengan tawa yang merekah, tapi dengan  satu dekapan hangatnya, Rio mengucapkan terima kasihnya yang luar biasa dengan pria paruh baya itu. Pak Hanafi balas memeluknya, menepuk-nepuk lagi pundaknya lalu kemudian berkata. "Sudahlah cepat sana kamu pergi. Bawa pulang putri kecil saya kerumah ya."
Buru-buru Rio melepaskan pelukannya, ia segera memakai helm dan menunggangi kuda besi kesayangannya. Pergi secara terhormat demi menjalan titah tuan Umari yang hanya tersenyum ditempatnya. Bersatu dengan angin, larilah sampai tujuan !


***

Ify masih berdiri diam di sebuah halte diujung jalan sekolahnya. Ia sesekali menengok kejalan raya untuk menyetop jika ada taksi yang lewat. Tapi sampai dua puluh menit ia berdiri ditempat itu tak ada satupun taksi yang melintas. Kebanyakan hanya bus kota yang padat dan tak menjanjikan keamanan untuk seorang gadis berseragam sma sepertinya. Ia putuskan hanya bisa menunggu, menunggu, dan menunggu jika saja...ternyata sebuah cagiva hitam mengkilap berhenti tepat didepannya.
"Yuk naik !", ajak Rio langsung begitu ia menaikkan kaca helmnya.
Ify menggigit bibir bawahnya. Seksi gadis itu. "Ehm...kemana ?"
"Kemana ajalah, asal kamu yang ngajak aku akan selalu nurut kok", seloroh Rio kalem. Ia memberikan langsung efek dejavu pada Ify.
Ify menggeleng. "Aku nggak sanggup lagi bikin janji sama kamu kalo harus ngehancurin untuk kedua kalinya seperti waktu itu. Mungkin sebentar lagi orang rumah jemput aku."
Rio langsung turun dari motornya. Ia mengambil posisi berdiri disamping Ify. "Yaudah, aku nemenin kamu nunggu jemputan disini. Sepuluh menit ! Kalo nggak ada, kamu pulang sama aku.", kata Rio sambil menahan senyum gelinya. Ia hanya ingin mengerjai gadis cantik disebelahnya ini.
Ify tak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil sambil terus menatap jalan raya. Tak terlalu mau ambil peduli, sekalipun rasa rindu kini menguat dibalik dadanya. Ingin mengiyakan ajakan main dari Rio tadi. Ingin menghabiskan waktu berdua menuntut masa-masa merindu yang sebelumnya. Tapi ia lebih tak ingin lagi jika harus melihat tawa lebar dibibir pemuda itu harus lenyap saat janjinya tak bisa.
"Fy...", panggil Rio pelan.
"Hmm..."
"Kok gitu dong reaksinya ? Nggak kangen aku ?",
Ify sedikit mendongak, menatapnya. "Kangen."
"Terus kalo kangen ?", Rio mulai jahil. Ia tersenyum manis meski luka diujung bibirnya belum sembuh. Berkat senyum itu Ify berhasil melihatnya.
"Eh, itu kenapa ?", tanya Ify ketika sebuah luka robek terkuak dari ujung bibir Rio tanpa memperdulikan pertanyaan laki-laki itu sebelumnya. Refleks disentuhnya pelan.
"Aww...!", pekik Rio saat lukanya disentuh jemari Ify. Meskipun hanya pelan tapi rasa sakitnya tak mau kompromi.
"Bentar, aku beliin alkohol ya supaya cepat sembuh ?", Ify sudah hendak berlari menuju sebuah toko yang jaraknya agak jauh dari halte, tapi tangan Rio keburu menahannya.
Tanpa buang waktu, Rio memajukan wajahnya. Memberikan beberapa kali kecupan mesra dibibir merah delima Ify dengan mata yang terpejam. Sejenak ia begitu menikmati pagutan indah ini, apalagi saat sesekali dirasakannya jika gadis mungil itu mulai membalas ciumannya.
"Yang barusan supaya bibir aku cepat sembuh.", goda Rio kemudian sesaat setelah melepaskan ciumannya. Tangannya mengusap pipi Ify lembut.
Ify masih membeku ditempatnya sambil menggigit bibir bawahnya linglung. Tapi kemudian dia menyikut mesra perut Rio. "Kamu curang ! Gimana kalo tadi ada yang liat kita ?"
Rio terkekeh sambil menggeleng. "Siapa sih yang bakal liat ? Orang dari tadi nggak ada yang lewat.", Ify masih memanyunkan bibirnya.
"Lagian itung-itung ngabisin waktu yang sepuluh menit tadi. And time's up ! Yuk !", Rio langsung menggenggam tangan mungil Ify.
"Eh, belum juga sepuluh menit.", protesnya.
"Yaudah kalo gitu kita terusin yang tadi ya sampe pas sepuluh menit gimana?", kata Rio santai sambil mengerlingkan sebelah matanya dengan genit.
Ify langsung gelagapan. "Eng..yaudah deh iya !", katanya kemudian pasrah ditarik Rio menuju cagiva hitam tersebut.


***

Ify masih memeluk erat perut Rio, begitu cagiva yang ditumpanginya sudah berhenti tepat didepan pagar bercat hitam rumahnya. Pikirannya meliar. Takut tak bisa menjanjikan apa-apa setelah ini jika Rio harus terusir lagi dari rumahnya.
"Ayo turun !", perintah Rio kemudian. Mau tak mau akhirnya Ify menurut.
"Kenapa ? Kamu nggak mau aku masuk ?", tanya Rio lagi begitu melihat ekspresi gelisah diwajah gadis itu.
Buru-buru Ify menggeleng. Bukan hal itu yang ia inginkan. "Aku nggak mau liat kamu kecewa lagi yo...", desahnya sedih. Rio mengulurkan tangannya untuk mengusap pelan puncak kepala Ify. Tak juga ada kata yang ia suarakan.
"Ify !", suara pak Hanafi memanggil dari depan pintu rumah. Ify menatapnya sudah dengan kecepatan jantung yang diatas rata-rata. Jika mungkin, jantungnya itu akan berhasil mendobrak tulang rusuknya. Tapi kemudian gadis itu berganti bingung saat ucapan ayah selanjutnya, jauh diluar perkiraannya.
"Kenapa yang nganter pulang tidak disuruh masuk ?"
Sedetik dua detik gadis itu melongo. "Hah..."
"Ify ! Astaghfirullah bun, lihat itu tampang anakmu.", pak Hanafi gemas dengan reaksi putrinya. Istrinya nampak cekikikan disampingnya.
"Ayo sayang, ajak Rio masuk. Panas-panasan gitu diluar.", suruh bunda juga.
Ify akhirnya sadar dan kemudian memandang Rio dengan tatapan yang seolah berkata'gue-nggak-tanggung-jawab-loh-abis-ini'. "Yuk masuk.", ajaknya ragu. Dengan santai Rio mengangguk. Dituntunnya motornya itu masuk kehalaman rumah.
"Ayah kenapa sih ?", tanya Ify cepat begitu Pak Hanafi sudah hendak masuk kedalam rumahnya. Kebingungannya perlu jawaban.
"Ayahmu sudah capek bilang 'tidak' fy.", jawab bunda sambil memeluk lengan suaminya.
Pak Hanafi mengangguk. "Karena seribu kalipun ayah bilang 'tidak', anak muda disampingmu itu akan tetap meneror ayah dengan mendatangin dimanapun ayah berada. ", sambung beliau sebelum benar-benar masuk kedalam rumahnya. Detik itu juga setiap lara yang pernah membayangi Ify luruh.
"Ayah putuskan untuk nyerah sekarang !", seru Pak Hanafi dari dalam rumahnya.
Mungkin memang benar, ayahnya sudah lelah bilang 'tidak' selama setahun ini. Berkat perjuangan pemuda keras kepala inilah sebabnya. Tak tunggu apapun lagi, Ify langsung menabrak tubuh tegap Rio yang sudah merentangkan tangan menyambutnya. Dipeluknya erat leher pemuda itu sambil sesekali melonjak bahagia. Tak peduli jika ternyata Rio yang posisinya sedikit menunduk karena untuk menyamakan tinggi mereka, kewalahan juga. Yang penting ia bahagia !
"I love you...i love you so much !", bisik Ify tepat disamping telinga Rio. Masih juga ia tak melepaskan pelukan eratnya.
Rio terkekeh dibalik tubuhnya. "Kita juga cinta pa ngana.", Ify tergelak mendengarnya.
"Eh, ada si ceking disini. Main monopoli berenam asik nih !", seru Cakka dengan seringaiannya yang refleks membuat Rio dan Ify saling menjauhkan tubuh mereka. Empat mahasiswa itu mengganggu romansa anak sma !
"Ho'oh cuy !", Alvin menyetujui.
"Kakak ! Tapikan aku sama Rio mau main keluar.", protes Ify langsung.
"Nggak bisa de. Kalo Cakka ganteng yang ngeluarin perintah buat main monopoli, ya main. Nggak ada banding ! Protes lagi izin pacarannya kembali ditarik !", kata Cakka otoriter, yang dibuat-buat tentu saja. Ia langsung menyeringai senang setelahnya.
Ify mendengus pasrah tapi kemudian ia, Rio, Alvin, Via, juga Agni sama-sama duduk dilantai dipelataran rumahnya menunggu Cakka yang sedang mengambil papan kertas mainan yang sudah menjadi favorit mereka itu.
"Everybody, time for us to play !", seru Cakka sambil mengacungkan papan kertas monopoli diudara untuk kemudian mengambil posisi duduk diantara mereka berlima.
Sejak hari itu monopoli menjadi mainan rutin mereka berenam setelah pulang sekolah maupun pulang dari kampus. Rio pun hampir setiap hari mengunjungi rumah Ify untuk menemui peri cintanya itu atau hanya sekedar menerima ajakan Cakka bermain monopoli bersama. Yang jelas setelah hari itu semuanya berubah. Menjadi lebih indah tentunya.
Sebuah alunan merdu dan selaras pada akhirnya membawa satu perbedaan itu menemui muaranya. Hey, bukan untuk dipisahkan, tapi untuk menggenapkan. Karena manusia punya kelebihan dan kekurangannya sendiri untuk bisa menjadi sempurna.      Meski senja dan jingganya sunset tak pernah tercipta untuk mengindahkan dunia secara bersama sekalipun. Because they are created is different !

"Kita akan bertemu untuk kesamaan dikesempatan selanjutnya. Tapi sekarang, biarkan dulu kita bersatu untuk perbedaan yang ada"  -RIO




THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar