Sivia melirik cemas Ify yang sedari tadi hanya menerawang dengan mata
sembap dan tidak memerhatikan kelas. Sivia yakin, ini pasti soal alien
aneh yang tinggal di sebelah kamar Ify itu, tetapi kalau dia bertanya,
pasti Ify akan menangis di tengah kelas.
Sivia meraih tangan Ify yang dingin, kemudian menggenggamnya
simpati. Dia tahu, sahabatnya itu pasti sudah mengalami banyak hal-hal
menyedihkan dengan Rio. Sesungguhnya, Sivia tidak ingin itu terjadi,
karena Ify baru berumur dua puluh tahun dan tidak layak untuk mengalami
hal-hal seperti itu. Ify harusnya sekarang sedang menikmati masa-masa
pacaran pertamanya dengan cowok keren, baik, dan normal.
Sivia menghela napas. Bukan salah Rio kalau dia mengidap penyakit.
Atau memang salahnya, karena ini penyakit HIV. Entahlah, Sivia sama
sekali tidak tahu menahu. Masalahnya sekarang adalah, sahabatnya kini
sudah terlibat terlalu jauh dengan cowok itu.
Sampai sekarang, Sivia tidak habis pikir, kenapa orang pertama yang
membuat Ify jatuh cinta adalah orang seperti Mario Stevano. Kenapa
takdir sepertinya begitu kejam pada Ify.
Tiba-tiba, Sivia tersentak dan menatap Ify lagi. Dia memang tidak
ingin Ify sakit hati karena Rio, tetapi dia juga tidak ingin melihat
sahabatnya terus-menerus dalam kondisi seperti sekarang ini.
"Ify...," panggil Sivia pelan membuat Ify menoleh lemah. Matanya masih merah. "Lo tau kenapa lo bisa ketemu sama Rio?"
Ify menatap Sivia sebentar. "Mungkin... takdir?"
"Tepat," ujar Sivia sambil mempererat genggamannya pada tangan Ify.
"Apa lo nggak pernah berpikir kalo Tuhan punya maksud tertentu di balik
pertemuan kalian?"
Ify menatap Sivia lekat-lekat, berusaha menebak jalan pikirannya.
"Tuhan mungkin berpikir... kalau lo adalah satu-satunya orang yang
sanggup bertahan untuk Rio. Makanya, Dia mempertemukan lo sama Rio,"
lanjut Sivia membuat Ify menangis lagi. "Karena tau lo pasti bisa
bertahan, makanya Dia mempertemukan kalian berdua. Makanya... jangan
nyerah, Ify."
Sivia tak percaya kalau dirinya bisa mengatakan ini pada sahabatnya
yang sudah nyaris putus asa itu. Dia pasti suda gila karena secara tidak
langsung, melalui perkataannya tadi, dia telah mendukung hubungan Ify
dengan Rio.
Namun, bagaimana pun, Sivia tahu Ify pasti menyukai Rio dan sudah terlalu banyak berkorban demi perasaannya itu.
Dan, Sivia tak ingin melihat Ify menyesali cinta pertamanya itu.
Sekarang, Ify sudah menangis tak terkendali. Tubuhnya berguncang
hebat, menangisi kebodohannya sudah ragu pada perasaannya sendiri.
Inilah yang semalam membuatnya sangat sakit hati. Rio telah menganggap
perasaannya hanya akting.
Ify sudah berjam-jam duduk di kasurnya sambil memeluk guling dengan
mata menerawang. Dia sudah banyak berpikir dan sudah sampai pada
keputusannya. Dia tak akan menyesalinya apa pun yang akan terjadi.
Ify melirik jam dinding chappy yang terpajang di dinding kamarnya.
Sudah pukul sebelas malam, dan Rio belum pulang juga. Ify bangkit,
membuka pintu kamarnya, lalu melirik kamar Rio yang masih gelap. Ify
menghela napas, setelah itu mulai bergerak menuju ke kamar mandi.
Ify berhenti melangkah saat dia melihat pintu tingkap ke lantai tiga
terbuka. Mungkinkah itu Rio? Ify menatap pintu itu ragu, namun kemudian
dia mulai bergerak naik diam-diam dan mengintip ke lantai tiga.
Rio sedang berbaring di lantai, matanya terpancang pada langit malam
yang terlihat kelam tanpa bintang. Ify merasakan jantungnya berdegup
kencang dan sekujur tubuhnya dingin saat melihat sosok itu. Tetapi, Ify
memberanikan diri untuk membuka pintu dan mendatanginya.
Rio menoleh dan begitu mendapati Ify di pintu, dia langsung bangkit.
Setelah membersihkan celananya, dia bergerak, bermaksud untuk turun.
Dia sama sekali tidak ingin berdua-duaan lagi dengan Ify.
"Tunggu, Rio," panggil Ify membuat Rio menatapnya. Ify balas menatapnya ragu beberapa saat.
"Apa?" tanya Rio ketus. "Ada yang mau dibicarain? Kalo gue, sih, nggak ada."
"Ada," jawab Ify. Sekarang, hatinya sudah mantap. Dia tidak akan mundur lagi.
Rio mengernyit, tidak mengerti apa bahan pembuat hati Ify. Setelah dikata-katai macam-macam, dia tetap saja mau mendekati Rio.
"Apa?" tanya Rio lagi, tak berminat.
"Aku... sayang kamu, Rio," ujar Ify tegas membuat Rio melongo.
"Walaupun dulu kamu pernah bilang jangan suka sama kamu, udah terlambat.
Aku udah terlanjur suka sama kamu."
Rio tak bisa berkata apa pun. Bahkan menggerakkan satu syarafnya
saja pun dia tak sanggup. Rio hanya menatap Ify tak percaya. Mata
indahnya sudah berair karena belum berkedip semenjak Ify selesai bicara.
"Ini bukan akting, Rio. Aku jujur. Mungkin kemaren aku sempat ragu,
tapi sekarang aku udah yakin kalo aku suka sama kamu," kata Ify lagi,
membuat kepala Rio berdenyut nyeri. "Mulai sekarang, sesakit apa pun,
dan seberat apa pun, aku bakal tetep..."
"Tolong jangan ngomong sesuatu yang nggak bertanggung jawab," potong
Rio geram. Rahangnya sudah mengeras. "Jangan ngomongin hal-hal yang
nggak bisa lo pertanggungjawabkan!"
"Aku..."
"Apa lo sadar dengan omongan lo, hah?" bentak Rio membuat Ify
terdiam. "Lo sadar lo udah bikin diri lo masuk ke dalam masalah apa?"
"Aku... sadar..."
"Nggak! Lo nggak sadar!" sahut Rio. "Denger, ini bukan masalah kecil! Suka atau apa pun itu, itu nggak bakal bisa menolong!"
"Tapi, Rio, aku bener-bener sayang sama kamu..."
Rio menatap cewek di depannya nanar.
"Kalo lo sayang, terus lo mau apa? Nemenin gue sampe gue mati?"
tanya Rio membuat Ify lagi-lagi terdiam. "Lo siap dengan hujatan
orang-orang nanti? Lo siap kehilangan masa depan lo demi gue?"
Ify menatap Rio. Sesaat dia ragu, tetapi dia tak akan mundur.
"Aku siap!" sahut Ify tegas.
"Diam!" bentak Rio frustasi. "Jangan ngomong seenaknya! Lo sama
sekali nggak tau apa-apa! Gue udah nggak sanggup nahan beban gue
sendiri, jangan tambahin beban gue dengan perasaan lo!"
Ify menatap Rio lagi, air matanya sudah mengalir. Rio sendiri sudah terlihat pucat.
"Kita bisa bagi beban kita, Yo," jawab Ify, berusaha sebisa mungkin untuk tidak terisak. Rio terdiam untuk beberapa saat.
"Denger," kata Rio, emosinya sudah reda. "Lo masih muda. Lo sehat.
Dan lo punya masa depan. Jadi, tolong, jangan hancurin itu semua demi
perasaan lo sama orang nggak berharga kayak gue. Gue sama sekali nggak
sebanding sama masa depan lo. Apa lo bisa ngerti?"
Ify sudah terisak. Rio sebisa mungkin menatap apa saja selain Ify,
dia paling tak tahan jika harus melihat cewek yang tanpa disadarinya
sudah ia cintai itu, meneteskan air mata.
"Perasaan lo ke gue itu... cuma sementara. Lo cuma simpati," kata
Rio lagi. "Gue minta sama lo, tolong jangan ngomong hal-hal kayak gini
lagi. Gue... capek."
Rio kemudian berbalik, kembali bermaksud turun. Tiba-tiba, tangannya
dicengkeram oleh Ify. Tetapi, Rio tidak berusaha untuk menoleh.
Tahu-tahu, tangan Ify sudah memeluk Rio dari belakang. Dan lagi-lagi,
Rio membatu, tak bisa menggerakkan satu pun anggota tubuhnya.
"Rio... Aku ngerti gimana perasaan kamu. Aku tau kamu pasti nggak
mau ngerepotin orang lain. Tapi, aku udah bikin keputusan, Rio!" kata
Ify masih terisak. "Rio... Kamu tau kenapa kita bisa ketemu?"
Rio tak bisa menjawab.
"Karena ini takdir kita, Rio," kata Ify pelan. Dia mempererat
pelukannya pada Rio yang masih bergeming. "Jadi, tolong jangan
menghindar lagi."
Ada jeda beberapa lama sampai akhirnya Rio tersadar dari alam khayalnya yang indah. Dia lalu menghela napas panjang.
"Gue... nggak pernah percaya takdir," jawabnya dingin. Dia
melepaskan pelukan Ify, dan bergerak menuju pintu tanpa sekali pun
menoleh ke belakang lagi.
Ify terduduk lemas di lantai semen yang dingin, dia terisak hebat
sampai dadanya terasa sakit. Ify tidak pernah sekali pun menyangka kalau
mencintai ternyata sesakit ini.
***
"Takdir itu... kejam, ya," kata Rio dengan mata menerawang.
Sedangkan Alvin cuma bisa meliriknya simpati. Alvin tahu, apa pun yang
terjadi semalam bukanlah hal yang bagus, dilihat dari ekspresi Rio yang
dari tadi seperti sudah mau mati.
Mereka sekarang ada di kamar kost Alvin, karena hari ini Alvin libur
kerja dan kuliah. Semalam, Rio tiba-tiba muncul di depan kamar Alvin
dan langsung pingsan karena berlari dari kost-nya, padahal jarak antara
tempat kost Alvin dengan kost-nya lumayan jauh. Sekarang setelah siuman,
dia sudah seperti mayat hidup.
"Udah tau gue sekarat... masih aja diketemuin sama cewek itu," kata
Rio dengan suara serak, masih menatap langit-langit kamar Alvin.
Alvin menghela napas. Ya, tentu saja soal cewek itu. Cewek bernama
Alyssa Saufika yang selama beberapa minggu ini sudah banyak membantu
Rio, dan tentu saja sudah sering membuat sahabatnya itu menjadi seperti
sekarang ini.
Dia pula, cewek yang mungkin saja disayangi Rio.
"Ternyata gue emang masih kurang cobaan," kata Rio lagi.
"Emangnya... sekarang kenapa lagi, Yo?" tanya Alvin hati-hati. Rio terdiam sebentar.
"Dia bilang kalo dia suka sama gue," ujar Rio membuat mata Alvin melebar *walaupun tetap aja kelihatannya sipit*.
"Dia bilang, siap kehilangan masa depannya demi gue. Dia bilang semua hal yang mau gue denger."
Alvin menatap sahabatnya yang sudah tak berdaya itu. Rio masih menatap langit-langit, rahangnya sudah mengeras.
"Kalo begini terus, dia bisa bikin gue nggak mau mati. Dia bisa bikin gue maruk pengen hidup," kata Rio lagi.
"Kalo gitu, hidup, Rio," balas Alvin.
"Vin, gue juga mau hidup," ujar Rio, air matanya sudah mulai
mengalir. "Gue juga nggak mau mati. Tapi, gue bisa apa? Gue udah di
vonis nggak bakal berumur panjang, Vin. Dan gue nggak bisa liat dia
menderita nantinya."
Alvin terdiam, lalu mengalihkan pandangannya dari Rio, tak ingin melihat air mata sahabatnya.
"Gue nggak bisa egois. Cukup gue aja yang menderita," lanjut Rio
dengan suara tercekat. "Dari awal, pertemuan gue sama dia itu
kesalahan."
Rio menarik napas dan menghelanya pelan.
"Tapi, sebenernya... lo suka sama dia, kan, Rio?" tanya Alvin membuat Rio terdiam sesaat.
"Kalo suka... terus kenapa?" jawab Rio sambil memijat dahinya.
Alvin tahu, itu hanya cara Rio untuk menyembunyikan air matanya yang
mengalir. Alvin merasa tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu
sahabatnya itu. Rio sudah terlalu dalam jatuh sehingga sangat sulit
untuk digapai.
***
Ify mendengar ketukan di pintu kamarnya, tetapi Ify menolak untuk
bangun. Dia tahu tantenya, Bu Winda, memanggilnya untuk makan malam.
Tapi, Ify sama sekali tidak punya nafsu makan setelah kejadian kemarin
malam.
Sepanjang malam, Ify hanya menangis dan sekarang matanya sudah bengkak.
Ify nyaris tidak punya air mata lagi untuk menangisi Rio. Ify hanya
menatap dinding di depannya, pikirannya penuh dengan kejadian kemarin
malam. Ify tidak tahu apa Rio ada di kamarnya atau sudah pergi lagi.
Ify teringat lagi pada kata-kata Rio kemarin, Ify segera menangis
lagi. Ify tahu benar Rio berusaha melindunginya dengan mengatakan
hal-hal kejam. Rio tidak pernah berniat buruk. Rio hanya ingin Ify tidak
terlibat dengan orang
berpenyakit sepertinya. Namun, bagaimana pun, Ify sudah menyukai Rio
apa adanya. Ify malah ingin menemani Rio menjalani hari demi hari, dan
Ify sudah berjanji tidak akan ada penyesalan.
Ify menarik napas dan menghelanya mantap. Apa pun yang terjadi, dia
tidak akan melepaskan Rio. Ify akan selalu ada untuk Rio walaupun Rio
setengah mati menolak.
Ify tersenyum memikirkan tampang cemberut Rio, kemudian dia jatuh tertidur.
***
Ify bangun pagi harinya dengan semangat baru. Kata-kata kejam Rio
kemarin sudah dilupakannya. Dia bertekad untuk memulai usahanya lagi
hari ini.
Ify menatap cermin, matanya tampak sudah baikan setelah tidur
semalam. Sekarang, yang Ify rasakan hanyalah lapar, karena sejak
semalam, dia belum makan. Ify cepat-cepat membuka pintu, dan tiba-tiba
Rio lewat.
Rio dan Ify saling tatap sesaat, sampai akhirnya Rio melengos menuju kamarnya. Ify tersenyum simpul.
"Abis dari mana, Yo?" tanya Ify riang membuat Rio menoleh dengan
tampang bloon. Rio tidak percaya cewek ini masih baik-baik saja dan bisa
menyapanya seperti itu. Sebenarnya, Ify mau tertawa melihat ekspresi
Rio, tetapi ditahannya.
"Kenapa?" tanya Ify lagi sambil nyengir. "Aku cantik, ya?"
Tampang Rio jadi tambah bloon setelah mendengar kata-kata Ify. Masih
syok berat, Rio membuka pintu kamarnya, bergerak masuk, meninggalkan
Ify yang cengengesan di luar.
Rio melepas jaketnya, lalu melemparnya ke kasur. Dia kemudian
mengambil botol air mineral dan meminumnya sementara otaknya terus
berpikir keras, mengapa Ify bisa seriang itu setelah kejadian dua malam
lalu.
Rio terduduk di kasur, tetapi masih belum menemukan jawabannya. Cewek itu terlalu sukar untuk ditebak.
***
"Rio! Makan malam!" seru Ify membuat mata Rio terbuka.
Rio masih sedikit mengantuk setelah tadi tertidur selama beberapa
jam. Kamarnya masih gelap gulita. Rio bergerak sedikit, tetapi menolak
untuk bangun.
"Oi, Rio!" seru Ify lagi membuat Rio batal untuk memejamkan matanya.
Rio lalu mengerjap-ngerjapkan mata, berusaha mengumpulkan setengah
nyawanya yang masih hilang entah ke mana. Dia bersandar pada tembok
sementara Ify mengetuk pintu kamarnya lagi.
"Rio, aku tau kamu ada di dalem. Buka, atau aku dobrak, nih," ancam
Ify membuat Rio menatap ke arah pintu. Dari jendela, tampak bayangan
Ify.
Rio menghela napas. Dia lalu menyalakan lampu di jam tangannya
sehingga empat angka digital tertera di sana, 20:11. Dan itu berarti Rio
sudah ketiduran empat jam.
Rio menggaruk bagian belakang kepalanya, pandangannya tertuju pada
bayangan Ify yang masih setia di depan kamarnya. Pikirannya melayang
pada kejadian dua malam yang lalu, saat cewek itu menyatakan perasaan
padanya.
Perasaan yang akan diterima Rio dengan senang hati kalau saja dia tidak memiliki penyakit mematikan seperti ini.
Rio benar-benar tidak mengerti Ify. Cewek itu masih saja
mendekatinya walaupun sudah ditolak. Dan kenapa cewek itu masih bisa
seceria ini?
"Rio? Kamu pingsan, ya?" seru Ify dari luar, menyangka Rio pingsan
karena tidak kunjung membuka pintu. "Aku panggilin Ozy biar didobrak,
ya!"
Rio segera bergerak ke pintu walaupun kepalanya pusing. Dia tak mau
ada acara pendobrakan atau apa pun itu. Rio membuka pintu dan mendapati
Ify yang sedang nyengir di hadapannya. Rio menatapnya tidak suka.
"Akhirnya... keluar juga," kata Ify dengan cengiran puas.
"Mau apa?" tanya Rio, sadar telah dibohongi.
"Nih." Ify menyodorkan kotak makanan. "Tetangga selametan rumah baru, terus kita-kita pada dikasih, deh. Ini jatah kamu."
Rio melirik kotak makanan itu. Kalau Rio menerimanya, berarti
semuanya akan berulang lagi. Semuanya akan kembali dari awal. Rio segera
berpikir keras, sementara Ify menatapnya maklum.
"Gue nggak laper," kata Ify sambil menirukan intonasi dan mimik cuek
Rio yang biasanya. "Gue nggak butuh. Udah gue bilang, jangan peduliin
gue."
Rio menatap Ify tanpa ekspresi sementara Ify terkekeh. Ify menepuk bahu Rio dan menatapnya serius.
"Aku tau, Rio. Tapi, aku peduli sama kamu, dan kamu nggak punya hak
untuk ngelarang aku," ujar Ify sungguh-sungguh. "Mau kamu tolak aku
berapa kali, jawabannya tetep sama. Aku bakal tetep suka sama kamu."
Rio mengeraskan rahangnya. Tanpa banyak omong, dia memegang tangan
Ify yang tadi ada di bahunya dan menggenggamnya. Ify menatap Rio tak
percaya. Rio lalu menarik Ify dan bergerak ke lantai atas.
Ify hanya pasrah mengikutinya dengan hati berdebar. Kaki Ify lemas
sejalan dengan menguatnya genggaman Rio di tangannya. Tangan Rio terasa
begitu hangat. Ify mau melakukan apa saja asal tangan itu tidak melepas
tangannya.
Sesampainya di lantai tiga, dengan tetap berada dalam posisi
membelakangi Ify, Rio melepas tangan Ify. Ify hanya bisa menatap
punggung Rio yang selama ini selalu terlihat kesepian. Ify benar-benar
tidak menyangka akhirnya Rio akan menyambut perasaannya, setidaknya itu
menurut pemikiran Ify.
"Rio..."
"Lo tau, kayaknya gue nggak bisa bohong lebih lama lagi sama lo,"
kata Rio membuat Ify tak jadi bicara. Ify mengernyit, tidak tahu apa
maksud dari perkataan Rio. "Ada yang belum lo tau tentang gue."
"Apa?" tanya Ify. Rio berbalik, menatap Ify dengan tatapan yang
tidak pernah dilihatnya sebelumnya. Tatapan ini begitu ramah, tetapi
juga menyiratkan kesedihan yang mendalam.
"Gue nggak tega ngeliat lo terus-terusan begini," ujar Rio lagi. "Jadi, sekarang, gue bakal jujur sama lo."
Ify menatap Rio yang raut wajahnya sangat serius. Rio sekarang
sedang berjalan ke pagar pembatas dan bersandar di sana. Ify hanya bisa
patuh mengikutinya.
"Lo tau, kan, kenapa gue bisa kena HIV?" tanya Rio membuat Ify mengangguk.
"Tapi, itu udah bukan masalah, Rio, itu, kan, udah masa lalu," jawab Ify cepat. Rio menatap Ify dalam-dalam dan mendesah.
"Lo juga tau, kenapa gue bisa ada di sini, di Bandung?" tanya Rio sekali lagi.
"Ng... kamu nyari cewek kamu?" jawab Ify ragu sementara Rio menghela napas panjang.
"Cewek, ya...," katanya sambil menatap langit malam yang sedang mendung tak berbintang, lalu beralih pada Ify.
"Denger, apa yang bakalan lo denger ini mungkin bisa bikin lo kaget. Lo udah siap?"
Ify menatap Rio bingung. Rio saat ini benar-benar menakutkan. Ify punya firasat dia tidak ingin mendengar apa pun.
Namun, sebelum dia sempat bicara, Rio sudah mendahuluinya.
"Gue di sini emang buat nyari orang yang udah nularin gue penyakit
ini," kata Rio, matanya tidak berusaha menghindar dari mata Ify. "Tapi
sayangnya, orangnya bukan cewek."
Mata Ify membesar mendengar perkataan Rio. Tangan dan kakinya langsung terasa dingin. Ify tidak ingin memercayai ini.
"Jadi... lo tau sendiri kesimpulannya, kan?" kata Rio hati-hati. "Gue sebenernya..."
"NGGAAKKK!" seru Ify tiba-tiba. Tangannya sudah menutup kedua
telinganya rapat-rapat. Kotak makanan yang tadi dibawanya pun sudah
jatuh, isinya berhamburan di lantai.
Rio menatap Ify putus asa. Ify sekarang sudah gemetar, tidak ingin
mendengar lebih lanjut perkataan Rio. Rio mendekati Ify dan memegang
kedua tangannya, tetapi cewek itu bersikeras menutup kedua telinganya.
"Denger...," kata Rio lembut sementara Ify menggeleng-geleng
frustasi. "Denger, maafin gue. Tapi, mungkin ini emang kesalahan gue,
karena dari awal gue nggak jujur sama lo."
Ify masih menolak untuk menatap Rio.
"Kamu... bohong, kan?" ujar Ify lambat-lambat. Dia lalu menatap Rio.
"Kamu bohong, iya, kan? Ini cuma salah satu cara kamu lagi supaya aku
berhenti suka sama kamu, iya, kan?"
Rio menatap Ify yang matanya sudah berair. Dia menghela napas.
"Gue nggak bohong..."
"BOHONG!" seru Ify histeris. "Kamu kejam, Rio! Kenapa kamu ngelakuin segala cara buat ngejauhin aku dari kamu?"
Rio tak menjawab untuk beberapa saat, menghadapi cewek mungil yang
gemetar di depannya. Rio kemudian mengorek saku celananya dan
mengeluarkan selembar foto yang sudah kusut. Rio memberikannya pada Ify.
Awalnya, Ify tak mau menerimanya, sampai akhirnya dia memegangnya juga meskipun tangannya gemetar.
Ify tertegun melihat foto itu. Di sana, Rio sedang dirangkul oleh
seorang cowok kira-kira sebayanya, tinggi badannya pun hampir sama
dengan Rio. Mereka memakai seragam SMA. Di dalam foto itu, Rio tampak
sangat gembira.
"Namanya Gabriel. Gabriel Stevent," ujar Rio sementara Ify sudah mau menangis lagi. "Dia sekelas sama gue waktu SMA."
Ify memberanikan diri menatap Rio meskipun air matanya sudah mengalir.
"Gimana kisah gue sama dia, lo nggak perlu tau. Tapi, sekarang lo tau, kan, kenapa gue nggak bisa nerima lo?" kata
Rio sambil menatap mata Ify lemah. "Gue bener-bener nggak bisa liat lo sedih lagi."
Ify sudah jatuh terduduk sambil terisak. Dia benar-benar tidak
menyangka kalau alasan mengapa Rio tidak mau menerima perasaannya adalah
karena Rio adalah seorang gay.
Rio menghampiri Ify dan berjongkok di depannya.
"Lo jijik sama gue sekarang?" tanya Rio, tetapi Ify tak bisa
menjawab. Rio menghela napas. "Tapi, gue berhak menerima itu. Disukai
sama cewek sebaik lo, gue bener-bener bersyukur. Sekarang, kalo lo jijik
sama gue, ini
hukuman buat gue karena selama ini udah bikin lo nangis."
Ify masih sesenggukan. Dadanya benar-benar sakit karena pengakuan
Rio. Kalau selama ini Rio tidak menerimanya karena takut merepotkan, Ify
masih bisa menerimanya. Namun, kalau Rio adalah seorang gay? Ify
terlalu takut untuk menerima kenyataan itu.
Rio menatap cewek mungil yang seluruh badannya terguncang itu. Rio
ingin sekali menarik dan memeluknya, tetapi Rio harus menahan semua
keinginannya itu.
"Kalo lo mau gue pergi, sekarang juga gue pergi dari sini," kata Rio
lagi, membuat Ify mendongak. "Gue nggak akan ganggu lo lagi."
Ify, yang masih belum sanggup bicara, tiba-tiba meraih kaus Rio. Rio lalu menatap Ify yang menggeleng lemah.
"Bukan salah kamu, kok," ujar Ify di sela-sela isakannya. "Jangan pergi."
Rio menatap cewek itu dan menariknya ke dalam pelukannya. Rio
mendekap cewek itu erat sementara Ify terus terisak. Sekarang, Rio
benar-benar ingin waktu berhenti.
"Rio...," kata Ify. "Kalo kamu bilang kamu bohong sekarang, aku masih bisa maafin kamu."
Seketika, Rio kembali ke alam sadarnya. Dia melepaskan Ify dan menatapnya dalam-dalam.
"Maaf," kata Rio membuat Ify kembali terisak. "Tapi, gue seneng bisa
ketemu sama orang kayak lo. Suatu saat lo pasti bisa ketemu sama orang
yang jauh lebih baik dari gue."
Ify masih terisak sampai akhirnya Rio memegang kedua pipi Ify dan
menghapus air matanya. Rio kembali menatap mata Ify dalam-dalam.
"Ify," kata Rio membuat mata Ify melebar tak percaya. "Maaf. Dan, terima kasih."
Rio kemudian berdiri dan bergerak turun sementara Ify masih terpaku.
Ify memegang pipinya sendiri, mencoba untuk merasakan kembali
kehangatan tangan Rio. Ify kemudian terisak lagi, setelah suara Rio saat
memanggil namanya untuk pertama kalinya bergaung di kepalanya.
Kenyataan ini terlalu menyakitkan.
***
Alvin sedang mengerjakan tugas kuliahnya saat terdengar suara
ketukan keras di pintu. Diliriknya jam. Pukul sepuluh lebih dua puluh
malam. Heran, Alvin menghampiri pintu dan membukanya. Rio segera masuk
dengan terburu-buru. Napasnya tersengal-sengal, sama seperti dua malam
yang lalu.
"Rio? Sekarang kenapa lagi?" tanya Alvin bingung sementara Rio mondar-mandir seperti orang ling-lung.
"Untuk sementara ini beres," gumam Rio kalut. Alvin menatapnya cemas.
"Yo? Apanya yang beres?" tanya Alvin.
"Untuk sementara ini, nggak usah cari kost dulu," kata Rio lagi,
masih mondar-mandir. "Sekarang, kita fokusin buat nyari Gabriel dulu."
"Kenapa, sih?" tanya Alvin lagi, gerah sendiri melihat kelakuan
sahabatnya yang persis orang tidak waras. "Kenapa nggak jadi pindah
kost? Lo apain cewek itu sampe dia nyerah?"
"Nggak penting," kata Rio sambil menjambak-jambak rambutnya sendiri. "Sekarang..."
"Rio, liat gue!" sahut Alvin sambil menarik kaus Rio sehingga Rio
mau tak mau melihat temannya itu. "Nggak mungkin nggak penting kalo
kelakuan lo jadi aneh begini!"
Rio menatap Alvin kesal, dia melepaskan diri dari cengkeraman Alvin.
"Udahlah, Vin, yang penting semuanya udah beres," ujar Rio sambil
membelakangi Alvin, dia mengangguk-angguk sendiri. "Besok ke kampus
mana, ya..."
Mendadak, Alvin membalik tubuh Rio dan memukulnya tepat di pelipis
hingga jatuh. Rio mengerang kesakitan sambil menatap temannya garang.
"Apa maksud lo, Vin?" seru Rio tidak terima.
"Lo sinting, Rio!" sahut Alvin emosi.
"Gue bukan sinting, Vin, gue penyakitan!" Rio balas menyahut, lalu
tertawa sendiri. Alvin menggeleng tak percaya, dia menarik kaus Rio dan
meninjunya sekali lagi. Bibir Rio sekarang sudah sobek.
Darah segar mengalir dari bibir Rio, tetapi Rio tak melakukan apa pun. Tinjuan Alvin yang terakhir tadi sudah membuatnya sadar.
"Apa, Rio?" tanya Alvin geram, masih mencengkeram kaus Rio. "Apa yang lo bilang sama dia?"
"Gue bilang kalo gue gay," kata Rio membuat pegangan Alvin pada kausnya terlepas. "Gue udah bikin dia percaya
kalo gue nyari Gabriel gara-gara dia nularin gue HIV lewat hubungan seks."
Alvin mundur perlahan mendengar cerita Rio. Dia benar-benar tidak bisa memercayai pendengarannya.
"Kenapa...," katanya tercekat. "Kenapa lo harus berbuat sejauh ini?
Apa lo nggak mikir gimana perasaan cewek itu mendengar semua kebohongan
lo itu?"
Rio terkekeh, dia menyeka darah yang sudah mengalir ke dagunya.
"Tapi gue berhasil, kan? Dengan begini, dia nggak bakalan ngedeketin
gue lagi," kata Rio. "Dia udah nyerah. Sekarang, gue bebas dari masalah
nggak penting ini."
"Nggak penting, ya?" kata Alvin. "Lo sampe mau gila begini, dan lo masih bilang ini bukan masalah penting?"
Rio terdiam, lalu menatap Alvin garang. Dan tanpa diduga Alvin, Rio
tiba-tiba bangkit dan menyerbu Alvin. Alvin berhasil terkena bogem
mentahnya sampai terpelanting.
"Terus lo mau gue gimana, Vin?" sahut Rio kalap. "Selama ini, gue
cerita ini-itu sama lo, lo masih belum ngerti juga, hah? Kalo gue bakal
mati dan dia bakal menderita?"
Alvin bangun, dia balas meninju perut Rio.
"Lo mau mati, kan, Yo?" seru Alvin sementara Rio menunduk menahan sakit. Alvin kemudian meninjunya lagi sampai
Rio terjatuh. "Lo mau mati, kan? Mati sekarang aja lo, Rio!"
Rio menatap Alvin sengit, dia tak bisa bangun karena Alvin meninjunya tepat di ulu hati.
"Lo mati sekarang atau nanti, sama aja, Rio, dia bakal sama
menderitanya!" sahut Alvin lagi. "Tapi, seenggaknya kalo lo jujur sama
dia sekarang, dia bisa bahagia bareng lo walaupun sebentar!"
Rio menatap Alvin lagi.
"Alvin, coba lo ngerti perasaan gue," kata Rio pelan, emosinya sudah
reda. "Gue bukannya nggak pernah mikirin masalah ini. Tiap malem kepala
gue serasa mau pecah mikirin ini, tapi gue akhirnya tetep sampai pada
satu kesimpulan, yaitu kalo dia nggak boleh menghabiskan waktu dia sama
orang kayak gue walaupun sebentar."
Rio membetulkan posisi duduknya sementara Alvin masih bergeming.
"Kalo gue hentikan sekarang, dia pasti bisa nemu pengganti gue," kata Rio. "Ntar juga dia lupa sama gue."
Alvin menghela napas kesal, tak tahu harus mengatakan apa lagi pada orang keras kepala seperti Rio.
"Lo pikir, gimana perasaan gue ngeliat dia nangis, Vin?" kata Rio
lagi, membuat Alvin tertegun. Rio berbaring. Alvin duduk di depannya,
menatap Rio.
"Lo... baik-baik aja, kan, Rio?" tanya Alvin kemudian.
"Cuma sakit sedikit," jawab Rio sambil nyengir walaupun dia tahu betul kalau Alvin tidak sedang menanyakan luka luarnya.
"Lo nggak bakal menyesal sama keputusan lo ini?" tanya Alvin lagi, membuat cengiran di wajah Rio lenyap.
"Mungkin," kata Rio. "Tapi, untuk sekarang, cuma ini yang bisa gue
lakuin untuk dia. Gue bakal lakuin apa aja supaya dia nggak berurusan
lagi sama gue. Apa aja."
"Lo orang paling keras kepala yang pernah gue kenal," ujar Alvin.
"Kalo gue jadi lo, gue mungkin nggak akan sekuat lo. Gue mungkin nggak
bakal ngelepas orang yang sayang sama gue. Gue rasa, sekarang gue tau
kenapa gue nggak bisa ngerti jalan pikiran lo."
Rio tidak bertanya lebih lanjut, tangannya sudah mengepal keras.
"Ini karena lo orang baik," lanjut Alvin. "Gue kesal, kenapa semua
ini harus terjadi sama lo. Dari semua orang yang gue kenal, lo adalah
orang yang paling berhak buat bahagia."
Rio terdiam beberapa saat, sementara Alvin sudah menjambak-jambak
rambutnya kesal. Rio tahu, Alvin sedang menyesali kejadian lima tahun
yang lalu, saat Alvin tak bisa melakukan apa pun untuk menyelamatkannya.
"Vin, lo nggak usah nyalahin diri lo sendiri," ujar Rio kemudian.
"Maaf, Yo," ujar Alvin. Air matanya sudah menetes, tetapi Rio pura-pura tak melihatnya. "Gue bener-bener minta maaf."
Rio tak menjawab karena dia sendiri sedang bersusah payah untuk tidak menangis. Sekarang, Rio juga menyesal
telah memberitahu Alvin soal penyakitnya. Dia pikir, Alvin
satu-satunya orang yang cukup kuat untuk menerimanya, namun ternyata,
bahkan Alvin pun tidak sanggup.
Seharusnya, dari awal Rio tidak meminta bantuan pada siapa pun. Seharusnya, memang dari awal Rio hidup sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar