“Ha... ha... ha...”
Ify mengerutkan dahi. “Kok ketawa?!” tanyanya bingung. Tapi entah
kenapa tawa Rio membuat rasa takut Ify perlahan memudar. Masa sih
pemerkosa menertawakan dirinya sendiri? Nggak mungkin, kan?! Pikiran itu
membuat Ify sedikit tenang.
“Ha... ha... ha... jadi lo kira gue pemerkosa, gitu? Picik juga
pikiran lo tentang gue. Ha... ha... ha... pake lari segala. Jatuh, lagi.
Ha... ha... ha...”
“Habis, apa dong namanya? Gue kan nggak kenal siapa lo. Tahu-tahu lo
ada di belakang gue, manggil-manggil gue, senyum ke gue. Kalo lo jadi
gue, emang apa yang ada di pikiran lo tentang cowok asing sok aksi
gitu?!” protes Ify. Dia nggak terima diketawain cowok asing yang
menjengkelkan.
Rio berusaha menghentikan tawanya, meski tidak cukup berhasil. “Oke,
oke. Gue maklum. Tapi masa sih gue pemerkosa? Dapet pikiran konyol dari
mana sih lo?”
“Dari Mbok Sum.” Tadinya Ify mengira, Rio akan bertanya, Siapa Mbok
Sum? Nggak disangka cowok keren berperawakan tinggi itu malah ketawa
lagi.
“Ha... ha... ha... Mbok Sum, bener juga. Mbok Sum memang selalu
aneh-aneh pikirannya. Tapi lebih aneh lagi, lo percaya gitu aja
omongannya Mbok Sum.”
Ify melongo tak percaya. “Lo... lo kenal Mbok Sum?”
Rio menghentikan tawanya. Ia nggak langsung menjawab. Kini matanya
tertuju pada luka di kaki Ify. “Punya tisu?” tanyanya kemudian.
“Tapi... Mbok Sum?”
“Punya nggak?” suara Rio meninggi.
“Eh, pu... punya.” Ify tampak ketakutan.
“Ya udah sini, kasih gue.”
Ify merogoh tasnya dan menyerahkan tisu yang diminta Rio.
Cowok misterius itu berdiri, pergi ke air keran di sudut taman, dan kembali lagi dengan tisu basah di tangan.
“Tahan bentar, perih sedikit.” Dengan lembut Rio membersihkan luka
Ify. Sebentar-sebentar Ify meringis, tapi ditahannya sakitnya. Nggak
seru dong, kalo mesti ngeluh di depan cowok nyebelin dan sok ngatur yang
sedang berjongkok membersihkan lukanya ini. Harga diri bisa jatuh bo!
Setelah lukanya bersih, Rio mengambil saputangan dari saku
celananya. Ditiup-tiupnya luka Ify hingga kering, lalu diikatnya
saputangan itu hingga luka Ify terlindung.
“Hei, tunggu dulu!” pekik Ify tiba-tiba.
“Kenapa? Sakit ya? Tahan bentar,” jawab Rio tanpa menghentikan aktivitasnya.
“Bukan begitu. Saputangan lo bisa kotor kena darah gue.”
Rio menghentikan kesibukkannya. Ditatapnya Ify tajam. “Lo kira gue Cuma punya satu saputangan, gitu?”
“Bu... bukan begitu. Tapi...”
“Kalaupun gue Cuma punya satu, gue masih bisa beli yang baru. Tapi
kalo kaki lo yang sakit itu infeksi dan akhirnya diamputasi, lo nggak
bakal bisa nemuin kaki yang sama di toko mana pun itu. Ngerti?”
“I... iya ngerti,” Ify menjawab gugup.
“Kalo ngerti, diem dan jangan banyak protes.” Rio kembali melanjutkan membebat lika Ify.
“I... iya,” Ify mengangguk cepat. Sial, siapa sih nih cowok? Kenal
aja nggak, main ngatur orang seenaknya aja. Ify dongkol banget, meski
sialnya, ia harus membenarkan semua ucapan Rio. Sebel!
“Nah, finish. Nanti sampe rumah, minta tolong Mbok Sum bersihin lukanya pake antiseptik.”
“Lo siapa sih?” tanya Ify. Tatapannya penuh selidik. Rio balas menatap, kemudian tersenyum.
“Gue Rio,” jawabnya singkat.
“Gue nggak nanya nama lo. Gue tanya, lo siapa?”
Rio tak langsung menyahut. Pandangannya menerawang.
“Gue nggak bisa nyebut diri gue pangeran tampan berkuda putih yang
datang mempersembahkan mawar putih ke elo, kan?! Karena gue bukan
pangeran. Gue juga nggak naik kuda putih. Ditambah lagi, gue nggak bawa
mawar putih buat lo. Yang gue bawa hanya cinta. Cinta tulus gue buat lo.
Itulah makanya gue Cuma bisa bilang... nama gue Rio.”
Sumpah, Ify terkejut mendengar ucapan Rio barusan. Bahkan Prissy dan
Alvin yang sohib kentalnya aja nggak tahu tentang cinta dalam
khayalannya. Tentang pangeran tampan, kuda, dan mawar putih. Pokoknya
semuanya. Tapi cowok asing ini...
Ify bahkan baru melihatnya hari ini. Tapi cowok ini..., dia tahu
segalanya. Gak mungkin ini hanya kebetulan, kan? Tidak ada kebetulan
kayak begini. Dan nggak mungkin Rio punya indra keenam yang bisa baca
pikiran orang. Karena toh saat ini Ify nggak lagi mikirin cinta
khayalannya itu. Jadi, dari mana cowok ini bisa tahu segalanya?
Belum lagi Ify mengungkapkan rasa penasarannya, kejutan lain kembali menyusul.
Rio tiba-tiba menggenggam tangannya. Dibawanya jemari Ify ke bibir
dan lantas dikecupnya mesra. Debar jantung Ify langsung berantakan.
Sial, apa sih maunya cowok kurang ajar ini? geramnya. Tapi toh ia tidak
melakukan apa-apa untuk menghentikan sikap kurang ajar cowok yang kini
tengah menatapnya tersebut.
“Will you marry me?”
Dueer...!!!
Mulut Ify menganga, matanya membelalak tak percaya. Serta-merta ia
menarik tangannya. Beberapa kejap kemudian, dicubitnya sendiri
lengannya. Dan... “Aow...!” Ify menjerit. Sakit. Ya Tuhan..., ini bukan
mimpi!
Dan cowok itu...
Rio mengamatinya lembut.
“Gue tahu, lo pasti bingung dengan semua ini, Fy,” katanya tenang.
“Ya terang aja gue bingung. Gue dilamar sama orang yang nggak gue
kenal, yang wajahnya aja baru gue liat hari ini, dan bahkan yang gue
kira penculik, pemerkosa, sekaligus pembunuh. Menurut lo, gue mesti
gimana? Tersenyum lalu bilang, Ya, gue mau merit sama lo. Gitu?! Ini
gila, tahu! Atau jangan-jangan lo orang sinting, lagi.” Ify mengamati
wajah Rio penuh selidik.
“Nggak perlu panik kayak begitu, Fy. Yang jelas gue kenal siapa lo. Dan lo juga bakal kenal gue, sebaik gue kenal elo.”
“Oh ya? Caranya?” Ify tersenyum sinis.
“Izinkan gue masuk ke hati lo. Setelah itu, lo bakal mengenal gue, bahkan lebih dari mengenal diri gue sendiri.”
“Oh ya?! Lalu, dari mana gue bisa tahu kalo lo nggak lagi menipu gue?”
“Terserah, lo mau percaya gue apa nggak. Yang jelas, gue nggak bakal nyakitin orang yang udah nyelamatin nyawa gue.”
Tuh, kan, main teka-teki lagi. Gimana gue bisa tahu siapa lo kalo begini terus kejadiannya. Dasar sableng.
“Udah deh, gue pusing, laper, capek. Gue mau pulang. Ngademin
pikiran. Bisa ikut-ikutan gila gue, kalo kelamaan sama lo.” Ify berusaha
berdiri. Tapi sia-sia. Sepertinya pergelangan kaki kirinya terkilir
saat jatuh tadi. Sial, lagi begini kaki malah nggak bisa diajak
kompromi, lagi! batin Ify kesal.
“Udah, naik sini!” Rio berjongkok membelakangi Ify. Ify ngerti
banget maksudnya. Rio mau menggendong dan mengantarnya pulang! Emang
dikiranya dia siapa?
“Makasih! Gue bisa pulang sendiri kok,” jawab Ify keras kepala.
“Udah deh, nggak usah bawel. Emangnya lo mau terbang, apa?! Kaki
terkilir begitu! Lagian rumah lo Cuma di belakang taman ini, kan?!”
Ify udah nggak sanggup terkejut lagi saat Rio menggambarkan letak rumahnya dengan sangat tepat.
“Ayo naik! Tunggu apa lagi?!” tawar Rio. Nada suaranya memerintah. Lagi-lagi Ify mengumpat dalam hati.
Memangnya dia kira dia siapa? Beraninya sama anak kecil. Coba aja kalo nantu ketemu Bunda, didamprat habis baru tau rasa lo!
Tapi melihat gelagat Rio yang sepertinya nggak mau ngalah dan langit
sore yang mulai gelap serta kakinya yang memang sakit, Ify akhirnya
menerima tawaran cowok misterius itu. Ia menyeret kakinya selangkah ke
arah Rio, mendekatkan tubuhnya ke punggung cowok itu, dan merangkulkan
kedua tangannya di leher cowok yang baru dikenalnya sore itu. Rio
bangkit berdiri, lalu berjalan menuju rumah Ify.
“Hei, lo belum jawab lamaran gue.” Menggendong Ify ternyata bukan
apa-apa bagi Rio. Buktinya, dia tetap aja nyerocos tanpa menghentikan
langkah.
“Memangnya meritnya besok?” jawab Ify sekenanya.
“Ya, nggaklah. Gue mesti nyelesain sekolah gue. Lo juga mesti lulus
dulu. Beru setelah itu kita merit. Tapi untuk sementara kita kan bisa
pacaran dulu. Biar lebih saling mengenal. Gue juga pengennya lo nikah
sama gue karena cinta. Bukan terpaksa. Dan itu perlu waktu. Yah, dua
tahunanlah.”
“Kalo begitu gue nggak harus jawab sekarang, kan?! Lagian lo belum
ketemu Bunda. Coba aja kalo lo bisa naklukin Bunda. Asal lo tahu aja,
Bunda itu paling anti lihat anaknya pacaran. Jadi, sori ya kalo gue
nggak bisa terima tawaran lo,” Ify berkata penuh kemenangan. Dia nggak
bohong. Bunda memang AMAT SANGAT KERAS soal pacaran. Dan Bunda bakal
langsung ngomong ketus sama Rio kalo beliau tahu tujuan Rio. Apalagi Rio
nganter putrinya pulang dalam keadaan terluka.
Hei, kamu apakan putriku?! Pergi dari sini dan jangan pernah kembali!
Ify tersenyum sendiri membayangkan Bunda marah-marah didampingi Mbok Sum yang lengkap dengan senjata bersih-bersihnya.
“Kalo gue bisa ngadepin bunda lo, apa hadiahnya?” tanya Rio tiba-tiba.
E..., dia nantang nih! Oke, siapa takut? “Mm... apa ya?”
“Kalo hadiahnya lo jadi pacar gue?!”
Hm... belum tahu rasanya kalah, rupanya. “Oke. Tapi kalo Bunda tetap
kekeuh ngusir lo, elo mesti pergi dari kehidupan gue, selamanya.”
“Deal. Berapa hari waktu gue?”
“Mm... tiga hari.”
“Oke!”
He... he... bersiaplah untuk pulang dengan wajah tertunduk, cowok
sok! Dan gue bakal ngejalanin hidup gue dengan normal kembali. Hi...
hi...
Di atas punggung Rio, Ify senyum-senyum sendirian.
TO BE CONTINUE.........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar