“Hei, lihat mangsa kita.” Ashilla menunjuk pemuda bertubuh jangkung
berkuliat coklat yang sedang mengambil teh botol di warung kaki lima di
depan SMA Teitan. Ketiga teman Ashilla yang duduk dibelakang tertawa
masam. Hanya Sivia yang terdiam di bangku depan. Gabriel memang selalu
setia menunggu Sivia di sana. Dan dia harus puas hanya dengan melihat
sekelebat bayangan Sivia di mobil Ashilla.
Siapa sangka hari ini Gabriel akan mendapatkan lebih dari sekedar bayangan Sivia.
“Oke, Siv, hear me out. Gue nggak mau rencana ini sampai gagal. Gue
akan telepon lo nanti. Lo punya waktu seminggu untuk mengetahui semua
yang ingin gue ketahui. Ngerti lo?!” Sivia buru-buru mengangguk. “Dan lo
jangan pernah nyamperin gue di sekolah. Biar Rio yakin kalo lo udah
lepas dari geng gue.” Ashilla tersenyum puas sebelum akhirnya menginjak
gas mobilnya. Tak lama kemudian ia sudah mengerem mobilnya tepat di
depan Gabriel.
“Shil...” Sivia berkata ragu.
“Apa lagi sih? Keluar sana. Lo sendiri kan yang milih mau sama dia!”
Ashilla menunjuk Gabriel yang berdiri terpaku tak mempercayai apa yang
didengarnya.
“Shil...”
“Udah, gue muak dengerin lo ngebelain cowok kurang ajar itu terus.
Mending lo sana gih, sama dia aja sekalian!” tukas Ashilla sengit.
“Keluar gue bilang,” tambahnya judes. “Cepetan!”
Sivia buru-buru membuka pintu mobil Ashilla. Untuk sebuah sandiwara, ini udah keterlaluan. Tapi memangnya Sivia bisa bilang apa?
“Nah, bergabunglah sama cowok yang lo bela itu!” teriak Ashilla
diiringi gelak tawa gengnya. Akhirnya mereka meninggalkan Sivia yang
gemetaran di tempatnya berdiri, bukan hanya karena diperlakukan seperti
itu oleh Ashilla, tapi juga karena harus menghadapi Gabriel seorang diri
setelah ini.
“Mereka memang keterlaluan.” Tangen kekar itu tiba-tiba sudah
mendarat di bahunya. Perlahan Gabriel membalik tubuh langsing Sivia.
“Apa bener lo udah ngebelain gue?” tanya Gabriel tersenyum senang.
Sivia tak tahu harus bagaimana. Dia hanya mengangguk samar dan
tertunduk. Siapa sangka Gabriel tiba-tiba memeluknya. “Makasih, Siv...”
Sivia hanya bisa pasrah. Dia tak bisa memungkiri bahwa dia merasa
nyaman dalam pelukan Gabriel. Dia sampai nggak menyadari air mata yang
mengalir di pipinya. Mana bisa gue manfaatin cowok sebaik ini? Dalam
keraguannya diam-diam Sivia berharap Gabriel takkan pernah melepas
pelukannya.
“Sudahlah,” bisik Gabriel seraya menghapus sisa air mata di pipi Sivia. “Lo udah makan?”
Sivia menggeleng pelan. “Lo tau nggak, baksi Pak Rin bakso terenak
di dunia. Mau tau kenapa?” Kali ini Sivia mengangguk. “Karena bakso Pak
Rin adalah temen setia gue nungguin lo di sini. Lo mau?”
Sivia akhirnya tersenyum dan mengangguk mantap.
Ashilla ketawa puas bersama ketiga temannya di dalam mobilnya.
“Rupanya Sivia lebih pandai daripada yang gue kira,” katanya, senang
umpannya kena.
@@@@@
Entah Sivia harus bersyukur atau mengeluh. Hari-harinya bersama
Gabriel begitu indah. Dia selalu menunggu jam usai sekolah dengan
berdebar-debar. Dan begitu ketemu Gabriel, mereka menghabiskan waktu
bersama. Walau dengan motor butut Gabriel, meski Cuma jalan-jalan di
mall tanpa membeli apa-apa, Sivia bahagia.
Dia bersyukur Ashilla tak menemuinya di sekolah, jadi dia bebas dari
pertanyaannya tentang misi yang hampir dilupakannya. Sivia juga
mematikan HP-nya kalau nomor Ashilla yang muncul. Dia bahkan minta
tolong pembantunya untuk mengangkat telepon dan bilang dia sudah tidur
atau pergi ke mana saja asalkan tidak mengangkat telepon Ashilla.
Sivia jadi merasa seperti burung yang terbebas dari sangkar. Dia
tetap tidak akan terusik bila Ashilla tak menghampirinya siang itu.
Dia sedang memasukkan peralatannya ke loker saat wajah Ashilla
muncul di balik pintu loker yang ditutup. Sivia sampai terlonjak
dibuatnya.
“Halo, Tuan Putri,” sapa Ashilla seraya mengunyah permen karet.
“Shil...” balas Sivia yang bingung harus ngomong apa. “Mmm... kok sendiri? Mana yang lain?” tanyanya, berusaha setenang mungkin.
“Kenapa telepon gue nggak pernah lo angkat?” Ashilla mengabaikan pertanyaan Sivia.
“Gue... gue lagi sama Gabriel. Gue takut ketahuan.” Jawaban ini
sudah lama dipersiapkan Sivia. Itulah sebabnya dia berani mematikan HP
kalau nomor Ashilla yang muncul dia layar HP-nya.
“Telepon rumah lo kenapa? Apa Gabriel jagain lo seketat itu sampai
di rumah pun dia nungguin lo?” Ashilla meniup permen karetnya santai.
“Gabriel kadang ngajak main sampai malam, Shil. Gue... gue langsung
itdur begitu sampai rumah. Kecapekan. Sorry.” Yang ini juga sudah
direncanakan Sivia sebaik mungkin. Walau penyampaiannya masih
takut-takut.
Permen karet Ashilla meletus di mulutnya. “Pinter ngeles rupanya lo
sekarang!” katanya masih dengan nada tenang. “Gue nggak mau tahu. Yang
jelas gue butuh berita. Apa aja yang lo ketahui?”
“Itu... belum...”
“Denger ya,” Ashilla mendekatkan wajahnya kepada Sivia yang berusaha
tetap tenang. “Ini sudah tiga hari sejak kesepakatan kita. Sebaiknya lo
segera menyelesaikan tugas lo. Sebelum lo menyesal, Tuan Putri.”
Ditekankannya kata Tuan Putri sebelum akhirnya menarik wajahnya kembali.
“Dan sekarang, lo yang mesti telepon gue, apa pun berita yang lo dapat.
Jadi lo bisa pilih waktu sendiri kapan Gabriel nggak bareng lo.
ngerti?” Dimainkannya kepala Sivia dengan telunjuknya sebelum akhirnya
pergi dari hadapan gadis pendiam itu.
Ya Tuhan... apa yang harus kulakukan sekarang? batinnya. Dia
berjalan lunglai sepanjang koridor. Kalau sudah begini, rasanya berat
mau ketemu Gabriel.
@@@@@
“Hei, baksonya nggak enak ya?” tanya Gabriel heran melihat pujaan hatinya hanya mengaduk-aduk isi mangkuknya.
“Hah? Ah nggak, enak kok.” Sivia buru-buru menyuap sepotong besar
bakso. Alhasil dia malah tersedak dan terbatuk-batuk. Gabriel
mengulurkan minum padanya. “Terima kasih,” kata Sivia seraya menyeruput
cepat isi gelasnya.
“Siv, kalo lo bosen makan di sini, gue punya langganan restoran yang
masakannya lebih dari enak. Mau coba?” tawar Gabriel dengan senyum
khasnya.
“Apa? Tapi baksonya?” Sivia jadi bingung saat Gabriel tiba-tiba berdiri dan mengajaknya pergi dari tempat itu.
“Pak Rin nggak bakal marah baksonya nggak lo habisin. Yang penting gue nggak nge-bon. Yuk.”
Mau tak mau Sivia mengikuti langkah Gabriel. Dikenakannya helm yang
diulurkan Gabriel padanya. Helm istimewa yang dipesan Gabriel dengan
tulisan Sivia di bagian belakangnya.
Motor butut Gabriel melaju pelan. Lalu berhenti di sebuah rumah
mungil asri dengan berbagai tanaman tertata rapi di sepanjang
halamannya.
“Gab... ini kan rumah orang!” kata Sivia heran sembari turun dari boncengan.
“Iya, ini rumah orang, bukan rumah siput. Nah orangnya bernama
Bunda, Gabriel, dan Ify. Dengan kata lain ini rumah gue,” kata Gabriel
setelah melepas helm.
Ya Tuhan... rencana apa lagi yang akan Kau buat untukku? Sivia berjengit takut mendengar pernyataan Gabriel.
“Yuk masuk,” Gabriel menarik pelan tangan Sivia.
Ya Tuhan... gimana kalo Ify ingat aku? Bagaimana kalo dia langsung
mengusirku dari rumah? Ya Tuhan... haruskah aku bersyukur ato menangis?
Mereka masuk ke dalam rumah yang tidak dikunci. Gabriel menghentikan
langkahnya saat mereka sampai di ruang makan keluarga. Ify dan Bunda
sedang asyik bersantap siang sambil bercerita, hingga tidak menyadari
kehadiran mereka.
“Selamat siang, Bunda dan Adinda tersayang,” sapa Gabriel menghentikan cerita Ify kepada Bunda.
“Kakak apaan sih? Norak, tahu!” balas Ify. Tapi begitu tahu kakaknya
tidak sendirian, dia lalu melempar kode pada Bunda sebelum akhirnya
mengoda usil kakaknya. “Oo... rupanya ada Tuan Putri di sini. Pantas
Kakanda jadi bergaya.”
“Itu bukan urusan anak kecil,” kata Gabriel seraya mempersilakan Sivia duduk. “Bunda, ini Sivia,” sambungnya kepada Bunda.
Dengan sopan Sivia mengulurkan tangannya dan segera disambut hangat oleh Bunda.
“Jangan sungkan ya di sini. Anggap saja seperti rumah sendiri,” balas Bunda ramah.
“Bunda curang, dulu aja Ify nggak boleh pacaran. Untung Rio orangnya
cerdik, kalo nggak, pasti deh sampai sekarang Ify tetep nggak boleh
pacaran. Kok Kak Iyel gampang banget sih izinnya?” protes Ify manyun.
“Ye... anak kecil jangan sirik dong. Lo kan masih bau kencur. Coba
pacar lo bukan Rio yang dewasa dan bisa jagain lo, mana mungkin Bunda
kasih izin!” Gabriel balas menyerang.
“Bener gitu ya, Bun? Berarti Bunda pilih kasih dong. Itu namanya nggak adil.” Ify makin manyun.
“Sudah... sudah... kalian ini apa tidak malu, ada tamu malah
bertengkar sendiri. Kalau bener Bunda pilih kasih, itu artinya Bunda
lebih sayang sama kamu, Fy. Sampai-sampai Bunda nggak izinin kamu
disakiti cowok mana pun. Tapi bagaimanapun, kamu kan udah jalan ama Rio,
jadi nggak usah gangguin Kak Iyel lagi. Dia kan cowok, kalau nggak
punya cewek, Bunda ikut malu dong. Masa anak keren Bunda nggak laku.
Bener, nggak?!” Bunda coba menengahi.
“Bunda, laper nih,” kata Gabriel manja.
“Huu... kolokan. Dibelain sekali aja ngelunjak,” sindir Ify.
“Sudah... kalian jangan mulai lagi,” kata Bunda. “Ify, ambilkan
piring dan air buat kakakmu dan Sivia. Kita makan sama-sama,” tambahnya
kepada Ify yang langsung bangkir berdiri.
“Rame ya...”
BERSAMBUNG.............
Tidak ada komentar:
Posting Komentar