"Eh, Rio ada nggak ?", tanya Ify memburu pada seorang gadis berkulit hitam manis yang ia temui tepat didepan pintu kelas Rio.
Gadis yang tak lain adalah Nova itu hanya menggeleng. "Nggak ada.", jawabnya.
"Dia kemana ?", tanya Ify lagi. Tapi ketika melihat sosok jangkung yang juga hendak keluar dari pintu kelas itu, Ify beralih dari Nova. Segera ditahannya lengan pemuda itu agar tak sempat pergi.
"Yel !", panggil Ify. Gabriel menghentikan langkahnya. Ia tersenyum pada dua gadis didepan pintu itu. Bedanya jika dengan Ify ia tersenyum ramah, dengan Nova ia malah menyeringai jahil.
"Eh, ada mbak Nova juga ya disini ?", katanya sambil mencolek pundak Nova.
Nova mengelak dengan mata yang mendelik sebal pada teman sekelasnya itu. "Jangan panggil gue pake sebutan 'mbak' dong yel ! Elo tuh ya ngeselin banget.", gerutunya kemudian. Tapi begitu melihat ekspresi Ify yang cengo Nova buru-buru tersenyum kikuk. "Eh, yaudah gue duluan ya. Kalo nanya Rio, tanya aja sama dia tuh !", pamit Nova sambil melirik Gabriel sebal.
Setelah Nova buru-buru pergi, Gabriel tertawa geli dengan gerakan tubuh kurusnya yang menurut Ify sudah 'kelainan' sekali.
"Yel, udah sih ngebully orang. Gue nanya Rio dimana sekarang ?", tanya Ify tak sabar. Sebelum Gabriel semakin kambuh sifat tengilnya.
"Hah...Rio diaula fy, aula besar noh !", jawab Gabriel setelah ia mampu meredam tawanya. Ify mengangguk kemudian menggeleng dengan pandangan aneh pada Gabriel sebelum berlari kecil menuju aula besar sekolah.
***
Ify melongokkan kepalanya didepan pintu aula besar yang terbuka. Sayup-sayup memang terdengar suara musik cukup keras dari dalam sana. Sampai ia melihat jika ada kegiatan beberapa murid yang melakukan dance dengan koreografi yang keren dan yakin pasti membuat para siswi teriak tidak santai ketika menontonnya. Dan Rio menjadi salah satunya. Dari postur tubuhnya yang tinggi menjulang, ia mudah sekali dikenali. Apalagi setiap gestur tubuhnya yang sangat fasih melakukan tiap gerakan yang pas mengikuti hentakan musik.
Beberapa saat Ify sempat terpana dibuatnya sebelum akhirnya sadar maksud awal tujuannya mencari Rio kesini. "Yo...", panggil Ify cukup keras. Membuat segerombol remaja didalam sana berhenti dan menatapnya. Ia hanya nyengir kuda, menanti Rio yang menghampirinya didepan pintu.
"Kenapa fy ?", tanya Rio lembut sambil menyeka sedikit peluh yang menuruni pelipisnya.
"Kamu ngapain ?", Ify balik bertanya.
Sepasang alis tebal Rio tertaut. "Aku cuma iseng doang kok ikut latihan sama anak ekskul dance. Terus kamu ada apa ?"
Ify menggeleng pelan. Kemudian suasana wajah cantiknya berubah menyendu. Sambil menggigit bibir bawahnya, ia menatap Rio dengan tatapan muram. "Kamu nggak apa-apa kan yo sama sikap ayah kemaren ?",
Rio meremas hangat kedua lengan Ify. Tatapannya teduh menyorot tepat dimata bening gadis itu. "Aku nggak apa-apa. Aku malah seneng sama beliau fy."
Beberapa saat Ify sempat tertegun. Masih menelaah sebenarnya ada apa dibalik tatapan sumringah saat Rio menemui ayah kemarin. Tak peduli bagaimana sifat kaku dan begitu dingin yang beliau tawarkan, secara tersirat menyatakan penolakan. Kekaguman Ify menjalar pelan diujung hatinya. Dan bagi Rio ini cinta yang seharusnya. Ia tak bertambah karena kebaikan, juga tak pernah berkurang karena kesalahan. Apalagi hanya sebuah kesalahan yang entah disadari ayah Ify adalah justru kesalahan terindah untuknya. Mungkin begitulah cara ia mencintai gadis berdagu tirus dihadapannya itu. Sekaligus mengaitkan secuil rindunya pada sang Kuasa untuk beliau yang sedang berada disurga.
***
"Eh, apa ini Cak ! Gue juga yang duluan beli amerika.", Alvin kesal pada cowok disampingnya itu saat mereka berdua bersama Agni dan Sivia sedang bermain monopoli dipelataran rumah Cakka sepulang dari kampus.
Cakka terkekeh serta beberapa kali menghindari toyoran Alvin yang ingin mendarat dikepalanya. "Elah vin, lo nggak usah beli amerika udah. Malang aja noh elo beli. Kon kan wong jowo, ora pantes tuku amerika. Hahaha..."
Sivia berdecak. "Ck ! Cakka jangan mulai curang deh. Sebel makanya gue kalo main sama lo.", Alvin menyetujui dengan anggukannya. Agni justru masih asyik menghitung uang dolar kertasnya.
"Yoweslah, nih amerikanya punya elo vin. Uh, dasar cina baplang lo !",Cakka akhirnya mengalah dan memilih untuk melanjutkan permainan kembali. Mengikhlaskan jika negara adikuasa itu dihak miliki oleh Alvin dalam permainan monopoli mereka. Alvin tersenyum 'thanks-banget-gue-keelo' pada Sivia yang meringis manis sambil mengangguk.
Permainan mereka kembali berlanjut.
"Agni sayang, aku pinjem uang dong ?", Cakka nyengir pada Agni yang kebetulan juga sebagai bank dalam permainan mereka. Seluruh asetnya habis hanya untuk membayar pajak jalan atau yang ia dapat dikartu kesempatan atau dana umum.
Perempuan berwajah manis itu mengernyitkan dahi bingung. Buru-buru dibukanya sebuah kertas peraturan dalam permainan. Ditelitinya sebentar baru kertas itu berpindah tepat diwajah Cakka dalam keadaan terbuka lebar. Isyarat agak lelaki itu membacanya.
"Baca deh, peraturannya kan udah nggak bisa sayang.", Ujar Agni dengan tatapan polos. Cakka memelas.
"Yah ! terus kalo gitu aku gimana mau main lagi ? Uang aku udah abis nih, mana nggak keluar-keluar penjara juga dari tadi."
Alvin menepuk puncak kepala Cakka. "Elo, berhenti aja deh Cak."
"Ogah ! Gue masih mau ikut main.", tolak Cakka mentah-mentah.
"Elo banyak main curangnya sih Cak, makanya kalah lo.", lanjut Sivia sambil menjalankan bidaknya enam langkah seperti angka pada dadu yang dikocoknya.
"Elo tuh yang ngadalin gue mulu vi. Tadi kan harusnya bidak lo berhenti diBelgianya gue tuh, eh elo tau kan makanya ngocok ulang tu dadu.", protes Cakka.
Sivia menoyor kepala sepupunya yang suka bicara asal itu. "Asli gue nggak ngerti banget isi otak lo apaan."
Agni hanya terkekeh. Tangannya kemudian menyentuh rahang Cakka lembut. Geli melihat ekspresi sangat tersudut diwajah kekasihnya itu. "Udah deh, mending kamu jadi banknya aja sekarang Cak."
"Bener tu !", Sivia dan Alvin kompak mengiyakan.
Cakka mengerucutkan bibirnya. "Yaudah deh.", ia mengangguk manja. "Awas ya elo berdua, nggak gue pinjemin uang.", ancamnya pada Sivia dan Alvin.
"Vin apa itu bahasa jawanya 'jangan marah dong' ?", tanya Sivia geli.
"Ojo nesu-nesu to, Cak!", kata Alvin sambil menyenggol bahu Cakka. Kedua gadis cantik diantara mereka tertawa bersama.
"Ify pulang !", suara cempreng itu membuat mereka berhenti tertawa kemudian beralih kearah gadis mungil yang tergesa-gesa masuk rumah. Beberapa meter dibelakangnya seorang pemuda tampan berpostur tinggi 171 cm mengikuti.
"Eh, elo kesini lagi. Kalo gitu elo sini main monopoli bareng kita. Elo mainin gue ya ? Gue kalah mulu sama mereka.", Cakka menyuruh Rio agak ikut bermain. Rio terkekeh kecil tapi ia mengangguk. Mengambil tempat disamping Cakka kemudian. Ify mengerutkan keningnya. "Yaudah kamu main aja dulu bareng mereka, aku ganti baju.",
"Siapa nama lo cungkring ? Lupa gue.", sambil membagi uang dihadapan Rio, Cakka bertanya pada pemuda itu.
"Yeee ! Elo Cak, anak orang punya nama juga dipanggil cungkring.", Sivia menoyor kepala Cakka -lagi-.
Cakka menepisnya sambil mengangkat bahu acuh. "Emang dia cungkring kok, elo pada liat aja. Tinggi kurus gitu, sama bener kayak si Ify."
"Masih bagus posturnya dia kali, daripada elo cuy ! Apaan, bentuk badan udah kayak emak-emak abis ngelahirin.", sahut Alvin sekenanya. Sukses membuat rambutnya ditarik Cakka. Sukses pula membuat Sivia, Agni, Rio terlebih Alvin tertawa keras.
"Elo anak kecil ikutan ketawa juga. Siapa nama lo ?", tegur Cakka masih kesal.
"Gue Rio kak.", jawab Rio.
"Rio doang ?"
"Mario Stevano Aditya Haling."
Cakka mencibir. "Buset ! Itu nama apa iring-iringan truk gandeng ?!"
Telapak tangan Agni mendarat tepat membekap mulut Cakka yang masih ingin meracau tak jelas. "Cakka udah ah, dari tadi kepo banget sih.", katanya mulai gemas juga terhadap lelaki tampan itu.
"Iya sayang...nanya doang ini.", Cakka meringis saat Agni sudah menjauhkan tangan dari mulutnya.
"Yaudah yuk main lagi !"
Kegiatan mereka berlanjut. Mulai dari Alvin, Sivia, Agni yang menjalan bidak masing-masing, hingga Rio yang akhirnya berhasil mendapatkan angka kembar dari dadu yang ia kocok untuk melanjutkan bidak Cakka yang masuk penjara. Lalu saling memperbanyak aset dengan membeli rumah atau hotel pada tanah mereka.
"Elah yo, elo yang bener dong ! Berhenti ditanahnya si Cina kan ?! Mana rumahnya ada empat lagi.", Cakka mendumel sambil menarik-narik dasi seragam Rio.
"Enggak kak, itu tadi kan delapan, berarti kan berhentinya dikesempatan ?", sanggah Rio, meskipun ia bingung juga.
"Wah, iya tuh vin. Delapan itu cuy, delapan. Gimana sih lo ?!", protes Cakka pada Alvin.
"Wah, nggak bisa dong ! Kan sekarang dadunya tujuh. Salah sendiri kaki lo yang ngenain dadunya Cak.",
"Nggak bisa dong ! Udah yo, nggak usah bayar lo sama tu Cina satu !"
"Cak ! Ora iso loh !"
Tawa mereka pecah. Geli melihat tingkah Alvin dan Cakka yang sedang berdebat sengit tentang angka didadu Rio. Sementara Rio justru melongo ditempat, ditengah mereka dan hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya bingung. Atau mungkin lebih tepatnya tak tahu harus berbuat apa diantara dua laki-laki dewasa itu. Namun ia akhirnya tertawa paling keras, melihat sepasang sahabat itu nyaris seperti duplikatnya jika bersama Gabriel.
***
Meja makan, selepas maghrib.
Keluarga kecil Hanafi Umari sedang mengelilingi meja makan setelah tadi usai melaksanakan sholat maghrib berjamaah.
"Fy, panggil sana temen kamu.", perintah bunda pada Ify.
Ify berjalan menuju ruang tamu keluarganya. Tempat dimana ia menyuruh Rio menunggu saat mereka sekeluarga sedang melakukan ibadah maghrib tadi. Dan dilihatnya cowok itu duduk disofa melipat kedua sikunya diatas paha. Kepalanya menunduk. Menyembunyikan wajah resahnya.
"Hei, ehm...udah selesai sholatnya. Yuk, makan malam, udah ditunggu."
Rio tersenyum lalu mengangguk. Sejujurnya, jika bukan atas titah Hanafi Umari, tak mungkin ia masih bertahan dirumah Ify hingga saat ini. Menghabiskan makan malamnya ditengah keluarga hangat namun membuatnya merasa asing sendiri.
"Silahkan duduk disebelah Cakka.", Hanafi Umari mulai membuka suaranya.
Dalam diam, Rio menuruti perintah lelaki paruh baya itu. Ia duduk disamping Cakka dan mulai ikut menyodorkan piringnya untuk diisi nasi oleh Ify. Kemudian masih diam saat gadisnya menyendokkan beberapa lauk lezat dipiring yang sama.
"Nih.", Ify menyodorkan piring tersebut dihadapan Rio.
"Kalau ada yang kurang, jangan malu untuk bilang.", kata bunda Ify lembut.
Dinner hangat ala keluarga Umari berlangsung seperti biasa. Setelah berdoa mereka mulai menyuapkan makanan dalam diam. Hanya bunyi sendok dan garpu yang beradu dengan piring sesekali menggenapi tradisi keluarga itu.
"Bagaimana menurutmu masakan bunda Ify ?", tanya Hanafi memecah kebisuan mereka saat dinner itu usai. Pada Rio, siapa lagi.
Rio tersenyum. "Enak om, luar biasa enak."
Hanafi mengangguk. "Alhamdulillah kalau begitu."
"Apa dirumah kamu masakannya juga seperti ini ?"
Tanya itu mungkin hanya tanya yang biasa. Sekedar basa-basi atau formalitas. Tapi yang tertangkap jelas ditelinga Rio, membuatnya tercenung sesaat. Keresahannya sejak tadi akan segera terjawab. "Ya, kurang lebih sama seperti ini om."
Hanafi mengangguk-angguk. "Yang penting dari suatu makanan adalah selain lezat dia juga harus halal. Agar menjadi tumbuh menjadi daging dan mendapat ridho-Nya."
Rio menyapukan pandangan diwajah datar lelaki diseberangnya. Ada sinar dalam dan begitu menggigil disepasang mata ayah dari gadis yang sangat ia cintai itu. Keduanya lalu bungkam. Hanya berkomunikasi dengan bahasa inverbal seolah dengan pandangan itu.
"Boleh saya minta sesuatu kekamu ?
Rio mengangguk. "Apa om ?"
"Tolong jauhi Ify, bisa ?"
DEG !
Pacu jantung cepat serentak mendobrak tulang rusuk dibalik dada Rio dan Ify. Ucapan barusan langsung membuat suasana meja makan tersebut kaku. Bunda, yang diam disamping Ify hanya coba mengurut pelan lengan putrinya itu. Tak ada yang tahu bahwa dibawah meja, Sivia menggenggam sangat erat tangan Alvin dipangkuannya. Agni hanya bisa menggigit bibir bawahnya sambil menunduk. Tak berani menyentuh Cakka yang tak lagi bergerak disampingnya.
"Tapi kenapa om ?", Rio mencoba bertanya. Nada bicaranya kecil.
"Saya rasa kamu sudah sangat tahu jawabannya, Rio."
Rio menarik nafas dalam. "Jika ini tentang perbedaan keyakinan diantara saya dan Ify...", ia menunduk sebentar, menelan kembali kepahitan diulu hatinya. "Kami bisa seperti sekarang karena dipertemukan oleh cinta, bukan oleh beda."
"Cinta kamu salah."
"Baiklah. Setidaknya setelah ini saya akan kembali berfikir, apa memang Tuhan yang salah, atau justru kita yang akhirnya memandang bahwa segala kuasa-Nya menjadi salah." Rio bangkit perlahan dari duduknya. Melempar senyum sebentar pada Ify yang nampak tak bisa berbuat apa-apa. "Saya pamit om."
Tak ada satupun manusia diruangan itu yang mampu mencegah kepergian Rio, juga untuk mengajukan banding atas deklarasi Hanafi Umari barusan. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Juga sibuk memikirkan Ify.
"Rio baik yah.", hanya itu yang keluar dari bibir mungil Ify sesaat setelah dia hanya diam terpaku melihat punggung kokoh Rio pergi menjauh.
Ayahnya kemudian bangkit. Sejenak melempar tatapan aneh pada Ify sebelum berbalik badan dan mendesah. "Masih banyak juga pemuda muslim yang baik fy."