Selasa, 26 Juni 2012

The Truth About Forever - Chapter 9 : I Will Do Anything

Sivia melirik cemas Ify yang sedari tadi hanya menerawang dengan mata sembap dan tidak memerhatikan kelas. Sivia yakin, ini pasti soal alien aneh yang tinggal di sebelah kamar Ify itu, tetapi kalau dia bertanya, pasti Ify akan menangis di tengah kelas.



Sivia meraih tangan Ify yang dingin, kemudian menggenggamnya simpati. Dia tahu, sahabatnya itu pasti sudah mengalami banyak hal-hal menyedihkan dengan Rio. Sesungguhnya, Sivia tidak ingin itu terjadi, karena Ify baru berumur dua puluh tahun dan tidak layak untuk mengalami hal-hal seperti itu. Ify harusnya sekarang sedang menikmati masa-masa pacaran pertamanya dengan cowok keren, baik, dan normal.



Sivia menghela napas. Bukan salah Rio kalau dia mengidap penyakit. Atau memang salahnya, karena ini penyakit HIV. Entahlah, Sivia sama sekali tidak tahu menahu. Masalahnya sekarang adalah, sahabatnya kini sudah terlibat terlalu jauh dengan cowok itu.



Sampai sekarang, Sivia tidak habis pikir, kenapa orang pertama yang membuat Ify jatuh cinta adalah orang seperti Mario Stevano. Kenapa takdir sepertinya begitu kejam pada Ify.



Tiba-tiba, Sivia tersentak dan menatap Ify lagi. Dia memang tidak ingin Ify sakit hati karena Rio, tetapi dia juga tidak ingin melihat sahabatnya terus-menerus dalam kondisi seperti sekarang ini.



"Ify...," panggil Sivia pelan membuat Ify menoleh lemah. Matanya masih merah. "Lo tau kenapa lo bisa ketemu sama Rio?"



Ify menatap Sivia sebentar. "Mungkin... takdir?"



"Tepat," ujar Sivia sambil mempererat genggamannya pada tangan Ify. "Apa lo nggak pernah berpikir kalo Tuhan punya maksud tertentu di balik pertemuan kalian?"



Ify menatap Sivia lekat-lekat, berusaha menebak jalan pikirannya.



"Tuhan mungkin berpikir... kalau lo adalah satu-satunya orang yang sanggup bertahan untuk Rio. Makanya, Dia mempertemukan lo sama Rio," lanjut Sivia membuat Ify menangis lagi. "Karena tau lo pasti bisa bertahan, makanya Dia mempertemukan kalian berdua. Makanya... jangan nyerah, Ify."



Sivia tak percaya kalau dirinya bisa mengatakan ini pada sahabatnya yang sudah nyaris putus asa itu. Dia pasti suda gila karena secara tidak langsung, melalui perkataannya tadi, dia telah mendukung hubungan Ify dengan Rio.

Namun, bagaimana pun, Sivia tahu Ify pasti menyukai Rio dan sudah terlalu banyak berkorban demi perasaannya itu.

Dan, Sivia tak ingin melihat Ify menyesali cinta pertamanya itu.



Sekarang, Ify sudah menangis tak terkendali. Tubuhnya berguncang hebat, menangisi kebodohannya sudah ragu pada perasaannya sendiri. Inilah yang semalam membuatnya sangat sakit hati. Rio telah menganggap perasaannya hanya akting.



Ify sudah berjam-jam duduk di kasurnya sambil memeluk guling dengan mata menerawang. Dia sudah banyak berpikir dan sudah sampai pada keputusannya. Dia tak akan menyesalinya apa pun yang akan terjadi.



Ify melirik jam dinding chappy yang terpajang di dinding kamarnya. Sudah pukul sebelas malam, dan Rio belum pulang juga. Ify bangkit, membuka pintu kamarnya, lalu melirik kamar Rio yang masih gelap. Ify menghela napas, setelah itu mulai bergerak menuju ke kamar mandi.



Ify berhenti melangkah saat dia melihat pintu tingkap ke lantai tiga terbuka. Mungkinkah itu Rio? Ify menatap pintu itu ragu, namun kemudian dia mulai bergerak naik diam-diam dan mengintip ke lantai tiga.



Rio sedang berbaring di lantai, matanya terpancang pada langit malam yang terlihat kelam tanpa bintang. Ify merasakan jantungnya berdegup kencang dan sekujur tubuhnya dingin saat melihat sosok itu. Tetapi, Ify memberanikan diri untuk membuka pintu dan mendatanginya.



Rio menoleh dan begitu mendapati Ify di pintu, dia langsung bangkit. Setelah membersihkan celananya, dia bergerak, bermaksud untuk turun. Dia sama sekali tidak ingin berdua-duaan lagi dengan Ify.



"Tunggu, Rio," panggil Ify membuat Rio menatapnya. Ify balas menatapnya ragu beberapa saat.



"Apa?" tanya Rio ketus. "Ada yang mau dibicarain? Kalo gue, sih, nggak ada."



"Ada," jawab Ify. Sekarang, hatinya sudah mantap. Dia tidak akan mundur lagi.



Rio mengernyit, tidak mengerti apa bahan pembuat hati Ify. Setelah dikata-katai macam-macam, dia tetap saja mau mendekati Rio.



"Apa?" tanya Rio lagi, tak berminat.



"Aku... sayang kamu, Rio," ujar Ify tegas membuat Rio melongo. "Walaupun dulu kamu pernah bilang jangan suka sama kamu, udah terlambat. Aku udah terlanjur suka sama kamu."



Rio tak bisa berkata apa pun. Bahkan menggerakkan satu syarafnya saja pun dia tak sanggup. Rio hanya menatap Ify tak percaya. Mata indahnya sudah berair karena belum berkedip semenjak Ify selesai bicara.



"Ini bukan akting, Rio. Aku jujur. Mungkin kemaren aku sempat ragu, tapi sekarang aku udah yakin kalo aku suka sama kamu," kata Ify lagi, membuat kepala Rio berdenyut nyeri. "Mulai sekarang, sesakit apa pun, dan seberat apa pun, aku bakal tetep..."



"Tolong jangan ngomong sesuatu yang nggak bertanggung jawab," potong Rio geram. Rahangnya sudah mengeras. "Jangan ngomongin hal-hal yang nggak bisa lo pertanggungjawabkan!"



"Aku..."



"Apa lo sadar dengan omongan lo, hah?" bentak Rio membuat Ify terdiam. "Lo sadar lo udah bikin diri lo masuk ke dalam masalah apa?"



"Aku... sadar..."



"Nggak! Lo nggak sadar!" sahut Rio. "Denger, ini bukan masalah kecil! Suka atau apa pun itu, itu nggak bakal bisa menolong!"



"Tapi, Rio, aku bener-bener sayang sama kamu..."



Rio menatap cewek di depannya nanar.



"Kalo lo sayang, terus lo mau apa? Nemenin gue sampe gue mati?" tanya Rio membuat Ify lagi-lagi terdiam. "Lo siap dengan hujatan orang-orang nanti? Lo siap kehilangan masa depan lo demi gue?"



Ify menatap Rio. Sesaat dia ragu, tetapi dia tak akan mundur.



"Aku siap!" sahut Ify tegas.



"Diam!" bentak Rio frustasi. "Jangan ngomong seenaknya! Lo sama sekali nggak tau apa-apa! Gue udah nggak sanggup nahan beban gue sendiri, jangan tambahin beban gue dengan perasaan lo!"



Ify menatap Rio lagi, air matanya sudah mengalir. Rio sendiri sudah terlihat pucat.



"Kita bisa bagi beban kita, Yo," jawab Ify, berusaha sebisa mungkin untuk tidak terisak. Rio terdiam untuk beberapa saat.



"Denger," kata Rio, emosinya sudah reda. "Lo masih muda. Lo sehat. Dan lo punya masa depan. Jadi, tolong, jangan hancurin itu semua demi perasaan lo sama orang nggak berharga kayak gue. Gue sama sekali nggak sebanding sama masa depan lo. Apa lo bisa ngerti?"



Ify sudah terisak. Rio sebisa mungkin menatap apa saja selain Ify, dia paling tak tahan jika harus melihat cewek yang tanpa disadarinya sudah ia cintai itu, meneteskan air mata.



"Perasaan lo ke gue itu... cuma sementara. Lo cuma simpati," kata Rio lagi. "Gue minta sama lo, tolong jangan ngomong hal-hal kayak gini lagi. Gue... capek."



Rio kemudian berbalik, kembali bermaksud turun. Tiba-tiba, tangannya dicengkeram oleh Ify. Tetapi, Rio tidak berusaha untuk menoleh. Tahu-tahu, tangan Ify sudah memeluk Rio dari belakang. Dan lagi-lagi, Rio membatu, tak bisa menggerakkan satu pun anggota tubuhnya.



"Rio... Aku ngerti gimana perasaan kamu. Aku tau kamu pasti nggak mau ngerepotin orang lain. Tapi, aku udah bikin keputusan, Rio!" kata Ify masih terisak. "Rio... Kamu tau kenapa kita bisa ketemu?"



Rio tak bisa menjawab.



"Karena ini takdir kita, Rio," kata Ify pelan. Dia mempererat pelukannya pada Rio yang masih bergeming. "Jadi, tolong jangan menghindar lagi."



Ada jeda beberapa lama sampai akhirnya Rio tersadar dari alam khayalnya yang indah. Dia lalu menghela napas panjang.



"Gue... nggak pernah percaya takdir," jawabnya dingin. Dia melepaskan pelukan Ify, dan bergerak menuju pintu tanpa sekali pun menoleh ke belakang lagi.



Ify terduduk lemas di lantai semen yang dingin, dia terisak hebat sampai dadanya terasa sakit. Ify tidak pernah sekali pun menyangka kalau mencintai ternyata sesakit ini.





***





"Takdir itu... kejam, ya," kata Rio dengan mata menerawang. Sedangkan Alvin cuma bisa meliriknya simpati. Alvin tahu, apa pun yang terjadi semalam bukanlah hal yang bagus, dilihat dari ekspresi Rio yang dari tadi seperti sudah mau mati.



Mereka sekarang ada di kamar kost Alvin, karena hari ini Alvin libur kerja dan kuliah. Semalam, Rio tiba-tiba muncul di depan kamar Alvin dan langsung pingsan karena berlari dari kost-nya, padahal jarak antara tempat kost Alvin dengan kost-nya lumayan jauh. Sekarang setelah siuman, dia sudah seperti mayat hidup.



"Udah tau gue sekarat... masih aja diketemuin sama cewek itu," kata Rio dengan suara serak, masih menatap langit-langit kamar Alvin.



Alvin menghela napas. Ya, tentu saja soal cewek itu. Cewek bernama Alyssa Saufika yang selama beberapa minggu ini sudah banyak membantu Rio, dan tentu saja sudah sering membuat sahabatnya itu menjadi seperti sekarang ini.

Dia pula, cewek yang mungkin saja disayangi Rio.



"Ternyata gue emang masih kurang cobaan," kata Rio lagi.



"Emangnya... sekarang kenapa lagi, Yo?" tanya Alvin hati-hati. Rio terdiam sebentar.



"Dia bilang kalo dia suka sama gue," ujar Rio membuat mata Alvin melebar *walaupun tetap aja kelihatannya sipit*.



"Dia bilang, siap kehilangan masa depannya demi gue. Dia bilang semua hal yang mau gue denger."



Alvin menatap sahabatnya yang sudah tak berdaya itu. Rio masih menatap langit-langit, rahangnya sudah mengeras.



"Kalo begini terus, dia bisa bikin gue nggak mau mati. Dia bisa bikin gue maruk pengen hidup," kata Rio lagi.



"Kalo gitu, hidup, Rio," balas Alvin.



"Vin, gue juga mau hidup," ujar Rio, air matanya sudah mulai mengalir. "Gue juga nggak mau mati. Tapi, gue bisa apa? Gue udah di vonis nggak bakal berumur panjang, Vin. Dan gue nggak bisa liat dia menderita nantinya."



Alvin terdiam, lalu mengalihkan pandangannya dari Rio, tak ingin melihat air mata sahabatnya.



"Gue nggak bisa egois. Cukup gue aja yang menderita," lanjut Rio dengan suara tercekat. "Dari awal, pertemuan gue sama dia itu kesalahan."



Rio menarik napas dan menghelanya pelan.



"Tapi, sebenernya... lo suka sama dia, kan, Rio?" tanya Alvin membuat Rio terdiam sesaat.



"Kalo suka... terus kenapa?" jawab Rio sambil memijat dahinya.



Alvin tahu, itu hanya cara Rio untuk menyembunyikan air matanya yang mengalir. Alvin merasa tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu sahabatnya itu. Rio sudah terlalu dalam jatuh sehingga sangat sulit untuk digapai.





***





Ify mendengar ketukan di pintu kamarnya, tetapi Ify menolak untuk bangun. Dia tahu tantenya, Bu Winda, memanggilnya untuk makan malam. Tapi, Ify sama sekali tidak punya nafsu makan setelah kejadian kemarin malam.

Sepanjang malam, Ify hanya menangis dan sekarang matanya sudah bengkak.



Ify nyaris tidak punya air mata lagi untuk menangisi Rio. Ify hanya menatap dinding di depannya, pikirannya penuh dengan kejadian kemarin malam. Ify tidak tahu apa Rio ada di kamarnya atau sudah pergi lagi.



Ify teringat lagi pada kata-kata Rio kemarin, Ify segera menangis lagi. Ify tahu benar Rio berusaha melindunginya dengan mengatakan hal-hal kejam. Rio tidak pernah berniat buruk. Rio hanya ingin Ify tidak terlibat dengan orang

berpenyakit sepertinya. Namun, bagaimana pun, Ify sudah menyukai Rio apa adanya. Ify malah ingin menemani Rio menjalani hari demi hari, dan Ify sudah berjanji tidak akan ada penyesalan.



Ify menarik napas dan menghelanya mantap. Apa pun yang terjadi, dia tidak akan melepaskan Rio. Ify akan selalu ada untuk Rio walaupun Rio setengah mati menolak.



Ify tersenyum memikirkan tampang cemberut Rio, kemudian dia jatuh tertidur.



***



Ify bangun pagi harinya dengan semangat baru. Kata-kata kejam Rio kemarin sudah dilupakannya. Dia bertekad untuk memulai usahanya lagi hari ini.



Ify menatap cermin, matanya tampak sudah baikan setelah tidur semalam. Sekarang, yang Ify rasakan hanyalah lapar, karena sejak semalam, dia belum makan. Ify cepat-cepat membuka pintu, dan tiba-tiba Rio lewat.



Rio dan Ify saling tatap sesaat, sampai akhirnya Rio melengos menuju kamarnya. Ify tersenyum simpul.



"Abis dari mana, Yo?" tanya Ify riang membuat Rio menoleh dengan tampang bloon. Rio tidak percaya cewek ini masih baik-baik saja dan bisa menyapanya seperti itu. Sebenarnya, Ify mau tertawa melihat ekspresi Rio, tetapi ditahannya.



"Kenapa?" tanya Ify lagi sambil nyengir. "Aku cantik, ya?"



Tampang Rio jadi tambah bloon setelah mendengar kata-kata Ify. Masih syok berat, Rio membuka pintu kamarnya, bergerak masuk, meninggalkan Ify yang cengengesan di luar.



Rio melepas jaketnya, lalu melemparnya ke kasur. Dia kemudian mengambil botol air mineral dan meminumnya sementara otaknya terus berpikir keras, mengapa Ify bisa seriang itu setelah kejadian dua malam lalu.



Rio terduduk di kasur, tetapi masih belum menemukan jawabannya. Cewek itu terlalu sukar untuk ditebak.





***



"Rio! Makan malam!" seru Ify membuat mata Rio terbuka.



Rio masih sedikit mengantuk setelah tadi tertidur selama beberapa jam. Kamarnya masih gelap gulita. Rio bergerak sedikit, tetapi menolak untuk bangun.



"Oi, Rio!" seru Ify lagi membuat Rio batal untuk memejamkan matanya. Rio lalu mengerjap-ngerjapkan mata, berusaha mengumpulkan setengah nyawanya yang masih hilang entah ke mana. Dia bersandar pada tembok sementara Ify mengetuk pintu kamarnya lagi.



"Rio, aku tau kamu ada di dalem. Buka, atau aku dobrak, nih," ancam Ify membuat Rio menatap ke arah pintu. Dari jendela, tampak bayangan Ify.



Rio menghela napas. Dia lalu menyalakan lampu di jam tangannya sehingga empat angka digital tertera di sana, 20:11. Dan itu berarti Rio sudah ketiduran empat jam.



Rio menggaruk bagian belakang kepalanya, pandangannya tertuju pada bayangan Ify yang masih setia di depan kamarnya. Pikirannya melayang pada kejadian dua malam yang lalu, saat cewek itu menyatakan perasaan padanya.

Perasaan yang akan diterima Rio dengan senang hati kalau saja dia tidak memiliki penyakit mematikan seperti ini.



Rio benar-benar tidak mengerti Ify. Cewek itu masih saja mendekatinya walaupun sudah ditolak. Dan kenapa cewek itu masih bisa seceria ini?



"Rio? Kamu pingsan, ya?" seru Ify dari luar, menyangka Rio pingsan karena tidak kunjung membuka pintu. "Aku panggilin Ozy biar didobrak, ya!"



Rio segera bergerak ke pintu walaupun kepalanya pusing. Dia tak mau ada acara pendobrakan atau apa pun itu. Rio membuka pintu dan mendapati Ify yang sedang nyengir di hadapannya. Rio menatapnya tidak suka.



"Akhirnya... keluar juga," kata Ify dengan cengiran puas.



"Mau apa?" tanya Rio, sadar telah dibohongi.



"Nih." Ify menyodorkan kotak makanan. "Tetangga selametan rumah baru, terus kita-kita pada dikasih, deh. Ini jatah kamu."



Rio melirik kotak makanan itu. Kalau Rio menerimanya, berarti semuanya akan berulang lagi. Semuanya akan kembali dari awal. Rio segera berpikir keras, sementara Ify menatapnya maklum.



"Gue nggak laper," kata Ify sambil menirukan intonasi dan mimik cuek Rio yang biasanya. "Gue nggak butuh. Udah gue bilang, jangan peduliin gue."



Rio menatap Ify tanpa ekspresi sementara Ify terkekeh. Ify menepuk bahu Rio dan menatapnya serius.



"Aku tau, Rio. Tapi, aku peduli sama kamu, dan kamu nggak punya hak untuk ngelarang aku," ujar Ify sungguh-sungguh. "Mau kamu tolak aku berapa kali, jawabannya tetep sama. Aku bakal tetep suka sama kamu."



Rio mengeraskan rahangnya. Tanpa banyak omong, dia memegang tangan Ify yang tadi ada di bahunya dan menggenggamnya. Ify menatap Rio tak percaya. Rio lalu menarik Ify dan bergerak ke lantai atas.



Ify hanya pasrah mengikutinya dengan hati berdebar. Kaki Ify lemas sejalan dengan menguatnya genggaman Rio di tangannya. Tangan Rio terasa begitu hangat. Ify mau melakukan apa saja asal tangan itu tidak melepas tangannya.



Sesampainya di lantai tiga, dengan tetap berada dalam posisi membelakangi Ify, Rio melepas tangan Ify. Ify hanya bisa menatap punggung Rio yang selama ini selalu terlihat kesepian. Ify benar-benar tidak menyangka akhirnya Rio akan menyambut perasaannya, setidaknya itu menurut pemikiran Ify.



"Rio..."



"Lo tau, kayaknya gue nggak bisa bohong lebih lama lagi sama lo," kata Rio membuat Ify tak jadi bicara. Ify mengernyit, tidak tahu apa maksud dari perkataan Rio. "Ada yang belum lo tau tentang gue."



"Apa?" tanya Ify. Rio berbalik, menatap Ify dengan tatapan yang tidak pernah dilihatnya sebelumnya. Tatapan ini begitu ramah, tetapi juga menyiratkan kesedihan yang mendalam.



"Gue nggak tega ngeliat lo terus-terusan begini," ujar Rio lagi. "Jadi, sekarang, gue bakal jujur sama lo."



Ify menatap Rio yang raut wajahnya sangat serius. Rio sekarang sedang berjalan ke pagar pembatas dan bersandar di sana. Ify hanya bisa patuh mengikutinya.



"Lo tau, kan, kenapa gue bisa kena HIV?" tanya Rio membuat Ify mengangguk.



"Tapi, itu udah bukan masalah, Rio, itu, kan, udah masa lalu," jawab Ify cepat. Rio menatap Ify dalam-dalam dan mendesah.



"Lo juga tau, kenapa gue bisa ada di sini, di Bandung?" tanya Rio sekali lagi.



"Ng... kamu nyari cewek kamu?" jawab Ify ragu sementara Rio menghela napas panjang.



"Cewek, ya...," katanya sambil menatap langit malam yang sedang mendung tak berbintang, lalu beralih pada Ify.

"Denger, apa yang bakalan lo denger ini mungkin bisa bikin lo kaget. Lo udah siap?"



Ify menatap Rio bingung. Rio saat ini benar-benar menakutkan. Ify punya firasat dia tidak ingin mendengar apa pun.

Namun, sebelum dia sempat bicara, Rio sudah mendahuluinya.



"Gue di sini emang buat nyari orang yang udah nularin gue penyakit ini," kata Rio, matanya tidak berusaha menghindar dari mata Ify. "Tapi sayangnya, orangnya bukan cewek."



Mata Ify membesar mendengar perkataan Rio. Tangan dan kakinya langsung terasa dingin. Ify tidak ingin memercayai ini.



"Jadi... lo tau sendiri kesimpulannya, kan?" kata Rio hati-hati. "Gue sebenernya..."



"NGGAAKKK!" seru Ify tiba-tiba. Tangannya sudah menutup kedua telinganya rapat-rapat. Kotak makanan yang tadi dibawanya pun sudah jatuh, isinya berhamburan di lantai.



Rio menatap Ify putus asa. Ify sekarang sudah gemetar, tidak ingin mendengar lebih lanjut perkataan Rio. Rio mendekati Ify dan memegang kedua tangannya, tetapi cewek itu bersikeras menutup kedua telinganya.



"Denger...," kata Rio lembut sementara Ify menggeleng-geleng frustasi. "Denger, maafin gue. Tapi, mungkin ini emang kesalahan gue, karena dari awal gue nggak jujur sama lo."



Ify masih menolak untuk menatap Rio.



"Kamu... bohong, kan?" ujar Ify lambat-lambat. Dia lalu menatap Rio. "Kamu bohong, iya, kan? Ini cuma salah satu cara kamu lagi supaya aku berhenti suka sama kamu, iya, kan?"



Rio menatap Ify yang matanya sudah berair. Dia menghela napas.



"Gue nggak bohong..."



"BOHONG!" seru Ify histeris. "Kamu kejam, Rio! Kenapa kamu ngelakuin segala cara buat ngejauhin aku dari kamu?"



Rio tak menjawab untuk beberapa saat, menghadapi cewek mungil yang gemetar di depannya. Rio kemudian mengorek saku celananya dan mengeluarkan selembar foto yang sudah kusut. Rio memberikannya pada Ify.



Awalnya, Ify tak mau menerimanya, sampai akhirnya dia memegangnya juga meskipun tangannya gemetar.

Ify tertegun melihat foto itu. Di sana, Rio sedang dirangkul oleh seorang cowok kira-kira sebayanya, tinggi badannya pun hampir sama dengan Rio. Mereka memakai seragam SMA. Di dalam foto itu, Rio tampak sangat gembira.



"Namanya Gabriel. Gabriel Stevent," ujar Rio sementara Ify sudah mau menangis lagi. "Dia sekelas sama gue waktu SMA."



Ify memberanikan diri menatap Rio meskipun air matanya sudah mengalir.



"Gimana kisah gue sama dia, lo nggak perlu tau. Tapi, sekarang lo tau, kan, kenapa gue nggak bisa nerima lo?" kata

Rio sambil menatap mata Ify lemah. "Gue bener-bener nggak bisa liat lo sedih lagi."



Ify sudah jatuh terduduk sambil terisak. Dia benar-benar tidak menyangka kalau alasan mengapa Rio tidak mau menerima perasaannya adalah karena Rio adalah seorang gay.



Rio menghampiri Ify dan berjongkok di depannya.



"Lo jijik sama gue sekarang?" tanya Rio, tetapi Ify tak bisa menjawab. Rio menghela napas. "Tapi, gue berhak menerima itu. Disukai sama cewek sebaik lo, gue bener-bener bersyukur. Sekarang, kalo lo jijik sama gue, ini

hukuman buat gue karena selama ini udah bikin lo nangis."



Ify masih sesenggukan. Dadanya benar-benar sakit karena pengakuan Rio. Kalau selama ini Rio tidak menerimanya karena takut merepotkan, Ify masih bisa menerimanya. Namun, kalau Rio adalah seorang gay? Ify terlalu takut untuk menerima kenyataan itu.



Rio menatap cewek mungil yang seluruh badannya terguncang itu. Rio ingin sekali menarik dan memeluknya, tetapi Rio harus menahan semua keinginannya itu.



"Kalo lo mau gue pergi, sekarang juga gue pergi dari sini," kata Rio lagi, membuat Ify mendongak. "Gue nggak akan ganggu lo lagi."



Ify, yang masih belum sanggup bicara, tiba-tiba meraih kaus Rio. Rio lalu menatap Ify yang menggeleng lemah.



"Bukan salah kamu, kok," ujar Ify di sela-sela isakannya. "Jangan pergi."



Rio menatap cewek itu dan menariknya ke dalam pelukannya. Rio mendekap cewek itu erat sementara Ify terus terisak. Sekarang, Rio benar-benar ingin waktu berhenti.



"Rio...," kata Ify. "Kalo kamu bilang kamu bohong sekarang, aku masih bisa maafin kamu."



Seketika, Rio kembali ke alam sadarnya. Dia melepaskan Ify dan menatapnya dalam-dalam.



"Maaf," kata Rio membuat Ify kembali terisak. "Tapi, gue seneng bisa ketemu sama orang kayak lo. Suatu saat lo pasti bisa ketemu sama orang yang jauh lebih baik dari gue."



Ify masih terisak sampai akhirnya Rio memegang kedua pipi Ify dan menghapus air matanya. Rio kembali menatap mata Ify dalam-dalam.



"Ify," kata Rio membuat mata Ify melebar tak percaya. "Maaf. Dan, terima kasih."



Rio kemudian berdiri dan bergerak turun sementara Ify masih terpaku. Ify memegang pipinya sendiri, mencoba untuk merasakan kembali kehangatan tangan Rio. Ify kemudian terisak lagi, setelah suara Rio saat memanggil namanya untuk pertama kalinya bergaung di kepalanya.



Kenyataan ini terlalu menyakitkan.





***



Alvin sedang mengerjakan tugas kuliahnya saat terdengar suara ketukan keras di pintu. Diliriknya jam. Pukul sepuluh lebih dua puluh malam. Heran, Alvin menghampiri pintu dan membukanya. Rio segera masuk dengan terburu-buru. Napasnya tersengal-sengal, sama seperti dua malam yang lalu.



"Rio? Sekarang kenapa lagi?" tanya Alvin bingung sementara Rio mondar-mandir seperti orang ling-lung.



"Untuk sementara ini beres," gumam Rio kalut. Alvin menatapnya cemas.



"Yo? Apanya yang beres?" tanya Alvin.



"Untuk sementara ini, nggak usah cari kost dulu," kata Rio lagi, masih mondar-mandir. "Sekarang, kita fokusin buat nyari Gabriel dulu."



"Kenapa, sih?" tanya Alvin lagi, gerah sendiri melihat kelakuan sahabatnya yang persis orang tidak waras. "Kenapa nggak jadi pindah kost? Lo apain cewek itu sampe dia nyerah?"



"Nggak penting," kata Rio sambil menjambak-jambak rambutnya sendiri. "Sekarang..."



"Rio, liat gue!" sahut Alvin sambil menarik kaus Rio sehingga Rio mau tak mau melihat temannya itu. "Nggak mungkin nggak penting kalo kelakuan lo jadi aneh begini!"



Rio menatap Alvin kesal, dia melepaskan diri dari cengkeraman Alvin.



"Udahlah, Vin, yang penting semuanya udah beres," ujar Rio sambil membelakangi Alvin, dia mengangguk-angguk sendiri. "Besok ke kampus mana, ya..."



Mendadak, Alvin membalik tubuh Rio dan memukulnya tepat di pelipis hingga jatuh. Rio mengerang kesakitan sambil menatap temannya garang.



"Apa maksud lo, Vin?" seru Rio tidak terima.



"Lo sinting, Rio!" sahut Alvin emosi.



"Gue bukan sinting, Vin, gue penyakitan!" Rio balas menyahut, lalu tertawa sendiri. Alvin menggeleng tak percaya, dia menarik kaus Rio dan meninjunya sekali lagi. Bibir Rio sekarang sudah sobek.



Darah segar mengalir dari bibir Rio, tetapi Rio tak melakukan apa pun. Tinjuan Alvin yang terakhir tadi sudah membuatnya sadar.



"Apa, Rio?" tanya Alvin geram, masih mencengkeram kaus Rio. "Apa yang lo bilang sama dia?"



"Gue bilang kalo gue gay," kata Rio membuat pegangan Alvin pada kausnya terlepas. "Gue udah bikin dia percaya

kalo gue nyari Gabriel gara-gara dia nularin gue HIV lewat hubungan seks."



Alvin mundur perlahan mendengar cerita Rio. Dia benar-benar tidak bisa memercayai pendengarannya.



"Kenapa...," katanya tercekat. "Kenapa lo harus berbuat sejauh ini? Apa lo nggak mikir gimana perasaan cewek itu mendengar semua kebohongan lo itu?"



Rio terkekeh, dia menyeka darah yang sudah mengalir ke dagunya.



"Tapi gue berhasil, kan? Dengan begini, dia nggak bakalan ngedeketin gue lagi," kata Rio. "Dia udah nyerah. Sekarang, gue bebas dari masalah nggak penting ini."



"Nggak penting, ya?" kata Alvin. "Lo sampe mau gila begini, dan lo masih bilang ini bukan masalah penting?"



Rio terdiam, lalu menatap Alvin garang. Dan tanpa diduga Alvin, Rio tiba-tiba bangkit dan menyerbu Alvin. Alvin berhasil terkena bogem mentahnya sampai terpelanting.



"Terus lo mau gue gimana, Vin?" sahut Rio kalap. "Selama ini, gue cerita ini-itu sama lo, lo masih belum ngerti juga, hah? Kalo gue bakal mati dan dia bakal menderita?"



Alvin bangun, dia balas meninju perut Rio.



"Lo mau mati, kan, Yo?" seru Alvin sementara Rio menunduk menahan sakit. Alvin kemudian meninjunya lagi sampai



Rio terjatuh. "Lo mau mati, kan? Mati sekarang aja lo, Rio!"



Rio menatap Alvin sengit, dia tak bisa bangun karena Alvin meninjunya tepat di ulu hati.



"Lo mati sekarang atau nanti, sama aja, Rio, dia bakal sama menderitanya!" sahut Alvin lagi. "Tapi, seenggaknya kalo lo jujur sama dia sekarang, dia bisa bahagia bareng lo walaupun sebentar!"



Rio menatap Alvin lagi.



"Alvin, coba lo ngerti perasaan gue," kata Rio pelan, emosinya sudah reda. "Gue bukannya nggak pernah mikirin masalah ini. Tiap malem kepala gue serasa mau pecah mikirin ini, tapi gue akhirnya tetep sampai pada satu kesimpulan, yaitu kalo dia nggak boleh menghabiskan waktu dia sama orang kayak gue walaupun sebentar."



Rio membetulkan posisi duduknya sementara Alvin masih bergeming.



"Kalo gue hentikan sekarang, dia pasti bisa nemu pengganti gue," kata Rio. "Ntar juga dia lupa sama gue."

Alvin menghela napas kesal, tak tahu harus mengatakan apa lagi pada orang keras kepala seperti Rio.



"Lo pikir, gimana perasaan gue ngeliat dia nangis, Vin?" kata Rio lagi, membuat Alvin tertegun. Rio berbaring. Alvin duduk di depannya, menatap Rio.



"Lo... baik-baik aja, kan, Rio?" tanya Alvin kemudian.



"Cuma sakit sedikit," jawab Rio sambil nyengir walaupun dia tahu betul kalau Alvin tidak sedang menanyakan luka luarnya.



"Lo nggak bakal menyesal sama keputusan lo ini?" tanya Alvin lagi, membuat cengiran di wajah Rio lenyap.



"Mungkin," kata Rio. "Tapi, untuk sekarang, cuma ini yang bisa gue lakuin untuk dia. Gue bakal lakuin apa aja supaya dia nggak berurusan lagi sama gue. Apa aja."



"Lo orang paling keras kepala yang pernah gue kenal," ujar Alvin. "Kalo gue jadi lo, gue mungkin nggak akan sekuat lo. Gue mungkin nggak bakal ngelepas orang yang sayang sama gue. Gue rasa, sekarang gue tau kenapa gue nggak bisa ngerti jalan pikiran lo."



Rio tidak bertanya lebih lanjut, tangannya sudah mengepal keras.



"Ini karena lo orang baik," lanjut Alvin. "Gue kesal, kenapa semua ini harus terjadi sama lo. Dari semua orang yang gue kenal, lo adalah orang yang paling berhak buat bahagia."



Rio terdiam beberapa saat, sementara Alvin sudah menjambak-jambak rambutnya kesal. Rio tahu, Alvin sedang menyesali kejadian lima tahun yang lalu, saat Alvin tak bisa melakukan apa pun untuk menyelamatkannya.



"Vin, lo nggak usah nyalahin diri lo sendiri," ujar Rio kemudian.



"Maaf, Yo," ujar Alvin. Air matanya sudah menetes, tetapi Rio pura-pura tak melihatnya. "Gue bener-bener minta maaf."



Rio tak menjawab karena dia sendiri sedang bersusah payah untuk tidak menangis. Sekarang, Rio juga menyesal

telah memberitahu Alvin soal penyakitnya. Dia pikir, Alvin satu-satunya orang yang cukup kuat untuk menerimanya, namun ternyata, bahkan Alvin pun tidak sanggup.



Seharusnya, dari awal Rio tidak meminta bantuan pada siapa pun. Seharusnya, memang dari awal Rio hidup sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar