Ify memandang kosong dinding di depannya. Bekas-bekas air mata yang
sudah mengering tampak di pipinya yang putih. Ify tidak tidur semalaman,
menyesali kebodohannya karena sudah sekian lama dipermainkan oleh Rio.
Tidak masalah kalau saja Rio mengatakan dia tidak menyukai Ify dari
awal. Tetapi, Rio melakukan hal-hal kejam yang sudah menyakiti hati Ify.
Bahkan, Ify tidak tahu apakah dia bisa memaafkan Rio setelah ini.
Tiba-tiba, terdengar suara pintu ditutup dari arah kamar Rio. Ify
melirik jam yang ada di meja kamarnya. Delapan lebih lima belas. Rio
pasti akan berangkat untuk mencari Gabriel, orang yang katanya sedang
dicarinya entah karena apa. Ify pikir, Rio pasti berbohong lagi. Rio
selalu berbohong padanya, seorang gadis lugu yang merupakan mangsa empuk
untuk dipermainkan.
Ify sudah tidak mau tahu lagi apa pun yang berkaitan dengan Mario Stevano. Ify sudah tidak mau peduli lagi.
Rio sedang menatap marah Alvin yang sedang tergeletak di depannya
dengan mulut penuh darah. Rio baru saja memberinya serangan fajar,
setelah apa yang sudah dilakukan Alvin kemarin. Rio sama sekali tidak
pernah menyangka kalau Alvin akan berbuat sebodoh itu dengan memberi
tahu Shilla di mana tempat tinggalnya sekarang.
Rio berjongkok di depan Alvin, lalu mencengkeram kaus Alvin. Alvin membalas tatapan marah Rio dengan tatapan tanpa ekspresi.
"Bangun lo!" kata Rio geram. "Apa yang membuat lo berpikir kalo lo berhak ngasih tau di mana gue tinggal ke Shilla?"
"Dia cuma mau minta maaf sama lo," jawab Alvin dengan susah payah. "Dia nyesel udah ninggalin lo."
"Gue udah bilang, kan, gue nggak mau berurusan lagi sama dia! Lo
bebal atau dungu, sih, Vin? Udah bagus dia ngejauhin gue!" sahut Rio
kalap. "Kenapa lo malah ngasih tau dia?"
"Karena dia ngancem mau bunuh diri kalo nggak gue kasih tau!" sahut
Alvin membuat Rio terdiam. "Ya, dia sampai semenyesal itu, Yo. Dia
bener-bener nyesel udah ninggalin lo!"
"Lo pengecut banget, sih, Vin! Nggak mungkin dia mau bunuh diri
begitu aja!" sahut Rio lagi. Alvin mendorong Rio sampai Rio terbanting.
Kemudian, Alvin duduk.
"Menurut gue, Yo, elo itu yang pengecut! Yang lo tau cuma menghindar
dari semua masalah! Lo nggak pernah berusaha untuk menyelesaikan
masalah lo! Lo cuma bisa lari dan sembunyi dari masalah!" cecar Alvin
sambil menyeka
darah yang sudah mengalir ke dagunya. "Kalo lo nggak mau Shilla
balik, seenggaknya lo bisa maafin dia supaya dia bisa nerusin hidupnya,
kan? Supaya dia nggak terus-terusan dihantui rasa bersalah."
Rio terdiam, lalu menyandarkan dirinya pada tembok.
"Gue udah ngelakuin itu. Gue udah maafin dia dari dulu," ujar Rio
pelan. "Gue udah nggak ada masalah sama dia, tapi yang jadi masalah
sekarang adalah cewek itu."
Alvin menatap Rio, seolah dia tak pernah memikirkan kemungkinan itu.
"Cewek itu ngeliat Shilla, dan semua alibi gue hancur," kata Rio sambil melirik Alvin tajam. "Itu semua karena lo."
"Terus... dia gimana?" tanya Alvin hati-hati.
"Yah, intinya, sekarang dia benci sama gue. Mungkin dia nggak mau
liat gue lagi. Dan, karena itu, gue harus cepet-cepet pindah kost," kata
Rio.
"Sori, Yo," ujar Alvin menyesal.
"Nggak perlu minta maaf," kata Rio. "Sori, gue udah mukul lo. Tapi,
lo emang pantes dapet pukulan itu, karena lo nggak ngomong-ngomong dulu
sama gue."
Alvin mengelus pipinya yang tadi ditonjok Rio, dia menatap Rio yang tampak melamun.
"Lo... nggak apa-apa, kan, Yo?" tanya Alvin cemas.
"Gue cuma ngerasa kalo gue udah keterlaluan sama dia, Vin," kata Rio
sambil menjambak rambutnya. "Semua omongan gue kemaren kayaknya
keterlaluan. Kalo dia nampar gue atau gimana, gue bisa terima. Tapi..."
"Tapi...?" tanya Alvin penasaran.
"Tapi, dia cuma bilang, kenapa kamu nggak sekalian bunuh aku? Dan,
bagi gue itu lebih dari cuma sekedar tamparan," ujar Rio, matanya
kembali menerawang hampa. "Baru kali ini gue nyesel kenal sama
seseorang, selain Gabriel."
Alvin tahu dengan pasti maksud kata-kata Rio. Rio pasti sedang
berharap dia tidak pernah mengenal cewek itu sehingga tidak akan pernah
berpisah dengannya. Karena jika ada pertemuan, pasti akan ada
perpisahan, bukan?
***
Ify memutuskan untuk keluar dari kamar karena Rio pasti sudah tidak
ada. Ify membuka pintu dan mendapati Shilla sedang ada di depan kamar
Rio, bermaksud untuk mengetuk pintunya. Shilla menoleh, dan tersenyum
pada Ify yang tidak sempat membalasnya karena terlalu kaget.
"Hai," sapa Shilla ramah. Ify hanya membalasnya dengan anggukan. "Rio ada?"
"Nggak tau, ya," jawab Ify, dengan suara yang bukan miliknya. "Coba diketok aja."
Ify berjalan melewati Shilla untuk ke kamar mandi. Shilla memerhatikan Ify sampai dia menghilang di balik pintu kamar mandi.
Tak berapa lama, Ify keluar dan langsung terlonjak kaget karena
Shilla sudah ada di depan pintu kamar mandi, terlihat seperti sedang
menunggunya. Shilla tersenyum ramah lagi pada Ify.
"Kamu Ify, kan? Kita ngobrol sebentar, yuk?" tanya Shilla membuat
Ify menganga. Namun, akhirnya, dia mengikuti Shilla ke lantai tiga.
Ify menatap punggung Shilla yang bahkan terlihat sempurna. Ify tidak
heran kalau Rio mati-matian menolaknya karena Ify sama sekali berbeda
dengan Shilla. Shilla tipe gadis cantik yang begitu sempurna, bukannya
gadis lugu yang tidak berarti apa-apa sepertinya.
"Ify, aku Shilla," kata Shilla membuka pembicaraan. Dia mengulurkan
tangannya, yang disambut dengan bingung oleh Ify. "Aku rasa kamu udah
tau siapa aku dari Rio."
"Yah, kurang lebih," balas Ify kaku. Dia tidak mau mengatakan kalau Shilla adalah satu-satunya cewek untuk Rio.
"Kamu... suka sama Rio?" tanya Shilla membuat Ify bengong untuk kesekian kalinya. Ify tidak langsung menjawab
pertanyaan itu. Dia tertunduk, merasa malu sudah berpikiran untuk menyukai Rio yang sudah punya pacar secantik
Shilla.
"Aku..." Ify kehilangan kata-kata.
"Aku tau, kok," ujar Shilla sambil tersenyum. "Hhhh... Rio
sebenernya beruntung, ya, punya orang-orang yang suka dan sayang sama
dia."
Beberapa saat, tidak ada satu pun yang berbicara di antara mereka.
"Fy, kamu tau, kenapa Rio bisa punya penyakit seperti ini?" tanya Shilla kemudian.
"Aku nggak tau lagi mana alasan yang bener," jawab Ify getir. "Rio
udah terlalu banyak berbohong sama aku. Aku nggak tau lagi..."
Shilla menatap Ify yang tampak menahan tangis.
"Kayaknya Rio masih merahasiakan soal 'itu', ya, sama kamu," ujar
Shilla membuat Ify menatapnya. "Mungkin, dia berbohong demi kebaikan
kamu. Ya, dia ngelakuin itu semua buat melindungi kamu."
"Melindungi? Dia nyakitin aku terus!" balas Ify dengan suara serak. Sejenak, dia menyesal karena sudah berteriak.
"Maaf."
Shilla tersenyum menatap gadis ringkih di depannya yang sudah membuat Rio jatuh cinta.
"Ify, kamu tau seseorang bernama Gabriel Stevent?" tanya Shilla lagi membuat Ify mendengus.
"Ya, tokoh rekaannya Rio," ujar Ify skeptis.
"Bukan rekaan, dia emang bener-bener ada." Jawaban Shilla membuat Ify menatapnya tak percaya. "Gabriel itu dulu
sahabatnya Rio."
Shilla mengambil napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya sementara Ify tak melepas pandangannya.
"Lima tahun yang lalu, aku, Rio, Gabriel, dan satu orang lagi
bernama Alvin Jonathan, bersahabat. Kami sekelas dari kelas satu sampai
kelas tiga SMA. Kami udah nggak terpisahkan, ke mana-mana selalu
bareng." Shilla memulai ceritanya. "Kami semua punya cita-cita
masing-masing, kecuali Gabriel. Dia ini pengacau, selalu aja bikin
keributan dan sama sekali nggak punya visi buat masa depan.
Gabriel paling akrab sama Rio, karena mereka berdua udah kenal dari
SD. Dengan Rio, Gabriel nggak pernah macem-macem. Mereka udah seperti
kakak-adik. Kamu tau cita-cita Rio?" tanya Shilla di tengah-tengah
ceritanya, membuat Ify menggeleng. "Sutradara. Rio pengen banget jadi
sutradara, sampai-sampai dia rela menghabiskan uang tabungannya untuk
beli kaset dan bikin film kecil-kecilan yang pemainnya kami-kami ini.
Suatu hari, entah kenapa, Gabriel jadi agak berubah. Dia jadi agak
cenderung pemarah, bahkan ke Rio sekalipun. Kadang, dia suka marahin Rio
kalau Rio terlalu banyak bergaul sama anak-anak ekskul film. Dan,
akhirnya, peristiwa itu terjadi," kata Shilla. Dia berhenti sejenak,
lalu menarik napas.
"Saat pulang sekolah, Rio diajak Gabriel ketemu sama teman-temannya
yang juga merupakan preman sekolah kami. Mereka adalah murid-murid drop
out sekolah kami. Entah bagaimana Gabriel bisa berteman dengan mereka.
Saat itu mereka... sedang di bawah pengaruh alkohol dan obat-obatan,"
ucap Shi;;a, suaranya sudah mulai serak. "Mereka nyuruh Gabriel untuk...
nyuntik Rio dengan suntikan bekas pakai."
Mata Ify membesar, tak percaya dengan cerita Shilla. Air mata Shilla sendiri sudah mengalir.
"Gabriel yang takut sama mereka akhirnya cuma bisa ngelakuin apa
yang mereka minta. Setelah itu, Rio nggak cerita sama siapa-siapa lagi.
Dia takut sama Gabriel dan selalu menghindar kalau mereka ketemu di
sekolah. Waktu itu, aku sama Alvin nggak tau apa-apa," kata Shilla.
"Suatu ketika, Gabriel dipindah sekolah sama orang tuanya karena ketauan
ngobat. Rio jadi ceria lagi, dan dia juga mulai bikin film lagi. Tapi,
beberapa bulan kemudian, dia kena kecelakaan yang cukup parah, yang
membuat dia harus dirawat di rumah sakit. Dan, dari sana, baru ketahuan
kalo ada virus HIV di darah Rio.
Saat itu, yang tau cuma orang tuanya dan aku. Aku kebetulan ada di
rumah sakit saat dokter ngasih tau vonis itu. Waktu itu aku masih remaja
yang pemikirannya masih labil, aku masih terlalu ngeri dengan kata-kata
HIV. Setelah tau kalau Rio punya virus itu, aku langsung perlahan-lahan
menjauhinya," ujar Shilla sambil terisak. "Bukan cuma aku, tapi kedua
orang tuanya juga menjauh. Mereka—seperti aku—malu dan takut karena
penyakit itu. Alvin yang emang nggak tau apa-apa memang nggak menjauh,
tapi Rio yang malah menjauhinya."
Shilla menatap Ify yang juga sudah terisak. Ify sama sekali tidak
tahu kalau kejadian yang sebenarnya seperti ini. Ify sama sekali tidak
tahu bahwa penderitaan Rio jauh lebih besar dari yang dibayangkannya.
"Fy, kamu jangan membenci Rio karena dia berusaha menjauhi kamu,"
kata Shilla. "Dia cuma nggak ingin kamu terkena imbasnya juga. Di balik
sikapnya yang dingin dan kasar itu, dia sebenarnya takut, Fy."
Ify menangis lebih keras. Dadanya sampai terasa sakit. Shilla mengelus-elus punggungnya.
"Ify, aku kagum sama kamu," katanya. "Aku yang pengecut ini, nggak
pantes untuk ada di samping Rio. Di saat semua orang menjauhi Rio, kamu
ada untuk dia. Aku bener-bener malu sama kamu, Fy."
"Haah? Maksud kamu apa?" tanya Ify di sela-sela isakannya, bingung dengan kata-kata Shilla. Bukankah Shilla adalah kekasih Rio?
"Aku yakin, sekarang cuma kamu yang bisa jadi kekuatan buat Rio. Cuma kamu yang bisa menghentikan dia," kata Shilla.
"Menghentikan apa?" tanya Ify lagi.
"Fy," kata Shilla dengan tatapan serius. "Kamu tau apa alasan Rio
datang ke sini? Kamu tau apa alasan Rio mau ketemu Gabriel lagi?"
Ify menggeleng, tetapi rasanya dia sudah tahu jawabannya.
"Dia mau membunuh Gabriel." Ucapan Shilla membuat Ify membekap
mulutnya sendiri. "Dia udah nggak peduli lagi tentang apa yang akan
terjadi setelah itu. Dia mau membunuh Gabriel karena udah merusak
hidupnya."
Ify tak bisa berkata-kata. Tangan dan kakinya sudah dingin begitu
memikirkan kata-kata Shilla. Ify langsung teringat pada sebilah belati
yang pernah dia temukan di dalam ransel Rio. Ternyata, untuk itu dia
membawa belati itu. Untuk membunuh Gabriel.
"Kenapa...?" tanya Ify dengan suara tercekat.
"Dia merasa udah nggak ada gunanya lagi dia hidup, selain untuk
membunuh Gabriel, akar dari semua penderitaan yang menimpanya," kata
Shilla lemah. "Aku udah nggak berhak lagi untuk menahan dia, Fy, karena
dulu aku udah ninggalin dia. Dan sekarang, cuma kamu yang bisa."
Ify menatap Shilla tak percaya. Rio kemarin bilang kalau hanya
Shilla cewek satu-satunya, tetapi kalau Shilla saja tidak bisa menahan
Rio, bagaimana Ify bisa menahannya?
"Shilla, dia nggak suka sama aku. Dia benci sama aku. Gimana aku bisa nahan dia?" tanya Ify membuat Shilla tersenyum.
"Dia bilang begitu, ya?" kata Shilla. "Ini tips buat kamu, Fy. Mulai
sekarang, apa pun yang dia bilang, maknai sebaliknya. Kamu tau sendiri,
kan, kalau Rio tukang bohong? Jadi, mulai sekarang, jangan terlalu kamu
anggap serius perkataan Rio."
"Dia... bohong lagi...?" tanya Ify dengan suara serak, dan akhirnya
menangis lagi, tetapi lebih karena bahagia. Ini artinya, Rio kemarin
sudah berbohong saat mengatakan bahwa Shilla adalah cewek satu-satunya
untuk dia.
"Ify," kata Shilla lagi. "Aku percayakan Rio sama kamu, ya? Karena kalau sama kamu, aku bisa merelakan dia."
Ify menatap Shilla lagi. Shilla tersenyum hangat.
"Aku nggak pernah cukup baik buat dia, Fy. Aku pergi ketakutan saat
dia membutuhkan aku, dan baru sadar bertahun-tahun kemudian. Aku baru
cukup kuat untuk menerima kenyataan itu setelah bertahun-tahun kemudian.
Aku bener-bener nggak sebanding sama kamu," ujar Shilla lagi.
Mata Shilla menatap Ify dalam-dalam. Lalu mulai melanjutkan
perkataannya, "Fy, aku mohon, tolong jangan jauhi Rio apa pun yang
terjadi. Satu-satunya kesempatan Rio untuk bahagia adalah kamu. Kamu tau
kenapa Rio selama ini membohongi kamu? Ini karena Rio nggak ingin kamu
mencintainya, karena kalau hal itu sampai terjadi, dia harus siap
kehilangan kamu lagi suatu saat nanti. Kamu ngerti, kan, Fy? Dia cuma
takut kehilangan kamu."
Ify langsung terisak lagi. Pikiran Ify benar-benar kacau, setelah
mendengar kebenaran dari mulut Shilla. Selama ini, Rio selalu membohongi
Ify supaya Ify menjauhinya. Rio bahkan rela melakukan apa pun supaya
Ify membenci dirinya. Ternyata, alasan dari itu semua adalah karena dia
takut akan kehilangan Ify.
"Fy, kamu bisa, kan, menjawab kekhawatirannya itu?" tanya Shilla, tetapi Ify tak bisa menjawab.
Ify tidak harus menjawab dan Shilla pun sudah tahu jawabannya.
Shilla lalu menghela napas lega. Kalau di dunia ini diciptakan satu
orang yang bisa mengembalikan Rio seperti Mario Stevano yang dulu, gadis
inilah orangnya.
***
Rio memasang sebuah kaset di handycam-nya. Saat itu, Rio sedang
sendirian di kamar kost Alvin karena si empunya kamar sedang bekerja.
Rio memerhatikan orang-orang yang ada di layar handycam-nya.
Film yang sedang ditontonnya adalah sebuah film pendek yang dibuat
Rio di Pantai Manado tahun 2004 lalu. Film yang tadinya akan dimasukkan
ke lomba film indie. Film yang dibuat dengan segenap hati dan dibintangi
oleh orang-orang yang paling disayanginya.
Rio menatap Alvin, Gabriel, Shilla, Mama, serta Papanya di layar
handycam-nya. Baru kali ini, Rio memberanikan diri untuk menonton lagi
film ini dari awal sampai akhir. Sebelumnya, Rio bermaksud untuk
melupakannya, karena menonton film ini membuatnya teringat pada
orang-orang yang sudah menjauhinya karena penyakit yang dideritanya.
Wajah Gabriel, si pemeran utama, tiba-tiba muncul sendirian di
layar. Rio menatap sosok itu, dan tanpa terasa tangannya sudah terkepal
keras. Dia adalah orang yang yang membuat semua kehidupannya hancur
berantakan, orang yang menjadi akar dari semua permasalahannya.
Ingatan Rio tiba-tiba terlempar ke masa silam, lima tahun yang lalu.
~*oOo*~ Flashback mode ON ~*oOo*~
"Oi, Rio! Pulang sekolah nanti kita ke belakang kantin dulu, ya,"
kata Gabriel sambil menghampiri Rio yang sedang berkutat dengan
handycam-nya.
"Ngapain?" tanya Rio tanpa menoleh.
"Gue mau ketemu sama temen lama gue, dia mau kasih gue sesuatu,"
kata Gabriel lagi sambil mengamati video yang sedang ditonton Rio. "Ya
ampun. Another documantary?"
Rio hanya mengedikkan bahu, matanya masih tertancap ke video
dokumenter yang baru saja diselesaikannya. Namun kemudian, dia beralih
menatap sahabat karibnya itu.
"Apa yang mau dia kasih? Another blue film?" sindir Rio, dan Gabriel hanya terkekeh.
"Bukan. Ini sesuatu yang lebih daripada itu," kata Gabriel, mencondongkan dirinya pada Rio. "Lo juga harus coba."
Rio menatap Gabriel tanpa ekspresi. Dia tahu kalau menyangkut Gabriel, pasti semuanya berhubungan dengan cewek.
"Oke, terserah lo aja, deh. Asal jangan lama-lama, karena gue harus
transfer ini video. Gue lagi ngejar deadline, nih," kata Rio akhirnya.
"Siap, bos. Dasar maniak film," balas Gabriel sambil terkekeh.
"Calon sutradara," ralat Rio, dan Gabriel tergelak lebih hebat.
Sepulang sekolah,
"Serius, Yel, siapa, sih, yang lagi lo tunggu?" tanya Rio setelah menunggu hampir selama satu jam.
"Temen lama gue," jawab Gabiel. Sekarang dia tampak gelisah. Rio memerhatikannya bingung.
Tak lama kemudian, beberapa orang bertubuh besar dan bertato di
sana-sini muncul. Sejenak Rio merasa kalau mereka tidak mungkin teman
lama yang dimaksud Gabriel, tapi mendadak Rio merasa takut. Rio tidak
tahu, sejak kapan Gabriel bergaul dengan orang-orang seperti ini.
"Oi, Gabriel! Apa kabar lo?" sahut seseorang dari mereka yang di
wajahnya terdapat codet. Rio bisa mencium bau alkohol dalam radius tiga
meter.
"Baik. Mana barangnya?" kata Gabriel cepat.
"Sabar, dong, man," ucap laki-laki tadi lalu melirik ke arah Rio
yang mulai mundur teratur. "Wah, siapa, nih? Temen lo? Calon pelanggan
baru?"
"Bukan," kata Gabriel sambil menahan laki-laki itu yang sekarang sedang berjalan sempoyongan ke arah Rio. "Dia cuma temen gue."
"Temen ya...?" kata laki-laki itu, lalu menarik Gabriel ke
pinggiran, dan membisikkinya sesuatu. Rio tak bisa mendengar mereka,
tetapi firasatnya mulai tidak enak.
Tak lama kemudian, kawanan itu mendekati Rio. Bau alkohol menguar
hebat dari tubuh mereka. Gabriel menatap Rio takut-takut, dan saat
itulah, Rio tahu kalau sesuatu yang sangat buruk akan terjadi. Rio baru
akan berlari kabur saat beberapa tangan menahannya. Rio langsung meronta
sekuat tenaga, tapi kawanan itu jauh lebih besar darinya.
"LEPASIN GUE!" sahut Rio sekuat tenaga sambil berusaha melepaskan
diri dari cengkeraman dua orang besar yang ada di sampingnya. Namun,
cengkeraman mereka malah bertambah kuat.
"DIEM LO!" sahut seseorang di depan Rio. Seseorang berdagu kasar
menonjoknya dengan sekuat tenaga dan membuat pelipisnya berdarah.
"MAU APA LO?" sahut Rio lagi. Dia melirik Gabriel, sahabatnya yang
ada tepat di belakang lelaki yang barusan menonjoknya. Ekspresinya aneh,
sama sekali tak dapat ditebak. "Yel, apa maksud lo, hah?"
"Yo, nggak sakit, kok," kata Gabriel sambil membawa sebuah suntikan,
membuat mata Rio melebar. "Cuma sekali doang nggak bikin ketagihan,
kok."
"Yel! Lo apa-apaan! Buang!" seru Rio, tapi Gabriel seperti tak punya
pilihan. Laki-laki di belakangnya tampak sedang mengancamnya.
Kawanan itu terkekeh saat Gabriel menghampiri Rio yang sudah tak
bisa berkutik lagi. Gabriel membuka tutup suntikan itu, lalu salah
seorang dari kawanan itu memberikan lengan kiri Rio yang sudah menegang
karena kerasnya perlawanan Rio.
"Sori, Yo," kata Gabriel, lalu dengan mata menatap lurus pada mata Rio, Gabriel menusukkan suntikan itu ke tangan Rio.
Rio sudah tak bisa merasakan rasa sakit. Dia hanya melihat mata
sahabatnya dengan tatapan marah, bertanya-tanya apa yang membuatnya
berbuat setega itu.
~*oOo*~ Flashback mode OFF ~*oOo*~
Rio mencengkeram lengan kirinya keras. Kenangan itu sudah sekian
lama menjadi mimpi buruk Rio. Kejadian itu sudah berlalu sekitar lima
tahun, tetapi rasa panas yang menjalar di lengan kiri Rio masih terasa
sampai sekarang. Rio juga tidak bisa melupakan tatapan aneh Gabriel saat
dia menyuntikkan obat terlarang itu ke lengan Rio.
Bukan, bukan obat terlarangnya yang membuat Rio hancur. Obat itu
memang berpengaruh sedikit, tetapi Rio telah berhasil melaluinya.
Suntikan itulah yang membuat seluruh kehidupannya hancur. Suntikan yang
entah berasal dari mana dan membawa virus yang akan menjadi penyebab
kematiannya.
Rio menghantamkan kepalan tangannya ke lantai, rahangnya mengeras.
Bagaimana pun, dia harus menemukan Gabriel untuk balas dendam. Karena
kejadian itu, Rio sudah tidak mempunyai tujuan hidup lagi, selain
menuntut balas atas perbuatan Gabriel lima tahun yang lalu.
Kejadian itu juga yang telah membawanya pada seorang Alyssa Saufika,
dan memaksanya untuk berpisah lagi dengan cewek yang sedikit demi
sedikit telah mencairkan hatinya yang telah lama membeku—meski belum
sepenuhnya. Rio mengambil sebuah kaset di antara beberapa kaset yang
tergeletak, lalu memasangnya di
handycam-nya.
Air mata Rio langsung menetes tanpa disadarinya saat melihat gambar
Ify berlarian dengan latar belakang Pantai Bandung di layar
handycam-nya. Rio sama sekali tidak bermaksud untuk menangis, tetapi air
mata itu keluar dengan sendirinya. Otak Rio memang telah
memerintahkannya untuk melupakan Ify, tetapi ternyata hatinya tidak
bisa.
Rio sekarang tahu kalau air mata dan kesedihan sama sekali tak ada
hubungannya dengan otak. Karena sekuat apa pun Rio menahannya, air
matanya akan tetap jatuh.
***
Rio menatap kost tua di depannya ragu. Hari ini, Rio bermaksud untuk
kembali ke tempat kost-nya untuk mengambil beberapa baju. Dia tidak
akan tinggal di kost ini sampai menemukan tempat kost baru, dan selama
itu pula Rio akan numpang di kost Alvin selama beberapa malam. Rio sama
sekali tak ingin berurusan dengan seorang Ify lagi.
Mengingat nama itu lagi membuat Rio pening. Semalaman, kepala Rio
sudah dipenuhi oleh bayang-bayang Ify hingga membuatnya hampir gila. Rio
memijat lehernya dan berjalan masuk. Ozy tampak sedang mengelap
motornya.
"Rio, baru pulang, ya?" tanya Ozy. Rio hanya balas tersenyum. Tiba-tiba langkah Rio terhenti.
"Zy, ng... Ify... ada nggak, ya?" tanyanya membuat Ozy mengernyit bingung.
"Eh? Ify? Nggak ada, dia lagi nemenin Tante Winda dan suaminya ke rumah saudaranya di Solo. Kenapa, Yo?" tanya Ozy lagi.
"Oh, nggak apa-apa," jawab Rio cepat dan segera bergerak menuju
tangga. Rio menghela napas lega. Ternyata Ify tidak ada di kos. Dengan
begini dia bisa bebas tanpa harus bertemu dengannya selama beberapa
hari. Ketika Rio sampai pada anak tangga terakhir, Rio terpaku saat
melihat sosok di hadapannya.
Déja vu.
"Tapi, kalo cewek cantik yang dateng kemaren ada, Yo!" seru Ozy dari
bawah. Sedikit terlambat memang, karena Rio sudah lebih dulu melihat
Shilla. Shilla pun sudah melihat Rio.
Shilla tersenyum pada Rio, yang dibalas dengan sedikit ogah-ogahan
oleh Rio. Rio tak tahu apa yang masih dilakukan Shilla di sini. Rio lalu
beranjak mendekati Shilla.
"Ada apa, Shil?" tanya Rio.
"Aku mau pulang ke Manado, Yo," jawab Shilla pelan. Rio mengangguk.
"Tapi... aku mau ngobrol sebentar lagi sama kamu, sekalian pamitan."
Rio menatap Shilla sebentar, lalu mengangguk lagi.
"Ayo ke atas," ajak Rio sambil melangkah duluan ke lantai tiga.
Shilla mengikutinya. Setelah sampai, Rio langsung bersandar di pagar
pembatas, sementara Shilla menatapnya lekat-lekat. Rio meliriknya. "Apa,
kamu mau minta maaf lagi?"
Shilla segera tersenyum lemah. Dia duduk di bangku panjang.
"Rio, kemarin aku... ngobrol sama Ify," kata Shilla membuat mata Rio melebar sempurna.
"Apa?" kata Rio dingin. Shilla tahu, Rio pasti sangat marah.
"Aku udah cerita tentang penyebab kamu bisa dapet penyakit ini. Aku
udah cerita semuanya sama dia. Maaf kalo aku ngelakuin ini semua tanpa
permisi dulu sama kamu, tapi aku rasa, dia berhak untuk tau." Ucapan
Shilla barusan membuat Rio membuang pandangannya. "Yo, dia tulus sama
perasaannya, dan aku tau persis gimana perasaan kamu."
Rio mendengus skeptis. "Oh, ya? Kamu tau, ya?"
"Iya. Kamu takut. Iya, kan, Yo?" ujar Shilla membuat Rio terdiam.
"Kamu cuma takut kehilangan dia, seperti dulu kamu kehilangan semua
orang yang kamu sayangi. Iya, kan, Yo?"
Rio tidak menjawab. Dia hanya menatap bangunan-bangunan di depannya tanpa ekspresi. Shilla menghampiri Rio.
"Rio, aku tau aku nggak berhak ngomong ini, tapi kamu berhak bahagia
sama Ify, Rio. Aku tau, dulu aku begitu bodoh udah ninggalin kamu, dan
sekarang kamu nggak mau terima aku lagi. Tapi, Rio, Ify adalah orang
yang paling tepat buat kamu. Jadi, mendukung kamu sama Ify adalah
satu-satunya yang aku bisa lakukan untuk kamu!" sahut Shilla sambil
menarik lengan Rio.
"Shilla," kata Rio dingin membuat Shilla berhenti menarik Rio. Rio
menoleh dan menatap Shilla tajam. "Cukup sampai di sini campur tangan
kamu. Aku berterima kasih kamu udah sejauh ini mikirin aku, tapi nggak
ada kebahagiaan lain buatku selain balas dendam sama Gabriel."
"Tapi, Yo..."
"Shil," desak Rio lagi. "Tolong jangan paksa aku. Aku nggak mau ngebentak kamu."
Shilla terdiam, sementara Rio sudah membuang pandangannya lagi. Air
mata Shilla mulai jatuh. Cewek itu merasa tak berdaya menghadapi Rio
yang sudah tak tergapai seperti ini. Shilla juga kesal pada dirinya
sendiri karena sekali lagi telah gagal menghadapi Rio. Dia hanya bisa
menggigit bibir bagian bawahnya agar tidak terisak.
Rio menoleh menatap Shilla lama. Gadis yang dulu pernah dicintainya
sepenuh hati. Gadis yang juga sudah meninggalkannya dan kini kembali
lagi untuknya, bahkan mendukungnya untuk bahagia bersama orang lain.
Shillao tidak bisa lebih berterima kasih lagi padanya.
"Shilla," kata Rio membuat Shilla sedikit mengangkat wajahnya. Rio
terdiam sebentar, berusaha mengendalikan emosinya. "Kamu... harus
bahagia, ya."
Shilla menatap Rio, dan kembali menangis hebat sampai jatuh terduduk
di lantai yang dingin. Tidak pernah hati Shilla merasa sesakit ini
seumur hidupnya. Perkataan Rio tadi seakan menyiratkan bahwa dia akan
bahagia bersama orang lain selain Rio, tetapi saat Rio mengatakannya
sekarang, Shilla tahu, kalau dia sudah membuat kesalahan yang paling
besar dalam hidupnya, meninggalkan Rio begitu saja beberapa tahun yang
lalu. Dan sekarang, Shilla tahu, bahwa dia tak akan bisa lebih bahagia
dari saat-saat bersama Rio dulu.
Rio membiarkan Shilla menangis untuk beberapa saat. Rio harus bisa
merelakannya. Rio harus bisa merelakan semua yang dia miliki, termasuk
apa yang disayanginya sekarang. Ya, Ify.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar