Selasa, 26 Juni 2012

Will You Marry Me? - Part 18

“Oh... tidak...” jerit Zevana tertahan. “Sialan lo, Siv, ntar gue aduin lo ke Kepala Sekolah. Lo bakal dikeluarkan dari sekolah ini!” ancam Zevana.

“Silahkan, dan gue juga bisa laporin lo udah bikin kekacauan dengan Ketua Murid kita. Saksinya Rio, si ketua murid sendiri. Dan gue juga punya kasus lain yang bisa gue laporin juga. Termasuk... kasus Zahra. Gue yakin Zahra mau ikut bersaksi. Gimana?!”

“Sial. Lo kan juga ikut menindas mereka!”

“Nggak tuh, nggak seorang pun menuduh gue ikut menindas, karena gue hanya penonton yang nggak ikut turun tangan.”

“Pengecut.”

“Terima kasih. Maaf, kami masih ada urusan. Jadi bye dulu ya.” Sivia mengajak Prissy keluar dari WC. “O iya, satu hal yang menurut gue perlu lo pikirin. Apa lo bahagia menjadi kroninya Ashilla? Gue merasa bebas setelah lepas dari dia tuh.” Sivia tersenyum dan menghilang di balik pintu. Ia pergi menemui Alvin yang menunggu tak jauh dari pintu masuk.

“Gila, lo bisa juga ya? Gue kira lo bakal takut dan Cuma diam kayak biasanya...” komentar Prissy kagum.

“Ify banyak mengajarkan tentang keberanian ke gue. Mana mungkin gue jadi penakut demi kepentingannya,” jawab Sivia.

“Walaupun Ashilla yang lo hadapi?” sela Alvin.

“Entahlah, mungkin gue butuh bantuan kalian kalau menyangkut yang satu itu.” Sivia sedikit berjengit mendengar nama Ashilla. Tapi dia sudah membulatkan tekad untuk menghadapinya.

“Baiklah, apa rencana selanjutnya?” tanya Prissy bersemangat.

“Berarti target kita selanjutnya adalah Ashilla.” Mata Sivia berkilat senang.

“Ya, dan untuk itu kita harus menghadangnya dia jalan belakang sekolah.”

“Hadang?!” tanya Prissy tak mengerti.

“Iya. Habis mau gimana lagi, gue nggak mau berurusan dengan Ashilla di sekolah. Bisa gawat!”

“Maksud lo?”

“Sebentar lagi Shilla pulang. Di situlah kesempatan kita ngerjain dia.”

“Kenapa harus nunggu dia pulang sekolah segala? Kenapa nggak sekarang aja? Gue berani kok menghadapi dia sendirian!” Prissy berkata nggak sabaran.

“Peraturan sekolah, Pris, siapa pun yang melanggar aturan sekolah akan mendapat peringatan dan bahkan bisa diskors atau dikeluarin dari sekolah,” jelas Sivia.

Prissy terdiam, tapi kemudian kembali berkata, “Tapi apa bedanya ngerjain si Nenek Lampir di luar dan di sini?”

“Bedanya, di luar nggak ada saksi mata. Shilla sendirian.”

Prissy akhirnya mengerti maksud Sivia. Dia lalu mengangkat bahu. “Ya udah deh, gue ikutan rencana lo aja,” katanya.

Sivia tersenyum. “Tenang aja, Pris, ada waktunya nanti lo boleh menghias wajah Shilla dengan lipstik gue.”

Ketiganya tertawa mendengar gurauan Sivia.

“Lo nggak sekelas sama mereka ya?” tanya Prissy dalam perjalanan ke luar.

Sivia hanya menggeleng. “Kalian duluan aja ya, gue ambil mobil dulu.”

Alvin baru menstarter motornya waktu mobil Sivia meluncur. Dilihatnya cewek itu memberinya kode untuk mengikutinya. Mereka berhenti di jalan sepi dengan pohon-pohon rindang di kanan-kiri jalan.

“Gue udah nggak sabar pengen ngerjain si Nenek Lampir nih,” kata Prissy sambil memukul-mukulkan kepalan tangannya ke tangannya yang lain.

“Hei inget, Pris, lo jangan keterlaluan. Gue nggak mau masalah ini sampai ke meja hijau.” Sivia khawatir membayangkan reaksi Prissy.

“Takut amat sih lo, Siv. Gue nggak bakal keterlaluanlah. Gue Cuma kepingin bikin dia merasa terhina. Tenang... paling-paling gue Cuma bikin rambutnya berantakan dan seragamnya acak-acakan,” Prissy nyengir usil.

“Vin, sebaiknya lo lebih waspada ngawasin cewek lo,” bisik Sivia kepada Alvin yang duduk bersandar di mobilnya.

Alvin hanya tersenyum seraya mengacungkan jempolnya. “Sip.”

Ketika sebuah BMW merah melaju ke arah mereka, Sivia pun keluar dari mobilnya. “Itu Shilla,” ucapnya yakin.

Alvin langsung menaiki motor dan memarkirkannya merintangi jalan.

Mobil Ashilla makin mendekat. Pengemudinya memandang heran pada motor dan mobil yang merintangi jalan di depannya. Dimajukannya wajahnya lebih dekat ke kaca mobil untuk mengetahui yang terjadi. Tapi mau nggak mau dia harus menghentikan mobilnya juga.

Ashilla keluar dari mobilnya dengan angkuh. “Apa-apaan ini? Kalian mau main keroyok ya?” tukasnya judes sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

“Memangnya kenapa kalo kami main keroyok? Lo takut?” tantang Prissy yang ikut-ikutan melipat tangan di depan dada seraya maju sampai berhadap-hadapan dengan Ashilla.

Tersirat ketakutan di wajah Ashilla saat ia tersadar dirinya sendirian. Tapi toh ia berlagak berani juga. Ditatapnya Sivia yang berdiri tertunduk di samping mobilnya. Dia tertawa kecil. “Ha... ha... ha... Sivia. Gue nggak nyangka lo udah berubah jadi tikus juga kayak mereka. Bener-bener temen nggak tau terima kasih lo. Tau gitu dulu gue nggak tolongin lo dari berandalan-berandalan sekolah itu.”

“Kalo memang lo butuh balas budi, Shil, apa nggak cukup semua yang udah gue lakukan buat lo selama ini?” Suara Sivia sedikit gemetar. Perasaannya campur aduk antara benci, marah, dan sedikit rasa takut yang masih tersisa.

“Apa? Memangnya lo udah ngelakuin apa? Lo lebih banyak nggak bergunanya daripada berguna. Sekali berguna malah berkhianat.”

“Lo bahkan lupa lo udah mempermalukan gue lebih sebagai budak daripada teman. Apa itu yang disebut sahabat?” ungkap Sivia. Dia mulai berani memandang Ashilla. “Ify-lah sang sahabat sejati, Shil. Dia bahkan bisa memaafkan gue yang udah jadi musuh dalam selimut. Dan dia sekarang terbaring tak berdaya. Semua itu karena lo. Gue udah janji ama dia, Shil, apa pun bakal gue lakukan demi mengembalikan senyumnya. Termasuk mengembalikan Rio ke dia.” Sivia melangkah ke sisi Prissy. Pandangannya menatap mata Ashilla yang tak percaya dengan keberanian Sivia.

“Lo benar-benar udah jadi kayak mereka, Siv. Tikus got,” ungkap Ashilla marah.

Demi mendengar penghinaan itu, Prissy tidak menunggu komando lagi. Dia langsung menerjang Ashilla yang jelas tak pernah menyangka  bakal diserang Prissy. “Tikus... tikus... kalo gue tikus, lo kecoak!” umpat Prissy sambil menjambak rambut Ashilla.

“Kurang ajar lo. Gue balas lo nanti. Gue...”

“Ayo, balas aja kalo bisa!” tantang Prissy. Dipelintirnya tangan Ashilla ke belakang. Ashilla sampai tengkurap dengan satu tangan ditahan Prissy di punggung. “Siv, kemarikan lipstik lo. Tuan Putri mau dandan nih,” perintah Prissy.

Sivia menuruti kata-kata Prissy. Dikeluarkannya lipstiknya, lalu diserahkannya kepada Prissy.

“Hei, mau apa lo? Awas lo ya, gue bunuh lo. Dasar tikus got kurang ajar!” Ashilla berusaha memberontak. Tapi dia tak berdaya menghadapi Prissy yang jago karate.

“Cerewet aja lo. Jangan salahin gue ya kalo hasilnya jadi jelek. Kebanyakan bacot sih lo.”

Sivia mulai beraksi dengan lipstiknya. Ditorehkannya lipstik itu asal ke wajah Ashilla yang terus menjerit dan mengumpat.

“Pris...” panggil Sivia mulai waswas.

“Diam dulu, Siv, gue lagi menikmati bagian gue. Lo kan tadi udah!” jawab Prissy semangat.

“Bukan begitu. Ini hampir jam pulang sekolah kelas sore. Kita harus segera pergi dari sini!” Sivia mengingatkan.

Prissy membuang napas panjang, lalu menutup lipstik Sivia. “Nih,” ucapnya kurang puas seraya menyerahkan lipstik itu kepada Sivia. “Vin, sekarang bagian lo!” teriak Prissy sebelum melepas Ashilla.

“Beres!” jawab Alvin. Dia langsung memotret Ashilla. Lengkap dengan wajah berlepotan lipstik dan rambut awut-awutan.

“Bagus,” gumam Prissy. Dilepasnya Ashilla yang langsung berdiri hendak menyerang Prissy. “Eit, lo nggak bakal menang lawan gue. Gue anak karate. Mau bukti lagi?” Prissy sudah bersiap dengan jurusnya, namun Ashilla malah lari masuk ke mobil.

Baru saja menyalakan mesin mobil dan mau putar balik, dia baru sadar ban mobilnya bermasalah. Rupanya tadi Alvin menggembosi ban mobilnya. Ashilla kembali mengumpat. Diraihnya HP-nya, lalu sekali lagi mengumpat melihat mukanya yang coreng moreng di kaca spion.

Sekarang Prissy benar-benar merasa puas. Dia naik ke boncengan Alvin seraya berteriak, “Jangan macam-macam lagi, Tuan Putri. Atau gue sebarin foto lo tadi ke seluruh sekolah!” ancam Prissy.

Sivia tak perlu mengatakan apa-apa lagi. dia hanya bersyukur di dalam hatinya. Syukurlah, senyum itu akan kembali lagi.

“Kita langsung ke rumah Ify ya? Gue udah nggak sabar pengen menceritakan semua ini ke dia,” ucap Prissy.

“Nggak, gue udah janji mau ke rumah Rio. Dia tadi nggak masuk sekolah. Waktu gue telepon, dia minta gue ke sana. Kalian pergi duluan aja, gue nanti nyusul,” kata Sivia.




@@@@@




Kondisi Ify perlahan-lahan membaik, namun dia masih tetap diminta beristirahat di tempat tidur. Bunda melarangnya turun sebelum suhu tubuhnya kembali normal.






BERSAMBUNG..................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar