Selasa, 26 Juni 2012

The Truth About Forever - Chapter 6 : What If

"Pusing deh, punya tetangga kayak si Rio," komentar Sivia setelah mendengar cerita Ify. Sivia sedang berada di kost Ify, menengoknya karena tadi bolos kuliah.



Ify mengangguk setuju sambil membuka balutan perban di kakinya yang sudah tampak kotor. Dan kemudian menghela napas.



"Padahal, aku pikir akhirnya dia udah agak baik," kata Ify mendesah. "Ternyata, tetep se-labil yang kemaren-kemaren."



"Kira-kira apa ya, masalahnya?" tanya Sivia tiba-tiba. "Kabur dari rumah? Bokapnya selingkuh? Atau... ceweknya diambil orang?" lanjutnya ngaco.



Ify mendelik, tidak setuju pada kemungkinan-kemungkinan—ngawur—yang dikatakan Sivia. Sivia sendiri terkekeh saat mencoba membayangkan alien aneh nan cool itu benar-benar mengalami hal-hal tersebut.



"Apa pun masalahnya, sepertinya berat banget," kata Ify.



"Tapi, Fy... kalo suatu saat lo tau apa masalah dia, emangnya lo masih mau nemenin dia?"



Ify terdiam sebentar, tetapi kemudian memukul lengan Sivia.



"Kamu apa-apaan, sih, Vie! Jangan nakut-nakutin gitu, dong!" seru Ify membuat Sivia tertawa.



"Elo-nya serius amat, sih, jadi gue pengen aja ngegodain!" seru Sivia, dia bangkit dan berjalan menuju jendela, mencoba untuk melihat pemandangan di luar.





Tak berapa lama, Sivia sibuk melihat-lihat keadaan di luar, sementara Ify memikirkan perkataan Sivia tadi. Bagaimana kalau yang dikatakan Sivia benar? Bagaimana kalau masalah Rio jauh melebihi perkiraan Ify?



Ify ingin membantu Rio semampunya, tetapi Rio bahkan hampir tak pernah mengatakan apa pun mengenai dirinya sendiri. Mungkin Rio tak bisa memercayai siapa pun. Namun, Ify yakin Rio bisa memercayainya.



***



Rio melangkahkan kakinya pulang ke kost-nya. Dia melirik rumah Bu Winda yang masih gelap, penghuninya masih pergi. Ozy dan Septian juga tidak tampak di mana pun. Rio melirik ke atas, dan kamar Ify juga tampaknya gelap. Rio menghela napas lega. Dia tak mau bertemu cewek itu setelah kejadian semalam.



Saat Rio memutar kunci, dia berubah pikiran. Entah mengapa dia ingin mencari angin terlebih dulu. Dia bergerak ke tangga dan naik ke lantai tiga.



Rio terpaku saat melihat Ify sedang bersandar pada pagar pembatas. Dia tidak menyangka cewek itu akan ada di sini, jadi dia segera beranjak pergi sebelum cewek itu melihatnya. Namun, tahu-tahu Ify menoleh dan mendapati Rio yang baru mau turun.



"Rio!" seru Ify ceria membuat Rio tak sengaja menoleh. "Sini!"



Rio menatapnya malas, berbalik, dan berniat untuk turun. Sebelum dia sempat melangkahkan kaki, tangan Ify menariknya dan membawanya ke pagar pembatas. Ify lalu menunjuk ke langit yang bertaburan bintang.



"Liat deh, Yo! Barusan ada bintang jatuh!" sahut Ify girang. Rio menatap arah yang ditunjuk Ify, tetapi tak melihat apa pun yang jatuh. "Ditungguin sebentar aja, pasti ada lagi yang jatuh!" lanjut Ify lagi.



"Kemungkinannya satu banding sejuta," kata Rio pendek, melepaskan diri dari pegangan Ify.



"Heh? Masa, sih?" tanya Ify tak percaya.



"Mana gue tau, emangnya gue astronot!" balas Ify lalu beranjak pergi.



"Yee... kalo gitu nggak usah sok tau!" seru Ify sambil menarik Toushiro lagi.



"Apa, sih?" seru Rio sambil kembali berusaha melepas tangan Rukia yang mengamitnya.



"Tungguin, Yo, siapa tau ada lagi! Kayak di Meteor Garden tuh, kan suka ada hujan meteor!" sahut Ify berapi-api.

Rio menatapnya sebal, tetapi akhirnya menatap langit juga.



"Tau, nggak, apa permintaanku tadi?" tanya Ify lagi, danRio tak berniat menjawab. "Aku minta, apa pun permasalahan kamu, semoga bisa cepet selesai. Aku kurang baik apa tuh, malah ngedo'ain orang lain?"



"Nggak ada yang minta," jawab Rio sekenanya.



"Kamu ngerasa ngutang nggak?" tanya Ify.



"Nggak juga," kata Rio membuat Ify mendelik.



"Dasar nggak tau diri ya, udah dido'ain juga," balas Ify. "Kalo kamu ngerasa ngutang, kamu harus tungguin satu bintang jatuh lagi, terus do'ain yang baik-baik buat aku!"



Rio hampir mendengus karena menganggapnya permintaan bodoh. Baru saja Rio akan berkomentar, sebuah bintang jatuh terlihat di kejauhan, membuat mata Rio melebar tak percaya.



"Rio! Rio! Bintang jatuh lagi! Ayo cepet minta sesuatu!" sahut Ify girang sambil menggoncang-goncangkan Rio yang masih bengong. Beberapa lama kemudian, Rio tak juga berbicara. Ify menatapnya bingung, "Rio? Kamu minta apa?"



"Minta supaya cewek bawel ini nggak nyampurin urusan orang lain lagi," kata Rio sambil menatap Ify dingin. Rio kemudian beranjak pergi.



"Kenapa, sih, kamu segitu nggak percayanya sama aku?" tanya Ify membuat jejak langkah Rio berhenti. "Kenapa kamu tertutup banget?"



"Karena lo bukan siapa-siapa," jawab Rio sambil berbalik dan menatap Ify tajam. "Dan karena lo bukan siapa-siapa, gue nggak harus menceritakan apa pun sama lo. Bukannya gue udah bilang dari awal, jangan nyampurin urusan gue? Kenapa lo terus keras kepala, sih?"



"Tapi..."



"Apa susahnya, sih, ninggalin gue sendirian? Kalo lo sepeduli itu sama gue, tolong hargai privasi gue. Gue nggak suka ada cewek bawel nyampurin urusan gue," kata Rio lagi, dia pun bergerak turun.



Rio melangkah tanpa kesadaran ke kamarnya, lalu menjatuhkan diri ke kasur. Bukan, bukannya Rio tidak memercayai Ify. Hanya saja, dia tak ingin Ify tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya. Kalau Ify tahu, Ify mungkin saja akan menghindarinya, sama seperti orang lain. Dan, entah kenapa, Rio tidak menginginkan itu terjadi.



Ternyata, sangat susah hidup tanpa ketamakan dan keegoisan. Pada keadaan begini, Rio masih saja mengharapkan keajaiban yang dia tahu tak akan terjadi. Tak ada yang bisa Rio lakukan untuk menyelamatkan diri, tetapi setidaknya dia bisa menyelamatkan Ify walaupun dengan cara yang menyakitkan.



Rio menatap botol obat yang tergeletak di depannya, yang sudah sekian lama tidak disentuhnya. Botol yang berisi sisa hidupnya.



***



"Vin, gue harus cepet-cepet nemuin dia," kata Rio pada Alvin. Mereka sedang makan di kafetaria, setelah seharian berputar-putar di kampus Teknik.



Alvin menatap Rio heran. Tak pernah dilihatnya Rio seniat ini. Mungkin cowok itu sempat sangat bertekad pada awal-awal datang ke Bandung, tetapi akhir-akhir ini dia tak begitu memikirkannya. Baru sekarang Rio seperti ini lagi.



"Gue harus cepet-cepet pindah dari kost itu," kata Rio lagi, membuat Alvin menemukan permasalahannya.



"Cewek itu ya?" ujar Alvin paham. "Lo pada awalnya mikir kalo lo nggak mungkin jatuh cinta sama dia, tapi kenyataannya lo jatuh cinta?"



Rio tak menjawab. Dia malah menatap ke arah lain.



"Pokoknya gue harus cepet-cepet nemuin dia. Kalo perlu gue datengin juga setiap tempat kost di kota ini," kata Rio lagi. Alvin menatapnya simpati.



"Kasih tau aja cewek itu soal masalah lo ini, Yo," kata Alvin membuat Rio menatapnya marah. "Kalo dia malah menghindari lo, bukannya malah bagus? Masalah lo yang itu akan terselesaikan, kan? Bukannya itu yang lo mau? Lo jadi nggak perlu buru-buru pindah dari sana, kan?"



Rio terdiam, memikirkan kata-kata Alvin. Sepertinya ini sebuah usul yang bagus. Dengan demikian, cewek itu akan menjauh dengan sendirinya. Tetapi...



"Tapi lo nggak bisa karena lo nggak mau dia menjauh dari lo," kata Alvin seolah bisa membaca jalan pikiran Rio. Rio menatapnya tajam. "Lo nggak mau dia tau. Iya kan?"



"Gue bakal kasih tau pas dia pulang nanti," kata Rio cepat. "Malah bagus kalo dia ngejauhin gue. Usul lo bagus, Vin."



Alvin menatap Rio yang meremas-remas gelas plastik air mineral. Alvin bisa melihat kekalutan pikiran Rio dari raut wajahnya. Lagi-lagi, Rio harus melakukan sesuatu yang bisa menghancurkan dirinya sendiri, seperti lima tahun yang

lalu.



"Jangan terlalu maksain diri, Yo," kata Alvin, tetapi Rio tak mendengarnya. Dia sudah membulatkan tekadnya untuk memberi tahu Ify, apa pun konsekuensi yang akan ditanggungnya nanti.



***



Ify menatap pintu kamar Rio ragu. Tantenya, Bu Winda, baru saja pulang dari rumah mertuanya di luar kota dan dia membawa banyak makanan. Ify disuruh memanggil Rio untuk makan malam bersama.



Tangan Ify tak bisa bergerak untuk mengetuk pintu Rio. Dia masih teringat pada perkataan Rio semalam. Ify tak mau Rio marah padanya lagi karena dianggap sudah menyampuri urusannya dengan mengajaknya makan.



Ify mendapat ide. Dia akan menulis sebuah memo dan menempelkannya di pintu. Namun, begitu tangannya menempel pada pintu, pintu itu terbuka sendiri. Ify terlonjak.



"Maaf! Pintunya kebuka sendiri, sumpah!" seru Ify cepat, takut Rioo mengamuk. Namun tak ada jawaban apa pun dari dalam.



Bingung, Ify melongok ke dalam kamar. Kamar itu ternyata kosong, yang berarti Rio belum pulang. Tumben sekali Rio lupa mengunci pintu kamarnya. Tanpa disadarinya, Ify sudah berada di dalam kamar itu.



"Ya ampun!" seru Ify saat melihat kamar yang sudah seperti tempat penampungan sampah itu. "Jorok banget, sih!"



Ify cepat-cepat mengambil kantong plastik besar, dan memunguti cup mie dan botol-botol air mineral yang berserakan di lantai. Setelah itu, dia mengambil sapu dan mulai membersihkan kamar Rio. Mata Ify tiba-tiba tertumbuk pada kasur yang kelihatan menyedihkan karena tidak diberi seprai.



"Ya ampun," gumamnya tak habis pikir. "Nggak gatel-gatel apa?"



Ify segera mengambil seprai dari lemarinya, dan memasangkannya ke kasur Rio. Ify sempat geli sendiri saat melihat seprai bergambar chappy dengan warna dasar ungu itu terpasang di sana, tetapi mau bagaimana lagi, Ify tidak punya seprai lain lagi.



Ify menghela napas, lalu melanjutkan untuk membereskan lagi. Dia melihat ransel Rio yang isinya berhamburan ke mana-mana, lalu mencoba membereskannya. Namun, tiba-tiba mata Ify membesar saat menemukan sebuah benda sepanjang lima belas senti dan terbungkus kulit hitam. Ify mengambilnya, lalu membukanya. Ternyata sebuah belati yang terlihat sangat tajam dan masih baru. Ify buru-buru meletakkannya kembali ke dalam ransel. Mungkin Rio membawanya hanya untuk sekedar sebagai alat perlindungan diri.



Selesai membereskan ransel, Ify mulai menyapu. Saat dia menyapu ke bawah meja, sebuah botol berguling. Ify segera mengambilnya dan mengamati botol itu.



"AZT," baca Ify lambat-lambat. "Apaan, sih, ini?"



Tiba-tiba, sebuah tangan mengambil botol itu dari tangan Ify. Ify terkejut saat melihat Rio sudah berada di sebelahnya dengan ekspresi yang tidak bisa ditebak.



"Eh, Rio. Sori, tadi kamarmu nggak dikunci, jadi sekalian aku bersihin," kata Ify sambil nyengir bersalah. "Ng... itu obat apaan, sih? Kamu sakit?"



"Keluar," kata Rio lambat-lambat. Tangannya yang terkepal sudah gemetar.



"Sori..."



"KELUAR!" sahut Rio keras membuat Ify terlonjak kaget. Urat-urat di dahi Rio menyembul, rahangnya mengeras, dan botol obat yang ada di genggamannya kini sudah remuk.



Ify menatap Rio takut, lalu segera berlari keluar kamar. Rio segera menutup pintu kamarnya, menguncinya, lalu memukulnya keras-keras. Setelah itu, dia merosot ke lantai. Tangannya yang gemetar menjambak rambutnya

kuat-kuat.



Kenapa harus marah? Kenapa dia harus marah ketika melihat Ify mengetahui rahasianya? Bukankah itu tujuannya, untuk memberitahu Ify? Tetapi, kenapa sekarang dia malah tak ingin Ify melihat apa pun?

Kenapa Rio jadi setakut ini untuk ditinggalkan?





***



Ify menatap dinding di kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Rio bingung. Dia merasa bersalah karena lagi-lagi telah mencampuri kehidupan cowok itu. Ify ingin meminta maaf, tetapi kelihatannya dengan keadaan seperti ini Rio tak akan bisa diajak bicara.



Kenapa Rio semarah itu? Tanpa disadarinya, Ify memeluk lengannya sendiri. Tadi Rio kelihatan sangat menakutkan. Ify nyaris tak mengenali sosoknya yang seketika berubah menjadi monster yang menyeramkan.



Ify meletakkan tangannya di dinding itu, seolah bisa merasakan kepedihan yang dirasakan Rio melalui dinding pembatas itu. Ify tak tahu apa yang terjadi dengan Rio, tetapi dia mempunyai firasat kalau Rio sangat membutuhkan

bantuan.



Ify tentu akan memberikannya dengan senang hati kalau saja Rio tidak menolaknya.



***



Rio memutuskan untuk keluar kamar dan membuat teh hijau, setelah semalaman tidak bisa tidur, setidaknya mungkin teh hijau bisa sedikit membantu menenangkan pikirannya. Sebelum sempat keluar, Rio memastikan kalau di luar tidak ada Ify. Setelah itu, dia berjalan ke dapur. Baru beberapa langkah, Ify keluar dari kamar mandi dan mereka sekarang berhadapan.



"Sori!" kata Ify begitu Rio mau menghindar. Rio terpaku. "Sori, aku udah nyampurin urusan kamu lagi! Aku nggak sengaja ngeberesin kamar kamu!"



Rio menatap bingung Ify di depannya yang kelihatan salah tingkah. Rio tak mengerti. Bukankah seharusnya cewek ini menjauhinya seperti rencana?



"Rio, kamu marah banget, ya? Sori!" sahut Ify lagi sambil mengatupkan kedua tangannya. Rio masih belum bekata-kata. Secercah harapan tahu-tahu muncul di dalam hatinya.



Namun, tiba-tiba Rio sadar kalau Ify mungkin belum tahu persis apa masalahnya. Ya, dia hanya belum tahu. Rio tertawa miris. Bodoh benar dia tadi, berharap kalau Ify mau menerimanya setelah mengetahui kenyataan itu. Cepat atau lambat Ify akan tahu, dan pada saat itulah, Ify akan benar-benar meninggalkan dirinya.



"Rio?" tanya Ify bingung pada Rio yang malah tertawa. Rio kembali menatap Ify dingin.



"Gue udah bener-bener bosen memperingatkan lo untuk jangan ganggu gue lagi," kata Rio. "Tapi, tunggu aja bentar lagi, lo juga pasti berhenti ngeganggu gue."



Rio lalu beranjak melewati Ify yang bingung.



"Eh? Emangnya kenapa?" tanya Ify, tak mengerti.



Rio tak menjawab, lalu menghilang di balik pintu kamar mandi. Ify menatapnnya bingung, kemudian teringat kalau dia mempunyai kelas pagi itu dan buru-buru masuk kamar.





***



"Oke, dari cerita lo, makin ke sini Rio makin aneh," komentar Sivia saat Ify menceritakan kejadian kemarin padanya. Mereka sedang memakai akses internet yang ada di lobi Jurusan Hubungan Internasional.



Ify mengangguk setuju. Dia mengetik alamat forum tempat dia biasa meminta pendapat soal karyanya. Selama ini, proses pengerjaan novel miliknya sangat lambat. Mungkin, dia bisa meminta bantuan pada senior-senior yang sudah banyak menerbitkan buku.



"Tapi, lo bilang kemaren lo nemuin obat? Apa dia sakit?" tanya Sivia lagi membuat Ify teringat pada botol obat yang ditemukannya.



"Mungkin juga," jawab Ify sekenanya, jarinya mengetik salah satu web mesin pencari. Setelah halamannya terbuka, dia memasukkan kata kunci AZT dan menekan enter.



Berpuluh-puluh ribu hasil muncul, dan Ify meng-klik salah satunya. Mendadak, tangan Ify terasa kaku. Tubuhnya serasa mati rasa saat membaca artikel yang baru dibukanya.



"Ify? Kenapa?" tanya Sivia setelah melihat wajah Ify berubah pucat pasi dengan mata terpancang ke layar. Sivia menatap monitor yang dilihat Ify tadi, lalu menganga. "Fy, nggak mungkin, kan..."



Ify jatuh terduduk di depan komputer. Kakinya lemas dan seluruh tubuhnya gemetar. Ify menatap layar lagi, berharap kata-kata yang tadi dibacanya salah.



"AZT adalah obat antiretroviral untuk HIV positif."



***



Ify memasukkan motornya ke garasi, kemudian berjalan ke arah tangga layaknya zombie. Dia tidak bisa merasakan apa pun semenjak siang tadi. Ify menatap tangga di depannya dengan mata menerawang. Dia tak yakin harus menemui Rio dengan wajah seperti apa.



Ify menaiki tangga pelan-pelan, tidak ingin bertemu Rio dulu. Namun, harapannya tidak terkabul karena pada saat Ify akan membuka pintu, Rio keluar dari kamarnya dengan handuk tersampir di bahunya.



Ify hampir lupa bernapas saat melihat Rio. Mata Ify terasa panas saking tidak berkedip, menatap sosok tegap—tapi pendek—di depannya. Hampir tidak ada keanehan dalam sosok seorang Mario Stevano itu kecuali ribuan virus yang mengalir dalam darahnya.



Rio balas menatap Ify aneh, hingga akhirnya menghela napas.



"Akhirnya lo tau, ya?" ucapnya sambil terkekeh sinis, ucapannya itu lebih terasa sebagai pernyataan dibandingkan pertanyaan. "Sekarang, lo nyesel udah pernah bantu gue? Gue udah pernah bilang, kan..."



"Kenapa?" tanya Ify dengan napas tercekat membuat Rio menatapnya lagi.



"Kenapa apa?" tanya Rio datar.



"Kenapa... kamu dapet penyakit ini?" tanya Ify lagi, air matanya hampir jatuh.



Rio tak langsung menjawab pertanyaan Ify. Dia menatap Ify lama, lalu mengalihkan pandangannya.



"Hubungan seks," kata Rio singkat membuat mata Ify membesar. Air mata sudah membanjiri pipinya. "Kenapa? Kaget?"



Ify tak bisa menjawab Rio. Dia sibuk menahan tangis. Rio sebisa mungkin tidak melihat ke arahnya.



"Sekarang, lo pasti bisa nggak ganggu gue lagi," kata Rio sambil bergerak ke kamar mandi. Kepalanya berdenyut menyakitkan dan harus diguyur air.



Rio sebisa mungkin pura-pura tidak tahu kalau Ify terduduk lemas di depan kamarnya sambil menangis. Rio menutup pintu kamar mandi, memukul tembok dengan keras, kemudian terduduk di lantai sambil meremas kepalanya kuat-kuat.



Rio sudah tahu hari ini akan datang dan dia sudah mempersiapkan dirinya. Namun, tetap saja, rasa sakit di hatinya mengalahkan semua pertahanan yang sudah susah payah dibangunnya.



Berbagai 'kalau saja' sekarang berkelebat di benak Rio. Kalau saja dia tidak pernah datang ke kost ini. Kalau saja sejak awal dia menjauhi Ify.



Kalau saja dia tak pernah dilahirkan ke dunia ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar