“Vin, Alvin!” suara lembut itu berasal dari belakang mereka.
Alvin, Prissy, dan Ify menengok ke asal suara. Seorang gadis manis
melambai ke arah mereka. “ “Sebelah sini! Sini!” panggilnya seraya
tersenyum senang.
Ah, selamet gue... bisa bayangin nggak sih, Prissy ngamuk di sini?
Bisa mati malu gue. Alvin mengelus dadanya, lalu dengan langkah pasti
dihampirinya gadis yang tak lain adalah Zahra itu. Ify dan Prissy
mengekor di belakangnya.
“Gue tadinya masih kepikiran, Alvin siapa ya yang nyari gue ke sini.
Eh... nggak tahunya Alvin elo. Lo tambah tinggi, ya.” Cewek
berperawakan tinggi langsing dengan kacamata minus itu tidak kelihatan
seperti gadis sombong lainnya yang berkeliaran di sekitar situ.
“Gue udah deg-degan nih, Zah. Gue kira lo udah berubah kayak
mereka.” Alvin memberi kode dengan matanya ke arah pengunjung kantin SMA
Teitan. Zahra tertawa pelan. “Lagian lo cepet banget ngenalin gue, gue
aja ketakutan setengah mati bakal nggak ngenalin lo. Nggak tahunya...”
Alvin memerhatikan Zahra sesaat. “Lo nggak banyak berubah, ya.”
“Nggaklah. Gue masih punya akal sehat kok. Gue juga nyadar, gue beda
dengan mereka. Cuma sayang aja kalo beasiswa disia-siain. Dan seragam
kalian itu nyolok banget, lain dari yang di sini. Makanya, gue langsung
bisa nebak itu elo!” ucap Zahra dibarengi senyum ramahnya. “Oh iya, lo
belum ngenalin temen-temen lo...”
“Ah, gue sampai lupa. Ini Ify...” Ditunjuknya Ify yang tersenyum ayu.
Zahra mengulurkan tangannya pada Ify sembari menyebut nama. “Dan ini
Prissy, cewek gue.” Kembali Zahra mengulurkan tangan dan menyebut
namanya.
“Oke, terus ada apa nih, sampai rame-rame ke sini? Pasti penting
banget deh,” sambung Zahra setelah memesankan minum untuk para tamunya.
Mereka duduk di tenda payung tempat Zahra menunggu kedatangan mereka.
“Ya mungkin buat lo nggak penting. Tapi buat temen gue ini,” Alvin melirik Ify, “sangat penting”
Sesaat Zahra memandang Ify, tapi kemudian tersenyum.
“Hmm..., oke, gue dengerin,” katanya singkat.
“Temen gue nih lagi deket sama seseorang yang misterius.
Satu-satunya informasi tentang orang ini adalah dia sekolah di SMA
Teitan kelas tiga. Terus gue ingat lo, dan mau tanya tentang orang ini.
Yah, siapa tahu aja lo kenal dia.”
“Hmm... siapa namanya?” ucap Zahra sambil menyeruput es jeruknya.
“Rio.”
“Uhuk, uhuk!” Zahra tiba-tiba tersedak minumnya sendiri. Tapi sesaat
kemudian dia menyeruput es jeruknya sekali lagi. “Uhuk..., sorry.
Uhuk...” dan akhirnya batuknya berhenti juga.
“Zah, lo nggak pa-pa, kan?” tanya Ify khawatir. Zahra tersenyum dan menggeleng.
“Nggak pa-pa kok. Cuma surprise aja denger nama orang yang lagi
deket ama elo itu, Fy,” jawab Zahra kemudian. Sisa batuknya sudah
hilang.
“Memangnya kenapa, Zah?” Ify mengerutkan kening, seperti kebiasaan Prissy kalo lagi penasaran.
“Karena cowok yang lo maksud itu public figure di sekolah ini.”
“Hah? Maksudnya?” Jantung Ify berdebar cepat. Dia bersiap-siap mendengar jawaban apa pun yang bakal terlontar dari bibir Zahra.
“Dia itu ketuanya ketua murid di sekolah ini. Dia disegani semua
siswa di sini karena wibawanya. Guru-guru juga sayang sama dia karena
kepandaiannya, cewek-cewek mengaguminya karena ketampanannya. Bahkan
petugas di sini menghormatinya karena keramahannya.”
Demi Tuhan yang menciptakan dunia dan seisinya, Ify sampai nggak bisa ngomong apa-apa mendengar penjelasan Zahra.
“Padahal dulu dia sama sekali tidak menyenangkan. Sifatnya kasar dan
suka menindas yang lemah. Lebih mirip dengan preman daripada pelajar.
Tapi, suatu ketika dia melakukan kesalahan fatal sehingga dia tinggal
kelas. Sejak itulah dia berubah. Bahkan orang-orang yang dulu
membencinya kini mendirikan fans club untuknya. Dan kebanyakan para fans
berat itu malah menyalahkan orangtua... Rio...” Zahra memelankan
suaranya saat menyebut nama Rio.
“Menurut mereka, Rio terjerumus karena kurang kasih sayang.” Cewek
berambut gelombang yang dikuncir kuda ini menghela napas panjang. Dia
tersenyum sebelum kembali bercerita, “Bagaimanapun dia sekarang berubah.
Dan semua berbalik memujanya. Dia dianugerahi jabatan sebagai ketua
inti. Gue sendiri heran, kekuatan apa sih yang mampu mengubahnya sampai
seperti ini? Menjadi pribadi yang bertolak belakang dengan pribadinya
semula. Apa pun bentuk kekuatan itu, pasti sangat kuat dan indah.” Zahra
kembali tersenyum.
Ify memandang Zahra tanpa sanggup berkata-kata. Dia menelan ludah. “Lo yakin nggak salah orang, Zah?” tanyanya ragu.
Zahra menggeleng pelan. “Hanya ada satu Rio di sekolah ini. Dan gue yakin banget Rio yang gue ceritakan inilah yang lo maksud.”
“Kok lo bisa seyakin itu?” Ify kembali mengerutkan dahi.
Zahra tersenyum. Sesaat ditatapnya Ify lekat-lekat. “Rio pernah
bilang ke gue, ada seorang bidadari yang telah mengubahnya, bidadari
mungil yang akan disayanginya seumur hidup. Dan beruntung sekali gue,
karena hari ini gue bertemu bidadari yang diceritakan Rio.”
“Maksud lo Ify?” tanya Prissy yang sedari tadi terdiam. Zahra menjawabnya dengan anggukan kepala.
“Jadi, lo ini sebenarnya sohibnya Rio, ya?” tanya Alvin.
“Bukan,” sahut Zahra singkat. Dia kemudian menjelaskan, “Buat
mereka, gue ini Cuma orang yang numpang lewat.” Mata Zahra beredar ke
sekeliling kantin sekolah. “Apalagi gue pernah bermasalah dengan
Ashilla, cewek sombong sok berkuasa di sekolah. Yah, itu lain cerita.”
Zahra kembali ke inti cerita. “Sedangkan Rio itu milik mereka yang
berharga, terutama bagi para senior kelas tiga. Gue Cuma seseorang yang
penasaran dengan perubahan Rio. Dan lo tau banget kan, Vin, gue paling
nggak bisa tersiksa sama rasa penasaran.”
Alvin mengangguk. Seingatnya, Zahra memang cewek yang nggak pernah
puas dengan jawaban. Dan dia bisa sangat pemberani dalam memuaskan rasa
ingin tahunya itu. Mengingatkannya pada Prissy.
“Itulah, akhirnya gue nekat tanya Rio. Tadinya gue kira dia bakal
marah dan ngusir gue, nggak taunya, dia malah cerita tentang
bidadarinya. Beruntung banget gue.” Zahra tersenyum.
Bukan hanya perasaan bangga yang memenuhi hati Ify demi mendengar
semua itu, tapi perasaan minder juga tiba-tiba menyiksanya dengan
sangat.
Gue? Bidadarinya? Kenapa? Padahal dia nggak kenal gue. Atau gue yang
nggak kenal dia..... Tapi mana mungkin gue sih?! Berbagai pertanyaan
berputar di kepala Ify.
“Fy, lo beruntung bisa jadi bidadari Rio. Tapi inget, lo mesti
ati-ati sama yang namanya Ashilla. Dia sudah seperti penguasa Rio aja.
Apalagi dia... dia... Ah, nggak usahlah gue kasih tahu. Biar Rio sendiri
nanti yang menjelaskan ke elo.”
“Apa sih, Zah? Gue jadi penasaran nih...” Prissy merengek meminta
penjelasan. Tapi sepertinya Zahra kekeuh dengan pendiriannya. Dia
bangkit dari duduknya.
“Maaf ya, gue nggak berhak bicara apa pun tentang hal itu. Yang
jelas, ati-ati. Jangan sampai kayak gue, hanya karena gue negur dia
gara-gara menindas adik kelas, dia langsung ngomong macam-macam tentang
gue, jadi... lo bisa lihat sendiri, kan, gue terkucil di sini. Makanya
gue seneng banget dengan kunjungan kalian.” Zahra melihat jam tangannya.
“Aduh, kayaknya gue nggak bisa lama-lama nih. Gue ada ekstra wajib,”
katanya seraya bangkit berdiri. “Kalian bisa nunggu Rio di sini kalo
mau. Tapi sorry, gue nggak bisa nemenin.”
Ify, Prissy, dan Alvin ikut berdiri.
“Nggak deh, kita pulang aja. Risih, tau, dipelototin temen-temen borju lo!” jawab Prissy cepat.
“Ha... ha... bisa aja lo!” Zahra ketawa lepas.
“Thanks banget infonya, ya, Zah,” kata Ify.
“Sorry udah ganggu waktu break lo,” sambung Alvin.
Zahra tersenyum. “Nggak usah sungkan, gue seneng kok. Kapan-kapan
main ke sini lagi, ya.” Diulurkannya tangannya ke Alvin dan dua teman
barunya. “Sorry gue bener-bener harus pergi sekarang. Hati-hati ya
pulangnya.” Zahra tersenyum sekali lagi.
“Kita pulang yuk,” ajak Ify tak lama kemudian.
“Iya nih, gue jadi kasihan ama Zahra. Apa enaknya sekolah bagus tapi
hati merana?” Prissy mengedarkan pandangan ke gerombolan siswa di
kantin itu.
“Zahra sih orangnya tegar, jadi bukan masalah besar baginya kalaupun
dikucilkan seluruh sekolah. Udah, ayo pergi,” kata Alvin. Namun baru
saja mereka akan melangkah, sebuah suara tak mengenakkan terdengar.
“Hei, tikus-tikus got!”
Ify, Alvin, dan Prissy mengurungkan langkah dan menengok ke asal suara.
“Iya! Kalian bertiga!” seorang gadis tinggi langsing berkulit putih
bersih dan berambut panjang yang dibiarkan tergerai di bahu melangkah
mendekati mereka diikuti segerombolah cewek cantik.
“Sial, siapa lo? Ngomong pake aturan dong!”
Dasar Prissy, dia langsung emosi begitu tahu merekalah yang dimaksud dengan tikus got.
“Wah, wah... ternyata ada satu yang bisa mencicit,” ucap cewek itu dengan suara tinggi yang jahat.
“Habisi aja, Ashilla!” ujar salah seorang teman cewek angkuh yang ternyata bernama Ashilla.
“Hm... jelas banget bakal gue habisi. Tapi sebelum itu rasanya kita
perlu melaporkan tukang kebun kita ke Kepala Sekolah. Dia kebobolan
dengan masuknya tikus-tikus ini ke sekolah kita.” Ashilla melipat
tangannya di dada. Tawa melengking para pengikutnya menyakitkan telinga.
“O... jadi lo yang namanya Ashilla?!” ucap Prissy manggut-manggut
sambil memerhatikan cewek angkuh itu dari ujung rambut sampai ujung
kaki. “Lumayan,” lanjutnya. Pipi Ashilla yang putih kontan memerah.
“Tapi untuk ukuran Rio, lo nggak ada apa-apanya dibanding Ify.
Setidaknya, Ify lebih beradab.”
Demi mendengar nama Rio disebut, kemarahan Ashilla maki meluap.
Matanya yang indah membelalak menakutkan. “Jadi lo ke sini sama kelompok
kumel lo itu, dan berkomplot dengan si sok pintar Zahra, untuk mencari
tahu soal Rio? Dasar tikus-tikus nggak tahu diuntung.” Dihampirinya
Prissy yang berdiri tegak tanpa rasa takut sedikit pun. Prissy sama
sekali nggak memedulikan desakan Alvin dan Ify untuk segera pergi dari
tempat itu. “Tadinya gue Cuma kepingin ngerjain temennya si sok pinter
yang sama kumuhnya dengan dia. Nggak tahunya gue malah dapet mangsa yang
tepat.” tambah Ashilla. Dia berdiri tepat di depan Prissy yang dua
senti lebih pendek darinya.
“Memangnya kenapa? Lo takut ya? Terlambat, lo udah kecolongan sejak
lama, Nona Besar.” Prissy jelas nggak mau kalah dengan gadis paling
menyebalkan yang pernah ditemuinya itu.
“Heh, lo ngaca dulu dong sebelum masuk sini. Untuk satpam sini aja
tampang kayak kalian nggak layak, ee... masih nekat mau mencuri keju
terbaik kami yang bermerek Rio, lagi. asal lo tahu ya, Rio itu punya
gue! Nggak ada yang boleh ngambil dia dari gue! Apalagi tikus kotor
kayak lo. Ngerti?!”
Prissy sudah kehabisan kesabaran, di....................
BERSAMBUNG.........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar