Di depan pintu, Bunda tertegun mendapati putrinya pulang berlinang
air mata. Saat beliau hendak bertanya, Ify malah berlari ke kamar. Sivia
yang masuk belakangan menjadi sasaran pertanyaan Bunda, Gabriel, juga
Mbok Sum.
Di kamar, Ify menangis sejadi-jadinya. Hatinya hancur berkeping-keping seakan tak bisa disatukan lagi.
Rio
benar-benar kejam. Dia memberi Ify begitu banyak perhatian namun
akhirnya mengecewakannya. Memberinya mimpi yang begitu indah namun
kemudian membangunkannya dari tidur dan kembali ke kenyataan yang hampa.
“Fy, boleh Bunda masuk?”
Tak ada jawaban.
“Sayang, kamu kenapa?” Bunda kembali mengetuk pintu berwarna biru muda itu.
Tetap tak ada jawaban.
“Fy, ini Sivia. Gue boleh masuk?” ganti Sivia yang mencoba membujuk. “Lo nggak pa-pa, kan?”
Tetap nggak ada hasilnya. Jangankan membuka pintu, bersuara aja nggak.
“Apa
perlu kita dobrak pintunya, Bunda?” Yang ini suara Gabriel. Anehnya,
kalimat Gabriel ini malah menggerakkan Ify untuk membuka pintu.
“Ify
nggak pa-pa kok,” kata Ify dengan wajah ditekuk. Matanya tampak sembap
dan membesar karena terus-terusan mengeluarkan air mata. Air mata yang
masih saja mengalir tanpa bisa dikendalikan.
Bunda,
Gabriel, Sivia, dan Mbok Sum memandangnya prihatin. Ify semakin sedih
melihat mereka. Dipeluknya Bunda dan kembali menangis sejadi-jadinya.
“Sudahlah, Fy. Relakan saja. Kalau Rio memang jodohmu, dia takkan lari ke mana,” hibur Bunda.
Ify hanya menjawab dengan tangisnya.
Bunda
mengelus lembut rambut putrinya. “Maafkan Bunda, Sayang. Hanya karena
Bunda buka katering, kamu jadi dipermalukan oleh mereka,” Bunda
ikut-ikutan menangis.
Ify melepas pelukannya. Lalu
perlahan diusapnya air mata Bunda. Dia berusaha tersenyum di antara
kesedihannya yang mendalam. “Bunda tidak perlu meminta maaf. Ify bangga
kok sama Bunda. Bunda telah membesarkan kami seorang diri. Ify nggak
pernah merasa malu. Dari katering Bunda-lah Ify makan dan sekolah, juga
merasakan kebahagiaan yang dirasakan anak-anak lain sepantaran Ify.”
Suasana haru menyelimuti keluarga Ify. Mbok Sum dan Sivia bahkan ikut
menitikan air mata.
“Udah dong, kok malah jadi Ify sih yang menghibur kalian? Harusnya kan kalian yang menghibur Ify.”
Serta-merta
semua memeluk Ify bersamaan. Ify jadi merasa tak sendiri lagi, walau
rasa sakitnya atas pengkhianatan Rio tak kunjung reda.
@@@@@
Malam
itu Sivia menginap di rumah Ify. Dia sendiri yang menawarkan diri
menemani Ify yang sedang kacau itu. Dan usul itu langsung disetujui
seluruh keluarga. Terutama Gabriel, yang mengancam akan mendatangi
sekolah Rio untuk membuat perhitungan dengan cowok itu.
“Lihat saja. Akan gue remukin dia,” ancamnya.
“Nggak
usah, Kak. Kalo Kak Iyel sampe masuk penjara gara-gara Rio, Ify lebih
nggak rela, lagi,” kata Ify. Mendengar itu Gabriel akhirnya meninggalkan
kamar Ify tanpa mengatakan apa-apa lagi.
Sivia mengenakan baju tidur Ify. Ia berbaring di sebelah Ify yang masih berlinang air mata. Mereka berhadap-hadapan.
“Fy,
gue minta maaf, ya. Karena gue, lo jadi seperti ini.” Sivia benar-benar
merasa sangat bersalah atas apa yang telah dilakukannya.
Ify
menggeleng pelan. “Bukan salah lo kok, Siv. Gue malah berterima kasih,
karena lo, gue jadi tahu kebusukkan Rio,” jawab Ify. Air matanya kembali
menetes. Sivia menyapu air bening itu dengan jemarinya.
“Nggak,
Fy, ini semua salah gue.” Sivia kelihatan bersungguh-sungguh dengan
perkataannya. “Kalo aja gue nggak ngasih tahu Ashilla tentang hubungan
lo sama Rio...” Sivia menundukkan kepala.
“Cukup, Siv.
Berhentilah menyalahkan diri sendiri. Kalo Rio nggak berkhianat, ini
nggak bakal terjadi, walaupun lo ngasih tahu Ashilla kalo gue pacar Rio.
Lagian gue bangga ama lo yang berani berkata jujur ke gue.” Ify
berusaha tersenyum.
Sivia membalas senyuman itu. “Terima
kasih.” Ia terdiam sebentar. “Fy, apa mungkin ya peristiwa tadi hanya
akal-akalan Ashilla aja? Rio...”
Cukup, Siv. Kita nggak
usah ngebahas itu. Udah malam. Tidur yuk. Lo pasti capek juga, kan?” Ify
memotong kalimat Sivia. Ia tak ingin membicarakan cowok bernama Rio
lagi.
“Tapi, Fy...”
“Sssttt..., kita bobo, oke?”
“Baiklah, tapi lihat aja. Gue akan cari jawaban buat lo,” janji Sivia.
“Makasih, Siv.” Ify tersenyum lelah. Kemudian dipejamkannya matanya, mencoba tidur.
@@@@@
“Yo,
lo mau ke mana?” tanya Ify di antara guyuran hujan. Dilihatnya Rio
berjalan ke arah Ashilla tanpa memedulikannya. “Yo, tunggu...! Tunggu,
Yo... Jangan pergi sama dia, Yo. Jangan..., jangan pergi, Yo..., Rio...”
Tubuh
Ify menggigil. Suhu badannya tinggi sekali. Sivia terbangun saat tangan
Ify yang menggapai-gapai tak sengaja menyentuh kulitnya.
“Ya Tuhan..., Ify! Lo demam.” Sivia panik mendapati keadaan Ify.
“Rio,
jangan pergi... Yo..., jangan pergi...” Ify terus-terusan mengigau.
Rupanya dia tidak sadarkan diri. Berkali-kali Sivia menggoyangkan
tubuhnya, tapi tetap saja Ify mengigau.
“Yo, mau ke mana... Jangan tinggalin gue, Yo...” Air mata mengalir dari mata Ify yang terpejam.
Karena panik Sivia memanggil Gabriel, Bunda, dan Mbok Sum. Mereka langsung berbondong-bondong ke kamar Ify.
Bunda
terlihat paling cemas. Beliau langsung menyuruh Gabriel menelepon
dokter, sedang Mbok Sum mengambil air untuk mengompres. Bunda dan Sivia
tetap di tempat, menjaga Ify yang masih saja mengigau.
“Dia
kecapekan, dan sepertinya sedang memikirkan sesuatu yang berat. Kalau
dibiarkan begini terus, dia bisa terserang tifus,” Dokter Faruk yang
tinggal tak jauh dari rumah keluarga Ify, memberitahu analisisnya.
“Apa nggak pa-pa kalau dia terus mengigau begini, Dok?” Bunda terlihat sangan cemas.
“Dia
mengigau sebagai reaksi suhu tubuhnya yang tinggi. Kalau nanti panasnya
turun, dia akan berhenti mengigau. Tapi saya sarankan, panggilkan orang
yang disebutnya dalam igauan itu. Karena kalau kondisinya tak juga
membaik, terpaksa harus dibawa ke rumah sakit,” nasihat sang dokter.
Bunda
dan Sivia berpandang-pandangan. Lalu Sivia mengambil inisiatif. “Biar
saya yang menghubungi Rio, Bunda,” katanya menawarkan bantuan. Dia pun
segera berdiri saat Bunda mengangguk.
Tapi baru saja Sivia melangkah ke luar kamar, Rio sudah muncul di ambang pintu. “Yo, elo...?”
Rio tidak memedulikan ucapan Sivia. Dia langsung menerjang masuk dan menghampiri Ify yang tergolek tak berdaya di tempat tidur.
Tadinya
Gabriel hendak menerjang Rio saat itu juga, tapi Bunda mencegahnya dan
menggeleng pelan pada putranya itu. Gabriel terdiam, dan menuruti
larangan Bunda.
“Ify. Ify... Bangun, Sayang, ini gue,
Rio,” ujarnya seraya menggenggam erat tangan Ify yang panas seperti
terbakar. Ify tetap mengigau memanggil nama Rio.
“Yo, jangan pergi, Yo...” suara Ify semakin lemah. Meski begitu matanya tetap terpejam.
Rio
menciumi tangan Ify sambil terus membisikkan kalimat-kalimat sayangnya.
Menyaksikan semua itu, Bunda pun akhirnya mengajak yang lain keluar dan
membiarkan Ify berdua saja dengan Rio.
“Fy, maafin gue,
Fy... gue udah bohong ke elo. Tapi Fy, gue sayang lo, Fy... sayang
banget. Bangun, Fy.” Rio duduk di samping tempat tidur Ify. Dia sampai
tak sadar telah menitikkan air mata. “Gue ke sini karena lo manggil gue.
Makanya lo mesti bangun dan dengarkan penjelasan gue.” Rio terus
menemani Ify seperti itu. Sampai lidahnya kelu. Sampai dia sendiri
ketiduran saking capeknya.
Di rumahnya semalaman itu Rio
tak bisa tidur. Dia terus memikirkan bagaimana cara meminta maaf kepada
Ify. Dan ketika akhirnya tertidur, dia malah bermimpi Ify memanggilnya
dan terus menangis mencarinya. Siapa sangka itu terjadi di dunia
sebenarnya. Betapa hancur hati Rio mengetahuinya.
Rio
terbangun saat ia merasa tangannya diguncang-guncang dengan kasar. “Fy,
syukurlah akhirnya lo sadar juga. Gimana perasaan lo?” Ia mencoba
menggapai tangan Ify dan membawanya ke bibirnya. Namun Ify
mengibaskannya lemah.
“Pergi,” usir Ify parau. Ia sama
sekali menolak memandang Rio. Jelas benar kebencian yang terlihat di
mata Ify yang memandang sayu langit-langit kamarnya.
“Fy,
dengar dulu penjelasan gue. Gue...” Rio terus berusaha menjelaskan. Tapi
sekali lagi Ify menampiknya tanpa melirik sedikit pun.
“Cukup. Pergi!” ucap Ify tegas di antara suaranya yang lemah.
Rio
tak punya pilihan lain, ia tak ingin memaksa Ify mencerna sesuatu yang
malah akan membuat keadaannya semakin memburuk. Dengan berat hati ia pun
mengalah dan memilih keluar dari kamar Ify.
Sepeninggal
Rio, Ify kembali meneteskan air mata. Kalau saja air mata bisa
melunturkan kesedihannya. Tapi kenapa hatinya malah semakin pedih
terasa? Dia terus terdiam dalam tangis. “Ayah, Ify sudah salah pilih.
Rasanya Ify ingin menyusul Ayah sekarang juga,” rintihnya sendu.
BERSAMBUNG........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar