"Pusing deh, punya tetangga kayak si Rio," komentar Sivia setelah
mendengar cerita Ify. Sivia sedang berada di kost Ify, menengoknya
karena tadi bolos kuliah.
Ify mengangguk setuju sambil membuka balutan perban di kakinya yang sudah tampak kotor. Dan kemudian menghela napas.
"Padahal, aku pikir akhirnya dia udah agak baik," kata Ify mendesah. "Ternyata, tetep se-labil yang kemaren-kemaren."
"Kira-kira apa ya, masalahnya?" tanya Sivia tiba-tiba. "Kabur dari
rumah? Bokapnya selingkuh? Atau... ceweknya diambil orang?" lanjutnya
ngaco.
Ify mendelik, tidak setuju pada kemungkinan-kemungkinan—ngawur—yang
dikatakan Sivia. Sivia sendiri terkekeh saat mencoba membayangkan alien
aneh nan cool itu benar-benar mengalami hal-hal tersebut.
"Apa pun masalahnya, sepertinya berat banget," kata Ify.
"Tapi, Fy... kalo suatu saat lo tau apa masalah dia, emangnya lo masih mau nemenin dia?"
Ify terdiam sebentar, tetapi kemudian memukul lengan Sivia.
"Kamu apa-apaan, sih, Vie! Jangan nakut-nakutin gitu, dong!" seru Ify membuat Sivia tertawa.
"Elo-nya serius amat, sih, jadi gue pengen aja ngegodain!" seru
Sivia, dia bangkit dan berjalan menuju jendela, mencoba untuk melihat
pemandangan di luar.
Tak berapa lama, Sivia sibuk melihat-lihat keadaan di luar,
sementara Ify memikirkan perkataan Sivia tadi. Bagaimana kalau yang
dikatakan Sivia benar? Bagaimana kalau masalah Rio jauh melebihi
perkiraan Ify?
Ify ingin membantu Rio semampunya, tetapi Rio bahkan hampir tak
pernah mengatakan apa pun mengenai dirinya sendiri. Mungkin Rio tak bisa
memercayai siapa pun. Namun, Ify yakin Rio bisa memercayainya.
***
Rio melangkahkan kakinya pulang ke kost-nya. Dia melirik rumah Bu
Winda yang masih gelap, penghuninya masih pergi. Ozy dan Septian juga
tidak tampak di mana pun. Rio melirik ke atas, dan kamar Ify juga
tampaknya gelap. Rio menghela napas lega. Dia tak mau bertemu cewek itu
setelah kejadian semalam.
Saat Rio memutar kunci, dia berubah pikiran. Entah mengapa dia ingin
mencari angin terlebih dulu. Dia bergerak ke tangga dan naik ke lantai
tiga.
Rio terpaku saat melihat Ify sedang bersandar pada pagar pembatas.
Dia tidak menyangka cewek itu akan ada di sini, jadi dia segera beranjak
pergi sebelum cewek itu melihatnya. Namun, tahu-tahu Ify menoleh dan
mendapati Rio yang baru mau turun.
"Rio!" seru Ify ceria membuat Rio tak sengaja menoleh. "Sini!"
Rio menatapnya malas, berbalik, dan berniat untuk turun. Sebelum dia
sempat melangkahkan kaki, tangan Ify menariknya dan membawanya ke pagar
pembatas. Ify lalu menunjuk ke langit yang bertaburan bintang.
"Liat deh, Yo! Barusan ada bintang jatuh!" sahut Ify girang. Rio
menatap arah yang ditunjuk Ify, tetapi tak melihat apa pun yang jatuh.
"Ditungguin sebentar aja, pasti ada lagi yang jatuh!" lanjut Ify lagi.
"Kemungkinannya satu banding sejuta," kata Rio pendek, melepaskan diri dari pegangan Ify.
"Heh? Masa, sih?" tanya Ify tak percaya.
"Mana gue tau, emangnya gue astronot!" balas Ify lalu beranjak pergi.
"Yee... kalo gitu nggak usah sok tau!" seru Ify sambil menarik Toushiro lagi.
"Apa, sih?" seru Rio sambil kembali berusaha melepas tangan Rukia yang mengamitnya.
"Tungguin, Yo, siapa tau ada lagi! Kayak di Meteor Garden tuh, kan suka ada hujan meteor!" sahut Ify berapi-api.
Rio menatapnya sebal, tetapi akhirnya menatap langit juga.
"Tau, nggak, apa permintaanku tadi?" tanya Ify lagi, danRio tak
berniat menjawab. "Aku minta, apa pun permasalahan kamu, semoga bisa
cepet selesai. Aku kurang baik apa tuh, malah ngedo'ain orang lain?"
"Nggak ada yang minta," jawab Rio sekenanya.
"Kamu ngerasa ngutang nggak?" tanya Ify.
"Nggak juga," kata Rio membuat Ify mendelik.
"Dasar nggak tau diri ya, udah dido'ain juga," balas Ify. "Kalo kamu
ngerasa ngutang, kamu harus tungguin satu bintang jatuh lagi, terus
do'ain yang baik-baik buat aku!"
Rio hampir mendengus karena menganggapnya permintaan bodoh. Baru
saja Rio akan berkomentar, sebuah bintang jatuh terlihat di kejauhan,
membuat mata Rio melebar tak percaya.
"Rio! Rio! Bintang jatuh lagi! Ayo cepet minta sesuatu!" sahut Ify
girang sambil menggoncang-goncangkan Rio yang masih bengong. Beberapa
lama kemudian, Rio tak juga berbicara. Ify menatapnya bingung, "Rio?
Kamu minta apa?"
"Minta supaya cewek bawel ini nggak nyampurin urusan orang lain
lagi," kata Rio sambil menatap Ify dingin. Rio kemudian beranjak pergi.
"Kenapa, sih, kamu segitu nggak percayanya sama aku?" tanya Ify
membuat jejak langkah Rio berhenti. "Kenapa kamu tertutup banget?"
"Karena lo bukan siapa-siapa," jawab Rio sambil berbalik dan menatap
Ify tajam. "Dan karena lo bukan siapa-siapa, gue nggak harus
menceritakan apa pun sama lo. Bukannya gue udah bilang dari awal, jangan
nyampurin urusan gue? Kenapa lo terus keras kepala, sih?"
"Tapi..."
"Apa susahnya, sih, ninggalin gue sendirian? Kalo lo sepeduli itu
sama gue, tolong hargai privasi gue. Gue nggak suka ada cewek bawel
nyampurin urusan gue," kata Rio lagi, dia pun bergerak turun.
Rio melangkah tanpa kesadaran ke kamarnya, lalu menjatuhkan diri ke
kasur. Bukan, bukannya Rio tidak memercayai Ify. Hanya saja, dia tak
ingin Ify tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya. Kalau Ify tahu, Ify
mungkin saja akan menghindarinya, sama seperti orang lain. Dan, entah
kenapa, Rio tidak menginginkan itu terjadi.
Ternyata, sangat susah hidup tanpa ketamakan dan keegoisan. Pada
keadaan begini, Rio masih saja mengharapkan keajaiban yang dia tahu tak
akan terjadi. Tak ada yang bisa Rio lakukan untuk menyelamatkan diri,
tetapi setidaknya dia bisa menyelamatkan Ify walaupun dengan cara yang
menyakitkan.
Rio menatap botol obat yang tergeletak di depannya, yang sudah sekian lama tidak disentuhnya. Botol yang berisi sisa hidupnya.
***
"Vin, gue harus cepet-cepet nemuin dia," kata Rio pada Alvin. Mereka
sedang makan di kafetaria, setelah seharian berputar-putar di kampus
Teknik.
Alvin menatap Rio heran. Tak pernah dilihatnya Rio seniat ini.
Mungkin cowok itu sempat sangat bertekad pada awal-awal datang ke
Bandung, tetapi akhir-akhir ini dia tak begitu memikirkannya. Baru
sekarang Rio seperti ini lagi.
"Gue harus cepet-cepet pindah dari kost itu," kata Rio lagi, membuat Alvin menemukan permasalahannya.
"Cewek itu ya?" ujar Alvin paham. "Lo pada awalnya mikir kalo lo
nggak mungkin jatuh cinta sama dia, tapi kenyataannya lo jatuh cinta?"
Rio tak menjawab. Dia malah menatap ke arah lain.
"Pokoknya gue harus cepet-cepet nemuin dia. Kalo perlu gue datengin
juga setiap tempat kost di kota ini," kata Rio lagi. Alvin menatapnya
simpati.
"Kasih tau aja cewek itu soal masalah lo ini, Yo," kata Alvin
membuat Rio menatapnya marah. "Kalo dia malah menghindari lo, bukannya
malah bagus? Masalah lo yang itu akan terselesaikan, kan? Bukannya itu
yang lo mau? Lo jadi nggak perlu buru-buru pindah dari sana, kan?"
Rio terdiam, memikirkan kata-kata Alvin. Sepertinya ini sebuah usul
yang bagus. Dengan demikian, cewek itu akan menjauh dengan sendirinya.
Tetapi...
"Tapi lo nggak bisa karena lo nggak mau dia menjauh dari lo," kata
Alvin seolah bisa membaca jalan pikiran Rio. Rio menatapnya tajam. "Lo
nggak mau dia tau. Iya kan?"
"Gue bakal kasih tau pas dia pulang nanti," kata Rio cepat. "Malah bagus kalo dia ngejauhin gue. Usul lo bagus, Vin."
Alvin menatap Rio yang meremas-remas gelas plastik air mineral.
Alvin bisa melihat kekalutan pikiran Rio dari raut wajahnya. Lagi-lagi,
Rio harus melakukan sesuatu yang bisa menghancurkan dirinya sendiri,
seperti lima tahun yang
lalu.
"Jangan terlalu maksain diri, Yo," kata Alvin, tetapi Rio tak
mendengarnya. Dia sudah membulatkan tekadnya untuk memberi tahu Ify, apa
pun konsekuensi yang akan ditanggungnya nanti.
***
Ify menatap pintu kamar Rio ragu. Tantenya, Bu Winda, baru saja
pulang dari rumah mertuanya di luar kota dan dia membawa banyak makanan.
Ify disuruh memanggil Rio untuk makan malam bersama.
Tangan Ify tak bisa bergerak untuk mengetuk pintu Rio. Dia masih
teringat pada perkataan Rio semalam. Ify tak mau Rio marah padanya lagi
karena dianggap sudah menyampuri urusannya dengan mengajaknya makan.
Ify mendapat ide. Dia akan menulis sebuah memo dan menempelkannya di
pintu. Namun, begitu tangannya menempel pada pintu, pintu itu terbuka
sendiri. Ify terlonjak.
"Maaf! Pintunya kebuka sendiri, sumpah!" seru Ify cepat, takut Rioo mengamuk. Namun tak ada jawaban apa pun dari dalam.
Bingung, Ify melongok ke dalam kamar. Kamar itu ternyata kosong,
yang berarti Rio belum pulang. Tumben sekali Rio lupa mengunci pintu
kamarnya. Tanpa disadarinya, Ify sudah berada di dalam kamar itu.
"Ya ampun!" seru Ify saat melihat kamar yang sudah seperti tempat penampungan sampah itu. "Jorok banget, sih!"
Ify cepat-cepat mengambil kantong plastik besar, dan memunguti cup
mie dan botol-botol air mineral yang berserakan di lantai. Setelah itu,
dia mengambil sapu dan mulai membersihkan kamar Rio. Mata Ify tiba-tiba
tertumbuk pada kasur yang kelihatan menyedihkan karena tidak diberi
seprai.
"Ya ampun," gumamnya tak habis pikir. "Nggak gatel-gatel apa?"
Ify segera mengambil seprai dari lemarinya, dan memasangkannya ke
kasur Rio. Ify sempat geli sendiri saat melihat seprai bergambar chappy
dengan warna dasar ungu itu terpasang di sana, tetapi mau bagaimana
lagi, Ify tidak punya seprai lain lagi.
Ify menghela napas, lalu melanjutkan untuk membereskan lagi. Dia
melihat ransel Rio yang isinya berhamburan ke mana-mana, lalu mencoba
membereskannya. Namun, tiba-tiba mata Ify membesar saat menemukan sebuah
benda sepanjang lima belas senti dan terbungkus kulit hitam. Ify
mengambilnya, lalu membukanya. Ternyata sebuah belati yang terlihat
sangat tajam dan masih baru. Ify buru-buru meletakkannya kembali ke
dalam ransel. Mungkin Rio membawanya hanya untuk sekedar sebagai alat
perlindungan diri.
Selesai membereskan ransel, Ify mulai menyapu. Saat dia menyapu ke
bawah meja, sebuah botol berguling. Ify segera mengambilnya dan
mengamati botol itu.
"AZT," baca Ify lambat-lambat. "Apaan, sih, ini?"
Tiba-tiba, sebuah tangan mengambil botol itu dari tangan Ify. Ify
terkejut saat melihat Rio sudah berada di sebelahnya dengan ekspresi
yang tidak bisa ditebak.
"Eh, Rio. Sori, tadi kamarmu nggak dikunci, jadi sekalian aku
bersihin," kata Ify sambil nyengir bersalah. "Ng... itu obat apaan, sih?
Kamu sakit?"
"Keluar," kata Rio lambat-lambat. Tangannya yang terkepal sudah gemetar.
"Sori..."
"KELUAR!" sahut Rio keras membuat Ify terlonjak kaget. Urat-urat di
dahi Rio menyembul, rahangnya mengeras, dan botol obat yang ada di
genggamannya kini sudah remuk.
Ify menatap Rio takut, lalu segera berlari keluar kamar. Rio segera
menutup pintu kamarnya, menguncinya, lalu memukulnya keras-keras.
Setelah itu, dia merosot ke lantai. Tangannya yang gemetar menjambak
rambutnya
kuat-kuat.
Kenapa harus marah? Kenapa dia harus marah ketika melihat Ify
mengetahui rahasianya? Bukankah itu tujuannya, untuk memberitahu Ify?
Tetapi, kenapa sekarang dia malah tak ingin Ify melihat apa pun?
Kenapa Rio jadi setakut ini untuk ditinggalkan?
***
Ify menatap dinding di kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Rio
bingung. Dia merasa bersalah karena lagi-lagi telah mencampuri kehidupan
cowok itu. Ify ingin meminta maaf, tetapi kelihatannya dengan keadaan
seperti ini Rio tak akan bisa diajak bicara.
Kenapa Rio semarah itu? Tanpa disadarinya, Ify memeluk lengannya
sendiri. Tadi Rio kelihatan sangat menakutkan. Ify nyaris tak mengenali
sosoknya yang seketika berubah menjadi monster yang menyeramkan.
Ify meletakkan tangannya di dinding itu, seolah bisa merasakan
kepedihan yang dirasakan Rio melalui dinding pembatas itu. Ify tak tahu
apa yang terjadi dengan Rio, tetapi dia mempunyai firasat kalau Rio
sangat membutuhkan
bantuan.
Ify tentu akan memberikannya dengan senang hati kalau saja Rio tidak menolaknya.
***
Rio memutuskan untuk keluar kamar dan membuat teh hijau, setelah
semalaman tidak bisa tidur, setidaknya mungkin teh hijau bisa sedikit
membantu menenangkan pikirannya. Sebelum sempat keluar, Rio memastikan
kalau di luar tidak ada Ify. Setelah itu, dia berjalan ke dapur. Baru
beberapa langkah, Ify keluar dari kamar mandi dan mereka sekarang
berhadapan.
"Sori!" kata Ify begitu Rio mau menghindar. Rio terpaku. "Sori, aku
udah nyampurin urusan kamu lagi! Aku nggak sengaja ngeberesin kamar
kamu!"
Rio menatap bingung Ify di depannya yang kelihatan salah tingkah.
Rio tak mengerti. Bukankah seharusnya cewek ini menjauhinya seperti
rencana?
"Rio, kamu marah banget, ya? Sori!" sahut Ify lagi sambil
mengatupkan kedua tangannya. Rio masih belum bekata-kata. Secercah
harapan tahu-tahu muncul di dalam hatinya.
Namun, tiba-tiba Rio sadar kalau Ify mungkin belum tahu persis apa
masalahnya. Ya, dia hanya belum tahu. Rio tertawa miris. Bodoh benar dia
tadi, berharap kalau Ify mau menerimanya setelah mengetahui kenyataan
itu. Cepat atau lambat Ify akan tahu, dan pada saat itulah, Ify akan
benar-benar meninggalkan dirinya.
"Rio?" tanya Ify bingung pada Rio yang malah tertawa. Rio kembali menatap Ify dingin.
"Gue udah bener-bener bosen memperingatkan lo untuk jangan ganggu
gue lagi," kata Rio. "Tapi, tunggu aja bentar lagi, lo juga pasti
berhenti ngeganggu gue."
Rio lalu beranjak melewati Ify yang bingung.
"Eh? Emangnya kenapa?" tanya Ify, tak mengerti.
Rio tak menjawab, lalu menghilang di balik pintu kamar mandi. Ify
menatapnnya bingung, kemudian teringat kalau dia mempunyai kelas pagi
itu dan buru-buru masuk kamar.
***
"Oke, dari cerita lo, makin ke sini Rio makin aneh," komentar Sivia
saat Ify menceritakan kejadian kemarin padanya. Mereka sedang memakai
akses internet yang ada di lobi Jurusan Hubungan Internasional.
Ify mengangguk setuju. Dia mengetik alamat forum tempat dia biasa
meminta pendapat soal karyanya. Selama ini, proses pengerjaan novel
miliknya sangat lambat. Mungkin, dia bisa meminta bantuan pada
senior-senior yang sudah banyak menerbitkan buku.
"Tapi, lo bilang kemaren lo nemuin obat? Apa dia sakit?" tanya Sivia
lagi membuat Ify teringat pada botol obat yang ditemukannya.
"Mungkin juga," jawab Ify sekenanya, jarinya mengetik salah satu web
mesin pencari. Setelah halamannya terbuka, dia memasukkan kata kunci
AZT dan menekan enter.
Berpuluh-puluh ribu hasil muncul, dan Ify meng-klik salah satunya.
Mendadak, tangan Ify terasa kaku. Tubuhnya serasa mati rasa saat membaca
artikel yang baru dibukanya.
"Ify? Kenapa?" tanya Sivia setelah melihat wajah Ify berubah pucat
pasi dengan mata terpancang ke layar. Sivia menatap monitor yang dilihat
Ify tadi, lalu menganga. "Fy, nggak mungkin, kan..."
Ify jatuh terduduk di depan komputer. Kakinya lemas dan seluruh
tubuhnya gemetar. Ify menatap layar lagi, berharap kata-kata yang tadi
dibacanya salah.
"AZT adalah obat antiretroviral untuk HIV positif."
***
Ify memasukkan motornya ke garasi, kemudian berjalan ke arah tangga
layaknya zombie. Dia tidak bisa merasakan apa pun semenjak siang tadi.
Ify menatap tangga di depannya dengan mata menerawang. Dia tak yakin
harus menemui Rio dengan wajah seperti apa.
Ify menaiki tangga pelan-pelan, tidak ingin bertemu Rio dulu. Namun,
harapannya tidak terkabul karena pada saat Ify akan membuka pintu, Rio
keluar dari kamarnya dengan handuk tersampir di bahunya.
Ify hampir lupa bernapas saat melihat Rio. Mata Ify terasa panas
saking tidak berkedip, menatap sosok tegap—tapi pendek—di depannya.
Hampir tidak ada keanehan dalam sosok seorang Mario Stevano itu kecuali
ribuan virus yang mengalir dalam darahnya.
Rio balas menatap Ify aneh, hingga akhirnya menghela napas.
"Akhirnya lo tau, ya?" ucapnya sambil terkekeh sinis, ucapannya itu
lebih terasa sebagai pernyataan dibandingkan pertanyaan. "Sekarang, lo
nyesel udah pernah bantu gue? Gue udah pernah bilang, kan..."
"Kenapa?" tanya Ify dengan napas tercekat membuat Rio menatapnya lagi.
"Kenapa apa?" tanya Rio datar.
"Kenapa... kamu dapet penyakit ini?" tanya Ify lagi, air matanya hampir jatuh.
Rio tak langsung menjawab pertanyaan Ify. Dia menatap Ify lama, lalu mengalihkan pandangannya.
"Hubungan seks," kata Rio singkat membuat mata Ify membesar. Air mata sudah membanjiri pipinya. "Kenapa? Kaget?"
Ify tak bisa menjawab Rio. Dia sibuk menahan tangis. Rio sebisa mungkin tidak melihat ke arahnya.
"Sekarang, lo pasti bisa nggak ganggu gue lagi," kata Rio sambil
bergerak ke kamar mandi. Kepalanya berdenyut menyakitkan dan harus
diguyur air.
Rio sebisa mungkin pura-pura tidak tahu kalau Ify terduduk lemas di
depan kamarnya sambil menangis. Rio menutup pintu kamar mandi, memukul
tembok dengan keras, kemudian terduduk di lantai sambil meremas
kepalanya kuat-kuat.
Rio sudah tahu hari ini akan datang dan dia sudah mempersiapkan
dirinya. Namun, tetap saja, rasa sakit di hatinya mengalahkan semua
pertahanan yang sudah susah payah dibangunnya.
Berbagai 'kalau saja' sekarang berkelebat di benak Rio. Kalau saja
dia tidak pernah datang ke kost ini. Kalau saja sejak awal dia menjauhi
Ify.
Kalau saja dia tak pernah dilahirkan ke dunia ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar