Selasa, 26 Juni 2012

Will You Marry Me? - Part 20 (Last Part)

“Yang mana sih kalimat gue yang bikin lo sadar, Yo?” Ify sedang duduk-duduk di teras rumah ditemani Rio dan buku hariannya.

“Ini nih. Dari halaman ini sampai ini.” Rio membuka halaman yang sudah dihafalnya dan ditunjukkannya pada Ify.

Ify membacanya kembali diary-nya yang telah lama dibuangnya itu.


February 14th
Dear Diary.....
Hari ini gue dan Prissy ketemu lagi ama cowok aneh itu. Pandangan matanya masih kosong. Dia selalu berdiam diri di kantin tanpa seorang teman pun. Waktu gue usul untuk mendekatinya, Prissy langsung setuju. Biasa, dia kan memang nggak bisa nahan rasa penasaran.
Siapa sangka cowok aneh itu malah marah-marah. Dia mengusir kami, Di...
Prissy udah siap dengan jurusnya untuk membalas amarah si cowok aneh. Untung gue punya jurus lebih ampuh, apa lagi kalo bukan menyeret Prissy dari tempat itu? He... he... he... Tapi bagaimanapun wajar kalo si cowok aneh itu ngamuk, dia kan nggak ngundang kami untuk duduk sama dia. Mungkin menurut dia kami ini sudah mengusik kesendiriannya.
Tapi terus terang, Di... gue masih penasaran sama cowok aneh itu. Kenapa dia selalu sendiri, ya? Kenapa tatapannya selalu kosong, ya? Kenapa dia galak begitu?
Gue yakin, Di... Ada sebab di balik semua itu. Tapi kenapa nggak ada siapa-siapa yang nemenin dia ya? Apa karena dia galak banget? Kalau tak seorang pun yang dekat sama dia, gimana dia bisa berkeluh-kesah? Bisa-bisa dia terjerumus ke narkoba. Atau jangan-jangan, dia malah udah pake.
Ihh... ngeri. Tapi bukankah orang seperti itu harusnya didekati, Di? Bukannya malah dijauhin. Bisa makin parah kan kalo nggak ada yang ngingetin.
Di... salah nggak ya kalo gue dan Prissy ngedeketin dia? Seandainya memang dia nggak nge-drug, kami bisa sharing masalahnya. Tapi kalo dia memang udah pake... kita kan bisa anjurin dia masuk rehabilitasi. Dengan begitu dia akan bisa lebih menikmati hidup.


Ify tersenyum sendiri. Dia kembali membaca halaman selanjutnya.


February 16th
Dear Diary.....
Namanya Alvin, Di... Alvin Jonathan Sindunata.
He... he... he... seneng deh akhirnya kita diizinkan duduk di mejanya. Walaupun sempat perang mulut ama Prissy. Dia belum mau terbuka, Di... Tapi lumayan, paling nggak dia udah punya temen marah-marah sekarang, siapa lagi kalo bukan Prissy. He... he...


February 22th
Dear Di....
Alvin tiba-tiba ngilang. Dia nggak ke kantin, nggak di kelasnya juga. Tapi ada yang bilang dia tadi udah masuk gerbang sekolah.
Kami jadi khawatir, Di... terutama Prissy. Entah kenapa dia bisa kalut begitu waktu tahu Alvin menghilang. Dia sampai rela bolos jam terakhir untuk cariin Alvin. Tentu aja gue ikut bolos. Kami nyari Alvin ke semua sudut sekolah. Untung kami berhasil menemukannya. Tapi...
Kondisinya aneh, Di...
Sekujur tubuhnya bergetar hebat. Seperti orang menggigil kedinginan. Dia terus aja bilang, “Fy, tolong gue, Fy... Tolong gue, Pris...”
Kami jadi bingung harus bagaimana. Satu-satunya jalan adalah memanggil bantuan dokter UKS.
Tapi kami ternyata salah jalan, Di...
Karena kami membawanya ke UKS, Alvin jadi ketahuan pecandu, Di...
Dan Kepala Sekolah langsung mengirimnya pulang. Beliau memanggil kami dan akan rapat untuk mengambil keputusan untuk Alvin.
Gue takut Alvin bakal di keluarkan dari sekolah, Di...
Yang gue heran, Prissy yang biasanya jadi Miss Detectiv, tiba-tiba terdiam. Tak sepatah kata pun yang diucapkannya sejak kami keluar dari kantor Kepala Sekolah. Ada apa dengannya ya, Di? Jangan-jangan Prissy suka sama Alvin...
Apa pun, yang jelas gue harus usahakan supaya Alvin tidak dikeluarkan dari sekolah.


“Dasar tukang ikut campur urusan orang!” kata Rio yang ikut membaca diary Ify. Ify hanya tersenyum dan membacanya lagi.


February 23th
Dear Di.....
Syukurlah, Di... gue berhasil meyakinkan Kepala Sekolah untuk memberi waktu buat Alvin.
Tadinya beliau sudah memutuskan akan mengeluarkan surat DO buat Alvin. Tapi...
He... he... gue nekat menemui Kepala Sekolah. Gue sendiri nggak tahu dari mana keberanian gue muncul. Mungkin karena gue terlanjur masuk dalam urusan Alvin. Atau mungkin juga karena gue ingin mengembalikan keceriaan Prissy yang tiba-tiba lenyap. Yang jelas gue kepingin Alvin tetap bersama kami.
Untung Kepala Sekolah bijaksana.
Aduh, kalo inget gue tiba-tiba teriak, “Pak, tolong tangguhkan hukuman Alvin. Saya janji dengan jaminan diri saya, Pak, Alvin akan lepas dari kecanduannya. Kalo dia nggak bersih dalam dua bulan, Bapak boleh mengeluarkan saya. Saya mohon, Pak. Tuhan saja ngasih kesempatan kedua. Bukankah sekolah juga akan bangga, Pak, kalo siswanya terbebas dari narkoba? Alvin bisa jadi contoh untuk yang lain, Pak. Saya mohon, Pak.” Wah, Di... habis ngomong seperti itu di depan Kepala Sekolah rasanya legaaa banget. Tapi gue tiba-tiba takut juga. Bodoh ya, langsung bicara tanpa titik koma. Pake jaminan diri gue, lagi. Kalo Alvin nggak sembuh, mati deh gue.
Tapi gue yakin, Di... Alvin bakal sembuh. Dia nggak bakal mengecewakan kami. Terutama Prissy yang memang menyukainya.
Herannya, Kepala Sekolah langsung menyetujui syarat gue. Nggak nyangka beliau sebijak itu. Walaupun dia janji akan mengeluarkan gue juga kalo gue gagal menyembuhkan Alvin. Tapi... paling nggak beliau tersenyum ke gue. Bagi gue, itu sudah merupakan isyarat bahwa Kepala Sekolah mendukung sepenuhnya syarat gue. dan beliau percaya ama gue. Seneng deh, Di... tinggak mikir gimana caranya ngebujuk Alvin.


“Kok lo bisa senekat itu sih, Fy?” Rio menggeleng tak percaya membayangkan kekuatan di balik tubuh mungil cewek itu.

Ify tersenyum. “Waktu itu, yang ada di pikiran gue Cuma Alvin dan Prissy. Mereka temen gue. sekalipun mereka bukan temen gue, kalo bisa gue mau kasih kesempatam seseorang untuk berubah.”

“Lo tau, karena itu pula gue merasa ada yang menghargai gue,” kata Rio.

“Maksud lo?” tanya Ify tak mengerti.

Rio mengembuskan napas perlahan. “Tadinya gue juga pecandu, Fy. Sejak kematian Mama... nggak ada lagi yang peduli sama gue. Papa sibuk dengan pekerjaannya. Gue jadi ngerasa sendiri. Dan gue juga ngerasa, Papa nggak sayang sama almarhum Mama dan juga gue. Buktinya, beliau nggaka ada sedih-sedihnya. Dan dia juga nggak berusaha ngedeketin gue,” cerita Rio. “Gue lari ke drugs. Gue juga jadi anak yang menjengkelkan. Tak satu pun yang berani melawan gue. Semakin lama gue bukannya merasa terhibur, tapi malah makin kesepian. Siapa pun yang gue deketin selalu lari ketakutan. Gue merasa udah nggak ada yang menghargai gue. Sampai gue menemukan buku bagus di TPS dekat rumah gue. Tadinya gue mau nyari drugs yang nggak sengaja dibuang pembantu gue, tapi entah kenapa mata gue malah menemukan buku itu.” Rio menunjuk buku yang dipegang Ify.

“Gue emang sengaja buang jauh-jauh dari rumah gue. Soalnye gue takut bakal balik lagi dan ngambil buku ini. He... he...” kata Ify jujur.

“Gue sangka itu juga barang yang nggak sengaja terbuang. Makanya gue pungut,” Rio kembali bercerita. “Karena penasaran dengan isinya, gue baca sedikit di akhir buku. Jelas sekali tertulis di situ, coba lo baca...” Rio membalik halaman paling akhir diary Ify. “Nah, baca deh.” Ify mengikuti perintah Rio, walau sedikit-sedikit dia masih ingat kalimat terakhir yang ditulisnya.


The last story, Di...
Kesedihan itu belum hilang...
Kenapa harus ada siang dan malam
Kenapa harus ada perpisahan setelah pertemuan
Aku tak mengerti, Di...
Kenapa Tuhan begitu cepat memanggilnya...
Ayah....
Teriring doa untukmu... Aku akan selalu merindukanmu...
Walau Ayah telah jadi salah satu bintang di langit
Tapi bagiku... Ayah selalu ada di hati
Ayah...
Aku berjanji akan selalu tegar.
Untuk Bunda, Kak Iyel,
juga untuk kebahagiaan Ayah di sana.
Aku bisa, Ayah. Aku pasti bisa.
Seperti kata Ayah, aku pasti bisa kalo bilang Aku Bisa.
Begitu kan, Yah?
Untuk itulah aku harus mebuangmu, Di...
Aku akan coba hidup tegar dan mandiri
Aku ingin lebih dewasa menyikapi masalah
Selamat tinggal, Di...
AKU PASTI BISA.


Tanpa sadar Ify menitikkan air mata. “Lo tahu, lamaaa... setelah Ayah meninggal, buku ini masih berada di laci lemari gue. Kosong... tak tertulis satu pun kalimat di sana. Gue nggak mau menyentuh buku itu lagi. Terlalu banyak kenangan yang tertulis di sana bersama Ayah. Satu-satunya jalan adalah membuangnya jauh-jauh dari hidup gue.”

“Lo salah, Fy, yang namanya kenangan tidak harus dilupakan. Semakin lo lupakan, semakin lo ingat. Lo nggak perlu buang buku itu hanya dengan dalih lo takut membuka kenangan lama.”

“Tapi ada untungnya juga lo buang buku itu, Fy,” Prissy muncul memotong pernyataan Rio dengan senampan kue di tangan. Alvin dan Sivia menyusul di belakangnya. “Coba lo nggak buang buku itu, mana mungkin Rio di sini sekarang!” tambahnya seraya meletakkan kue itu di meja kecil di samping Ify.

“Kalian ini, katanya mau kasih waktu kita berduaan!” Rio langsung saja protes melihat kemunculan mereka.

“Heh, lo pikir kita udah berapa jam terkurung di dalam Cuma mau ngasih kalian waktu berduaan heh?” bentak Prissy. Yang lain bukannya takut malah cengengesan. “Udah bagus gue keluar bawa kue. Coba gue bawa bom. Bubar, kan, acara pacaran kalian?”

“Iya... iya... Kita kan Cuma bercanda. Begitu aja sewot!” balas Ify. “O iya, kok lo nggak langsung kembaliin buku gue sih, Yo, kalo emang lo pikir itu barang yang gak sengaja terbuang?”

“Tadinya memang mau gue balikkin. Gue nyari alamat yang tertulis di buku itu. Dan gue tau pemiliknya bernama Alyssa Saufika Umari. Tapi waktu gue lihat lo di gerbang rumah lo, gue urung ngembaliin buku itu.”

“Kenapa?” tanya Ify dan Prissy penasaran. Prissy kumat ingin tahunya.

“Karena gue nggak percaya sosok lo yang mungil bisa mengatakan AKU PASTI BISA. Sementara gue yang segede ini nggak pernah yakin dengan apa yang gue lakukan. Itu sebabnya gue urung ngembaliin diary lo. Gue penasaran dengan semua yang tertulis di sana.”

Semua terdiam dan berpandang-pandangan. “Cerita lo soal Alvin-lah yang paling bikin gue merasa dihargai dan nggak sendirian. Gue merasa, masih ada orang yang bakal mau menerima gue apa adanya. Walaupun gue bukan teman lo.”

“Eh... tunggu... tunggu... Jadi ada cerita soal Alvin juga nih di situ?” kata Prissy tiba-tiba bersemangat.

“Ada, dan nggak Cuma Alvin kok. Lo juga ada. Walaupun paling banyak tentang Ayah,” ucap Ify sambil memeluk diary-nya. Rasanya kerinduannya pada ayahnya sedikit terobati.

“Pinjem dong... gue pengen tahu nih, gimana caranya lo ngebujuk Alvin masuk rehabilitasi. Lo kan selalu tutup mulut soal itu,” Prissy memohon.

Ify melirik Alvin yang kemudian tersenyum dan mengangguk yakin padanya.

“Gue ceritain aja ya, soalnya nggak Cuma Alvin yang tertulis di sini. Cukup gue dan Rio aja yang tahu semua isinya,” kata Ify.

Prissy langsung mencibir. “Huuu... pelit lo. Ya udah cepet, ceritain!” desaknya.

“Waktu itu gue bilang ama Alvin, lo ulang tahun tanggal 17 April, dan gue kepingin Alvin memberikan kado berupa kesembuhannya buat lo yang naksir Alvin. Hi... hi... hi... hi...”

“Apa? Sial. Jadi lo udah kasih bocoran ama Alvin ya? Pantes dia pede banget waktu nembak gue!” sungut Prissy.

“Nggak usah ge-er, bukan Cuma karena lo aja kok, tapi gue kepingin menjaga kepercayaan Ify ke gue juga,” Alvin ikut berkomentar. “O iya, Yo, gue jadi inget di mana gue pernah liat lo. Kayaknya waktu gue keluar dari rehabilitasi, lo yang gue tabrak sampai jatuh. Bener, nggak?” tanyanya kemudian kepada Rio.

Rio mengingat-ingat. “Ya... gue inget gue pernah ditabrak orang sebelum ditabrak Bokap yang langsung meluk gue erat-erat waktu gue masuk panti rehabilitasi dengan sukarela. Jadi gue nggak inget wajah lo sama sekali. Ternyata dunia itu sempit ya?”

Semua tertawa. Bukankah kebersamaan itu indah? Bukankah Tuhan akan berikan apa pun yang kita minta asal kita mau berusaha mendapatkannya? Dan Ify bersyukur dengan kebahagiaan yang begitu besar itu.

“Anak-anak... udah ngerumpinya. Bunda udah siapkan makan siang paling enak yang pernah Bunda buat untuk merayakan kesembuhan Ify, dan kembalinya senyum itu di wajahnya.” Bunda menyela canda tawa mereka sambil melempar senyum kepada Ify.

“Yee... Bunda emang paling ngerti kalo kita kelaperan.” Prissy langsung berdiri tanpa basa-basi. Diikuti yang lain yang ikut bersorak mendengar kata makan.

Tinggal Ify dan Rio yang berdiri paling akhir. “Katakan satu lagi, Yo. Soal matahari yang ditelan laut, lo curi ide Ayah dari diary gue, kan?!” tanya Ify pelan.

Rio terdiam sesaat. Lalu mengangguk. “Gue kira, itu yang paling ingin lo liat di hari ulang tahun lo. Paling nggak, gak ada yang tahu tentang rahasia kebahagiaan lo itu kecuali lo, Ayah, dan gue.”

“Huu... itu sih namanya lo nyuri ide. Tentang pangeran kuda putih itu juga, kan? Tentang kelemahan Bunda dan seluruh penghuni rumah ini. Dasar Rio curang!” Ify memukul pelan lengan cowok itu.

“Tapi semua kan demi kebahagiaan lo juga. Berterima kasihlah pada diary itu. Dan jangan lagi membuangnya.”

“Ify... Rio...” teriakan Bunda membuat mereka saling pandang dan tersenyum.

“Iya, Bunda...” balas Ify hendak melangkah masuk.

“Eh, Fy, will you marry me?”

Ify terpaku di tempatnya berdiri.

“Will you marry me?” ulang Rio meyakinkan.

Ify tersenyum, lalu mengangguk pelan. “Tapi nggak sekarang, Yo... soalnya gue laper nih. Udah ah, yuk!” kata Ify seraya menarik Rio bergabung dengan yang lain.


The first story...



Apa kabar, Di...
Gue janji nggak akan buang lo lagi setelah lo pertemukan gue dengan pangeran berkuda putih.
Kita mulai dari awal, Di...
Gue akan goreskan semua cerita yang akan jadi kenangan untuk gue buat anak cucu gue nantinya. He... he... Sok tua banget ya...
Di... sampaikan kerinduan gue pada Ayah...
Gue yakin... Ayah yang memohon pada Tuhan untuk mengirimkan Rio buat gue.
Katakan pada Ayah... betapa gue sangat menyayanginya. Gue nggak akan pernah buang kenangan gue dengannya.
By the way... Soal Ashilla, kata Sivia dia dikirim sekolah ke luar negeri sama keluarganya. Obsesinya pada Rio takkan berhenti bila dia tak dijauhkan darinya. Tau nggak, Di... Prissy masih menyimpan foto Ashilla yang coreng-moreng itu. Katanya sih buat jimat pengusir tikus di rumahnya. Hi... hi... hi... ada-ada aja.
Dan Rio... dia akan selalu menjadi anugerah terbaik yang pernah gue miliki.....





TAMAT.

2 komentar:

  1. aaa keren(y) tapi rasanya agak ngegantung-_- kalo belom dpt sekuel nya? cerita ini ada sekuel nya gak? kalo ada boleh dong kak direpost diblog ini lagi.

    BalasHapus