“Oh... tidak...” jerit Zevana tertahan. “Sialan lo, Siv, ntar gue
aduin lo ke Kepala Sekolah. Lo bakal dikeluarkan dari sekolah ini!”
ancam Zevana.
“Silahkan, dan gue juga bisa laporin lo udah
bikin kekacauan dengan Ketua Murid kita. Saksinya Rio, si ketua murid
sendiri. Dan gue juga punya kasus lain yang bisa gue laporin juga.
Termasuk... kasus Zahra. Gue yakin Zahra mau ikut bersaksi. Gimana?!”
“Sial. Lo kan juga ikut menindas mereka!”
“Nggak tuh, nggak seorang pun menuduh gue ikut menindas, karena gue hanya penonton yang nggak ikut turun tangan.”
“Pengecut.”
“Terima
kasih. Maaf, kami masih ada urusan. Jadi bye dulu ya.” Sivia mengajak
Prissy keluar dari WC. “O iya, satu hal yang menurut gue perlu lo
pikirin. Apa lo bahagia menjadi kroninya Ashilla? Gue merasa bebas
setelah lepas dari dia tuh.” Sivia tersenyum dan menghilang di balik
pintu. Ia pergi menemui Alvin yang menunggu tak jauh dari pintu masuk.
“Gila, lo bisa juga ya? Gue kira lo bakal takut dan Cuma diam kayak biasanya...” komentar Prissy kagum.
“Ify banyak mengajarkan tentang keberanian ke gue. Mana mungkin gue jadi penakut demi kepentingannya,” jawab Sivia.
“Walaupun Ashilla yang lo hadapi?” sela Alvin.
“Entahlah,
mungkin gue butuh bantuan kalian kalau menyangkut yang satu itu.” Sivia
sedikit berjengit mendengar nama Ashilla. Tapi dia sudah membulatkan
tekad untuk menghadapinya.
“Baiklah, apa rencana selanjutnya?” tanya Prissy bersemangat.
“Berarti target kita selanjutnya adalah Ashilla.” Mata Sivia berkilat senang.
“Ya, dan untuk itu kita harus menghadangnya dia jalan belakang sekolah.”
“Hadang?!” tanya Prissy tak mengerti.
“Iya. Habis mau gimana lagi, gue nggak mau berurusan dengan Ashilla di sekolah. Bisa gawat!”
“Maksud lo?”
“Sebentar lagi Shilla pulang. Di situlah kesempatan kita ngerjain dia.”
“Kenapa
harus nunggu dia pulang sekolah segala? Kenapa nggak sekarang aja? Gue
berani kok menghadapi dia sendirian!” Prissy berkata nggak sabaran.
“Peraturan
sekolah, Pris, siapa pun yang melanggar aturan sekolah akan mendapat
peringatan dan bahkan bisa diskors atau dikeluarin dari sekolah,” jelas
Sivia.
Prissy terdiam, tapi kemudian kembali berkata, “Tapi apa bedanya ngerjain si Nenek Lampir di luar dan di sini?”
“Bedanya, di luar nggak ada saksi mata. Shilla sendirian.”
Prissy akhirnya mengerti maksud Sivia. Dia lalu mengangkat bahu. “Ya udah deh, gue ikutan rencana lo aja,” katanya.
Sivia tersenyum. “Tenang aja, Pris, ada waktunya nanti lo boleh menghias wajah Shilla dengan lipstik gue.”
Ketiganya tertawa mendengar gurauan Sivia.
“Lo nggak sekelas sama mereka ya?” tanya Prissy dalam perjalanan ke luar.
Sivia hanya menggeleng. “Kalian duluan aja ya, gue ambil mobil dulu.”
Alvin
baru menstarter motornya waktu mobil Sivia meluncur. Dilihatnya cewek
itu memberinya kode untuk mengikutinya. Mereka berhenti di jalan sepi
dengan pohon-pohon rindang di kanan-kiri jalan.
“Gue udah
nggak sabar pengen ngerjain si Nenek Lampir nih,” kata Prissy sambil
memukul-mukulkan kepalan tangannya ke tangannya yang lain.
“Hei
inget, Pris, lo jangan keterlaluan. Gue nggak mau masalah ini sampai ke
meja hijau.” Sivia khawatir membayangkan reaksi Prissy.
“Takut
amat sih lo, Siv. Gue nggak bakal keterlaluanlah. Gue Cuma kepingin
bikin dia merasa terhina. Tenang... paling-paling gue Cuma bikin
rambutnya berantakan dan seragamnya acak-acakan,” Prissy nyengir usil.
“Vin, sebaiknya lo lebih waspada ngawasin cewek lo,” bisik Sivia kepada Alvin yang duduk bersandar di mobilnya.
Alvin hanya tersenyum seraya mengacungkan jempolnya. “Sip.”
Ketika sebuah BMW merah melaju ke arah mereka, Sivia pun keluar dari mobilnya. “Itu Shilla,” ucapnya yakin.
Alvin langsung menaiki motor dan memarkirkannya merintangi jalan.
Mobil
Ashilla makin mendekat. Pengemudinya memandang heran pada motor dan
mobil yang merintangi jalan di depannya. Dimajukannya wajahnya lebih
dekat ke kaca mobil untuk mengetahui yang terjadi. Tapi mau nggak mau
dia harus menghentikan mobilnya juga.
Ashilla keluar dari
mobilnya dengan angkuh. “Apa-apaan ini? Kalian mau main keroyok ya?”
tukasnya judes sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
“Memangnya
kenapa kalo kami main keroyok? Lo takut?” tantang Prissy yang
ikut-ikutan melipat tangan di depan dada seraya maju sampai
berhadap-hadapan dengan Ashilla.
Tersirat ketakutan di
wajah Ashilla saat ia tersadar dirinya sendirian. Tapi toh ia berlagak
berani juga. Ditatapnya Sivia yang berdiri tertunduk di samping
mobilnya. Dia tertawa kecil. “Ha... ha... ha... Sivia. Gue nggak nyangka
lo udah berubah jadi tikus juga kayak mereka. Bener-bener temen nggak
tau terima kasih lo. Tau gitu dulu gue nggak tolongin lo dari
berandalan-berandalan sekolah itu.”
“Kalo memang lo butuh
balas budi, Shil, apa nggak cukup semua yang udah gue lakukan buat lo
selama ini?” Suara Sivia sedikit gemetar. Perasaannya campur aduk antara
benci, marah, dan sedikit rasa takut yang masih tersisa.
“Apa? Memangnya lo udah ngelakuin apa? Lo lebih banyak nggak bergunanya daripada berguna. Sekali berguna malah berkhianat.”
“Lo
bahkan lupa lo udah mempermalukan gue lebih sebagai budak daripada
teman. Apa itu yang disebut sahabat?” ungkap Sivia. Dia mulai berani
memandang Ashilla. “Ify-lah sang sahabat sejati, Shil. Dia bahkan bisa
memaafkan gue yang udah jadi musuh dalam selimut. Dan dia sekarang
terbaring tak berdaya. Semua itu karena lo. Gue udah janji ama dia,
Shil, apa pun bakal gue lakukan demi mengembalikan senyumnya. Termasuk
mengembalikan Rio ke dia.” Sivia melangkah ke sisi Prissy. Pandangannya
menatap mata Ashilla yang tak percaya dengan keberanian Sivia.
“Lo benar-benar udah jadi kayak mereka, Siv. Tikus got,” ungkap Ashilla marah.
Demi
mendengar penghinaan itu, Prissy tidak menunggu komando lagi. Dia
langsung menerjang Ashilla yang jelas tak pernah menyangka bakal
diserang Prissy. “Tikus... tikus... kalo gue tikus, lo kecoak!” umpat
Prissy sambil menjambak rambut Ashilla.
“Kurang ajar lo. Gue balas lo nanti. Gue...”
“Ayo,
balas aja kalo bisa!” tantang Prissy. Dipelintirnya tangan Ashilla ke
belakang. Ashilla sampai tengkurap dengan satu tangan ditahan Prissy di
punggung. “Siv, kemarikan lipstik lo. Tuan Putri mau dandan nih,”
perintah Prissy.
Sivia menuruti kata-kata Prissy. Dikeluarkannya lipstiknya, lalu diserahkannya kepada Prissy.
“Hei,
mau apa lo? Awas lo ya, gue bunuh lo. Dasar tikus got kurang ajar!”
Ashilla berusaha memberontak. Tapi dia tak berdaya menghadapi Prissy
yang jago karate.
“Cerewet aja lo. Jangan salahin gue ya kalo hasilnya jadi jelek. Kebanyakan bacot sih lo.”
Sivia mulai beraksi dengan lipstiknya. Ditorehkannya lipstik itu asal ke wajah Ashilla yang terus menjerit dan mengumpat.
“Pris...” panggil Sivia mulai waswas.
“Diam dulu, Siv, gue lagi menikmati bagian gue. Lo kan tadi udah!” jawab Prissy semangat.
“Bukan begitu. Ini hampir jam pulang sekolah kelas sore. Kita harus segera pergi dari sini!” Sivia mengingatkan.
Prissy
membuang napas panjang, lalu menutup lipstik Sivia. “Nih,” ucapnya
kurang puas seraya menyerahkan lipstik itu kepada Sivia. “Vin, sekarang
bagian lo!” teriak Prissy sebelum melepas Ashilla.
“Beres!” jawab Alvin. Dia langsung memotret Ashilla. Lengkap dengan wajah berlepotan lipstik dan rambut awut-awutan.
“Bagus,”
gumam Prissy. Dilepasnya Ashilla yang langsung berdiri hendak menyerang
Prissy. “Eit, lo nggak bakal menang lawan gue. Gue anak karate. Mau
bukti lagi?” Prissy sudah bersiap dengan jurusnya, namun Ashilla malah
lari masuk ke mobil.
Baru saja menyalakan mesin mobil dan
mau putar balik, dia baru sadar ban mobilnya bermasalah. Rupanya tadi
Alvin menggembosi ban mobilnya. Ashilla kembali mengumpat. Diraihnya
HP-nya, lalu sekali lagi mengumpat melihat mukanya yang coreng moreng di
kaca spion.
Sekarang Prissy benar-benar merasa puas. Dia
naik ke boncengan Alvin seraya berteriak, “Jangan macam-macam lagi, Tuan
Putri. Atau gue sebarin foto lo tadi ke seluruh sekolah!” ancam Prissy.
Sivia tak perlu mengatakan apa-apa lagi. dia hanya bersyukur di dalam hatinya. Syukurlah, senyum itu akan kembali lagi.
“Kita langsung ke rumah Ify ya? Gue udah nggak sabar pengen menceritakan semua ini ke dia,” ucap Prissy.
“Nggak,
gue udah janji mau ke rumah Rio. Dia tadi nggak masuk sekolah. Waktu
gue telepon, dia minta gue ke sana. Kalian pergi duluan aja, gue nanti
nyusul,” kata Sivia.
@@@@@
Kondisi
Ify perlahan-lahan membaik, namun dia masih tetap diminta beristirahat
di tempat tidur. Bunda melarangnya turun sebelum suhu tubuhnya kembali
normal.
BERSAMBUNG..................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar