Selasa, 26 Juni 2012

Will You Marry Me? - Part 19

Kondisi Ify perlahan-lahan membaik, namun dia masih tetap diminta beristirahat di tempat tidur. Bunda melarangnya turun sebelum suhu tubuhnya kembali normal.

Ify belum juga mau membuka hatinya untuk Rio, tapi Bunda yang sudah tahu duduk permasalahannya selalu mengizinkan anak muda itu berkunjung walau tanpa sepengetahuan Ify.

Rio memang selalu datang tiap hari, walau pada akhirnya hanya bisa melihat Ify dari jauh atau medekat saat gadis itu tertidur. Dia tak hentinya berpesan pada Sivia, Prissy, Alvin, dan seluruh anggota keluarga agar menjaga Ify untuknya.

Hingga Prissy dan Alvin datang sore itu...

“Kalian ke mana aja sih, jam segini baru nongol?” Ify menyambut teman-temannya seraya membetulkan sandarannya.

“Kita baru aja mengalami petualangan yang seru, Fy. Coba lo ikut. Gue jamin lo langsung sembuh deh!” kata Prissy seraya membanting tubuhnya di samping Ify yang masih kelihatan lemah.

“O ya, petualangan apa?” tanya Ify pelan.

Prissy dan Alvin bertukar pandang. Alvin mengangguk pelan pada kekasihnya, hingga Prissy tersenyum. “Kita habis ngerjain Nenek Lampir.”

“Nenek Lampir?” Ify mengerutkan dahi tak mengerti.

“Iya, Nenek Lampir. Mau denger nggak ceritanya?” tanya Prissy.

“Mau dong.”

“Tapi lo harus janji dulu. Nggak boleh potong cerita, nggak boleh marah, dan nggak boleh komentar sepatah kata pun sebelum cerita gue selesai. Gimana?” tantang Prissy.

“Ampun deh, Cuma mau dengerin cerita aja peraturannya banyak banget.”

“Mau nggak? Kalo nggak mau juga nggak pa-pa. Tapi gue langsung pulang. Kan nggak lucu, kumpul-kumpul tapi nggak pake cerita.”

“Ngancem nih?”

“Nggak, Cuma maksa. He... he...”

“Iya deh, gue nyerah,” kata Ify akhirnya.

Prissy tersenyum senang. Dia pun menceritakan seluruh kejadian tadi.

Ify tak percaya dengan apa yang didengarnya. Berkali-kali dia berusaha mengalihkan pembicaraan, takut lukanya terbuka kembali. Tapi tatapan tajam Prissy yang mengingatkannya pada janjinya membuatnya kembali terdiam.

“Sekarang terserah lo mau percaya apa nggak. Yang jelas, kita udah berusaha menceritakan yang sebenarnya.” Prissy menutup ceritanya.

Ify masih terdiam, sibuk dengan pikirannya sendiri. Dia belum bisa memercayai semua yang dikatakan Prissy. Bisa jadi Prissy disuruh ngebohong sama Bunda, biar gue nggak benci sama Rio, pikirnya.

“Kenapa sih lo nggak mau kasih kesempatan orang untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi?” Sivia tiba-tiba muncul di balik pintu. “Lo kira, Cuma lo yang sakit hati? Lo kira, Cuma lo yang menderita? Lo salah, Fy. Ada satu orang yang lebih menderita dari lo! Dan dia tetap diam demi kepentingan lo. Gue nggak nyangka, lo bakal seegois ini, Fy.” Sivia duduk di kursi di samping tempat tidur.

Ify menatap Sivia, Prissy, dan Alvin bergantian. “Kalian emang bersekongkol ngebela Rio ya?” katanya kemudian.

“Kalo iya memangnya kenapa?!” jawab Sivia tegas. “Kami nggak ngebela Rio kok. Kami Cuma cari kebenaran. Dan kalau cerita Prissy belum cukup untuk membuktikan betapa Rio nggak bersalah, gue punya satu barang yang bakal bikin lo berpikir lebih dewasa lagi.”

Sivia merogoh tasnya. Sesaat kemudian dikeluarkannya sesuatu dari situ. “Ini. Lo pasti kenal barang ini, kan?” Diulurkannya benda yang menyerupai buku berwarna cokelat dengan hiasan pernak-pernik natural hasil daur ulang.

“Ini... dari mana lo...” Ify tertegun saat mengenali benda yang sekarang berada di tangannya itu.

“Rio menemukan benda itu dua tahun yang lalu. Dan lo boleh percaya boleh tidak, karena benda itu pula dia berhasil keluar dari jerat narkoba.”

Ify terbelalak tak percaya.

Rio? Narkoba? pikirnya. Tiba-tiba ia teringat Zahra, teman Alvin yang di SMA Teitan.

“Padahal dulu dia bukan orang menyenangkan. Sifatnya kasar dan suka menindas yang lemah. Lebih mirip preman daripada pelajar. Tapi suatu kali dia melakukan kesalahan yang fatal hingga tinggal kelas.”

Jadi yang dimaksud kesalahan fatal itu narkoba? batin Ify.

Lalu diperhatikannya benda di tangannya, yang tak lain buku hariannya sendiri. Buku harian itu sengaja dibuangnya untuk mengubur semua kenangannya tentang Ayah, dengan dalih ingin belajar tegar.

Pantas aja dia tahu semuanya tentang gue. Terutama tentang cinta khayalan gue. Nggak tahunya dia baca diary gue.

“Lo tahu, Fy,” Sivia kembali cerita. “Dia sebenarnya sudah melihat sosok lo dua hari setelah dia menemukan diary itu, dia baca alamat yang lo tulis di diary itu. Tapi terus saat melihat sosok lo yang begitu mungil dan jauh dari kesan gadis tegar penuh kekuatan, dia jadi urung mengembalikannya ke elo.” Sivia menghela napas sebelum meneruskan ceritanya lagi.

“Nah, Rio meneruskan membaca diary lo. Dia nggak percaya cewek semungil lo mampu mengatasi segala masalah dengan kekuatan lo sendiri. Padahal saat itu lo baru aja ditinggal ayah yang sangat lo sayangi. Rio jadi malu sendiri. Padahal dia lebih tua dan dilihat dari segi fisik pun lebih kuat dibanding lo. Tapi dia merasa kecil waktu membaca kisah lo yang tertulis rapi di diary itu. Begitulah, akhirnya Rio memutuskan untuk berubah. Dia pun dengan kesadaran sendiri masuk ke panti rehabilitasi narkoba. Waktu keluar dari sana, Rio telah berubah menjadi pribadi yang berbeda. Itu semua karena lo. Karena diary lo.”

Suasana sepi sejenak, masing-masing sibuk dengan pikirannya. Terutama Ify yang mulai memutar setiap kalimat yang pernah didengarnya tentang Rio.

“Dia telah bertemu bidadari. Dan beruntunglah gue karena gue juga melihat bidadari itu,” kata Zahra dengan senyumnya yang mengembang.

“Gue nggak bakal nyia-nyiain orang yang sudah menolong gue,” kata Rio. Tapi Ify sama sekali tidak tahu apa maksudnya.

“Dan, Fy, semua yang diceritakan Prissy ke lo itu bener. Gue, Prissy, dan Alvin ada di sana,” ucap Sivia.

Ify terdiam. Dia tidak mau melakukan kesalahan yang sama seperti waktu dia tidak memberi kesempatan orang lain untuk menyampaikan penjelasan mereka.

“Termasuk tentang pertunangan itu,” tambah Sivia.

Leher Ify seperti tercekat mendengar kata pertunangan terlontar dari mulut Sivia. Entah kenapa dia belum bisa memercayainya, karena luka hatinya kelewat dalam.

“Fy, lo harus tahu, Ashilla itu sangat terobsesi dengan Rio. Mereka teman sepermainan sejak kecil. Orangtua mereka menjodohkan mereka sejak mereka kecil. Ashilla memegang teguh janji itu dan menganggap Rio miliknya. Rio sendiri terpaksa membiarkannya karena menghormati orangtua Ashilla yang merupakan sahabat orangtuanya. Itulah sebabnya Rio nggak bisa mengakui lo sebagai pacar di depan Ashilla. Dia ingin menjaga perasaan Ashilla dan menghindarkan lo dari bahaya. Ashilla itu cewek nekat. Rio nggak mau lo kena sasaran kemarahannya.” Sivia terdiam sebentar.

Baik Prissy ataupun Alvin sedikit pun tak berniat memotong penjelasan Sivia. Bagaimanapun Sivia yang paling tahu tentang Ashilla, lebih dari siapa pun.

“Lo tau, dia rela jadi kacung Ashilla selama tiga hari hanya untuk membebaskan lo dari sikap nekat cewek itu. Agar dia bisa lebih bebas dan terbuka menyukai lo. Apa itu salah?!?” lanjut Sivia.

Dada Ify terasa sesak mendengar penuturan Sivia. Perasaan bersalah merayapi hatinya. Dia nggak tahu harus bagaimana. Yang jelas, di lubuk hatinya yang terdalam dia merasa sangat lega. Tanpa sadar dipeluknya buku harian yang telah mempertemukannya dengan Rio.

Prissy, Alvin, dan Sivia berpandang-pandangan.

“Sekarang, apa rencana lo?” tanya Prissy yang sejak tadi diam saja dan ikut terhanyut oleh cerita yang dituturkan Sivia.

“Yang jelas gue mau minta maaf dulu sama Rio,” ucap Ify. “Gue udah nyakitin dia tanpa sengaja. Dan gue..., gue udah berlaku nggak adil. Padahal dia udah pernah bilang ke gue, untuk percaya sama dia.”

“Kalau begitu, kenapa nggak minta maaf sekarang aja...”

Itu suara yang sangat dirindukan Ify. Dan pemilik suara itu kini berdiri tepat di depan pintu dengan kedua tangan menyilang di depan dada.

“Rio...” Senyum sumringah langsung mengembang di bibir mungil Ify. Dia bergegas turun dari tempat tidur, lalu dengan langkah gontai yang dipaksakan, menghampiri Rio yang membuka tangan, siap menyambut Ify ke dalam pelukannya.

“Yo, ma...”

“Ssttt... nggak ada yang perlu dimaafkan.” Rio menempelkan telunjuknya di bibir cewek itu. Dipeluknya Ify erat-erat. “Gue kangen banget sama elo, Fy,” bisiknya.

“Gue juga. Kangen banget,” ucap Ify dalam pelukan Rio.

“Oke, guys, kayaknya nggak ada tempat untuk kita di sini deh. Mending kita ke dapur sekarang. Siapa tahu Mbok Sum berbaik hati memberi kita camilan.”

Ucapan Alvin membuat Prissy dan Sivia bergegas beranjak dengan senyuman jail yang dilayangkan kepada pasangan kekasih yang baru saja bersatu kembali itu.

“Awas ya kalo kalian balik lagi!” canda Rio. Ify hanya tersenyum. Senyum bahagia yang kini benar-benar dirasakannya.

Semua ini begitu nyata. Ini nyata.

Dan kalaupun mimpi, Ify enggan untuk bangun lagi.

Tapi ini nyata. Rio adalah nyata. Cintanya adalah nyata. Dan semua yang dirasanya adalah nyata. Baik suka maupun dukanya.

Ayah... betapa indah semua yang kurasa. Katakan pada Tuhan, jangan ambil kebahagiaan ini seperti Dia mengambil Ayah dariku.







BERSAMBUNG..............

1 komentar:

  1. They asked me how I knew .. I just need a Wife ;o)
    https://www.youtube.com/watch?v=gp_QgoRhF60

    BalasHapus