Kondisi Ify perlahan-lahan membaik, namun dia masih tetap diminta
beristirahat di tempat tidur. Bunda melarangnya turun sebelum suhu
tubuhnya kembali normal.
Ify belum juga mau membuka
hatinya untuk Rio, tapi Bunda yang sudah tahu duduk permasalahannya
selalu mengizinkan anak muda itu berkunjung walau tanpa sepengetahuan
Ify.
Rio memang selalu datang tiap hari, walau pada
akhirnya hanya bisa melihat Ify dari jauh atau medekat saat gadis itu
tertidur. Dia tak hentinya berpesan pada Sivia, Prissy, Alvin, dan
seluruh anggota keluarga agar menjaga Ify untuknya.
Hingga Prissy dan Alvin datang sore itu...
“Kalian ke mana aja sih, jam segini baru nongol?” Ify menyambut teman-temannya seraya membetulkan sandarannya.
“Kita
baru aja mengalami petualangan yang seru, Fy. Coba lo ikut. Gue jamin
lo langsung sembuh deh!” kata Prissy seraya membanting tubuhnya di
samping Ify yang masih kelihatan lemah.
“O ya, petualangan apa?” tanya Ify pelan.
Prissy
dan Alvin bertukar pandang. Alvin mengangguk pelan pada kekasihnya,
hingga Prissy tersenyum. “Kita habis ngerjain Nenek Lampir.”
“Nenek Lampir?” Ify mengerutkan dahi tak mengerti.
“Iya, Nenek Lampir. Mau denger nggak ceritanya?” tanya Prissy.
“Mau dong.”
“Tapi
lo harus janji dulu. Nggak boleh potong cerita, nggak boleh marah, dan
nggak boleh komentar sepatah kata pun sebelum cerita gue selesai.
Gimana?” tantang Prissy.
“Ampun deh, Cuma mau dengerin cerita aja peraturannya banyak banget.”
“Mau nggak? Kalo nggak mau juga nggak pa-pa. Tapi gue langsung pulang. Kan nggak lucu, kumpul-kumpul tapi nggak pake cerita.”
“Ngancem nih?”
“Nggak, Cuma maksa. He... he...”
“Iya deh, gue nyerah,” kata Ify akhirnya.
Prissy tersenyum senang. Dia pun menceritakan seluruh kejadian tadi.
Ify
tak percaya dengan apa yang didengarnya. Berkali-kali dia berusaha
mengalihkan pembicaraan, takut lukanya terbuka kembali. Tapi tatapan
tajam Prissy yang mengingatkannya pada janjinya membuatnya kembali
terdiam.
“Sekarang terserah lo mau percaya apa nggak. Yang
jelas, kita udah berusaha menceritakan yang sebenarnya.” Prissy menutup
ceritanya.
Ify masih terdiam, sibuk dengan pikirannya sendiri. Dia belum bisa memercayai semua yang dikatakan Prissy. Bisa jadi Prissy disuruh ngebohong sama Bunda, biar gue nggak benci sama Rio, pikirnya.
“Kenapa
sih lo nggak mau kasih kesempatan orang untuk menjelaskan apa yang
sebenarnya terjadi?” Sivia tiba-tiba muncul di balik pintu. “Lo kira,
Cuma lo yang sakit hati? Lo kira, Cuma lo yang menderita? Lo salah, Fy.
Ada satu orang yang lebih menderita dari lo! Dan dia tetap diam demi
kepentingan lo. Gue nggak nyangka, lo bakal seegois ini, Fy.” Sivia
duduk di kursi di samping tempat tidur.
Ify menatap Sivia, Prissy, dan Alvin bergantian. “Kalian emang bersekongkol ngebela Rio ya?” katanya kemudian.
“Kalo
iya memangnya kenapa?!” jawab Sivia tegas. “Kami nggak ngebela Rio kok.
Kami Cuma cari kebenaran. Dan kalau cerita Prissy belum cukup untuk
membuktikan betapa Rio nggak bersalah, gue punya satu barang yang bakal
bikin lo berpikir lebih dewasa lagi.”
Sivia merogoh
tasnya. Sesaat kemudian dikeluarkannya sesuatu dari situ. “Ini. Lo pasti
kenal barang ini, kan?” Diulurkannya benda yang menyerupai buku
berwarna cokelat dengan hiasan pernak-pernik natural hasil daur ulang.
“Ini... dari mana lo...” Ify tertegun saat mengenali benda yang sekarang berada di tangannya itu.
“Rio
menemukan benda itu dua tahun yang lalu. Dan lo boleh percaya boleh
tidak, karena benda itu pula dia berhasil keluar dari jerat narkoba.”
Ify terbelalak tak percaya.
Rio? Narkoba? pikirnya. Tiba-tiba ia teringat Zahra, teman Alvin yang di SMA Teitan.
“Padahal
dulu dia bukan orang menyenangkan. Sifatnya kasar dan suka menindas
yang lemah. Lebih mirip preman daripada pelajar. Tapi suatu kali dia
melakukan kesalahan yang fatal hingga tinggal kelas.”
Jadi yang dimaksud kesalahan fatal itu narkoba? batin Ify.
Lalu
diperhatikannya benda di tangannya, yang tak lain buku hariannya
sendiri. Buku harian itu sengaja dibuangnya untuk mengubur semua
kenangannya tentang Ayah, dengan dalih ingin belajar tegar.
Pantas aja dia tahu semuanya tentang gue. Terutama tentang cinta khayalan gue. Nggak tahunya dia baca diary gue.
“Lo
tahu, Fy,” Sivia kembali cerita. “Dia sebenarnya sudah melihat sosok lo
dua hari setelah dia menemukan diary itu, dia baca alamat yang lo tulis
di diary itu. Tapi terus saat melihat sosok lo yang begitu mungil dan
jauh dari kesan gadis tegar penuh kekuatan, dia jadi urung
mengembalikannya ke elo.” Sivia menghela napas sebelum meneruskan
ceritanya lagi.
“Nah, Rio meneruskan membaca diary lo. Dia
nggak percaya cewek semungil lo mampu mengatasi segala masalah dengan
kekuatan lo sendiri. Padahal saat itu lo baru aja ditinggal ayah yang
sangat lo sayangi. Rio jadi malu sendiri. Padahal dia lebih tua dan
dilihat dari segi fisik pun lebih kuat dibanding lo. Tapi dia merasa
kecil waktu membaca kisah lo yang tertulis rapi di diary itu. Begitulah,
akhirnya Rio memutuskan untuk berubah. Dia pun dengan kesadaran sendiri
masuk ke panti rehabilitasi narkoba. Waktu keluar dari sana, Rio telah
berubah menjadi pribadi yang berbeda. Itu semua karena lo. Karena diary
lo.”
Suasana sepi sejenak, masing-masing sibuk dengan
pikirannya. Terutama Ify yang mulai memutar setiap kalimat yang pernah
didengarnya tentang Rio.
“Dia telah bertemu bidadari.
Dan beruntunglah gue karena gue juga melihat bidadari itu,” kata Zahra
dengan senyumnya yang mengembang.
“Gue nggak bakal nyia-nyiain orang yang sudah menolong gue,” kata Rio. Tapi Ify sama sekali tidak tahu apa maksudnya.
“Dan, Fy, semua yang diceritakan Prissy ke lo itu bener. Gue, Prissy, dan Alvin ada di sana,” ucap Sivia.
Ify
terdiam. Dia tidak mau melakukan kesalahan yang sama seperti waktu dia
tidak memberi kesempatan orang lain untuk menyampaikan penjelasan
mereka.
“Termasuk tentang pertunangan itu,” tambah Sivia.
Leher
Ify seperti tercekat mendengar kata pertunangan terlontar dari mulut
Sivia. Entah kenapa dia belum bisa memercayainya, karena luka hatinya
kelewat dalam.
“Fy, lo harus tahu, Ashilla itu sangat
terobsesi dengan Rio. Mereka teman sepermainan sejak kecil. Orangtua
mereka menjodohkan mereka sejak mereka kecil. Ashilla memegang teguh
janji itu dan menganggap Rio miliknya. Rio sendiri terpaksa
membiarkannya karena menghormati orangtua Ashilla yang merupakan sahabat
orangtuanya. Itulah sebabnya Rio nggak bisa mengakui lo sebagai pacar
di depan Ashilla. Dia ingin menjaga perasaan Ashilla dan menghindarkan
lo dari bahaya. Ashilla itu cewek nekat. Rio nggak mau lo kena sasaran
kemarahannya.” Sivia terdiam sebentar.
Baik Prissy ataupun
Alvin sedikit pun tak berniat memotong penjelasan Sivia. Bagaimanapun
Sivia yang paling tahu tentang Ashilla, lebih dari siapa pun.
“Lo
tau, dia rela jadi kacung Ashilla selama tiga hari hanya untuk
membebaskan lo dari sikap nekat cewek itu. Agar dia bisa lebih bebas dan
terbuka menyukai lo. Apa itu salah?!?” lanjut Sivia.
Dada
Ify terasa sesak mendengar penuturan Sivia. Perasaan bersalah merayapi
hatinya. Dia nggak tahu harus bagaimana. Yang jelas, di lubuk hatinya
yang terdalam dia merasa sangat lega. Tanpa sadar dipeluknya buku harian
yang telah mempertemukannya dengan Rio.
Prissy, Alvin, dan Sivia berpandang-pandangan.
“Sekarang, apa rencana lo?” tanya Prissy yang sejak tadi diam saja dan ikut terhanyut oleh cerita yang dituturkan Sivia.
“Yang
jelas gue mau minta maaf dulu sama Rio,” ucap Ify. “Gue udah nyakitin
dia tanpa sengaja. Dan gue..., gue udah berlaku nggak adil. Padahal dia
udah pernah bilang ke gue, untuk percaya sama dia.”
“Kalau begitu, kenapa nggak minta maaf sekarang aja...”
Itu
suara yang sangat dirindukan Ify. Dan pemilik suara itu kini berdiri
tepat di depan pintu dengan kedua tangan menyilang di depan dada.
“Rio...”
Senyum sumringah langsung mengembang di bibir mungil Ify. Dia bergegas
turun dari tempat tidur, lalu dengan langkah gontai yang dipaksakan,
menghampiri Rio yang membuka tangan, siap menyambut Ify ke dalam
pelukannya.
“Yo, ma...”
“Ssttt... nggak ada
yang perlu dimaafkan.” Rio menempelkan telunjuknya di bibir cewek itu.
Dipeluknya Ify erat-erat. “Gue kangen banget sama elo, Fy,” bisiknya.
“Gue juga. Kangen banget,” ucap Ify dalam pelukan Rio.
“Oke,
guys, kayaknya nggak ada tempat untuk kita di sini deh. Mending kita ke
dapur sekarang. Siapa tahu Mbok Sum berbaik hati memberi kita camilan.”
Ucapan
Alvin membuat Prissy dan Sivia bergegas beranjak dengan senyuman jail
yang dilayangkan kepada pasangan kekasih yang baru saja bersatu kembali
itu.
“Awas ya kalo kalian balik lagi!” canda Rio. Ify hanya tersenyum. Senyum bahagia yang kini benar-benar dirasakannya.
Semua ini begitu nyata. Ini nyata.
Dan kalaupun mimpi, Ify enggan untuk bangun lagi.
Tapi ini nyata. Rio adalah nyata. Cintanya adalah nyata. Dan semua yang dirasanya adalah nyata. Baik suka maupun dukanya.
Ayah... betapa indah semua yang kurasa. Katakan pada Tuhan, jangan ambil kebahagiaan ini seperti Dia mengambil Ayah dariku.
BERSAMBUNG..............
They asked me how I knew .. I just need a Wife ;o)
BalasHapushttps://www.youtube.com/watch?v=gp_QgoRhF60