Selasa, 26 Juni 2012

The Truth About Forever - Chapter 11 : The Truth Revealed

Ify memandang kosong dinding di depannya. Bekas-bekas air mata yang sudah mengering tampak di pipinya yang putih. Ify tidak tidur semalaman, menyesali kebodohannya karena sudah sekian lama dipermainkan oleh Rio.



Tidak masalah kalau saja Rio mengatakan dia tidak menyukai Ify dari awal. Tetapi, Rio melakukan hal-hal kejam yang sudah menyakiti hati Ify. Bahkan, Ify tidak tahu apakah dia bisa memaafkan Rio setelah ini.



Tiba-tiba, terdengar suara pintu ditutup dari arah kamar Rio. Ify melirik jam yang ada di meja kamarnya. Delapan lebih lima belas. Rio pasti akan berangkat untuk mencari Gabriel, orang yang katanya sedang dicarinya entah karena apa. Ify pikir, Rio pasti berbohong lagi. Rio selalu berbohong padanya, seorang gadis lugu yang merupakan mangsa empuk untuk dipermainkan.



Ify sudah tidak mau tahu lagi apa pun yang berkaitan dengan Mario Stevano. Ify sudah tidak mau peduli lagi.

Rio sedang menatap marah Alvin yang sedang tergeletak di depannya dengan mulut penuh darah. Rio baru saja memberinya serangan fajar, setelah apa yang sudah dilakukan Alvin kemarin. Rio sama sekali tidak pernah menyangka kalau Alvin akan berbuat sebodoh itu dengan memberi tahu Shilla di mana tempat tinggalnya sekarang.



Rio berjongkok di depan Alvin, lalu mencengkeram kaus Alvin. Alvin membalas tatapan marah Rio dengan tatapan tanpa ekspresi.



"Bangun lo!" kata Rio geram. "Apa yang membuat lo berpikir kalo lo berhak ngasih tau di mana gue tinggal ke Shilla?"



"Dia cuma mau minta maaf sama lo," jawab Alvin dengan susah payah. "Dia nyesel udah ninggalin lo."



"Gue udah bilang, kan, gue nggak mau berurusan lagi sama dia! Lo bebal atau dungu, sih, Vin? Udah bagus dia ngejauhin gue!" sahut Rio kalap. "Kenapa lo malah ngasih tau dia?"



"Karena dia ngancem mau bunuh diri kalo nggak gue kasih tau!" sahut Alvin membuat Rio terdiam. "Ya, dia sampai semenyesal itu, Yo. Dia bener-bener nyesel udah ninggalin lo!"



"Lo pengecut banget, sih, Vin! Nggak mungkin dia mau bunuh diri begitu aja!" sahut Rio lagi. Alvin mendorong Rio sampai Rio terbanting. Kemudian, Alvin duduk.



"Menurut gue, Yo, elo itu yang pengecut! Yang lo tau cuma menghindar dari semua masalah! Lo nggak pernah berusaha untuk menyelesaikan masalah lo! Lo cuma bisa lari dan sembunyi dari masalah!" cecar Alvin sambil menyeka

darah yang sudah mengalir ke dagunya. "Kalo lo nggak mau Shilla balik, seenggaknya lo bisa maafin dia supaya dia bisa nerusin hidupnya, kan? Supaya dia nggak terus-terusan dihantui rasa bersalah."



Rio terdiam, lalu menyandarkan dirinya pada tembok.



"Gue udah ngelakuin itu. Gue udah maafin dia dari dulu," ujar Rio pelan. "Gue udah nggak ada masalah sama dia, tapi yang jadi masalah sekarang adalah cewek itu."



Alvin menatap Rio, seolah dia tak pernah memikirkan kemungkinan itu.



"Cewek itu ngeliat Shilla, dan semua alibi gue hancur," kata Rio sambil melirik Alvin tajam. "Itu semua karena lo."



"Terus... dia gimana?" tanya Alvin hati-hati.



"Yah, intinya, sekarang dia benci sama gue. Mungkin dia nggak mau liat gue lagi. Dan, karena itu, gue harus cepet-cepet pindah kost," kata Rio.



"Sori, Yo," ujar Alvin menyesal.



"Nggak perlu minta maaf," kata Rio. "Sori, gue udah mukul lo. Tapi, lo emang pantes dapet pukulan itu, karena lo nggak ngomong-ngomong dulu sama gue."



Alvin mengelus pipinya yang tadi ditonjok Rio, dia menatap Rio yang tampak melamun.



"Lo... nggak apa-apa, kan, Yo?" tanya Alvin cemas.



"Gue cuma ngerasa kalo gue udah keterlaluan sama dia, Vin," kata Rio sambil menjambak rambutnya. "Semua omongan gue kemaren kayaknya keterlaluan. Kalo dia nampar gue atau gimana, gue bisa terima. Tapi..."



"Tapi...?" tanya Alvin penasaran.



"Tapi, dia cuma bilang, kenapa kamu nggak sekalian bunuh aku? Dan, bagi gue itu lebih dari cuma sekedar tamparan," ujar Rio, matanya kembali menerawang hampa. "Baru kali ini gue nyesel kenal sama seseorang, selain Gabriel."



Alvin tahu dengan pasti maksud kata-kata Rio. Rio pasti sedang berharap dia tidak pernah mengenal cewek itu sehingga tidak akan pernah berpisah dengannya. Karena jika ada pertemuan, pasti akan ada perpisahan, bukan?





***





Ify memutuskan untuk keluar dari kamar karena Rio pasti sudah tidak ada. Ify membuka pintu dan mendapati Shilla sedang ada di depan kamar Rio, bermaksud untuk mengetuk pintunya. Shilla menoleh, dan tersenyum pada Ify yang tidak sempat membalasnya karena terlalu kaget.



"Hai," sapa Shilla ramah. Ify hanya membalasnya dengan anggukan. "Rio ada?"



"Nggak tau, ya," jawab Ify, dengan suara yang bukan miliknya. "Coba diketok aja."

Ify berjalan melewati Shilla untuk ke kamar mandi. Shilla memerhatikan Ify sampai dia menghilang di balik pintu kamar mandi.



Tak berapa lama, Ify keluar dan langsung terlonjak kaget karena Shilla sudah ada di depan pintu kamar mandi, terlihat seperti sedang menunggunya. Shilla tersenyum ramah lagi pada Ify.



"Kamu Ify, kan? Kita ngobrol sebentar, yuk?" tanya Shilla membuat Ify menganga. Namun, akhirnya, dia mengikuti Shilla ke lantai tiga.



Ify menatap punggung Shilla yang bahkan terlihat sempurna. Ify tidak heran kalau Rio mati-matian menolaknya karena Ify sama sekali berbeda dengan Shilla. Shilla tipe gadis cantik yang begitu sempurna, bukannya gadis lugu yang tidak berarti apa-apa sepertinya.



"Ify, aku Shilla," kata Shilla membuka pembicaraan. Dia mengulurkan tangannya, yang disambut dengan bingung oleh Ify. "Aku rasa kamu udah tau siapa aku dari Rio."



"Yah, kurang lebih," balas Ify kaku. Dia tidak mau mengatakan kalau Shilla adalah satu-satunya cewek untuk Rio.



"Kamu... suka sama Rio?" tanya Shilla membuat Ify bengong untuk kesekian kalinya. Ify tidak langsung menjawab

pertanyaan itu. Dia tertunduk, merasa malu sudah berpikiran untuk menyukai Rio yang sudah punya pacar secantik

Shilla.



"Aku..." Ify kehilangan kata-kata.



"Aku tau, kok," ujar Shilla sambil tersenyum. "Hhhh... Rio sebenernya beruntung, ya, punya orang-orang yang suka dan sayang sama dia."



Beberapa saat, tidak ada satu pun yang berbicara di antara mereka.



"Fy, kamu tau, kenapa Rio bisa punya penyakit seperti ini?" tanya Shilla kemudian.



"Aku nggak tau lagi mana alasan yang bener," jawab Ify getir. "Rio udah terlalu banyak berbohong sama aku. Aku nggak tau lagi..."



Shilla menatap Ify yang tampak menahan tangis.



"Kayaknya Rio masih merahasiakan soal 'itu', ya, sama kamu," ujar Shilla membuat Ify menatapnya. "Mungkin, dia berbohong demi kebaikan kamu. Ya, dia ngelakuin itu semua buat melindungi kamu."



"Melindungi? Dia nyakitin aku terus!" balas Ify dengan suara serak. Sejenak, dia menyesal karena sudah berteriak.

"Maaf."



Shilla tersenyum menatap gadis ringkih di depannya yang sudah membuat Rio jatuh cinta.



"Ify, kamu tau seseorang bernama Gabriel Stevent?" tanya Shilla lagi membuat Ify mendengus.



"Ya, tokoh rekaannya Rio," ujar Ify skeptis.



"Bukan rekaan, dia emang bener-bener ada." Jawaban Shilla membuat Ify menatapnya tak percaya. "Gabriel itu dulu

sahabatnya Rio."



Shilla mengambil napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya sementara Ify tak melepas pandangannya.



"Lima tahun yang lalu, aku, Rio, Gabriel, dan satu orang lagi bernama Alvin Jonathan, bersahabat. Kami sekelas dari kelas satu sampai kelas tiga SMA. Kami udah nggak terpisahkan, ke mana-mana selalu bareng." Shilla memulai ceritanya. "Kami semua punya cita-cita masing-masing, kecuali Gabriel. Dia ini pengacau, selalu aja bikin keributan dan sama sekali nggak punya visi buat masa depan.



Gabriel paling akrab sama Rio, karena mereka berdua udah kenal dari SD. Dengan Rio, Gabriel nggak pernah macem-macem. Mereka udah seperti kakak-adik. Kamu tau cita-cita Rio?" tanya Shilla di tengah-tengah ceritanya, membuat Ify menggeleng. "Sutradara. Rio pengen banget jadi sutradara, sampai-sampai dia rela menghabiskan uang tabungannya untuk beli kaset dan bikin film kecil-kecilan yang pemainnya kami-kami ini.



Suatu hari, entah kenapa, Gabriel jadi agak berubah. Dia jadi agak cenderung pemarah, bahkan ke Rio sekalipun. Kadang, dia suka marahin Rio kalau Rio terlalu banyak bergaul sama anak-anak ekskul film. Dan, akhirnya, peristiwa itu terjadi," kata Shilla. Dia berhenti sejenak, lalu menarik napas.



"Saat pulang sekolah, Rio diajak Gabriel ketemu sama teman-temannya yang juga merupakan preman sekolah kami. Mereka adalah murid-murid drop out sekolah kami. Entah bagaimana Gabriel bisa berteman dengan mereka. Saat itu mereka... sedang di bawah pengaruh alkohol dan obat-obatan," ucap Shi;;a, suaranya sudah mulai serak. "Mereka nyuruh Gabriel untuk... nyuntik Rio dengan suntikan bekas pakai."



Mata Ify membesar, tak percaya dengan cerita Shilla. Air mata Shilla sendiri sudah mengalir.



"Gabriel yang takut sama mereka akhirnya cuma bisa ngelakuin apa yang mereka minta. Setelah itu, Rio nggak cerita sama siapa-siapa lagi. Dia takut sama Gabriel dan selalu menghindar kalau mereka ketemu di sekolah. Waktu itu, aku sama Alvin nggak tau apa-apa," kata Shilla. "Suatu ketika, Gabriel dipindah sekolah sama orang tuanya karena ketauan ngobat. Rio jadi ceria lagi, dan dia juga mulai bikin film lagi. Tapi, beberapa bulan kemudian, dia kena kecelakaan yang cukup parah, yang membuat dia harus dirawat di rumah sakit. Dan, dari sana, baru ketahuan kalo ada virus HIV di darah Rio.



Saat itu, yang tau cuma orang tuanya dan aku. Aku kebetulan ada di rumah sakit saat dokter ngasih tau vonis itu. Waktu itu aku masih remaja yang pemikirannya masih labil, aku masih terlalu ngeri dengan kata-kata HIV. Setelah tau kalau Rio punya virus itu, aku langsung perlahan-lahan menjauhinya," ujar Shilla sambil terisak. "Bukan cuma aku, tapi kedua orang tuanya juga menjauh. Mereka—seperti aku—malu dan takut karena penyakit itu. Alvin yang emang nggak tau apa-apa memang nggak menjauh, tapi Rio yang malah menjauhinya."



Shilla menatap Ify yang juga sudah terisak. Ify sama sekali tidak tahu kalau kejadian yang sebenarnya seperti ini. Ify sama sekali tidak tahu bahwa penderitaan Rio jauh lebih besar dari yang dibayangkannya.



"Fy, kamu jangan membenci Rio karena dia berusaha menjauhi kamu," kata Shilla. "Dia cuma nggak ingin kamu terkena imbasnya juga. Di balik sikapnya yang dingin dan kasar itu, dia sebenarnya takut, Fy."



Ify menangis lebih keras. Dadanya sampai terasa sakit. Shilla mengelus-elus punggungnya.



"Ify, aku kagum sama kamu," katanya. "Aku yang pengecut ini, nggak pantes untuk ada di samping Rio. Di saat semua orang menjauhi Rio, kamu ada untuk dia. Aku bener-bener malu sama kamu, Fy."



"Haah? Maksud kamu apa?" tanya Ify di sela-sela isakannya, bingung dengan kata-kata Shilla. Bukankah Shilla adalah kekasih Rio?



"Aku yakin, sekarang cuma kamu yang bisa jadi kekuatan buat Rio. Cuma kamu yang bisa menghentikan dia," kata Shilla.



"Menghentikan apa?" tanya Ify lagi.



"Fy," kata Shilla dengan tatapan serius. "Kamu tau apa alasan Rio datang ke sini? Kamu tau apa alasan Rio mau ketemu Gabriel lagi?"



Ify menggeleng, tetapi rasanya dia sudah tahu jawabannya.



"Dia mau membunuh Gabriel." Ucapan Shilla membuat Ify membekap mulutnya sendiri. "Dia udah nggak peduli lagi tentang apa yang akan terjadi setelah itu. Dia mau membunuh Gabriel karena udah merusak hidupnya."



Ify tak bisa berkata-kata. Tangan dan kakinya sudah dingin begitu memikirkan kata-kata Shilla. Ify langsung teringat pada sebilah belati yang pernah dia temukan di dalam ransel Rio. Ternyata, untuk itu dia membawa belati itu. Untuk membunuh Gabriel.



"Kenapa...?" tanya Ify dengan suara tercekat.



"Dia merasa udah nggak ada gunanya lagi dia hidup, selain untuk membunuh Gabriel, akar dari semua penderitaan yang menimpanya," kata Shilla lemah. "Aku udah nggak berhak lagi untuk menahan dia, Fy, karena dulu aku udah ninggalin dia. Dan sekarang, cuma kamu yang bisa."



Ify menatap Shilla tak percaya. Rio kemarin bilang kalau hanya Shilla cewek satu-satunya, tetapi kalau Shilla saja tidak bisa menahan Rio, bagaimana Ify bisa menahannya?



"Shilla, dia nggak suka sama aku. Dia benci sama aku. Gimana aku bisa nahan dia?" tanya Ify membuat Shilla tersenyum.



"Dia bilang begitu, ya?" kata Shilla. "Ini tips buat kamu, Fy. Mulai sekarang, apa pun yang dia bilang, maknai sebaliknya. Kamu tau sendiri, kan, kalau Rio tukang bohong? Jadi, mulai sekarang, jangan terlalu kamu anggap serius perkataan Rio."



"Dia... bohong lagi...?" tanya Ify dengan suara serak, dan akhirnya menangis lagi, tetapi lebih karena bahagia. Ini artinya, Rio kemarin sudah berbohong saat mengatakan bahwa Shilla adalah cewek satu-satunya untuk dia.



"Ify," kata Shilla lagi. "Aku percayakan Rio sama kamu, ya? Karena kalau sama kamu, aku bisa merelakan dia."



Ify menatap Shilla lagi. Shilla tersenyum hangat.



"Aku nggak pernah cukup baik buat dia, Fy. Aku pergi ketakutan saat dia membutuhkan aku, dan baru sadar bertahun-tahun kemudian. Aku baru cukup kuat untuk menerima kenyataan itu setelah bertahun-tahun kemudian. Aku bener-bener nggak sebanding sama kamu," ujar Shilla lagi.



Mata Shilla menatap Ify dalam-dalam. Lalu mulai melanjutkan perkataannya, "Fy, aku mohon, tolong jangan jauhi Rio apa pun yang terjadi. Satu-satunya kesempatan Rio untuk bahagia adalah kamu. Kamu tau kenapa Rio selama ini membohongi kamu? Ini karena Rio nggak ingin kamu mencintainya, karena kalau hal itu sampai terjadi, dia harus siap kehilangan kamu lagi suatu saat nanti. Kamu ngerti, kan, Fy? Dia cuma takut kehilangan kamu."



Ify langsung terisak lagi. Pikiran Ify benar-benar kacau, setelah mendengar kebenaran dari mulut Shilla. Selama ini, Rio selalu membohongi Ify supaya Ify menjauhinya. Rio bahkan rela melakukan apa pun supaya Ify membenci dirinya. Ternyata, alasan dari itu semua adalah karena dia takut akan kehilangan Ify.



"Fy, kamu bisa, kan, menjawab kekhawatirannya itu?" tanya Shilla, tetapi Ify tak bisa menjawab.



Ify tidak harus menjawab dan Shilla pun sudah tahu jawabannya. Shilla lalu menghela napas lega. Kalau di dunia ini diciptakan satu orang yang bisa mengembalikan Rio seperti Mario Stevano yang dulu, gadis inilah orangnya.





***





Rio memasang sebuah kaset di handycam-nya. Saat itu, Rio sedang sendirian di kamar kost Alvin karena si empunya kamar sedang bekerja. Rio memerhatikan orang-orang yang ada di layar handycam-nya.

Film yang sedang ditontonnya adalah sebuah film pendek yang dibuat Rio di Pantai Manado tahun 2004 lalu. Film yang tadinya akan dimasukkan ke lomba film indie. Film yang dibuat dengan segenap hati dan dibintangi oleh orang-orang yang paling disayanginya.



Rio menatap Alvin, Gabriel, Shilla, Mama, serta Papanya di layar handycam-nya. Baru kali ini, Rio memberanikan diri untuk menonton lagi film ini dari awal sampai akhir. Sebelumnya, Rio bermaksud untuk melupakannya, karena menonton film ini membuatnya teringat pada orang-orang yang sudah menjauhinya karena penyakit yang dideritanya.



Wajah Gabriel, si pemeran utama, tiba-tiba muncul sendirian di layar. Rio menatap sosok itu, dan tanpa terasa tangannya sudah terkepal keras. Dia adalah orang yang yang membuat semua kehidupannya hancur berantakan, orang yang menjadi akar dari semua permasalahannya.



Ingatan Rio tiba-tiba terlempar ke masa silam, lima tahun yang lalu.





~*oOo*~ Flashback mode ON ~*oOo*~





"Oi, Rio! Pulang sekolah nanti kita ke belakang kantin dulu, ya," kata Gabriel sambil menghampiri Rio yang sedang berkutat dengan handycam-nya.



"Ngapain?" tanya Rio tanpa menoleh.



"Gue mau ketemu sama temen lama gue, dia mau kasih gue sesuatu," kata Gabriel lagi sambil mengamati video yang sedang ditonton Rio. "Ya ampun. Another documantary?"



Rio hanya mengedikkan bahu, matanya masih tertancap ke video dokumenter yang baru saja diselesaikannya. Namun kemudian, dia beralih menatap sahabat karibnya itu.



"Apa yang mau dia kasih? Another blue film?" sindir Rio, dan Gabriel hanya terkekeh.



"Bukan. Ini sesuatu yang lebih daripada itu," kata Gabriel, mencondongkan dirinya pada Rio. "Lo juga harus coba."

Rio menatap Gabriel tanpa ekspresi. Dia tahu kalau menyangkut Gabriel, pasti semuanya berhubungan dengan cewek.



"Oke, terserah lo aja, deh. Asal jangan lama-lama, karena gue harus transfer ini video. Gue lagi ngejar deadline, nih," kata Rio akhirnya.



"Siap, bos. Dasar maniak film," balas Gabriel sambil terkekeh.



"Calon sutradara," ralat Rio, dan Gabriel tergelak lebih hebat.



Sepulang sekolah,



"Serius, Yel, siapa, sih, yang lagi lo tunggu?" tanya Rio setelah menunggu hampir selama satu jam.



"Temen lama gue," jawab Gabiel. Sekarang dia tampak gelisah. Rio memerhatikannya bingung.



Tak lama kemudian, beberapa orang bertubuh besar dan bertato di sana-sini muncul. Sejenak Rio merasa kalau mereka tidak mungkin teman lama yang dimaksud Gabriel, tapi mendadak Rio merasa takut. Rio tidak tahu, sejak kapan Gabriel bergaul dengan orang-orang seperti ini.



"Oi, Gabriel! Apa kabar lo?" sahut seseorang dari mereka yang di wajahnya terdapat codet. Rio bisa mencium bau alkohol dalam radius tiga meter.



"Baik. Mana barangnya?" kata Gabriel cepat.



"Sabar, dong, man," ucap laki-laki tadi lalu melirik ke arah Rio yang mulai mundur teratur. "Wah, siapa, nih? Temen lo? Calon pelanggan baru?"



"Bukan," kata Gabriel sambil menahan laki-laki itu yang sekarang sedang berjalan sempoyongan ke arah Rio. "Dia cuma temen gue."



"Temen ya...?" kata laki-laki itu, lalu menarik Gabriel ke pinggiran, dan membisikkinya sesuatu. Rio tak bisa mendengar mereka, tetapi firasatnya mulai tidak enak.



Tak lama kemudian, kawanan itu mendekati Rio. Bau alkohol menguar hebat dari tubuh mereka. Gabriel menatap Rio takut-takut, dan saat itulah, Rio tahu kalau sesuatu yang sangat buruk akan terjadi. Rio baru akan berlari kabur saat beberapa tangan menahannya. Rio langsung meronta sekuat tenaga, tapi kawanan itu jauh lebih besar darinya.



"LEPASIN GUE!" sahut Rio sekuat tenaga sambil berusaha melepaskan diri dari cengkeraman dua orang besar yang ada di sampingnya. Namun, cengkeraman mereka malah bertambah kuat.



"DIEM LO!" sahut seseorang di depan Rio. Seseorang berdagu kasar menonjoknya dengan sekuat tenaga dan membuat pelipisnya berdarah.



"MAU APA LO?" sahut Rio lagi. Dia melirik Gabriel, sahabatnya yang ada tepat di belakang lelaki yang barusan menonjoknya. Ekspresinya aneh, sama sekali tak dapat ditebak. "Yel, apa maksud lo, hah?"



"Yo, nggak sakit, kok," kata Gabriel sambil membawa sebuah suntikan, membuat mata Rio melebar. "Cuma sekali doang nggak bikin ketagihan, kok."



"Yel! Lo apa-apaan! Buang!" seru Rio, tapi Gabriel seperti tak punya pilihan. Laki-laki di belakangnya tampak sedang mengancamnya.



Kawanan itu terkekeh saat Gabriel menghampiri Rio yang sudah tak bisa berkutik lagi. Gabriel membuka tutup suntikan itu, lalu salah seorang dari kawanan itu memberikan lengan kiri Rio yang sudah menegang karena kerasnya perlawanan Rio.



"Sori, Yo," kata Gabriel, lalu dengan mata menatap lurus pada mata Rio, Gabriel menusukkan suntikan itu ke tangan Rio.



Rio sudah tak bisa merasakan rasa sakit. Dia hanya melihat mata sahabatnya dengan tatapan marah, bertanya-tanya apa yang membuatnya berbuat setega itu.





~*oOo*~ Flashback mode OFF ~*oOo*~





Rio mencengkeram lengan kirinya keras. Kenangan itu sudah sekian lama menjadi mimpi buruk Rio. Kejadian itu sudah berlalu sekitar lima tahun, tetapi rasa panas yang menjalar di lengan kiri Rio masih terasa sampai sekarang. Rio juga tidak bisa melupakan tatapan aneh Gabriel saat dia menyuntikkan obat terlarang itu ke lengan Rio.



Bukan, bukan obat terlarangnya yang membuat Rio hancur. Obat itu memang berpengaruh sedikit, tetapi Rio telah berhasil melaluinya. Suntikan itulah yang membuat seluruh kehidupannya hancur. Suntikan yang entah berasal dari mana dan membawa virus yang akan menjadi penyebab kematiannya.



Rio menghantamkan kepalan tangannya ke lantai, rahangnya mengeras. Bagaimana pun, dia harus menemukan Gabriel untuk balas dendam. Karena kejadian itu, Rio sudah tidak mempunyai tujuan hidup lagi, selain menuntut balas atas perbuatan Gabriel lima tahun yang lalu.



Kejadian itu juga yang telah membawanya pada seorang Alyssa Saufika, dan memaksanya untuk berpisah lagi dengan cewek yang sedikit demi sedikit telah mencairkan hatinya yang telah lama membeku—meski belum sepenuhnya. Rio mengambil sebuah kaset di antara beberapa kaset yang tergeletak, lalu memasangnya di

handycam-nya.



Air mata Rio langsung menetes tanpa disadarinya saat melihat gambar Ify berlarian dengan latar belakang Pantai Bandung di layar handycam-nya. Rio sama sekali tidak bermaksud untuk menangis, tetapi air mata itu keluar dengan sendirinya. Otak Rio memang telah memerintahkannya untuk melupakan Ify, tetapi ternyata hatinya tidak bisa.

Rio sekarang tahu kalau air mata dan kesedihan sama sekali tak ada hubungannya dengan otak. Karena sekuat apa pun Rio menahannya, air matanya akan tetap jatuh.







***





Rio menatap kost tua di depannya ragu. Hari ini, Rio bermaksud untuk kembali ke tempat kost-nya untuk mengambil beberapa baju. Dia tidak akan tinggal di kost ini sampai menemukan tempat kost baru, dan selama itu pula Rio akan numpang di kost Alvin selama beberapa malam. Rio sama sekali tak ingin berurusan dengan seorang Ify lagi.

Mengingat nama itu lagi membuat Rio pening. Semalaman, kepala Rio sudah dipenuhi oleh bayang-bayang Ify hingga membuatnya hampir gila. Rio memijat lehernya dan berjalan masuk. Ozy tampak sedang mengelap motornya.



"Rio, baru pulang, ya?" tanya Ozy. Rio hanya balas tersenyum. Tiba-tiba langkah Rio terhenti.



"Zy, ng... Ify... ada nggak, ya?" tanyanya membuat Ozy mengernyit bingung.



"Eh? Ify? Nggak ada, dia lagi nemenin Tante Winda dan suaminya ke rumah saudaranya di Solo. Kenapa, Yo?" tanya Ozy lagi.



"Oh, nggak apa-apa," jawab Rio cepat dan segera bergerak menuju tangga. Rio menghela napas lega. Ternyata Ify tidak ada di kos. Dengan begini dia bisa bebas tanpa harus bertemu dengannya selama beberapa hari. Ketika Rio sampai pada anak tangga terakhir, Rio terpaku saat melihat sosok di hadapannya.



Déja vu.



"Tapi, kalo cewek cantik yang dateng kemaren ada, Yo!" seru Ozy dari bawah. Sedikit terlambat memang, karena Rio sudah lebih dulu melihat Shilla. Shilla pun sudah melihat Rio.



Shilla tersenyum pada Rio, yang dibalas dengan sedikit ogah-ogahan oleh Rio. Rio tak tahu apa yang masih dilakukan Shilla di sini. Rio lalu beranjak mendekati Shilla.



"Ada apa, Shil?" tanya Rio.



"Aku mau pulang ke Manado, Yo," jawab Shilla pelan. Rio mengangguk. "Tapi... aku mau ngobrol sebentar lagi sama kamu, sekalian pamitan."



Rio menatap Shilla sebentar, lalu mengangguk lagi.



"Ayo ke atas," ajak Rio sambil melangkah duluan ke lantai tiga. Shilla mengikutinya. Setelah sampai, Rio langsung bersandar di pagar pembatas, sementara Shilla menatapnya lekat-lekat. Rio meliriknya. "Apa, kamu mau minta maaf lagi?"



Shilla segera tersenyum lemah. Dia duduk di bangku panjang.



"Rio, kemarin aku... ngobrol sama Ify," kata Shilla membuat mata Rio melebar sempurna.



"Apa?" kata Rio dingin. Shilla tahu, Rio pasti sangat marah.



"Aku udah cerita tentang penyebab kamu bisa dapet penyakit ini. Aku udah cerita semuanya sama dia. Maaf kalo aku ngelakuin ini semua tanpa permisi dulu sama kamu, tapi aku rasa, dia berhak untuk tau." Ucapan Shilla barusan membuat Rio membuang pandangannya. "Yo, dia tulus sama perasaannya, dan aku tau persis gimana perasaan kamu."



Rio mendengus skeptis. "Oh, ya? Kamu tau, ya?"



"Iya. Kamu takut. Iya, kan, Yo?" ujar Shilla membuat Rio terdiam. "Kamu cuma takut kehilangan dia, seperti dulu kamu kehilangan semua orang yang kamu sayangi. Iya, kan, Yo?"



Rio tidak menjawab. Dia hanya menatap bangunan-bangunan di depannya tanpa ekspresi. Shilla menghampiri Rio.



"Rio, aku tau aku nggak berhak ngomong ini, tapi kamu berhak bahagia sama Ify, Rio. Aku tau, dulu aku begitu bodoh udah ninggalin kamu, dan sekarang kamu nggak mau terima aku lagi. Tapi, Rio, Ify adalah orang yang paling tepat buat kamu. Jadi, mendukung kamu sama Ify adalah satu-satunya yang aku bisa lakukan untuk kamu!" sahut Shilla sambil menarik lengan Rio.



"Shilla," kata Rio dingin membuat Shilla berhenti menarik Rio. Rio menoleh dan menatap Shilla tajam. "Cukup sampai di sini campur tangan kamu. Aku berterima kasih kamu udah sejauh ini mikirin aku, tapi nggak ada kebahagiaan lain buatku selain balas dendam sama Gabriel."



"Tapi, Yo..."



"Shil," desak Rio lagi. "Tolong jangan paksa aku. Aku nggak mau ngebentak kamu."



Shilla terdiam, sementara Rio sudah membuang pandangannya lagi. Air mata Shilla mulai jatuh. Cewek itu merasa tak berdaya menghadapi Rio yang sudah tak tergapai seperti ini. Shilla juga kesal pada dirinya sendiri karena sekali lagi telah gagal menghadapi Rio. Dia hanya bisa menggigit bibir bagian bawahnya agar tidak terisak.



Rio menoleh menatap Shilla lama. Gadis yang dulu pernah dicintainya sepenuh hati. Gadis yang juga sudah meninggalkannya dan kini kembali lagi untuknya, bahkan mendukungnya untuk bahagia bersama orang lain. Shillao tidak bisa lebih berterima kasih lagi padanya.



"Shilla," kata Rio membuat Shilla sedikit mengangkat wajahnya. Rio terdiam sebentar, berusaha mengendalikan emosinya. "Kamu... harus bahagia, ya."



Shilla menatap Rio, dan kembali menangis hebat sampai jatuh terduduk di lantai yang dingin. Tidak pernah hati Shilla merasa sesakit ini seumur hidupnya. Perkataan Rio tadi seakan menyiratkan bahwa dia akan bahagia bersama orang lain selain Rio, tetapi saat Rio mengatakannya sekarang, Shilla tahu, kalau dia sudah membuat kesalahan yang paling besar dalam hidupnya, meninggalkan Rio begitu saja beberapa tahun yang lalu. Dan sekarang, Shilla tahu, bahwa dia tak akan bisa lebih bahagia dari saat-saat bersama Rio dulu.



Rio membiarkan Shilla menangis untuk beberapa saat. Rio harus bisa merelakannya. Rio harus bisa merelakan semua yang dia miliki, termasuk apa yang disayanginya sekarang. Ya, Ify.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar