Selasa, 26 Juni 2012

Nafas Kehidupan seorang Mozart

Seperti sebuah persahabatan..
Yang terbentuk karena keharmonisan untuk saling melengkapi..
Begitulah sebuah musik tercipta..
Saat ada nada-nada harmonis yang membentuknya..

Pernah mendengar tentang musisi klasik legendaris hebat yang sampai karyanya tak pernah mati dimakan zaman? Ludwig Van Beethoven a.k.a Beethoven dan Wolfgang Amadeus Mozart atau Mozart dua nama orang musisi klasik beda generasi yang selalu saja familiar untuk siapapun yang mendengarnya. Yah, Beethoven dan Mozart dilahirkan dalam generasi berbeda, hingga melahirkan jenis musik yang berbeda yang menyamakan keduanya adalah mereka sangat hebat dalam penciptaan suatu karya klasik baik pada zamannya maupun zaman mendatang. Mozartlah inspirasi Beethoven saat berkarya hingga menghasilkan banyak karya yang luar biasa.

Lalu pernahkah kau membayangkan jika Beethoven dan Mozart ada di generasi yang sama dan kaulah yang menjadi piano kebanggaan mereka? Jika tidak sepertinya kalian wajib mendengar kisahku. Kisah tentang persahabatan seorang Mozart, Piano dan Beethoven.

Pedih mengingat kisah kebanggaanku itu. Tapi itulah nyatanya. Kenanganku bersama mereka.

Alun sebuah simphony
Kata hati disadari
Merasuk sukma kalbuku
Dalam hati hati ada satu

“Rioo” Panggilku terhadap laki-laki yang tengah menikmati perjalanan dikoridor sekolahku.
“Hey my piano” Jawab Rio tersenyum sumringah.
“Ma-Ri-o jangan panggil aku kayak gitu ah, Ga enak didenger Alvin” Bantahku
Rio terkekeh “Kenyataannya piano yang didepanku saat ini memang milik seorang Mozart kan? Sedangkan Beethoven sedang mencari piano lainnya” Goda Rio.
“Rio apaan sih. Tapi tetep aja. Ayo langsung ke Ruang musik” Rajukku terhadap laki-laki ini.
Rio mengangguk lalu menggandeng tanganku dan melangkah ke Ruang musik berbarengan.

Entah apa yang membuatku menamai Rio, Mozart saat pertama kali bersahabat dengannya. Padahal tingkahnya jauh dari Sifat asli Mozart. Mungkin sifatnya yang begitu tenang saat bermain piano dan berpikir saat ada masalah membuatnya lebih mirip Mozart ketimbang Beethoven yangh ekspresif.

^^^

Manis lembut bisikkan mu
Merdu lirih suaramu
Bagai pelita hidupku

Alunan Piano terbaik milik Beethoven saat di duetkan dengan Grieg, Gershwim dan Bach menyambut indah langkahku bersama Rio saat memasuki Ruang musik itu.
“Seperti biasa, dia begitu semangat latihan” Ucap Rio
“Jangan lupa, kamulah yang membuatnya begitu. Kamu yang menyarankannya. Makanya aku bilang kisah kalian seperti Mozart dan Beethoven, dimana kamulah sumber inspirasi Alvin dalam semangat bermusik” Ujarku.
“Bukan begitu Fy” Sanggahnya padaku “Kisah yang sebenarnya karena kemauan Beethoven sangat tinggi dalam berkarya, bukan karena Mozart yang menjadi inspirasinya Sama seperti Alvin dan aku.. Dan...” Ucapan Rio menggantung.
“Apa?” Tanya ku tak sabar.
“Dalam kisah sebenarnya sang Mozart juga tidak merebut piano Beethoven” Ucap Rio sambil tertawa kecil.
Aku memukul lengan Rio pelan. “Tapi kita persahabatan Mozart, Piano dan Beethoven masa depan. Aku sebagai piano diantara kalian dan memilih mozart sebagai pianisku alias kamu sebagai pendamping aku. Sedangkan Alvin seorang Beethoven yang akan mencari piano lainnya” Jelasku
Rio mengacak poniku sambil tersenyum. Sepertinya puas akan penjelasan ku.
“Eheem” sebuah deheman yang berasal dari Alvin membuyarkan keasyikan kami berdua.
“Hey, Beethoven. How are you now?” Sapa Rio pada sahabatnya –Alvin-
“Ga begitu baik, masih jealous ama loe berdua. Mentang-mentang Mozart lebih dulu mengenal Piano daripada Beethoven. Beethoven sepertinya harus mencari piano lain” Ucap Alvin.
Rio terkekeh. “Ga begitulah Vin. Kita udah berjanji kan biar Piano ini sendiri yang memilih pianisnya?” Tanya Rio sambil merangkul Ify –Aku-
Gantian Alvin yang terkekeh. “Fine, santai aja lagi.” Ucap Alvin datar.
“Gimana tentang kepergian besok?” Tanya Ify.
“Jadi dong. Loe gimana Vin?” Tanya Rio
“Tapi serius kan di Villa loe nanti ada grand piano outdoor?” Tanya Alvin.
“Yes. I’m serious. Loe puas nantinya bermain dan menghibur para pekerja kebun teh” Ucap Rio.
Alvin tersenyum sumringah.
“Okey, besok kita berangkat jam 7 pagi biar ga macet. Sekarang latihan.” Ucap Rio pada kami berdua sambil melangkahkan kakinya kesebuah grand piano.
Aku duduk disebelah. Kami sudah terbiasa berduet dalam bermain piano. Sedangkan Alvin sendiri. Kebetulah sekolah kami memiliki 2 grand piano. Hingga terlantunlah sebuah nada klasik saat Beethoven, Mozart, Chopin dan Schubert berduet dalam grande valse brillante. Kami bermain secara sempurna melebihi biasanya seakan itulah konser akhir yang sebenarnyaa..

Yah, mereka lah kedua sahabat ku Mozart dan Beethoven masa depan. Rio dan Alvin, dan salah seorang diantara mereka Rio –sang Mozart- Telah menjadi Pianis hatiku. Akulah piano diantara mereka. Saat mereka bertanya, mengapa aku memilih menjadi piano bukan seorang Martha Argerich yang bisa memainkan nada secara luar biasa. Dengan mantap kujawab “Karena hidup Mozart dan Beethoven tak akan lengkap tanpa sebuah Piano. Dan aku berharap jadi piano yang bisa melengkapi dan terus menemani kehidupan Mozart dan Beethoven sampai ajal yang menjemput”

^^^

Berkilauan bintang malam
Semilir angin pun sejuk
Seakan hidup mendatang
Dapat kutempuh denganmu

Pagi ini aku siap berangkat menuju kawasan Puncak Jawa Barat. Tujuan kami adalah Villa milik keluarga Rio dikawasan Cisarua.
“Sial, kenapa gue jadi supir gini?” Gerutu Alvin.
Yah, Alvin lah yang memegang kemudi saat ini.
“Yaudah Fy, kamu didepan temani Alvin” Ucap Rio pelan. Entah, aku merasa ganjil terhadapnya. Dari tadi pagi sifatnya lebih diam.
“Hah, ga usah Yo” Tolak Alvin.
“Buat teman ngobrol, Gue lagi ga enak badan” Jawab Rio sekenanya.
“Tapi..” Alvin ingin membantah lagi.
“Kalian bersahabat, dua orang yang ga mungkin nyakitin gue. Dan gue percaya” Ucap Rio tegas.
Alvin hanya mengangkat bahu. Aku akhirnya keluar lagi dari mobil dan pindah duduk didepan bersama Alvin.
Alunan lagu baby einstein milik mozart diputar mengiri perjalanan kami. Jujur disitu aku agak was-was entah karena apa. Belum lagi sikap Rio yang mendadak lebih diam.
“Gimana Yo? Badannya enakan” Tanyaku khawatir sambil menoleh kebelakang melihat Rio agak menggeliat bangun dari tidurnya.
“Kepalaku aja agak pusing” Ucap Rio sekenanya.
“Villa loe masih jauh ga dari sini? Biar loe bisa cepet istirahat” Tanya Alvin.
“Biar gue cepet istirahat atau biar loe langsung konser diperkebunan teh?” Ledek Rio.
Alvin nyengir “dua-duanya lah.” Jawab Alvin.
“Asal jangan mentang-mentang loe beethoven nanti loe maenin lagu Fur Elise lagi karena kasih loe sama Ify tak sampai” Ucap Rio sarkartis.
JLEB
Ucapan Rio barusan benar-benar menusuk Alvin, Alvin tau persis lagu itu. Tau juga tentang sejarah dari lagu itu. Tentang Kasih tak sampai seorang Beethoven terhadap seorang wanita yang lebih memilih pria lain hingga akhirnya membuat Beethoven menutup hatinya dan tidak menikah sampai ajal menjemputnya. Sebuah lagu dengan awal yang melenakan pada kunci A Minor yang merupakan bentuk sedih dari tangga nada C Mayor. Kecemburuan yang sejak kemarin ditahan kembali menguar. Hingga tak sadar Alvin menambahkan kecepatan mobilnya.
Aku dan Rio jujur tidak menyadari tingkah Alvin saat itu. Aku pikir karena jalanan kosong. Wajar Alvin menambah kecepatan bukan?
“Kan ga lucu Fur Elise jadi Fur Alyssa –Nama asli Ify-“ Ucap Rio lagi.
“Rio udah, kamu istirahat lagi deh” Ucapku karena merasa tak enak dengan keadaan ini.
Alvin menjadi diam. Aku lihat tangannya mengcengkram setir kuat. Kecepatan mobil ditambahnya lagi. Aku dan Rio terhentak.
“Vin, jangan gila. Kita bisa celaka” Ucap Rio.
Alvin tak mengucapkan sepatah katapun.
“Vin, rem please” Ucapku panik.
Mobil terus melaju cepat. Dan sepertinya Alvin mulai kehilangan keseimbangan saat menyetir. Kulihat Rio membuka paksa mobil belakang. Mobil mulai oleng, yang kuingat saat itu hanya ada sebuah tangan yang merengkuhku dan menghempaskan tubuhku saat itu kejalanan dan gelap..

^^^

Berpadunya dua insan
Simphony dan keindahan
Melahirkan perdamaian
Melahirkan perdamaian

Kami bertiga memang selamat dari kecelakaan tragis itu. Tapi hubungan kami bertiga tidak. Alvin marah pada Rio karena menurutnya kecelakaan itu adalah Rio penyebabnya. Alvin juga menyalahkan dirinya sendiri karena membuat kakiku patah. Sedangkan Rio? Jauh lebih pendiam dari sebelumnya. Hubunganku dengan Rio menjadi tidak baik. Rencana Indah untuk berlibur habis sudah. Dan memang benar, latihan musik sebelum keberangkatan memang duet terakhir antara kami bertiga. Akibat dari kecelakaan itu membuat Alvin Buta, karena saat itu dia tidak bisa melompat keluar dari mobil. Dan ikut terjatuh kejurang bersama mobil milik Rio. Masih selamat saja  untung mungkin saat itu. Matanya kemasukan serpihan kaca hingga membuatnya kehilangan penglihatan. Sedangkan aku? Kaki kananku patah karena saat ada tangan yang merengkuhku yaitu milik Rio kakiku agak tersangkut dijok mobil dan membuatnya tertekan hebat. Sedangkan Rio sendiri? Dia hanya luka ringan. Mungkin itulah yang membuat Alvin marah padanya. Aku tidak menyalahkan Rio, toh karena dia juga aku selamat. Tapi mungkin aku merasa kesal mengapa aku yang diselamatkan? Mengapa bukan Alvin yang jelas-jelas adalah sahabat kecilnya. Rio seperti menjauh, malu kah dia bersanding dengan gadis cacat seperti ku sekarang?

Syair dan Melody
Kau bagai aroma penghapus pilu
Gelora dihati
Bak mentari kau sejukkan hatiku

Ahh, terlalu banyak pikiran yang bergelayut dipikiranku saat ini. Kini aku berada diruang musik duduk didepan sebuah grand piano sambil memejamkan mata dan mengingat segala kenangan saat Piano, Mozart dan Beethoven berteman baik. Lamunannku buyar setelah mendengar intro lagu yang begitu familiar ditelingaku ditambah suara yang sudah begitu akrab ditelingaku.

Bening matamu pancarkan kesedihan
Tak pernah terlihat selama ini
Senyum pedihmu lukiskan airmatamu
Perihnya hatimu menyentuh bathinku

Sungguh mati aku tidak bisa meninggalkan dia
Walaupun kau dekap aku
Ampun aku bila kini yang terkuat hanya pedih
Yang mungkin menghantui
Hidupmu Hidupku

Detak jantungmu (detak jantungmu)
Tegaskan perih hatimu (perih hatimu)
Hidupmu.. Hidupmu Hidupku...

Sungguh mati aku tidak bisa meninggalkan dia
Walaupun kau dekap aku
Ampun aku bila kini yang terkuat hanya pedih
Yang mungkin menghantui
Hidupmu Hidupku

Sungguh mati aku tidak bisa meninggalkan dia

Oohh,, Aku takut.. bila kini..
Yang terkuat hanya perih..
Yang mungkin menghantui..
Hidupmu Hidupku
Hidupmu Hidupku
Hidupmu Hidupku

Lagu berakhir. Pemuda itu –Rio- yang memainkan dan menyanyikan lagu itu begitu sempurna. Aku terperangah, kekesalanku padanya luntur begitu saja. Rio bangkit dari grand pianonya, aku menubruk tubuhnya. Sepertinya dia tidak siap sehingga sedikit terjerembab kebelakang. Dia menahan. Aku memeluknya erat menumpakan semua emosiku disana. Hey, kenapa dia tidak membalas? Apa dia sudah bertemu dengan yang lain? Apa seorang Mozart telah menemukan Piano baru? Aku melepas pelukanku dan menatapnya protes.
“Kenapa... Kenapa..” Nafasku agak sedikit tersenggal karena menangis. Bukannya menjawab Rio malah langsung mendekatkan wajahnya dengan wajahku. Aku yang tidak dapat berkata hanya bisa memejamka mata. Hingga sapuan lembut dan hangat menerpa bibirku. Bibir Rio tertaut sudah, aku masih terdiam dan membalasnya hingga akhirnya Rio menjauhkan wajahnya dari wajahku.
“Maaf, tapi aku Cuma mau kamu tahu, aku masih mencintai kamu masih sama seperti kemarin dan sekarang dan mungkin esok pagi” Ucap Rio.
Aku tertunduk. Airmataku leleh lagi.
“Kamu tahu? Bahkan kemarin aku lebih memilih untuk mati dan tidak diselamatkan kamu kalo tau kamu menjauh dari aku” Ucapku.
Rio mengangkat wajahku. “Hey, jangan bodoh. Aku ga akan pernah biarin itu. Maaf udah buat kamu kayak gini” Ucap Rio sambil menunjuk tongkatku “Dan Alvin yang seperti itu. Itu semua salah aku” Ucapnya lagi.
“Kenapa kamu lebih memilih menyelamatkan aku waktu itu. Alvin sahabat kecil kamu” Tanya ku.
Rio memegang kedua bahuku.
“Kamu mau tau jawabannya?” Tanya Rio.
Aku mengangguk pelan.
“Karena seperti lagu tadi. Kamulah hidup aku. Dan Alvin, dialah nafas aku” Ucap Rio tersirat.
Aku menggeleng menyatakan tak mengerti ucapannya.
“Aku lebih memilih tersiksa sendiri karena nafas aku tersenggal dibanding kehilangan seluruh hidup aku. Karena itu akan mempersingkat waktu aku untuk bersama sahabat ku Beethoven dan Favoriteku Piano.” Ucap Rio sambil tersenyum getir.
Aku terdiam, tak bisa berkata apapun. Sedalam inikah rasa yang Rio miliki untukku. Rasa yang mungkin tak akan tergali saat ditelusuri.
“Alvin tak lagi main piano saat ini” Entah mengapa ucapan itu yang meluncur dari bibirku.
Rio tersenyum manis “Biarlah, dia menenangkan diri. Bersatu dengan hatinya. Dan menjadi Beethoven yang penuh semangat dibalik kekurangannya” Ucap Rio.
Aku tersenyum lega mendengar ucapan Rio kali ini. Sungguh aku tak salah memilihnya dalam kehidupanku.

^^^

Burung-burungpun bernyanyi bunga tersenyum
Melihat kau hibur hatiku
Hatiku mekar kembali terhibur simphony
Pasti hidupku kan bahagia

Sudah 2 minggu sejak pertemuanku dengan sang Mozart a.k.a Rio. Sejak itu pula Rio seperti ditelan bumi. Tidak masuk sekolah ataupun menghubungiku. Satu hal yang membuatku lega adalah ketika tidak adanya kabar yang mengabarkan kematian sang Mozart itu. Ah, jangan sampai deh. Dan sudah seminggu Alvin mulai masuk sekolah seperti biasa. Walau dalam keadaan Buta. Alvin tetap menjalani aktivitas sekolah dengan bantuan huruf Braille. Yang membuatku lebih senang Alvin mulai kembali menyentuh piano. Mulai bermain walau kekurangan pada indera penglihatannya, begitu aku tanya apa yang membuatnya ingin menyentuh piano lagi, dia hanya berkata..
“Ada seseorang yang mengirim surat padaku yang berisi
---------------------
Love is like playing piano
First, you learn to play it by rules
Then, you forget the rules
Close your eyes
And start playing from your heart

M.M
---------------------

“Surat itu membuat gue semangat lagi. Dan ingin menjadi Beethoven yang sebenarnya. Dibalik segala kekurangan yang gue miliki sekarang gue memilih untuk tetap berkarya bukan hanya hanya mata tapi dari hati” Jawab Alvin.

^^^

Tiga minggu sudah Rio menghilang tidak ada kabar. Alvin juga sudah tiga hari tidak masuk. Aku dengar dia mendapatkan donor mata, tapi aku masih belum sempat menjenguknya karena kegiatan sekolah yang ekstra padat. Aku mengedarkan pandanganku kekoridor luas. Aku melihat Alvin berjalan tanpa bantuan tongkatnya, dan dia menunduk. Hey ada apa?

Alvin berjalan menghampiriku dan lalu menarikku.
“Hey, Vin. Mau kemana? Kamu udah bisa melihat?” Tanya ku.
Tak ada jawaban. Alvin  tetap menarikku dan sepertinya dia sudah bisa melihat karena jalannya begitu lancar. Lalu kenapa dia menarikku seperti ini. Aku hanya bisa pasrah mengikuti. Tujuan akhirnya adalah diruang musik. Alvin menyuruhku duduk tepat didepan grand piano dan Alvin sendiri menyalakan TV dan DVD yang ada diruang musik, memasukkan sebuah DVD kedalamnya dan lalu menarik kursi lalu duduk disebelahku.

Sebuah intro dari Band Familiar dinegeri Indonesia ini mengawalai depan Video.
“Video apa sih Vin?” Tanyaku tak mengerti.
“Liat dulu aja Fy” Jawabnya tanpa menoleh. Aku menurut dan memilih untuk diam saat menonton Video itu.

Takkan selamanya tanganku mendekapmu
Takkan selamanya ragaku menjagamu
Seperti alunan detak jantungku
Tlah tertahan melawan waktu


Suara Rio. Yap benar aku yakin suara Rio itulah yang menjadi backsound video ini. Tapi ada apa?
Lalu muncullah video Rio yang memangku gitarnya dan bicara..
“Hay my piano udah berapa lama ya kita ga ketemu. Maaf ya aku ga kasih kabar. Mungkin saat ini kita udah ga bisa ketemu lagi. Tapi perlu kamu tahu aku masih tetap mecintai kamu sampai esok pagi seterusnya. Aku ga kasih kabar karena saat seminggu pertama aku dalam keadaan kritis aku ga masuk aku dalam keadaan kritis. Video inipun aku buat saat sesudah insiden kecelakaan itu terjadi. Maaf ya udah buat kaki kamu patah karena ulah aku. Dan untuk Alvin, Beethoven in My life Maaf udah buat loe kehilangan indera penglihatan loe.”

Dan semua keindahan yang memudar
Atau  cinta yang telah hilang

“Aku mengidap Kanker Otak stadium akhir. Itulah yang membuat aku mengatakan kalau kamu hidup aku Fy waktu itu. Aku mau punya hidup dan waktu lebih banyak untuk terus bersama Kamu dan Alvin. Pengen ngehabisin waktu lebih banyak dengan kalian. Menjadi Mozart, Piano, Beethoven masa depan dengan menggelar konser dibanyak negara seperti impian kita bersama. Keren yah ngebayanginnya? Tapi sayang waktu aku Cuma sebentar.”

Tak ada yang abadi
Tak ada yang abadi
Tak ada yang abadi
Tak ada yang abadi

“Sangat menyesal, kebersamaan kita terakhir malah diwarnai ketegangan satu sama lain karena ulah gue. Tapi sekarang semua udah kembali. Yah Cuma loe berdua tanpa gue. Tapi disini gue udah bebas sangat lepas tanpa penyakit laknat itu lagi. Maaf ya kalo gue banyak salah ama kalian? Untuk kamu Fy mama dan papa aku udah nyiapin tempat terapi yang cocok untuk kamu. Aku yang cari loh waktu itu, panas-panasan sampai aku item gini” Ucap Rio tergelak. “Kamu terapi ya my piano? Biar ada yang nemenin Beethoven konser nanti.

Ohh,,, Biarkan aku bernafas sejenak sebelum semuanya hilang
“Vin, gue akui dengan alasan hidup yang ga lama lagi. Gue biarin ego sang mozart berkuasa mengalahkan seorang Beethoven yang ekpresiv untuk memiliki Piano yaitu Alyssa Saufika, Gue minta maaf untuk hal ini. Gue menghalangi cinta loe sama dia. Yah walau gue tau secara gue lebih keren dari loe pasti Ify milih gue. Dan bener kan kenyataannya?” Rio terkekeh

Aku melihat Alvin yang sudah meneteskan airmata karena menonton Video ini. Sedangkan aku? Sudah terisak hebat. Masih belum percaya tentang kepergian sang Mozart dan tawa keperihan yang jelas ada diwajah kekasihnya itu.

Takkan selamanya tanganku mendekapmu
Takkan selamanya raga ini menjagamu
Jiwa yang lama telah pergi
Bersiaplah para pengganti

“Hey kok pada ga rusuh sih kayak biasanya?” Tanya Rio pada video itu seakan mengajak bercakap.
“Dia bodoh atau apa sih? Suasana kayk gini juga” Gerutu Alvin.
Aku hanya menanggapi dengan senyum. Sang Mozart terlalu tegar untuk ini.
“Ahh, ga seru nih. Gue bercanda sendiri. Jangan bilang loe lagi nangis Vin makanya ga rusuh?” Tanya Rio lagi.
“Mozart kayaknya ga sesinting dia deh” Ucap Alvin
Aku sedikit tersenyum melihat tingkah Alvin.
“Kamu kok juga diem Fy? Kamu nangis ya? Nanti siapa dong yang hapusin air mata kamu? Kan aku udah ga ada” Ucap Rio.
Aku kembali menjatuhan bening air mata itu. Tersadar, lalu menghapusnya secara kasar.
“Jangan nangis lagi ya my piano. Aku rasa kamu perlu pianis baru. Kamu bisa lihat orang disebelah kamu. Aku yakin dia bisa jaga kamu” Ucap Rio.
Ify menggeleng cepat, tidak. Tidak secepat itu melupakan Rio.
“Dan elo Vin. Gue lagi mangku gitar nih. Jangan sampai loe nangis karena video ini. Bisa gue lempar nih gitar ke elo. Seenaknya aja loe nangis. Gue ngasih mata gue ke elo bukan buat memproduksi air mata tapi buat ngingetin Ify kalo gue juga selalu disampingnya” Ucap Rio
“APA?” Ucap Alvin Syok.
“Mata itu milik Rio?” Tanya Ify sambil memandang mata Alvin.
Alvin menggelengkan kepalanya mengisyarakan tidak tahu. Lalu menutup kedua wajahnya dengan telapak tangannya. Frustasi.

Tak ada yang abadi
Tak ada yang abadi
Tak ada yang abadi
Tak ada yang abadi

“Udah ah, gue cape. Dari tadi ngobrol ga ditanggepin gara-gara pada sibuk nangis.. heuu ga asyik” Ucap Rio, wajahnya mengekspresikan seperti anak kecil yang kehilangan mainan.
Ify tersenyum pedih menatap wajah itu. Ingin rasanya memeluk tubuh tinggi itu lagi. Tapi ada daya untuk sekarang.
“Oke guys. Cuma itu yang bisa gue lakukan buat kalian. Untuk Ify. Aku akan masih tetap mencintai kamu dari sini, dan selalu disemping kamu. Untuk Alvin. Tetap jadi sahabat gue, dan tolong jaga Ify semampu loe. Gue sayang kalian berdua” Ucap Rio menutup pembicaraannya.
Tak lama video itu berganti dengan layar hitam dengan tulisan putih mengatakan :

Love is like playing piano
First, you learn to play it by rules
Then, you forget the rules
Close your eyes
And start playing from your heart

M.M
(Mario.Mozart)

Alvin tercengang. Airmata yang tadi ditahannya memaksa untuk memproduksi air mata lebih banyak lagi.. Ify langsung menghadapkan dirinya pada grand piano putih dihadapannya tadi dan mulai memainkan tuts-tutsnya.

Notice me
Take my hand
Why are we
Strangers when
Our love is strong
Why Carry On without me

Everytime I try to fly
I fall without my wings
I feel so small
I guess I need you baby
And everytime I see
You in my dreams
I see your face,
It’s haunting me
I guess I need you baby

I make believe
That you are here
It’s the only way
I see clear
What have I done
You seem to move on easy

Everytime I try to fly
I fall without my wings
I feel so small
I guess I need you baby
And everytime I see
You in my dreams
I see your face,
It’s haunting me
I guess I need you baby

I may have made it rain
Please forgive me
My weakness caused you pain
And this song is my sorry

At night I pray
That soon your face
Will fade away

Everytime I try to fly
I fall without my wings
I feel so small
I guess I need you baby
And everytime I see
You in my dreams
I see your face,
It’s haunting me
I guess I need you baby

“Mario, you’re my favorite pianis”

Seorang Mozart yang dikatakan orang lebih membosankan dibanding Beethoven  justru dapat mengaplikasikan emosi jiwanya kedalam melodi-melodi klasik dengan jiwa ketenangan meski kadang terlalu datar. Yah walau kespontanitasannya dan keromantisannya tidak sebanding dengan  Beethoven yang mengaplikasikan melodinya dengan emosi yang meledak-ledak tapi meletupkan semangat. Tapi pasti sang mozart memiliki cara tersendiri untuk menyampaikan cintanyaa ..

^^^

Aku mematikan Video itu setelah sekian kalianya kutonton sambil mengingat memory manis tentang sang Mozart. Dua tahun sudah berlalu. Dan aku masih tetap sendiri. Tidak memilih untuk ove on dengan mencari pengganti, biarlah. Biarlah kenangan itu tetap berputar. Mengurungku dalam kesendirian. “Caused you’re my favorite pianis, MARIO”

The End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar