“Yang mana sih kalimat gue yang bikin lo sadar, Yo?” Ify sedang duduk-duduk di teras rumah ditemani Rio dan buku hariannya.
“Ini nih. Dari halaman ini sampai ini.” Rio membuka halaman yang sudah dihafalnya dan ditunjukkannya pada Ify.
Ify membacanya kembali diary-nya yang telah lama dibuangnya itu.
February 14th
Dear Diary.....
Hari
ini gue dan Prissy ketemu lagi ama cowok aneh itu. Pandangan matanya
masih kosong. Dia selalu berdiam diri di kantin tanpa seorang teman pun.
Waktu gue usul untuk mendekatinya, Prissy langsung setuju. Biasa, dia
kan memang nggak bisa nahan rasa penasaran.
Siapa sangka cowok aneh itu malah marah-marah. Dia mengusir kami, Di...
Prissy
udah siap dengan jurusnya untuk membalas amarah si cowok aneh. Untung
gue punya jurus lebih ampuh, apa lagi kalo bukan menyeret Prissy dari
tempat itu? He... he... he... Tapi bagaimanapun wajar kalo si cowok aneh
itu ngamuk, dia kan nggak ngundang kami untuk duduk sama dia. Mungkin
menurut dia kami ini sudah mengusik kesendiriannya.
Tapi
terus terang, Di... gue masih penasaran sama cowok aneh itu. Kenapa dia
selalu sendiri, ya? Kenapa tatapannya selalu kosong, ya? Kenapa dia
galak begitu?
Gue yakin, Di... Ada sebab di balik semua
itu. Tapi kenapa nggak ada siapa-siapa yang nemenin dia ya? Apa karena
dia galak banget? Kalau tak seorang pun yang dekat sama dia, gimana dia
bisa berkeluh-kesah? Bisa-bisa dia terjerumus ke narkoba. Atau
jangan-jangan, dia malah udah pake.
Ihh... ngeri. Tapi
bukankah orang seperti itu harusnya didekati, Di? Bukannya malah
dijauhin. Bisa makin parah kan kalo nggak ada yang ngingetin.
Di...
salah nggak ya kalo gue dan Prissy ngedeketin dia? Seandainya memang
dia nggak nge-drug, kami bisa sharing masalahnya. Tapi kalo dia memang
udah pake... kita kan bisa anjurin dia masuk rehabilitasi. Dengan begitu
dia akan bisa lebih menikmati hidup.
Ify tersenyum sendiri. Dia kembali membaca halaman selanjutnya.
February 16th
Dear Diary.....
Namanya Alvin, Di... Alvin Jonathan Sindunata.
He...
he... he... seneng deh akhirnya kita diizinkan duduk di mejanya.
Walaupun sempat perang mulut ama Prissy. Dia belum mau terbuka, Di...
Tapi lumayan, paling nggak dia udah punya temen marah-marah sekarang,
siapa lagi kalo bukan Prissy. He... he...
February 22th
Dear Di....
Alvin tiba-tiba ngilang. Dia nggak ke kantin, nggak di kelasnya juga. Tapi ada yang bilang dia tadi udah masuk gerbang sekolah.
Kami
jadi khawatir, Di... terutama Prissy. Entah kenapa dia bisa kalut
begitu waktu tahu Alvin menghilang. Dia sampai rela bolos jam terakhir
untuk cariin Alvin. Tentu aja gue ikut bolos. Kami nyari Alvin ke semua
sudut sekolah. Untung kami berhasil menemukannya. Tapi...
Kondisinya aneh, Di...
Sekujur
tubuhnya bergetar hebat. Seperti orang menggigil kedinginan. Dia terus
aja bilang, “Fy, tolong gue, Fy... Tolong gue, Pris...”
Kami jadi bingung harus bagaimana. Satu-satunya jalan adalah memanggil bantuan dokter UKS.
Tapi kami ternyata salah jalan, Di...
Karena kami membawanya ke UKS, Alvin jadi ketahuan pecandu, Di...
Dan Kepala Sekolah langsung mengirimnya pulang. Beliau memanggil kami dan akan rapat untuk mengambil keputusan untuk Alvin.
Gue takut Alvin bakal di keluarkan dari sekolah, Di...
Yang
gue heran, Prissy yang biasanya jadi Miss Detectiv, tiba-tiba terdiam.
Tak sepatah kata pun yang diucapkannya sejak kami keluar dari kantor
Kepala Sekolah. Ada apa dengannya ya, Di? Jangan-jangan Prissy suka sama
Alvin...
Apa pun, yang jelas gue harus usahakan supaya Alvin tidak dikeluarkan dari sekolah.
“Dasar tukang ikut campur urusan orang!” kata Rio yang ikut membaca diary Ify. Ify hanya tersenyum dan membacanya lagi.
February 23th
Dear Di.....
Syukurlah, Di... gue berhasil meyakinkan Kepala Sekolah untuk memberi waktu buat Alvin.
Tadinya beliau sudah memutuskan akan mengeluarkan surat DO buat Alvin. Tapi...
He...
he... gue nekat menemui Kepala Sekolah. Gue sendiri nggak tahu dari
mana keberanian gue muncul. Mungkin karena gue terlanjur masuk dalam
urusan Alvin. Atau mungkin juga karena gue ingin mengembalikan keceriaan
Prissy yang tiba-tiba lenyap. Yang jelas gue kepingin Alvin tetap
bersama kami.
Untung Kepala Sekolah bijaksana.
Aduh,
kalo inget gue tiba-tiba teriak, “Pak, tolong tangguhkan hukuman Alvin.
Saya janji dengan jaminan diri saya, Pak, Alvin akan lepas dari
kecanduannya. Kalo dia nggak bersih dalam dua bulan, Bapak boleh
mengeluarkan saya. Saya mohon, Pak. Tuhan saja ngasih kesempatan kedua.
Bukankah sekolah juga akan bangga, Pak, kalo siswanya terbebas dari
narkoba? Alvin bisa jadi contoh untuk yang lain, Pak. Saya mohon, Pak.”
Wah, Di... habis ngomong seperti itu di depan Kepala Sekolah rasanya
legaaa banget. Tapi gue tiba-tiba takut juga. Bodoh ya, langsung bicara
tanpa titik koma. Pake jaminan diri gue, lagi. Kalo Alvin nggak sembuh,
mati deh gue.
Tapi gue yakin, Di... Alvin bakal sembuh. Dia nggak bakal mengecewakan kami. Terutama Prissy yang memang menyukainya.
Herannya,
Kepala Sekolah langsung menyetujui syarat gue. Nggak nyangka beliau
sebijak itu. Walaupun dia janji akan mengeluarkan gue juga kalo gue
gagal menyembuhkan Alvin. Tapi... paling nggak beliau tersenyum ke gue.
Bagi gue, itu sudah merupakan isyarat bahwa Kepala Sekolah mendukung
sepenuhnya syarat gue. dan beliau percaya ama gue. Seneng deh, Di...
tinggak mikir gimana caranya ngebujuk Alvin.
“Kok lo bisa senekat itu sih, Fy?” Rio menggeleng tak percaya membayangkan kekuatan di balik tubuh mungil cewek itu.
Ify
tersenyum. “Waktu itu, yang ada di pikiran gue Cuma Alvin dan Prissy.
Mereka temen gue. sekalipun mereka bukan temen gue, kalo bisa gue mau
kasih kesempatam seseorang untuk berubah.”
“Lo tau, karena itu pula gue merasa ada yang menghargai gue,” kata Rio.
“Maksud lo?” tanya Ify tak mengerti.
Rio
mengembuskan napas perlahan. “Tadinya gue juga pecandu, Fy. Sejak
kematian Mama... nggak ada lagi yang peduli sama gue. Papa sibuk dengan
pekerjaannya. Gue jadi ngerasa sendiri. Dan gue juga ngerasa, Papa nggak
sayang sama almarhum Mama dan juga gue. Buktinya, beliau nggaka ada
sedih-sedihnya. Dan dia juga nggak berusaha ngedeketin gue,” cerita Rio.
“Gue lari ke drugs. Gue juga jadi anak yang menjengkelkan. Tak satu pun
yang berani melawan gue. Semakin lama gue bukannya merasa terhibur,
tapi malah makin kesepian. Siapa pun yang gue deketin selalu lari
ketakutan. Gue merasa udah nggak ada yang menghargai gue. Sampai gue
menemukan buku bagus di TPS dekat rumah gue. Tadinya gue mau nyari drugs
yang nggak sengaja dibuang pembantu gue, tapi entah kenapa mata gue
malah menemukan buku itu.” Rio menunjuk buku yang dipegang Ify.
“Gue
emang sengaja buang jauh-jauh dari rumah gue. Soalnye gue takut bakal
balik lagi dan ngambil buku ini. He... he...” kata Ify jujur.
“Gue
sangka itu juga barang yang nggak sengaja terbuang. Makanya gue
pungut,” Rio kembali bercerita. “Karena penasaran dengan isinya, gue
baca sedikit di akhir buku. Jelas sekali tertulis di situ, coba lo
baca...” Rio membalik halaman paling akhir diary Ify. “Nah, baca deh.”
Ify mengikuti perintah Rio, walau sedikit-sedikit dia masih ingat
kalimat terakhir yang ditulisnya.
The last story, Di...
Kesedihan itu belum hilang...
Kenapa harus ada siang dan malam
Kenapa harus ada perpisahan setelah pertemuan
Aku tak mengerti, Di...
Kenapa Tuhan begitu cepat memanggilnya...
Ayah....
Teriring doa untukmu... Aku akan selalu merindukanmu...
Walau Ayah telah jadi salah satu bintang di langit
Tapi bagiku... Ayah selalu ada di hati
Ayah...
Aku berjanji akan selalu tegar.
Untuk Bunda, Kak Iyel,
juga untuk kebahagiaan Ayah di sana.
Aku bisa, Ayah. Aku pasti bisa.
Seperti kata Ayah, aku pasti bisa kalo bilang Aku Bisa.
Begitu kan, Yah?
Untuk itulah aku harus mebuangmu, Di...
Aku akan coba hidup tegar dan mandiri
Aku ingin lebih dewasa menyikapi masalah
Selamat tinggal, Di...
AKU PASTI BISA.
Tanpa
sadar Ify menitikkan air mata. “Lo tahu, lamaaa... setelah Ayah
meninggal, buku ini masih berada di laci lemari gue. Kosong... tak
tertulis satu pun kalimat di sana. Gue nggak mau menyentuh buku itu
lagi. Terlalu banyak kenangan yang tertulis di sana bersama Ayah.
Satu-satunya jalan adalah membuangnya jauh-jauh dari hidup gue.”
“Lo
salah, Fy, yang namanya kenangan tidak harus dilupakan. Semakin lo
lupakan, semakin lo ingat. Lo nggak perlu buang buku itu hanya dengan
dalih lo takut membuka kenangan lama.”
“Tapi ada untungnya
juga lo buang buku itu, Fy,” Prissy muncul memotong pernyataan Rio
dengan senampan kue di tangan. Alvin dan Sivia menyusul di belakangnya.
“Coba lo nggak buang buku itu, mana mungkin Rio di sini sekarang!”
tambahnya seraya meletakkan kue itu di meja kecil di samping Ify.
“Kalian ini, katanya mau kasih waktu kita berduaan!” Rio langsung saja protes melihat kemunculan mereka.
“Heh,
lo pikir kita udah berapa jam terkurung di dalam Cuma mau ngasih kalian
waktu berduaan heh?” bentak Prissy. Yang lain bukannya takut malah
cengengesan. “Udah bagus gue keluar bawa kue. Coba gue bawa bom. Bubar,
kan, acara pacaran kalian?”
“Iya... iya... Kita kan Cuma
bercanda. Begitu aja sewot!” balas Ify. “O iya, kok lo nggak langsung
kembaliin buku gue sih, Yo, kalo emang lo pikir itu barang yang gak
sengaja terbuang?”
“Tadinya memang mau gue balikkin. Gue
nyari alamat yang tertulis di buku itu. Dan gue tau pemiliknya bernama
Alyssa Saufika Umari. Tapi waktu gue lihat lo di gerbang rumah lo, gue
urung ngembaliin buku itu.”
“Kenapa?” tanya Ify dan Prissy penasaran. Prissy kumat ingin tahunya.
“Karena
gue nggak percaya sosok lo yang mungil bisa mengatakan AKU PASTI BISA.
Sementara gue yang segede ini nggak pernah yakin dengan apa yang gue
lakukan. Itu sebabnya gue urung ngembaliin diary lo. Gue penasaran
dengan semua yang tertulis di sana.”
Semua terdiam dan
berpandang-pandangan. “Cerita lo soal Alvin-lah yang paling bikin gue
merasa dihargai dan nggak sendirian. Gue merasa, masih ada orang yang
bakal mau menerima gue apa adanya. Walaupun gue bukan teman lo.”
“Eh... tunggu... tunggu... Jadi ada cerita soal Alvin juga nih di situ?” kata Prissy tiba-tiba bersemangat.
“Ada,
dan nggak Cuma Alvin kok. Lo juga ada. Walaupun paling banyak tentang
Ayah,” ucap Ify sambil memeluk diary-nya. Rasanya kerinduannya pada
ayahnya sedikit terobati.
“Pinjem dong... gue pengen tahu
nih, gimana caranya lo ngebujuk Alvin masuk rehabilitasi. Lo kan selalu
tutup mulut soal itu,” Prissy memohon.
Ify melirik Alvin yang kemudian tersenyum dan mengangguk yakin padanya.
“Gue ceritain aja ya, soalnya nggak Cuma Alvin yang tertulis di sini. Cukup gue dan Rio aja yang tahu semua isinya,” kata Ify.
Prissy langsung mencibir. “Huuu... pelit lo. Ya udah cepet, ceritain!” desaknya.
“Waktu
itu gue bilang ama Alvin, lo ulang tahun tanggal 17 April, dan gue
kepingin Alvin memberikan kado berupa kesembuhannya buat lo yang naksir
Alvin. Hi... hi... hi... hi...”
“Apa? Sial. Jadi lo udah kasih bocoran ama Alvin ya? Pantes dia pede banget waktu nembak gue!” sungut Prissy.
“Nggak
usah ge-er, bukan Cuma karena lo aja kok, tapi gue kepingin menjaga
kepercayaan Ify ke gue juga,” Alvin ikut berkomentar. “O iya, Yo, gue
jadi inget di mana gue pernah liat lo. Kayaknya waktu gue keluar dari
rehabilitasi, lo yang gue tabrak sampai jatuh. Bener, nggak?” tanyanya
kemudian kepada Rio.
Rio mengingat-ingat. “Ya... gue inget
gue pernah ditabrak orang sebelum ditabrak Bokap yang langsung meluk
gue erat-erat waktu gue masuk panti rehabilitasi dengan sukarela. Jadi
gue nggak inget wajah lo sama sekali. Ternyata dunia itu sempit ya?”
Semua
tertawa. Bukankah kebersamaan itu indah? Bukankah Tuhan akan berikan
apa pun yang kita minta asal kita mau berusaha mendapatkannya? Dan Ify
bersyukur dengan kebahagiaan yang begitu besar itu.
“Anak-anak...
udah ngerumpinya. Bunda udah siapkan makan siang paling enak yang
pernah Bunda buat untuk merayakan kesembuhan Ify, dan kembalinya senyum
itu di wajahnya.” Bunda menyela canda tawa mereka sambil melempar senyum
kepada Ify.
“Yee... Bunda emang paling ngerti kalo kita
kelaperan.” Prissy langsung berdiri tanpa basa-basi. Diikuti yang lain
yang ikut bersorak mendengar kata makan.
Tinggal Ify dan
Rio yang berdiri paling akhir. “Katakan satu lagi, Yo. Soal matahari
yang ditelan laut, lo curi ide Ayah dari diary gue, kan?!” tanya Ify
pelan.
Rio terdiam sesaat. Lalu mengangguk. “Gue kira, itu
yang paling ingin lo liat di hari ulang tahun lo. Paling nggak, gak ada
yang tahu tentang rahasia kebahagiaan lo itu kecuali lo, Ayah, dan
gue.”
“Huu... itu sih namanya lo nyuri ide. Tentang
pangeran kuda putih itu juga, kan? Tentang kelemahan Bunda dan seluruh
penghuni rumah ini. Dasar Rio curang!” Ify memukul pelan lengan cowok
itu.
“Tapi semua kan demi kebahagiaan lo juga. Berterima kasihlah pada diary itu. Dan jangan lagi membuangnya.”
“Ify... Rio...” teriakan Bunda membuat mereka saling pandang dan tersenyum.
“Iya, Bunda...” balas Ify hendak melangkah masuk.
“Eh, Fy, will you marry me?”
Ify terpaku di tempatnya berdiri.
“Will you marry me?” ulang Rio meyakinkan.
Ify
tersenyum, lalu mengangguk pelan. “Tapi nggak sekarang, Yo... soalnya
gue laper nih. Udah ah, yuk!” kata Ify seraya menarik Rio bergabung
dengan yang lain.
The first story...
Apa kabar, Di...
Gue janji nggak akan buang lo lagi setelah lo pertemukan gue dengan pangeran berkuda putih.
Kita mulai dari awal, Di...
Gue akan goreskan semua cerita yang akan jadi kenangan untuk gue buat anak cucu gue nantinya. He... he... Sok tua banget ya...
Di... sampaikan kerinduan gue pada Ayah...
Gue yakin... Ayah yang memohon pada Tuhan untuk mengirimkan Rio buat gue.
Katakan pada Ayah... betapa gue sangat menyayanginya. Gue nggak akan pernah buang kenangan gue dengannya.
By
the way... Soal Ashilla, kata Sivia dia dikirim sekolah ke luar negeri
sama keluarganya. Obsesinya pada Rio takkan berhenti bila dia tak
dijauhkan darinya. Tau nggak, Di... Prissy masih menyimpan foto Ashilla
yang coreng-moreng itu. Katanya sih buat jimat pengusir tikus di
rumahnya. Hi... hi... hi... ada-ada aja.
Dan Rio... dia akan selalu menjadi anugerah terbaik yang pernah gue miliki.....
TAMAT.
ada sekuel nya?
BalasHapusaaa keren(y) tapi rasanya agak ngegantung-_- kalo belom dpt sekuel nya? cerita ini ada sekuel nya gak? kalo ada boleh dong kak direpost diblog ini lagi.
BalasHapus