Suasana SMA 114 sudah sangat sepi sore itu. Maklum, haru Sabtu, hari nge-date sedunia.
Anehnya, selain Pak Bon penjaga sekolah, masih aja ada yang betah tinggal sampai sesore itu.
Alyssa Saufika Umari namanya. Gadis mungil berambut sebahu dengan
dagu yang lancip serta hidung yang mancung itu tampak asyik di depan
komputer sekretariat OSIS. Dia sedang menyelesaikan proposal bakti
sosial yang menjadi tanggung jawabnya sebagai sekretariat OSIS.
Sebenarnya sih, tuh tugas nggak harus selesai hari ini. Masih banyak
waktu untuk mengerjakannya. Tapi Ify –panggilan kecil gadis itu- yang
memegang teguh prinsip “Jangan Tunda Apa yang Bisa Kamu Lakukan Hari
Ini”, kekeuh menyelesaikan tugasnya hari itu juga.
Namun selain itu ternyata ada alasan lain yang membuatnya berusaha bertahan di sekolah sampai sesore itu.
Ify ingin memberi waktu untuk Alvin dan Pricilla, dua sohib
kentalnya yang udah jadian untuk berduaan saja di malam nge-date ini.
Ify tahu dirilah. Karena dia jomblo, bukan berarti waktu pacaran
sohibnya harus terganggu untuk nemenin dia, kan?
So, dengan alasan menyelesaikan tugas OSIS-nya, Ify berhasil menggiring kedua sohibnya untuk pulang duluan tanpa dirinya.
“Selesai juga akhirnya.” Ify meregangkan kedua tangannya. “Capek
juga ngedon di sini sesorean.” Dibuangnya napas panjang penuh kelegaan,
lalu diliriknya jam dinding di atas komputer.
“Hah?! Setengah enam!” teriaknya kaget. Dengan gerak cepat Ify
mematikan komputer dan meninggalkan ruang OSIS setelah menguncinya lebih
dulu.
Ify berjalan menyusuri koridor sekolah. Bang Amir dan Pak Bon yang
biasanya selalu di situ, entah pergi ke mana. Sepi. Ify jadi bergidik
sendiri. Apalagi saat terngiang cerita Oik siang tadi.
“Lo tau nggak, cerita sepasang kekasih yang meninggal bunuh diri di
ruang laboratorium sekolah kita?” Oik si ratu gosip mulai mengobral
story. “Katanya nih, Fy, mereka suka menampakkan diri menjelang magrib.”
Sebenarnya Ify paling nggak percaya cerita-cerita hantu begituan.
Tapi suasana sore ini sangat mendukung terjadinya hal-hal mistik. Ify
jadi kepikiran cerita Oik.
Ia berjalan setengah berlari. Bahkan saat melewati ruang
laboratorium, Ify lari betulan. Dalam hati ia berharap bisa segera
mencapai pintu gerbang.
Di pintu gerbang Ify merasa lega luar biasa. “Woi! Coba aja kejar
gue kalo bisa!” teriaknya congkak ke arah halaman sekolah yang kosong.
Entah kepada siapa teriakan itu ditujukan. Tapi yang pasti, dengan
senyum penuh kemenangan Ify berbalik dan bersiap pulang kerumah yang
jaraknnya nggak jauh dari sekolah.
Ya, Ify memang tinggal di kompleks perumahan yang jaraknya Cuma lima
belas menit dari sekolah. Dan ia baru aja akan melangkahkan kakinya,
ketika...
“Ify.”
Siapa itu? Pikir Ify. Jantungnya berdebar tak beraturan.
Jangan-jangan tuh setan bener-bener ngikutin gue. Wah, bisa nggak pulang
selamanya nih gue... ify berdiri terpaku. Ia tak berani menengok ke
araha sal suara.
“Ify.”
Ah, suara itu lagi. Apa mungkin itu Alvin, ya? Dia pasti nggak tega
lihat gue sendirian, terus ngajak Prissy –panggilan akrab dari Pricilla-
jemput gue ke sini. Ya, ya... kenapa mesti takut kalo begitu? Perlahan
Ify menengok.
Tak ada Alvin ataupun Prissy. Satu-satunya manusia yang berdiri
bersandar di gerbang sekolah adalah seorang cowok asing yang tengah
asyik merokok. Dan nggak mungkin banget tuh cowok yang manggil Ify.
Seumur-umur Ify belum pernah melihat cowok itu.
Aduuh... nggak ada siapa-siapa, lagi. Masa sih hantu-hantu itu
benar-benar ada? Kalo emang ada, terus kenapa mesti gue yang diganggu?
Sebodo ah. Gue kan nggak berbuat jahat sama mereka. Jadi, sekali lagi
ada yang manggil gue, gue tantangin aja sekalian. Dikiranya takut, apa?
Dari rasa takut yang sangat, Ify kini jadi marah karena merasa dipermainkan.
“Ify.”
Suara itu lagi...
Kali ini habis sudah kesabaran Ify. Dengan garang ia menoleh ke
belakang. Bukan ke halaman sekolah, kali ini ia menantang langit sore
yang mulai gelap. “Heh! Keluar lo kalo berani!” ucapnya lantang.
“Hi... hi... hi...”
“Eh, malah ketawa! Ayo keluar! Kalo lo pikir gue takut, lo salah besar. Keluar lo!”
“Ha... ha... ha... gue juga udah keluar kok dari tadi, lagi. Itu kalo lo menganggap gue penampakan. Ha... ha... ha...”
Selma tertegun. Pandangannya beralih ke cowok asing yang kini memandang dan tersenyum kearahnya.
“Lo...”
“Ya, gue...”
“Siapa lo?”
“Rio.”
Rio? Siapa Rio? Memangnya gue pernah punya temen Rio? Perasaan nggak ada tuh. Jadi, siapa nih cowok? Kok kenal gue?
Bermacam pertanyaan singgah dikepala Ify. Tapi tak satu pun keluar
dari mulutnya. Yang ada malah nasihat Mbok Sum yang tahu-tahi terngiang
di telinganya.
“Zaman sekarang ini Mbak Ify kudu ati-ati. Apalagi Mbak Ify kan
ayu.” Mbok Sum, pembantu kesayangan keluarga Ify bernasihat ria seperti
biasa.
“Apa hubungannya zaman ama cantik, Mbok?” tanya Ify. Ia bingung
dengan perkataan Mbok Sum yang sudah seperti neneknya sendiri itu.
“Lho ya hubungannya erat sekali toh, Cah Ayu. Zaman sekarang ini
banyak orang pada nekat. Penculikan, pemerkosaan, pembunuhan sudah jadi
hal biasa. Dan biasanya korbannya cewek ABG ayu kayak Mbak Ify gini.
Makanya Mbak Ify mesti ati-ati. Jangan mudah percaya sama orang yang
baru dikenal. Apalagi yang keren dan kelihatan kaya. Biasanya, mbak, itu
Cuma kedok.”
Wuaaa... jangan-jangan orang kayak begini nih yang dimaksud Mbok Sum. Aduh... gimana dong?
Sementara Ify sibuk dengan pemikirannya, cowok yang mengaku bernama
Rio itu menghampirinya. Lima langkah lagi Rio akan dengan mudah
menggapai Ify. Ayolah, Fy, berpikirlah! Perintah Ify pada dirinya.
Tiga langkah...
Dasar bodoh! Mikir!
Dua langkah...
LARI...!!!
Dan perintah itulah yang menyelamatkan Ify. Setidaknya, untuk
sementara. Karena toh sepertinya Rio bukan tipe yang bakal melepas
mangsanya begitu saja.
“Hei... jangan lari!” Tuh, kan? “Ify, berhenti...!” teriak Rio.
“Sialan, kecil-kecil cepat juga larinya,” gumam Rio sambil terus
mengejar. “Ify, berhenti!” panggilnya lagi.
“Lo yang berhenti! Ortu gue tuh miskin. Gue ini Cuma anak yatim. Lo nggak bakal dapat apa-apa!”
Gila, ngapain juge gue sahutin? Dasar bodoh. Udah, lari aja, Fy...
“Gue nggak peduli walaupun lo Cuma gelandangan! Gue nggak butuh harta lo!”
Nah lho, dia nggak minta tebusan. Berarti dia pemerkosa dong? Atau pembunuh...! wuaa... Mbok Sum..., tolong...!
Selma mempercepat larinya. Dia terus membayangkan home sweet
home-nya yang berada tepat di balik taman perumahan itu. Rencananya
sesampai di rumah dia akan minta tolong kakaknya yang jago karate untuk
men-ciat-ciat orang yang kemungkinan besar pemerkosa sekaligus pembunuh
itu. Atau, kalau sang kakak belum pulang kuliah, dia bisa ngumpet di
belakang Mbok Sum yang pasti dengan senang hati akan mempersenjatai
dirinya dengan sapu dan kemoceng, melindungi nona mudanya dari cowok
yang kini mengejarnya.
Sayangnya, itu semua Cuma angan-angan. Gadis berdagu lancip dan
hidung mancung ini terlalu lelah dan lapar. Pandangannya jadi samar dan
tanpa sengaja kakinya tersandung batu.
“Aduh...,” Ify jatuh tersungkur tepat di taman kompleks perumahan.
Dia cepat-cepat berdiri, tapi dadanya sesak. Perlahan dia berbalik,
lantas duduk dengan lutut setengah ditekuk. Darah mengucur deras dari
lututnya.
“Tuh, kan. Jatuh deh. Lo sih, pake lari-lari segala. Nyusahin orang
aja.” Ify tersentak. Rio sudah berdiri di dekatnya. Ketakutan mulai
merayapi hati dan pikiran Ify.
Ya Tuhan..., tolonglah hamba. Kalaupun hamba harus mati hari ini jangan biarkan hamba mati dalam keadaan ternoda.
Rio semakin mendekat. Dia berjongkok di samping Ify. Diperhatikannya gadis mungil yang sedang memejamkan mata di depannya itu.
Tuhan..., tolonglah hamba. Ify terus berdoa sebisanya.
Sekonyong-konyong Ify merasa tubuhnya diangkat. Hah..., kok tubuh
gue tiba-tiba melayang? Masa sih gue udah mati? Secepat ini? Kok nggak
kerasa apa-apa? Tapi... bau harum apa ini? Wangi banget! Bau taman
surgakah?
Perlahan Ify membuka mata. Dia tidak segera menyadari apa yang
terjadi. Tapi begitu sadar dirinya tengah berada dalam gendongan orang
yang sama sekali nggak dia kenal, Ify langsung menjerit dan memberontak.
“Apa-apaan sih lo?! Lepasin! Gue masih kecil. Lepasin!” Ify terus menjerit dan meronta dalam bopongan Rio.
“Heh! Bisa diam, nggak? Lo emang kecil, tapi kalo lo bergerak terus, gue bisa ikut jatuh, tahu!”
Ify tak menggubris kata-kata cowok itu, dia malah memukul-mukul Rio dengan kedua tangan mungilnya. “Turunin gue! Turunin!”
Sial. Rio sama bandelnya dengan Ify. Dia tetap membopong cewek mungil itu tanpa menggubris teriakannya.
“Nah, di sini kan enak.” Rio menurunkan Ify di kursi taman, di bawah lampu hias yang mulai menyala di sekeliling taman.
Ify benar-benar pasrah sekarang. Dia nggak mungkin lari dengan lutut
terluka. Gadis itu terus saja diam tanpa berhenti memikirkan masa
depannya yang kini terancam.
“Kok diam? Udah capek marah, ya?” Cowok yang mengaku bernama Rio itu mulai ngajak ngobrol.
“Lo... lo nggak bakal me... merkosa a... anak kecil, kan?” tanya Ify
terbata sambil menelan ludah. Rio memangdangnya. Ia heran mendengar
ucapan cewek itu. Tapi sesaat kemudian...
“Ha... ha... ha...”
Ify mengerutkan dahi. “Kok ketawa?!” tanyanya bingung. Tapi entah
kenapa tawa Rio membuat rasa takut Ify perlahan memudar. Masa sih
pemerkosa menertawakan dirinya sendiri? Nggak mungkin, kan?! Pikiran itu
membuat Ify sedikit tenang.
TO BE CONTINUE.........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar