“Siapa yang Nona Detektif nih? Memangnya ada kasus apa?” Rio yang
tiba-tiba muncul di balik pintu kamar Ify membuat Prissy urung bicara.
“Itu tuh Prissy, masih penasaran aja ama Sivia. Padahal gue udah
bilang Sivia itu pacar Kak Iyel, titik.” Ify yang pertama menyambut
pertanyaan Rio.
“Eh, Yo, lo kan anak SMA Teitan. Menurut lo, Sivia itu gimana?” Prissy tiba-tiba bersemangat.
Rio duduk di sebelah Ify. “Emangnya kalo kami satu sekolah pasti
saling kenal?!” jawab Rio tenang. “Gue memang tahu Sivia, tapi gue nggak
begitu kenal. Ngomong aja baru tadi di sini. Itu pun sekedar say
hello.” Pernyataan Rio menyurutkan semangat Prissy.
Bagaimanapun Prissy nggak puas dengan semua jawaban yang
didengarnya. Tapi dia juga tak tahu ke mana harus mencari jawaban. Nanya
Kak Iyel jelas nggak mungkin. Bisa dicakar gue kalo ganggu pacar
kesayangannya, batinnya putus asa.
“Sudah, mana PR-nya? Kita selesaikan buru-buru yuk. Soalnya gue mau
ngajak kalian nonton,” kata Rio. Semua bersorak senang, tak terkecuali
Prissy yang sesaat jadi lupa dengan rasa penasarannya.
“Bener ya, Yo, awas kalo lo bohong!” ancam Prissy.
“Emang kapan gue pernah bohongin lo?” tantang Rio tenang.
“Syaratnya, filmnya yang milih Ify,” tambahnya seraya mengerling nakal
pada Ify.
Alvin dan Prissy saling pandang, lalu serentak berkata, “Wueeek...” Mereka pura-pura muntah melihat adegan sok romantis itu.
“Apa? Sirik ya?” ujar Rio, sementara Ify tertunduk malu. “Ya udah, ayo kerjain. Keburu malem.”
Rio meraih buku PR yang disodorkan Alvin. Mereka pun mulai serius
dengan PR Bahasa Inggris yang bikin kepala ketiganya puyeng. Tapi tentu
tidak buat Rio.
Mereka sama sekali tak menyadari, betapa pentingnya ingatan Prissy yang dianggap remeh itu.....
@@@@@
Sivia baru selesai mandi saat ia menemukan Ashilla tengah asyik
meneruskan permainannya di komputer yang tadi memang sengaja tidak
dimatikannya.
“Shilla,” sapanya. Ia sebenarnya agak kecewa mendapati sahabat yang lebih mirip diktator itu.
“Hai, Siv,” balas Ashilla ramah. Dan ini bukan pertanda baik untuk
Sivia. Biasanya kalau sedang ramah begini, Ashilla pasti ada maunya.
“Lama nggak ketemu, kelihatannya lo menikmati banget tugas lo. Sampai
lupa sama sahabat lama.”
“Buka begitu, Shil... gue...”
“Hanya nurutin perintah gue,” potong Ashilla cepat. “Gue tahu kok alasan lo tanpa lo harus kasih tahu,” tambahnya.
Sivia tidak bisa berkutik lagi. Setelah semua kebahagiaan yang
dirasakannya bersama Gabriel dan keluarganya, dia semakin merasa takut
kepada Ashilla. Gadis itu bagai momok yang menghantui Sivia sampai ke
mimpi buruknya.
“Nih.” Ashilla mengulurkan dua amplop biru muda.
“Apa ini, Shil?” tanya Sivia tak mengerti.
“Bukan apa-apa, Cuma undangan ulang tahun. Satu buat lo, satu lagi buat Ify,” jawab Ashilla santai.
“Kenapa harus Ify?” tanya Sivia lagu nggak ngerti.
“Itu bukan urusan lo, Siv. Tugas lo Cuma ngasih undangan itu buat Ify.”
“Tapi, Shil... Ify pasti datang bareng Rio. Gimana lo...”
“Dia akan dateng bareng lo. Karena ini bukan hanya pesta ulang tahun gue, melainkan juga pertunangan gue sama Rio.”
Bagai disambar petir Sivia mendengarnya. Ini nggak mungkin, pikirnya
nggak percaya. Undangan di tangannya sampai jatuh. Bukankah dia baru
saja pulang dari rumah Ify, dan Rio masih di sana, bercanda dan tertawa
dengan gadis pujaannya?
“Sivia... lo kenapa sih? Sampai kaget gitu. Nggak percaya gue mau
tunangan ama Rio? Kenapa nggak lo tanya Rio aja?” Tantangan Ashilla
membuyarkan lamunan Sivia.
“Bu...bukan begitu, Shil... Tapi... tadi Rio... masih bareng Ify,” ucap Sivia jujur.
“O ya... pastilah dia mau menyembunyikan kenyataan ini dari gadis
kampungan itu!” kata Ashilla sambil bangkit dari tempat duduknya.
Diambilnya undangan yang dijatuhkan Sivia, dan diserahkannya kembali
kepada gadis ayu yang masih tepaku tak percaya itu. “Asal lo tau aja.
Rio sendiri yang merancang acara ini. Dan dia juga menegaskan ke gue,
kalo tikus got itu Cuma mainan yang kalo rusak bisa dibuang kapan saja.”
“Nggak mungkin, Shil...”
“Sivia sayang...” Ashilla merangkul Sivia dan mengajaknya duduk di
sampingnya. “Terserah ya... lo mau percaya gue apa nggak. Yang jelas,
kalo lo mau ngebuktiin omongan gue, lo dateng aja di pesta gue besok
lusa. Ajak sekalian si tikus got itu,” katanya sok memberi saran.
“Bukannya apa-apa, gue Cuma kasihan aja ama cewek kampung itu kalo
terus-terusan dibohongin Rio. Soalnya, kalaupun dia tanya langsung ama
Rio, gue yakin Rio pasti bilang semua ini bohong. Mana ada sih, maling
teriak maling?”
Sivia memandang Ashilla sayu. “Kalo lo tau Rio maling, kenapa lo mau
sama Rio, Shil?” tanyanya tanpa pikir panjang. Entah ia mendapatkan
keberanian dari mana hingga nekat melontarkan pertanyaan itu.
Ashilla melepas rangkulannya sesaat. Dipandangnya Sivia dengan mata
menyipit dan dahi berkerut heran. Tumben, pinter juga anak ini memutar
omongannya, pikirnya. Kemudian ditariknya napas pendek dan cepat
dihembuskannya lagi. “Itu karena... Rio udah janji bahwa dia hanya cinta
gue. Dan dia akan segera lepaskan tikus got itu setelah acara
pertunangan kami. Yah... katanya, dia perlu waktu. Dan gue bisa ngertiin
dia kok.”
Sivia masih saja terdiam. Kalau benar selama ini Rio hanya
bersandiwara, kenapa dia memperingatkan Sivia saat mereka pertama kali
ketemu di rumah Ify.
“Ternyata benar desas-desus yang beredar, salah satu anak Ashilla
melarikan diri dari induk semangnya. Sebaiknya ini bukan permainan,
karena gue akan melakukan apa pun untuk menjaga rahasia gue dan Ify.”
Pernyataan Rio saat itu kembali terngiang di telinga Sivia.
Tunggu, Rio bilang dia akan menjaga rahasianya dan Ify,
jangan-jangan itu bukannya berarti dia takut kehilangan Ify, tapi lebih
karena dia tak ingin hubungannya dan Ify tidak diketahui Ashilla. Ya
Tuhan... apa sebenarnya yang terjadi?
“Sivia sayang... kok lo malah kelihatan bingung gitu?” Ashilla
mengusik lamunan Sivia. “Gini aja, kalo lo nggak percaya juga, coba
inget-inget. Mulai besok, Rio bakal sering absen ke rumah Ify. Kenapa?
Karena dia sedang mempersiapkan pertunangan kami. Lo kan ada di rumah
tikus itu, jadi lo bisa tahu, Rio datang atau nggak. Gimana?” saran
Ashilla. “Tapi ingat, lo mesti kasih undangan itu ke Ify. Gue pengen dia
tahu dengan mata kepalanya sendiri tentang pertunangan kami. Soalnya
gue juga mesti yakin kalo Rio bener-bener udah membuang mainannya. Nggak
lucu dong, tunangan gue masih sembunyi-sembunyi pacaran sama anak
kampung. Jadi, kami sama-sama tahu. Deal?” tambahnya seraya berdiri
sambil melihat jam tangannya. “Wah, sudah malam nih. Gue pulang dulu
deh.” Diambilnya tas tangannya. “Makasih ya, Siv, lo emang temen paling
baik,” tambahnya sebelum pergi dari hadapan Sivia. “Aaah... gue jadi
nggak tega ngebayangin kesedihan adik ipar lo itu. Tapi kalo nggak
dikasih tahu, gue lebih nggak tega lagi...” Ashilla terus saja bicara
sampai hilang di balik pintu.
“Ya Tuhan...” Sivia merebahkan tubuhnya. “Apa yang harus gue
lakukan?” Ditepukkannya tangannya ke keningnya sendiri. “Gue harus
selidiki dulu semuanya. Kalau perlu, gue akan tanya Rio. Sebelum masalah
ini jelas, jangan harap undangan bisa sampai ke tangan adik mungil
gue,” putusnya kemudian.
Dan jawaban itu muncul pagi harinya.....
@@@@@
Sivia sedang memasukkan koin untuk mendapatkan softdrink yang
diinginkannya saat didengarnya tawa nyaring Ashilla dan gengnya. Tadinya
dia bermaksud meninggalkan mesin softdrink itu tanpa menunggu minuman
yang dipesannya ketika suara lain yang juga sangat dikenalnya ikut
terdengar.
“Iya... iya... Gue janji bantuin lo. Terserah deh, lo mau minta apa
aja dan dianter ke mana aja, gue turutin. Asal... jangan lupa dengan
janji lo.”
“Rio?” gumam Sivia lirih. Ia menengok sekilas. Terlihat jelas
olehnya Rio duduk di salah satu meja bundar berpayung di kantin sekolah
bersama gerombolan Ashilla. Sivia mengurungkan niatnya melarikan diri.
Sebaliknya, dia malah sengaja berlama-lama di mesin softdrink, meskipun
minuman yang dipesannya sudah keluar dari tadi. Dia ingin mendengar
sendiri dari mulut Rio. Karena sebenarnya dia belum percaya dengan apa
yang dikatakan Ashilla.
“Wah... pasti bakal meriah tuh pestanya,” komentar Dea, salah satu teman Ashilla yang dulu juga teman Sivia.
“Rupanya lo serius dengan pertunangan itu ya, Yo?” Angel, teman Ashilla yang lain ikut berkomentar.
“Jelas dong. Dan siapa pun yang menghalangi nggak bakal gue ampuni.”
Ya Tuhan... jadi benar kata Ashilla. Rio serius mau tunangan. Sivia
segera mengambil minumannya. Sudah cukup yang didengarnya tadi. Sekarang
tinggal memikirkan bagaimana menyampaika hal ini pada Ify.
@@@@@
“Hai, Fy, kok baru pulang?” sapa Sivia sore itu di rumah Ify.
“Iya nih, biasa... rapat OSIS suka menyita banyak waktu. Udah gitu
belum juga mencapai kata mufakat,” jawab Ify sambil melepas sepatunya.
“Wah... capek dong.”
“Gitu deh.” Ify menaruh sepatunya di rak sepatu. “Oh ya, Siv, si
Prissy maksa gue terus nih buat nanya elo. Gue jadi risi setiap ketemu
dia, pasti pertanyaannya sama. Udah ditanyain belum?” Ify fasih banget
menirukan gaya bicara Prissy.
Sivia tertawa kecil. “Memangnya dia mau tanya apa sih?”
“Tapi janji ya, jangan marah.” Ify mengacungkan jari telunjuknya dan tengahnya bersamaan.
Sivia menangguk. “Tapi ada yang mau gue sampein ke lo juga nih. Dan
lo juga janji nggak boleh marah,” sambungnya menyembunyikan kegelisahan.
“Iya, kapan sih gue pernah marah sama lo? Ke kamar gue aja ya. Ntar
kalo Kak Iyel denger, bisa-bisa kena marah gue.” Ify segera bangkit dan
berjalan pelan ke kamarnya diikuti Sivia. “Nah, di sini kan aman,”
katanya setelah menjatuhkan dirinya di kasur.
Sivia duduk di pinggiran tempat tidur Ify. “Kayaknya penting banget nih, sampe harus menyingkir dari Gabriel.”
“Nggak juga sih. Sebenarnya Prissy Cuma lagi kelebihan penasaran
aja.” Ify melipat kedua kakinya di atas tempat tidur. “Cuma kalo gue
nggak tanyain, dia bisa nguntit gue terus.”
“Apaan sih, jadi ikut penasaran!” Sivia masih sabar menanti.
Berteman dengan Ify beda banget dengan berteman dengan Ashilla. Kalau
Ify mau cerita, dia sanggup nunggu sampai kapan pun. Trus dia juga bebas
mengatakan apa pun kepada Ify. Sebaliknya dengan Ashilla. Yang ada
hanya ketakutan dan paksaan.
BERSAMBUNG..................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar