Selasa, 26 Juni 2012

Will You Marry Me? - Part 11

“Hei, lihat mangsa kita.” Ashilla menunjuk pemuda bertubuh jangkung berkuliat coklat yang sedang mengambil teh botol di warung kaki lima di depan SMA Teitan. Ketiga teman Ashilla yang duduk dibelakang tertawa masam. Hanya Sivia yang terdiam di bangku depan. Gabriel memang selalu setia menunggu Sivia di sana. Dan dia harus puas hanya dengan melihat sekelebat bayangan Sivia di mobil Ashilla.

Siapa sangka hari ini Gabriel akan mendapatkan lebih dari sekedar bayangan Sivia.

“Oke, Siv, hear me out. Gue nggak mau rencana ini sampai gagal. Gue akan telepon lo nanti. Lo punya waktu seminggu untuk mengetahui semua yang ingin gue ketahui. Ngerti lo?!” Sivia buru-buru mengangguk. “Dan lo jangan pernah nyamperin gue di sekolah. Biar Rio yakin kalo lo udah lepas dari geng gue.” Ashilla tersenyum puas sebelum akhirnya menginjak gas mobilnya. Tak lama kemudian ia sudah mengerem mobilnya tepat di depan Gabriel.

“Shil...” Sivia berkata ragu.

“Apa lagi sih? Keluar sana. Lo sendiri kan yang milih mau sama dia!” Ashilla menunjuk Gabriel yang berdiri terpaku tak mempercayai apa yang didengarnya.

“Shil...”

“Udah, gue muak dengerin lo ngebelain cowok kurang ajar itu terus. Mending lo sana gih, sama dia aja sekalian!” tukas Ashilla sengit. “Keluar gue bilang,” tambahnya judes. “Cepetan!”

Sivia buru-buru membuka pintu mobil Ashilla. Untuk sebuah sandiwara, ini udah keterlaluan. Tapi memangnya Sivia bisa bilang apa?

“Nah, bergabunglah sama cowok yang lo bela itu!” teriak Ashilla diiringi gelak tawa gengnya. Akhirnya mereka meninggalkan Sivia yang gemetaran di tempatnya berdiri, bukan hanya karena diperlakukan seperti itu oleh Ashilla, tapi juga karena harus menghadapi Gabriel seorang diri setelah ini.

“Mereka memang keterlaluan.” Tangen kekar itu tiba-tiba sudah mendarat di bahunya. Perlahan Gabriel membalik tubuh langsing Sivia. “Apa bener lo udah ngebelain gue?” tanya Gabriel tersenyum senang.

Sivia tak tahu harus bagaimana. Dia hanya mengangguk samar dan tertunduk. Siapa sangka Gabriel tiba-tiba memeluknya. “Makasih, Siv...”

Sivia hanya bisa pasrah. Dia tak bisa memungkiri bahwa dia merasa nyaman dalam pelukan Gabriel. Dia sampai nggak menyadari air mata yang mengalir di pipinya. Mana bisa gue manfaatin cowok sebaik ini? Dalam keraguannya diam-diam Sivia berharap Gabriel takkan pernah melepas pelukannya.

“Sudahlah,” bisik Gabriel seraya menghapus sisa air mata di pipi Sivia. “Lo udah makan?”

Sivia menggeleng pelan. “Lo tau nggak, baksi Pak Rin bakso terenak di dunia. Mau tau kenapa?” Kali ini Sivia mengangguk. “Karena bakso Pak Rin adalah temen setia gue nungguin lo di sini. Lo mau?”

Sivia akhirnya tersenyum dan mengangguk mantap.

Ashilla ketawa puas bersama ketiga temannya di dalam mobilnya. “Rupanya Sivia lebih pandai daripada yang gue kira,” katanya, senang umpannya kena.




@@@@@




Entah Sivia harus bersyukur atau mengeluh. Hari-harinya bersama Gabriel begitu indah. Dia selalu menunggu jam usai sekolah dengan berdebar-debar. Dan begitu ketemu Gabriel, mereka menghabiskan waktu bersama. Walau dengan motor butut Gabriel, meski Cuma jalan-jalan di mall tanpa membeli apa-apa, Sivia bahagia.

Dia bersyukur Ashilla tak menemuinya di sekolah, jadi dia bebas dari pertanyaannya tentang misi yang hampir dilupakannya. Sivia juga mematikan HP-nya kalau nomor Ashilla yang muncul. Dia bahkan minta tolong pembantunya untuk mengangkat telepon dan bilang dia sudah tidur atau pergi ke mana saja asalkan tidak mengangkat telepon Ashilla.

Sivia jadi merasa seperti burung yang terbebas dari sangkar. Dia tetap tidak akan terusik bila Ashilla tak menghampirinya siang itu.

Dia sedang memasukkan peralatannya ke loker saat wajah Ashilla muncul di balik pintu loker yang ditutup. Sivia sampai terlonjak dibuatnya.

“Halo, Tuan Putri,” sapa Ashilla seraya mengunyah permen karet.

“Shil...” balas Sivia yang bingung harus ngomong apa. “Mmm... kok sendiri? Mana yang lain?” tanyanya, berusaha setenang mungkin.

“Kenapa telepon gue nggak pernah lo angkat?” Ashilla mengabaikan pertanyaan Sivia.

“Gue... gue lagi sama Gabriel. Gue takut ketahuan.” Jawaban ini sudah lama dipersiapkan Sivia. Itulah sebabnya dia berani mematikan HP kalau nomor Ashilla yang muncul dia layar HP-nya.

“Telepon rumah lo kenapa? Apa Gabriel jagain lo seketat itu sampai di rumah pun dia nungguin lo?” Ashilla meniup permen karetnya santai.

“Gabriel kadang ngajak main sampai malam, Shil. Gue... gue langsung itdur begitu sampai rumah. Kecapekan. Sorry.” Yang ini juga sudah direncanakan Sivia sebaik mungkin. Walau penyampaiannya masih takut-takut.

Permen karet Ashilla meletus di mulutnya. “Pinter ngeles rupanya lo sekarang!” katanya masih dengan nada tenang. “Gue nggak mau tahu. Yang jelas gue butuh berita. Apa aja yang lo ketahui?”

“Itu... belum...”

“Denger ya,” Ashilla mendekatkan wajahnya kepada Sivia yang berusaha tetap tenang. “Ini sudah tiga hari sejak kesepakatan kita. Sebaiknya lo segera menyelesaikan tugas lo. Sebelum lo menyesal, Tuan Putri.” Ditekankannya kata Tuan Putri sebelum akhirnya menarik wajahnya kembali. “Dan sekarang, lo yang mesti telepon gue, apa pun berita yang lo dapat. Jadi lo bisa pilih waktu sendiri kapan Gabriel nggak bareng lo. ngerti?” Dimainkannya kepala Sivia dengan telunjuknya sebelum akhirnya pergi dari hadapan gadis pendiam itu.

Ya Tuhan... apa yang harus kulakukan sekarang? batinnya. Dia berjalan lunglai sepanjang koridor. Kalau sudah begini, rasanya berat mau ketemu Gabriel.




@@@@@




“Hei, baksonya nggak enak ya?” tanya Gabriel heran melihat pujaan hatinya hanya mengaduk-aduk isi mangkuknya.

“Hah? Ah nggak, enak kok.” Sivia buru-buru menyuap sepotong besar bakso. Alhasil dia malah tersedak dan terbatuk-batuk. Gabriel mengulurkan minum padanya. “Terima kasih,” kata Sivia seraya menyeruput cepat isi gelasnya.

“Siv, kalo lo bosen makan di sini, gue punya langganan restoran yang masakannya lebih dari enak. Mau coba?” tawar Gabriel dengan senyum khasnya.

“Apa? Tapi baksonya?” Sivia jadi bingung saat Gabriel tiba-tiba berdiri dan mengajaknya pergi dari tempat itu.

“Pak Rin nggak bakal marah baksonya nggak lo habisin. Yang penting gue nggak nge-bon. Yuk.”

Mau tak mau Sivia mengikuti langkah Gabriel. Dikenakannya helm yang diulurkan Gabriel padanya. Helm istimewa yang dipesan Gabriel dengan tulisan Sivia di bagian belakangnya.

Motor butut Gabriel melaju pelan. Lalu berhenti di sebuah rumah mungil asri dengan berbagai tanaman tertata rapi di sepanjang halamannya.

“Gab... ini kan rumah orang!” kata Sivia heran sembari turun dari boncengan.

“Iya, ini rumah orang, bukan rumah siput. Nah orangnya bernama Bunda, Gabriel, dan Ify. Dengan kata lain ini rumah gue,” kata Gabriel setelah melepas helm.

Ya Tuhan... rencana apa lagi yang akan Kau buat untukku? Sivia berjengit takut mendengar pernyataan Gabriel.

“Yuk masuk,” Gabriel menarik pelan tangan Sivia.

Ya Tuhan... gimana kalo Ify ingat aku? Bagaimana kalo dia langsung mengusirku dari rumah? Ya Tuhan... haruskah aku bersyukur ato menangis?

Mereka masuk ke dalam rumah yang tidak dikunci. Gabriel menghentikan langkahnya saat mereka sampai di ruang makan keluarga. Ify dan Bunda sedang asyik bersantap siang sambil bercerita, hingga tidak menyadari kehadiran mereka.

“Selamat siang, Bunda dan Adinda tersayang,” sapa Gabriel menghentikan cerita Ify kepada Bunda.

“Kakak apaan sih? Norak, tahu!” balas Ify. Tapi begitu tahu kakaknya tidak sendirian, dia lalu melempar kode pada Bunda sebelum akhirnya mengoda usil kakaknya. “Oo... rupanya ada Tuan Putri di sini. Pantas Kakanda jadi bergaya.”

“Itu bukan urusan anak kecil,” kata Gabriel seraya mempersilakan Sivia duduk. “Bunda, ini Sivia,” sambungnya kepada Bunda.

Dengan sopan Sivia mengulurkan tangannya dan segera disambut hangat oleh Bunda.

“Jangan sungkan ya di sini. Anggap saja seperti rumah sendiri,” balas Bunda ramah.

“Bunda curang, dulu aja Ify nggak boleh pacaran. Untung Rio orangnya cerdik, kalo nggak, pasti deh sampai sekarang Ify tetep nggak boleh pacaran. Kok Kak Iyel gampang banget sih izinnya?” protes Ify manyun.

“Ye... anak kecil jangan sirik dong. Lo kan masih bau kencur. Coba pacar lo bukan Rio yang dewasa dan bisa jagain lo, mana mungkin Bunda kasih izin!” Gabriel balas menyerang.

“Bener gitu ya, Bun? Berarti Bunda pilih kasih dong. Itu namanya nggak adil.” Ify makin manyun.

“Sudah... sudah... kalian ini apa tidak malu, ada tamu malah bertengkar sendiri. Kalau bener Bunda pilih kasih, itu artinya Bunda lebih sayang sama kamu, Fy. Sampai-sampai Bunda nggak izinin kamu disakiti cowok mana pun. Tapi bagaimanapun, kamu kan udah jalan ama Rio, jadi nggak usah gangguin Kak Iyel lagi. Dia kan cowok, kalau nggak punya cewek, Bunda ikut malu dong. Masa anak keren Bunda nggak laku. Bener, nggak?!” Bunda coba menengahi.

“Bunda, laper nih,” kata Gabriel manja.

“Huu... kolokan. Dibelain sekali aja ngelunjak,” sindir Ify.

“Sudah... kalian jangan mulai lagi,” kata Bunda. “Ify, ambilkan piring dan air buat kakakmu dan Sivia. Kita makan sama-sama,” tambahnya kepada Ify yang langsung bangkir berdiri.

“Rame ya...”





BERSAMBUNG.............

Tidak ada komentar:

Posting Komentar