Rio baru saja berkeliaran di kampus Teknik Universitas Bandung. Setelah
berbagai kejadian kemarin, Rio kembali bernapsu untuk menemukan Gabriel.
Gabriel-lah yang harus bertanggung jawab di balik semua penderitaan
yang dialami Rio.
Rio pulang tanpa membawa hasil. Dia menaiki tangga sambil mematikan
iPod-nya, tanpa melihat Ify yang menatapnya terkejut dari depan
kamarnya. Rio baru sadar saat dia melihat sepasang kaki di depannya. Rio
mendongak, lalu menatap Ify kaget.
"Lo bukannya..." Rio mendadak terdiam. Dia tidak akan membuka
percakapan apa pun lagi dengan Ify. Dulu, semua adalah kesalahannya. Dia
sudah membiarkan dirinya terlibat terlalu jauh dengan Ify. Sekarang,
Rio memastikan hal itu tidak akan terjadi lagi. Lalu, Rio kembali
melangkahkan kaki menuju kamarnya.
"Rio, tunggu!" sahut Ify sambil menghalanginya. Rio menatap cewek
itu, dan mendadak Rio menyadari bahwa sudah terlalu lama dia tidak
melihat mata Ify. Rio segera mengalihkan pandangannya.
"Apa?" tanya Rio, berusaha supaya terdengar tidak peduli.
"Apa? Apa?!" tanya Ify tak percaya sambil mengulang ucapan Rio sebelumnya. "Bukannya 'apa'! Kamu harusnya minta maaf sama aku!"
"Hah?" seru Rio.
"Kamu harusnya minta maaf setelah semua yang kamu lakuin selama ini!
Dasar pembohong," ujar Ify, tetapi tak sedikit pun terlihat marah. Rio
yakin, Shilla pasti sudah mengatakan yang tidak-tidak pada Ify.
Ify sekarang melipat kedua tangannya di depan dada, dan menatap Rio
seolah menunggu permintaan maafnya. Rio menghela napas. Pola ini
terulang lagi, tetapi kali ini Rio tidak akan mau kalah.
"Denger, ya, apa pun yang Shilla bilang sama lo..."
"Aku lebih percaya sama Shilla," balas Ify, memotong perkataan Rio,
membuat cowok manis itu terdiam. "Kamu selalu bohong, jadi aku udah
nggak percaya lagi sama kamu."
"Lo... bisa nggak, sih, biarin gue sendiri?" sahut Rio geram.
"Apa? Kamu mau ngomong sesuatu yang kejam lagi?" tantang Ify, sama
sekali tidak terlihat takut. Rio menatapnya tajam, dan dia meninju pintu
di depannya, tepat di samping wajah Ify. Ify balas menatap Rio berani,
dia yakin, sekejam-kejamnya Rio terhadapnya, pemuda itu tak akan sampai
tega memukulnya.
"Apa Shilla udah bilang kalo gue sebenernya takut kehilangan lo?"
tanya Rio. "Karena kalo iya, berarti lo kegeeran banget. Sama sekali
nggak pernah terlintas di pikiran gue..."
"Aku udah nggak peduli lagi sama semua kebohongan kamu," potong Ify
membuat Toushiro melotot. "Mau kamu bilang aku ini cewek yang sok pengen
jadi malaikat dengan ikut campur urusan orang lain, aku bukan tipe
kamu, kamu nggak suka aku, kamu benci aku, aku nggak peduli."
Rio menatap Ify bingung.
"Yo, aku udah denger semuanya dari Shilla, dan aku sekarang tau apa
penyebab kamu punya penyakit ini," ujar Ify lembut, matanya menatap mata
Rio dalam-dalam. "Aku sekarang tau kalau bukan salah kamu bisa dapat
penyakit itu. Sebenernya, alasan apa pun nggak penting, karena aku nggak
akan menjauhi kamu cuma karena kamu punya
penyakit itu."
"Berhenti ngomong sesuatu yang manis-manis," potong Rio geram. "Lo dulu sempat ragu, kan?"
"Emang bener aku sempat ragu, tapi aku nyesel. Harusnya aku nggak
pernah ragu. Waktu itu—aku akui—aku emang takut. Tapi, setelah itu, aku
benci diriku yang penakut seperti itu. Waktu itu, aku pikir, kalo aku
takut, aku nggak akan pantas buat kamu," kata Ify lagi. "Tapi, Yo,
sekarang aku nggak akan pernah takut lagi. Aku tau kayak apa kamu
mungkin berubah beberapa tahun lagi, tapi, Yo, aku nggak pernah punya
perasaan sekuat ini sama siapa pun selain kamu. Kamu berubah jadi apa
juga nggak akan mungkin bikin aku mundur."
"Lo nggak akan pernah tau apa yang bakal terjadi di masa depan," ujar Rio dengan suara gemetar. Ify tersenyum.
"Kamu juga nggak tau, kan?" Ucapan Ify membuat mata Rio melebar sempurna. "Jadi, kenapa kita nggak coba ambil risiko itu?"
Rio ingin sekali merengkuh gadis di depannya ini. Setitik air
matanya menetes. Ify mengelap air mata itu dan memegang pipi Rio lembut.
Rio bahkan tidak menghindar.
"Gue cuma punya waktu lima tahun," kata Rio membuat Ify tersenyum lagi.
"Jadi, ayo kita pergunakan waktu itu sebaik-baiknya," jawab Ify
membuat setitik lagi air mata jatuh dari mata indah Rio. "Kalo kamu tau
kamu cuma punya waktu lima tahun, ayo kita buat kenangan
sebanyak-banyaknya dalam kurun waktu itu."
"Lo... rela ngorbanin lima tahun hidup lo buat gue?" tanya Rio lagi.
"Aku nggak mau bilang aku rela ngorbanin lima tahun hidupku untuk
kamu," kata Ify. "Karena aku nggak mau cuma lima tahun bareng kamu. Aku
mau selamanya bareng kamu."
Rio menatap Ify dalam-dalam, mencari kebenaran dalam matanya.
"Fy... Boleh gue percaya omongan lo sekarang?" tanya Rio membuat air
mata Ify juga mulai menetes. Ify mengangguk, membelai pipi Rio yang
sudah basah oleh air mata. Ify lalu memeluk Rio. Awalnya Rio hanya
membatu, menyangka dirinya sedang berada di alam mimpi. Namun, wangi
lavender rambut Ify menyadarkannya, bahwa saat ini dia benar-benar hidup
dalam dunia nyata. Rio mengangkat tangannya ragu, dia lalu menyentuh
punggung Ify yang terasa hangat. Semuanya terasa begitu nyata.
Rio mempererat pelukannya pada Ify. Rio tidak ingat kapan dia pernah
merasa sebahagia ini sebelumnya. Kali ini, dia tidak akan melepaskan
Ify lagi. Tidak akan pernah lagi.
***
Rio membuka matanya dan seberkas cahaya menelusup melewati jendela
kamarnya. Rio mengerjap-ngerjapkan matanya, dan setelah semua nyawanya
terkumpul, dia berusaha mengingat kejadian semalam.
Semalam, dia bermimpi telah memeluk Ify. Dia bermimpi bahwa Ify
mengatakan akan selalu bersamanya. Rio mengangkat tangannya dan menatap
tangan itu. Tangan yang sudah menyerah pada seorang gadis bernama Alyssa
Sufika.
Mendadak Rio sadar, kalau kejadian semalam bukanlah mimpi. Wangi
tubuh Ify ada di mana-mana di kamar ini. Semalam, setelah Rio memeluk
Ify, emosinya begitu meledak-ledak sampai-sampai dia tak ingin
melepaskan Ify dari dekapannya. Rio terus memeluk Ify sampai Ify jatuh
tertidur.
Rio terbangun dengan tersentak, dia melihat sekelilingnya. Ify sudah
tidak ada. Rio segera bangkit dan membuka pintu kamarnya. Dia sekarang
berdiri di depan kamar Ify dan menatap pintu kamar Ify ragu.
Rio menjambak-jambaknya sendiri. Harusnya semalam dia bisa lebih
menahan diri. Harusnya dia bisa melepaskan Ify dan membiarkan Ify tidur
di kamarnya sendiri. Rio benar-benar takut Ify sudah menganggapnya yang
tidak-tidak. Ify pasti sangat terkejut saat melihat Rio di sampingnya
saat bangun, sehingga langsung kabur dan tidak mau melihat Rio lagi.
Rio masih saja menjambak-jambak rambut putihnya frustasi saat dia
mendengar suara pintu di tingkap atas. Rio menatap pintu itu penasaran.
Mungkin saja Ify ada di atas.
Rio segera naik ke lantai tiga dan Ify ada di sana, sedang bersandar
pada pagar pembatas, menatap bangunan-bangunan di depannya. Rio
menghela napas lega karena setidaknya Ify masih berada di kost ini.
Tiba-tiba Ify menoleh, dan tersenyum pada Rio yang segera salah tingkah. Rio lalu menghampiri Ify ragu-ragu.
"Ng...," gumam Rio tak jelas. "Sori, semalem gue..."
"Nggak apa-apa," kata Ify sambil tersenyum. "Semalem aku kebangun,
terus kamu udah ketiduran. Jadi, aku selimutin kamu terus pindah ke
kamar."
Rio mengangguk-angguk, benar-benar lega karena Ify tidak berpikiran
yang aneh-aneh tentangnya. Rio kemudian ikut bersandar di sebelah Ify.
Sebenarnya, Rio masih ingin memeluk Ify, tapi keinginan itu ditahannya.
"Kok, diem?" tanya Ify membuat Rio menoleh. Ify tertawa kecil. "Rio,
aku belum dengar dari kamu, lho, kalo kamu suka sama aku..."
Rio menatap Ify tak percaya, membuat Ify terbahak.
"Nggak usah bilang juga udah tau, kan?" ucap Rio tanpa melihat Ify.
Ify berhenti tertawa, lalu ikut menatap pemandangan di depannya.
"Sampai saat ini, aku masih belum percaya kalau kamu akhirnya mau
percaya sama aku," kata Ify membuat Rio menatapnya. "Aku seneng banget
sampai rasanya pengen nangis."
Ify tidak bisa mengatakan kalau semalam saat dia terbangun dan
mendapati Rio ada di sampingnya, dia menangis lagi. Ify benar-benar
senang karena Rio sudah bisa memercayainya.
Ify menggigit bibirnya, mau menangis lagi. Rio menepuk kepalanya dan mengacak rambutnya.
"Harusnya gue yang ngomong begitu," ujar Rio membuat Ify benar-benar menangis. "Hus. Jangan nangis terus, ah! Dasar cengeng."
"Biarin cengeng juga!" sahut Ify sambil terisak. Rio tersenyum simpul.
Mereka terdiam sesaat sampai akhirnya Rio berbaring di lantai dengan kedua tangan terlipat di belakang kepalanya.
Ify ikut duduk di sebelahnya. Sejenak mereka menikmati angin berembus sepoi.
Ify melirik Rio yang sudah terpejam. Ify memeluk lututnya.
"Ng... Yo?" tanya Ify pelan.
"Hm?"
"Ng... Aku boleh tanya sesuatu, nggak?"
Rio membuka matanya, menatap awan putih yang berarak menghiasi
langit. Dia tahu, cepat atau lambat Ify pasti akan bertanya soal masa
lalunya.
"Boleh aja," kata Rio akhirnya.
"Hm... Apa bener cita-cita kamu jadi sutradara?" tanya Ify
hati-hati. Rio terdiam sesaat. "Kata Shilla, dulu pas SMA kamu pengen
jadi sutradara."
"Bener," jawab Rio setelah terdiam beberapa saat. Dia duduk dan mengorek saku celananya, mengeluarkan rokok.
Ify dengan segera merampas rokok itu dan membuangnya. Rio menatapnya
sebentar, dan menghela napas. "Tapi, sekarang udah nggak ada gunanya
lagi, kan, ngomongin itu?"
Ify menatap Rio bingung. "Kenapa?" tanyanya. Rio balas menatapnya.
"Kenapa? Ya udah jelas, kan? Mana bisa gue jadi sutradara," kata Rio lagi.
"Kenapa nggak bisa?" tanya Ify lagi membuat Rio sekarang benar-benar memusatkan perhatian padanya.
"Denger, ya," ujar Rio setengah geli. "Orang kayak gue ini udah nggak punya masa depan. Nggak mungkin gue bisa jadi sutradara."
Mata Rukia membesar saat Rio mengatakan itu.
"Yo, aku pikir kamu nggak akan menyerah." Ucapan Ify sukses membuat Rio mendengus.
"Emangnya gue pernah ngomong begitu?" katanya, dan Ify sadar kalau Rio memang tak pernah mengatakannya.
"Rio, kamu jangan nyerah gitu, dong. Kamu pasti bisa jadi apa pun
yang kamu mau kalo kamu nggak nyerah!" ujar Ify. Rio menatapnya kesal.
"Jangan ngasih gue ceramah lagi, deh," katanya, membuat Ify
terkejut. Rio menghela napas. "Gue emang berterima kasih karena lo udah
mau nerima keadaan gue, tapi bukan berarti lo bisa nyeramahin gue."
Ify menatap Rio tak percaya. Rio menolak untuk menatapnya balik.
"Yo, aku tau kamu emang sakit. Tapi, apa sekarang kamu lumpuh? Apa
sekarang kamu cacat? Nggak, kan?" seru Ify membuat Rio kaget. "Kamu
masih bisa jadi apa pun yang kamu mau!"
"Kalo sekarang gue berusaha pun belum tentu ntar gue bisa jadi sutradara!" sahut Rio balik.
"Tapi itu lebih baik daripada kamu nggak ngelakuin apa pun!" sahut Ify lagi. "Setidaknya kamu udah berusaha, itu
yang penting!"
Rio terdiam mendengar kata-kata Ify. Ify menghela napas.
"Rio, orang yang udah tau bakal mati dan hanya diam menerima nasib
itu orang yang paling menyedihkan," lanjut Ify, volume suaranya sudah
sedikit turun. "Semua orang tau kalau mereka mungkin aja mati besok,
tapi nggak ada satu orang pun yang cuma diam menunggu kematian
menjemputnya."
"Tapi, nggak semua orang tau kapan tepatnya mereka mati, nggak kayak
gue," kata Rio miris. "Gue cuma diprediksi bisa hidup lima tahun lagi,
dan setiap inget itu, gue jadi hilang semangat."
"Kalo bener kamu cuma hidup lima tahun lagi, berarti kamu harus bisa
menghargai setiap harinya." Ucapan Ify membuat Rio menatapnya. "Bahkan,
setiap detiknya. Karena cuma tinggal lima tahun, makanya jangan biarkan
sedetik pun berjalan begitu aja."
"Rio," kata Ify sambil tersenyum pada Rio. "Kalo kamu, aku yakin
pasti bisa. Aku yakin suatu saat nanti kamu pasti bisa jadi sutradara.
Kamu cuma harus berusaha, jangan pernah menyerah sama keadaan kamu. Itu
aja."
Rio berhenti menatap Ify, dia kini beralih menatap awan. Sudah
begitu lama Rio tidak memikirkan cita-citanya. Rio selalu menganggap
cita-cita itu bagian dari masa lalu yang tak akan pernah diungkitnya
lagi. Namun, sekarang, seorang gadis bernama Ify telah membuatnya
kembali menginginkan cita-cita itu.Ify mengatakan hal-hal yang tadinya
dirasa tidak mungkin menjadi mungkin.
Dulu, Rio menyerah untuk masuk sekolah perfilman karena terlalu
takut. Takut kalau ada yang mengetahui penyakitnya dan menjauhinya.
Takut kalau sebelum sempat memulai dia sudah akan mati.
Sekarang, mendengarkan Ify, Rio mulai menyadari kalau hidupnya yang tinggal sedikit ini tidak oleh disia-siakan.
Ify melirik Rio yang tampak sedang berpikir keras. Ify benar-benar
menginginkan Rio untuk kembali bersemangat dan melupakan dendamnya pada
Gabriel. Ify tidak ingin melihat Rio lebih menderita lagi.
"Rio," ujar Ify pelan. "Tolong, janji satu hal sama aku."
Rio menatap Ify. Ify menggigit bibir bagian bawahnya ragu.
"Lupain soal... Gabriel," kata Ify lirih membuat mata Rio melebar. Rio terdiam sebentar, dan kemudian mendengus.
"Lo nyuruh gue lupain baji**an itu?" tanya Rio, tiba-tiba kembali menjadi seorang Mario yang dingin. "Lo bercanda, kan?"
"Yo, kalo kamu masih nyari dia, kamu nggak akan bisa nerusin
cita-cita kamu! Kamu ngerti, kan, akibatnya kalo membunuh dia? Kamu
bakalan menghabiskan sisa hidup kamu di penjara!" seru Ify. "Kamu mau
seperti itu?"
Tangan Rio terkepal keras, bahkan sampai bergetar. Rio bukannya
tidak pernah memikirkan kemungkinan itu. Memang dulu Rio tidak peduli
kalau dia sampai dipenjara atau mati sekalipun, karena tidak ada yang
peduli padanya.
Namun, sekarang berbeda. Sekarang, ada yang peduli padanya. Seorang gadis dengan wajah khawatir yang sedang duduk di sebelahnya.
"Rio, aku udah janji mau nemenin kamu, kan? Terus apa gunanya kalo
kamu malah ada di penjara?" kata Ify lagi. Dia memegang pipi Rio dan
memandangnya dalam-dalam. "Rio, aku mohon."
Rio balas memandang Ify. Rio benar-benar tidak tahu harus berbuat
apa. Memang benar dia sekarang tidak mau kehilangan Ify, tetapi dia juga
tidak bisa melupakan dendam lima tahunnya begitu saja. Karena Gabriel,
seluruh kehidupannya hancur berantakan.
Rio tiba-tiba bangkit, membuat Ify terkejut. Rio turun tanpa
mengucapkan sepatah kata pun pada Ify. Sedangkan Ify hanya bisa terduduk
pasrah sambil menatap punggung Rio yang segera menghilang.
Ify benar-benar merasa Rio sudah tidak tersentuh lagi.
***
Rio duduk di atas kasur di kamarnya. Rio melirik seprai itu. Seprai
berwarna ungu dengan gambar kelinci yang sering disebut-sebut Ify dengan
nama Chappy. Rio menghela napas, lalu meraih handycam di sebelahnya.
Dari semua hal, Rio paling tidak pernah bisa melepaskan handycam
ini. Handycam yang diberikan ayahnya—Zeth—saat dia berumur sepuluh
tahun. Handycam yang tidak akan pernah digantinya dengan apa pun.
Rio menyetel sebuah kaset saat ulang tahunnya yang kesebelas. Tampak
figur ayah dan ibunya yang bahagia. Handycam itu kemudian dipegang oleh
orang lain, dan figur Rio tampak di sana. Dia meniup lilin, sementara
Zeth dan Manda memeluknya erat.
Tangan Rio bergetar menatap pemandangan itu. Melihat putaran video
itu membuat semuanya terputar balik di otaknya. Saat-saat mereka
mengetahui penyakit Rio. Saat Ayahnya memutuskan pergi dari rumah
karena tak kuat menanggung malu. Saat Ibunya menangis tak henti-henti.
Kalau saja Tuhan mengizinkan Rio untuk membuat satu saja permohonan,
Rio ingin kembali ke saat-saat di mana semuanya masih baik-baik saja,
seperti saat ulang tahunnya yang kesebelas ini.
Rio mengelus handycam itu pelan-pelan. Handycam yang sudah belasan
tahun menemaninya. Handycam yang merekam semua perjalanan hidupnya.
Handycam yang menjadi awal dari cita-citanya.
Rio menjambak rambutnya. Dia benar-benar tidak tahu harus bagaimana.
Tahu-tahu ponsel di sebelahnya bergetar. Rio meraih ponsel itu heran.
Setahunya, dia tidak pernah memberikan nomor ponselnya pada siapa pun,
kecuali Alvin.
Mata Rio membesar saat membaca angka yang tertera di layar
ponselnya. Itu nomor telepon rumahnya. Rio merasakan tangannya menjadi
dingin saat dia menekan tombol hijau dan mendekatkan ponsel itu ke
telinganya.
"Halo? Vano?" Terdengar sebuah suara perempuan dari seberang.
Rio bergeming saat mendengar suara Mamanya. Sudah begitu lama, sampai-sampai Rio begitu merindukannya.
"Rio? Ini Rio, kan?" tanya Mamanya lagi. Tenggorokan Rio terasa kering.
"Kenapa?" kata Rio dengan suara serak.
"Rio!" seru Retsu. "Untung nomernya benar! Kamu ada di mana sekarang, Nak? Masih di Bandung?"
Mendadak, Rio sadar kalau Shilla pasti sudah melaporkan segalanya
pada Ibunya. Dan, Shilla mendapatkan nomor ponsel Rio dari Alvin. Rio
mengatur napasnya.
"Kenapa?" tanya Rio lagi.
"Rio, ayo pulang, Nak," kata Manda, terdengar seperti mau menangis. "Ayo pulang, Yo. Kami sudah menunggu di rumah."
Rio tertawa dalam hati. Kami? Kami siapa maksudnya?
Rio masih terdiam. Sebenarnya, dia hanya ingin mendengar suara
Ibunya. Rio juga takut kalau dia bicara, dia akan menangis dan ingin
cepat pulang.
"Rio, kamu marah sama mama, ya?" tanya Manda kemudian. "Kamu masih marah sama Mama, kan? Rio, maafkan Mama. Maafkan Mama, Nak."
Rio hampir tidak bisa menahan emosinya. Rio sama sekali tidak menyangka kalau ibunya akan meminta maaf seperti itu.
"Maafkan Mama karena Mama bukan ibu yang baik," kata Manda, sudah
tersedu. "Maafkan Mama karena Mama nggak bisa merawat kamu dengan baik.
Pulanglah, Rio, izinkan Mama merawat kamu sekali lagi."
Rio masih mendengarkan tanpa bisa berkata apa pun. Rahang Rio sudah mengeras, menahan segala keinginannya untuk menangis.
"Mama nggak akan menangis lagi, Rio, Mama akan tegar. Mama akan
lebih percaya diri. Mama nggak akan peduli lagi apa kata tetangga. Rio
pulang, ya?" kata Manda lagi. "Rio, kalau kamu pulang, ada seseorang
yang menunggu kamu di rumah."
Rio mengernyit heran. Siapa yang menunggunya? Shilla-kah?
"Rio?" kini, terdengar suara yang berat dari seberang, membuat jantung Rio serasa berhenti berdetak.
Rio tak bisa memercayai pendengarannya. Mungkin Rio sudah salah dengar. Mungkin Rio tadi berkhayal.
"Rio? Nak? Ini Papa," kata suara itu lagi membuat Rio benar-benar
hilang kendali. Dadanya terasa sesak karena mendengar suara itu untuk
yang pertama kalinya dalam lima tahun terakhir.
Zeth terdiam sebentar di ujung sana.
"Rio? Papa tahu kamu pasti sangat marah sama Papa. Tapi, beri Papa
kesempatan sekali lagi, Yo. Beri Papa kesempatan sekali lagi," kata Zeth
membuat tangis Rio tak terbendung lagi. Zeth sendiri juga sudah mulai
terisak.
"Papa...," gumam Rio di tengah tangisannya.
"Rio, maafkan Papa, ya? Papa benar-benar bodoh karena sudah
meninggalkan kamu dan ibumu. Selama lima tahun Papa mengintrospeksi
diri, dan ternyata memang Papa yang salah. Kamu tidak bersalah, Nak.
Papa yang sudah salah karena pergi. Seharusnya, Papa tetap mendukung
kamu. Maafkan ayahmu yang pengecut ini, Rio," kata Zeth lagi membuat
tangisan Rio semakin keras.
"Rio, kamu pulang, ya, Nak? Ayo, kita coba sekali lagi," kata Zeth
lagi. "Kali ini, Papa tidak akan lari lagi. Kita ulangi lagi semuanya
dari awal. Kamu, Papa, dan Mama."
Rio tidak bisa menjawab. Dia sudah menangis sejadi-jadinya. Seumur
hidupnya, dia tidak pernah sebahagia ini. Dia sangat bahagia sampai
dadanya seperti mau meledak.
Terdengar ketukan di pintu, tetapi Rio tak bisa mendengarnya. Ify
muncul dari pintu dan terkejut menatap Rio yang sedang menangis. Ify
segera menghambur ke arah Rio.
"Rio? Kamu kenapa?" tanya Ify panik. "Kamu sakit? Apanya yang sakit?"
Rio tak bisa menjawab. Ify bingung menatap Rio yang menangis
sejadi-jadinya itu, lalu menatap ponsel yang sedang dipegang Rio. Ify
mengambil ponsel itu, dan ternyata masih tersambung. Ragu, Ify
mendekatkan telinganya pada
ponsel.
"Rio? Nak? Kamu masih di sana?" sahut sebuah suara wanita. Ify
terbelalak, yakin itu suara ibu Rio. Ify tak berani menjawab. "Rio,
setelah kamu tenang, kami telepon lagi, ya. Cepat pulang, ya, Rio, kami
tunggu."
Setelah itu sambungan terputus. Ify tersenyum, sudah mengerti arti
dari tangisan Rio. Ternyata, keluarga Rio mengharapkan Rio untuk pulang.
Rio sekarang sudah tidak sendirian lagi.
Ify mengulurkan tangan untuk mengusap air mata Rio, dia lalu memeluk
Rio yang masih menangis. Ify benar-benar bahagia karena akhirnya Rio
sudah kembali mendapatkan kehidupannya.
Ify ikut menitikkan air mata. Ify tahu seharusnya dia tidak boleh
sedih, tetapi dengan begini Rio akan lebih cepat menghilang darinya. Rio
akan kembali pada keluarganya di Manado, tetapi Ify harus bisa
mendukungnya.
Karena Ify sudah berjanji akan menjadi kuat untuk Rio.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar