Selasa, 26 Juni 2012

The Truth About Forever - Chapter 7 : Does It Hurt??

Hari Minggu. Langit Kota Bandung sedang tidak bersahabat. Ify sudah hampir dua jam duduk di depan monitornya tanpa melakukan apa pun. Tangannya terkulai lemas di keyboard sehingga memunculkan huruf-huruf acak di tengah tulisan novelnya.



Semalam, Ify tidak bisa tidur. Dia hanya memandangi dinding di kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Rio, bertanya-tanya apa Rio juga tidak bisa tidur seperti dirinya.



AIDS. Jelas bukan penyakit sembarangan. Penyakit ini telah menghilangkan nyawa ratusan, atau bahkan ribuan, remaja di dunia. Penyakit yang membunuh penderitanya secara perlahan. Penyakit yang sampai sekarang masih belum ditemukan obatnya.



Membayangkannya saja sudah membuat Ify merinding. Ify tidak pernah mengira masalah Rio seberat ini. Ify jadi teringat kata-kata Sivia beberapa hari yang lalu.



"Kalo ternyata masalahnya bener-bener berat dan lo nggak bisa berbuat apa-apa untuk ngebantu dia, apa lo masih tetep mau bareng dia?"



Saat itu, Ify tak menjawab, karena Ify takut hal itu benar-benar terjadi. Dan, sekarang, Ify benar-benar takut.

Ify bukanlah cewek baik seperti di sinetron-sinetron—tontonan tantenya, yang tegar menemani kekasihnya yang sakit sampai akhir hayatnya. Ify hanya manusia biasa seperti manusia lainnya, dia juga merasakan ketakutan yang luar biasa saat mengetahui bahwa Rio adalah penderita HIV. Ify tak yakin bisa berbuat sesuatu dengan dirinya yang sekarang ini.



Ify menatap tangannya yang gemetar, lalu mendekapnya. Ternyata, dia memang takut. Ify bermaksud untuk mengambil gelas, tetapi secara tak sengaja tangannya terkena pinggiran gelas yang sudah pecah. Ify meringis kesakitan saat mengetahui bahwa jarinya sudah terluka.



Ketika Ify akan mengisap jarinya yang berdarah, dia terkesiap. Pikirannya tiba-tiba melayang ke kejadian beberapa hari lalu, saat jari Rio juga berdarah, dan dia tiba-tiba menolak untuk diplester. Setelah itu, pikirannya melayang lagi ke kejadian-kejadian saat Rio beberapa kali menolak makanan serta saat kejadian di pantai.



"Kita nggak punya masa depan."



Ya, itu adalah lima kata yang diucapkan Rio di pantai dan yang sampai kemarin sama sekali tidak dimengerti artinya oleh Ify. Namun kali ini, Ify sudah mengerti benar apa arti kalimat itu. Kalimat yang seolah telah menolak perasaannya mentah-mentah.



Selama ini, tanpa disadari Ify, Rio bersikap dingin dan ketus hanya untuk berusaha melindungi Ify. Rio hanya ingin menjaga hati Ify.



Mata Ify menerawang. Darah di jarinya sudah menetes ke lantai, tetapi dia tidak peduli.



***



Rio yang sekarang sedang berada di lantai tiga kost-nya menatap atap rumah-rumah di depannya kosong. Hasil pencariannya hari ini nol lagi. Padahal, Rio sangat bernapsu untuk cepat-cepat menyelesaikan masalahnya dan pergi dari kota ini.



Rio melirik langit yang sudah berwarna kemerahan. Satu hari lagi dari beberapa tahun sisa hidupnya, sudah dia lalui. Rio bertanya-tanya, masih berapa lama lagi dia dapat melihat matahari terbenam.



Tiba-tiba, Rio teringat pada kejadian kemarin, saat Ify mengetahui penyakit yang diidapnya. Reaksi Ify sama saja seperti rekasi orang lain. Sekarang, Rio tidak akan heran kalau Ify akan menghindarinya. Sepagian ini saja, Ify tidak keluar dari kamarnya.



Rio memang kecewa, tetapi dia tidak bisa mengharapkan lebih. Ify hanya menangis dan tidak berteriak histeris saja sudah cukup untuknya. Lagi pula, Rio memang tidak berhak untuk kecewa.



Rio mendesah, ia lalu berbaring di lantai. Mendadak, Rio seperti mendengar langkah kaki. Berharap setengah mati itu Ify, Rio menoleh. Ternyata, memang benar Ify. Rio langsung mengalihkan pandangannya. Dia tidak boleh berharap macam-macam lagi.



"Dingin, lho," kata Ify sambil mendekati Rio. Rio duduk, lalu mengebas-ngebaskan tangannya yang berdebu.



"Kenapa lo ke sini?" tanya Rio singkat tanpa menoleh.



"Mau nemenin, siapa tau kamu kesepian," jawab Ify membuat Rio mendengus.



"Nggak usah maksain diri jadi malaikat," ujar Rio skeptis. "Lebih baik lo nggak usah deket-deket sama gue."



Ify menatap punggung Rio yang benar-benar tampak kesepian. Tadi pagi, Ify sudah membulatkan tekadnya untuk tetap mendukung Rio karena Ify tahu, Rio selama ini melindunginya. Sikap Rio yang keras itu semata-mata hanya supaya Ify tidak bergaul dengan orang penyakitan sepertinya.



"Apa kamu nggak kesepian?" tanya Ify. "Kamu memutuskan buat hidup sendiri dan nggak membina hubungan baik sama orang lain. Apa kamu nggak kesepian?"



"Kesepian juga gue nggak peduli. Gue udah biasa sendiri," jawab Rio tegas.



Ify masih menatap punggung Rio. Kalau saja Rio mau egois, Rio bisa saja tetap bergaul dengan teman-temannya dan orang lain, dan tetap menyembunyikan penyakitnya. Namun, Rio malah melakukan sebaliknya.



"Kenapa?" tanya Ify lagi. "Kenapa kamu begitu?"



Rio terdiam lama. "Gue nggak mau ada yang nangisin gue kalo gue mati ntar," kata Rio pelan, masih memunggungi Ify. "Semakin sedikit, semakin bagus."



Ify tertegun mendengar jawaban Rio. Dia tersenyum lembut.



"Ternyata kamu baik banget, ya," ujar Ify membuat Rio menoleh sedikit. "Kamu masih mementingkan orang lain."

Rio tak menjawab kata-kata Ify. Dia terdiam sambil menatap langit yang sudah mulai gelap.



"Karena kamu nggak mau orang-orang yang kamu sayangi berurusan sama kamu, makanya kamu sengaja menghindari mereka, ya, kan?" tanya Ify lagi. "Karena itu, kamu memilih sendirian, bener, kan?"

Rio masih terdiam. Tangannya sudah terkepal keras. Tahu-tahu, sepasang tangan sudah melingkar di lehernya.

Ternyata Ify sudah duduk dan memeluknya dari belakang.



"Punya penyakit bukan berarti kamu nggak bisa bahagia, Rio," ujar Ify lirih. "Kalo nggak ada yang menemanimu, aku yang bakal menemani kamu."



Rio tidak berusaha melepas tangan Ify. Tangan Ify begitu hangat, sampai-sampai Rio tidak mau melepasnya. Rio mau menggenggam kebahagiaan ini walaupun cuma beberapa detik.



Tanpa terasa air mata sudah mengalir dari mata kejora Rio.



"Sakit," gumam Rio di antara isakan lirihnya membuat Ify ikut menitikkan air matanya dan memeluk Rio lebih erat.



Ify tahu benar di bagian mana Rio merasa sakit. Dari bagian mana pun di tubuh Rio, bagian hatinyalah yang paling sakit.



Bagian yang selama ini selalu dikorbankannya.





***



Rio melewati malam dengan menatap langit-langit kamarnya yang sudah kecoklatan. Dia sama sekali tidak bisa tidur, setelah pertama kalinya menangis di depan orang. Pada saat divonis positif HIV, dia tidak menangis. Pada saat ibunya, Amanda, menangis sejadi-jadinya, Rio juga tidak menangis. Pada saat ayahnya, Putra, pergi dari rumah karena malu memiliki anak berpenyakit mengerikan sepertinya, dia juga tidak menangis.



Mungkin semalam adalah akumulasi dari segala kesedihan yang Rio alami selama lima tahun terakhir. Rio tahu, cepat atau lambat emosinya akan meledak, tetapi yang dia tidak habis pikir, kenapa harus bersama orang yang baru dikenalnya. Kenapa malah orang yang hampir tidak dikenalnya yang mau memeluknya dan membiarkannya menangis.



Rio teringat ibunya. Saat divonis positif HIV, Rio tidak sempat menangis karena mamanya sudah menangis duluan. Setelah itu, perlakuan mamanya tidak sama lagi. Dia sangat hati-hati dalam menyentuhnya dan ekstra hati-hati dalam memberinya makan. Bahkan, ibunya itu memberinya peralatan makan khusus, dan dia mencuci pakaian Rio secara terpisah. Rio sudah seperti alien di rumahnya sendiri.



Saat Putra, ayahnya, pergi, Amanda depresi berat. Berhari-hari dia menangis tanpa mempedulikan Rio. Rio jadi tak punya waktu untuk memikirkan masalahnya sendiri. Yang dipikirkannya hanyalah bagaimana ibunya bisa bahagia. Karena itu, Rio sering menghabiskan waktunya untuk menyepi sendirian, berharap dengan cara yang tak seberapa itu ibunya bisa jadi lebih tenang.



Semalam, ketika Ify memeluknya, dia tak bisa menolak. Sudah terlalu lama semenjak seseorang memeluknya seperti itu. Semalam, sisi egoisnya sudah menang. Dia tidak mempedulikan apa pun, dan berharap malam itu tak 'kan pernah berakhir.



Namun, sekarang sudah berakhir. Rio tak bisa menerima kebaikan Ify hanya demi kepentingannya. Dia sadar, kalau Ify hanya kasihan padanya. Ify kasihan karena Rio hanya sendirian, dan akan mati sendirian pula.



Secercah harapan tumbuh pada hati Rio semalam, saat Ify tidak ragu untuk memeluknya. Gadis itu seolah tidak takut padanya. Gadis itu masih bersikap sama seperti sebelum mengetahui penyakitnya. Namun, Rio juga sadar bahwa Ify hanya ingin menemaninya, tidak lebih.



Rio bangkit dari tempat tidurnya, memutuskan untuk sepagi mungkin berangkat supaya tidak bertemu dengan Ify. Sangat sulit baginya untuk bertemu dengan gadis itu setelah kejadian semalam.



Rio membuka pintu kamarnya dan pada saat bersamaan, pintu kamar Ify juga terbuka. Rio langsung mengumpat dalam hati.



Ify keluar kamar, lalu menoleh dan menatap Rio yang membeku di depan kamarnya. Ify menelengkan kepalanya, bingung Rio sedang apa.



"Kenapa?" tanya Ify membuat Rio tersadar. Rio cepat-cepat keluar, mengunci pintunya, lalu bergerak cepat ke tangga. Ify teringat sesuatu.



"Rio! Jangan lupa bawa payung, ntar kehujanan lho!" sahutnya, tapi Rio seperti tidak mendengar.

Ify menatap punggung Rio yang menghilang di tangga sambil tersenyum. Ternyata, Rio masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Akan jadi tugas yang sulit buat Ify, tetapi Ify tak akan menyerah.





***



Rio memandang kosong bangunan yang ada di depannya, Fakultas Psikologi Universitas Bandung. Dia tidak benar-benar melihat siapa yang lewat, pikirannya masih melayang ke kejadian semalam. Suara musik berdentum-dentum melalui headphone besar yang tergantung di lehernya.



Sepasang kekasih tiba-tiba lewat di depan Rio, membuatnya mau tak mau memandangnya. Alangkah baiknya jika Rio tidak memiliki penyakit apa pun. Di umurnya yang sekarang ini, dia pasti juga bisa merasakan kebahagiaan seperti pasangan itu.



Namun, tak ada gunanya berandai-andai. Rio sudah kepalang memiliki virus ini yang mengalir dalam darahnya. Sekarang, dia hanya harus menyelesaikan "pekerjaan"-nya yang belum selesai dan setelah itu, Rio tak peduli lagi mau hidup dengan cara apa.



Rio membetulkan headphone-nya, dan tanpa sengaja, dia menyentuh bagian belakang telinganya. Rio merasakan sesuatu yang tidak biasa. Dia menyentuh sebuah benjolan tepat di belakang telinganya yang seingatnya tidak pernah dimilikinya.



Tangan Rio langsung terkulai lemas. Pandangannya kosong. Beberapa detik kemudian, dia terkekeh pelan. Benar. Ini sudah hampir lima tahun semenjak dia divonis menderita HIV. Tentu saja, dia akan mengalami perubahan pada tubuhnya.



Rio seharusnya dapat menerima ini, tetapi entah kenapa sebagian tubuhnya menolak. Selama lima tahun, hampir tidak ada yang dirasakannya. Rio merasa nyaris sehat. Dan sekarang, setelah kelenjar getah beningnya membengkak, dia baru sadar kalau dia benar-benar sakit.



Setitik air hujan jatuh di tangan Rio. Tak berapa lama, hujan turun, tetapi Rio masih belum beranjak dari tempatnya berdiri. Dia malah menengadahkan kepalanya, berharap hujan bisa membawa pergi semua virus yang ada pada tubuhnya.



Juga membawa pergi semua air mata dan kesedihannya.





***





Ify menggeliat di balik selimut ungu bergambar chappy-nya, lalu menggapai weker yang—lagi-lagi—bergambar chappy yang ada di sampingnya. Dia terduduk kaget saat membaca jarum jam itu. Pukul sembilan lebih dua puluh lima menit, hampir pukul setengah sepuluh malam. Ify mengucek matanya, pandangannya tertumbuk pada dinding yang membatasi kamarnya dengan kamar Rio.



Ify bangun, bergerak membuka pintu. Ternyata, di luar hujan. Ify menengok ke kamar Rio yang masih gelap. Ify menghela napas. "Mungkin Rio kehujanan di jalan, jadi menunggu hujan reda," pikirnya.

Ify baru akan bergerak ke kamar mandi ketika dia mendengar suara-suara di kamar Rio. Ify berhenti, lalu menatap kamar Rio. Mungkinkah ada tikus?



Ify memegang kenop pintu, tetapi dia segera menggeleng. Terakhir Ify masuk, Rio sangat marah. Dia tidak mau dimarahi lagi. Namun, beberapa detik kemudian, suara itu muncul lagi. Kali ini terdengar seperti suara igauan.



"Rio?" panggil Ify, tetapi tak ada sahutan. Ify mengetuk pintu Rio. Karena tak kunjung ada jawaban juga, Ify mengetuk lebih keras. "Rio? Kamu ada di dalem?"



Mendadak lampu kamar Rio hidup, dan Rio membuka pintu dengan kasar. Wajahnya tampak pucat. Juga marah.

"Berisik! Apaan sih?" serunya. Ify menatap Rio lekat-lekat. Tampaknya Rio bukan baru bangun tidur. Wajahnya pucat dan berkeringat. "Apa?"



"Kamu... nggak kenapa-napa, kan?" tanya Ify khawatir.



Rio berdecak kesal, tampak sebal sudah diganggu.



"Kalo nggak ada perlu lagi, gue mau tidur," jawab Rio. Sementara Ify memerhatikan wajahnya, dia menutup pintu.



Ify menghela napas, lalu beranjak pergi. Baru beberapa langkah, dia mendengar suara gaduh dari kamar Rio. Ify segera kembali dan membuka pintu kamar Rio yang ternyata tidak terkunci, dan mendapatinya sudah tergeletak di lantai. Tubuhnya menggigil.



"Rio!" seru Ify panik, lalu terduduk di sampingnya. Dia memegang dahi Rio, dan terkejut karena panasnya sangat tinggi. Ify menoleh ke kanan dan ke kiri panik, menepuk-nepuk pipi Rio yang panas. "Rio! Naik ke kasur, ya!"



Ify membantu Rio untuk naik ke kasur. Tubuh Rio yang tidak terlalu berat agak sedikit membantu Ify untuk memindahkannya ke kasur, meskipun suhu tubuhnya saat ini sangat tinggi. Bajunya sudah basah bermandikan keringat dingin. Setelah Rio terbaring di kasur, Ify segera membuka baju Rio yang basah, dan mencari-cari baju bersih. Namun, Ify tak mendapatkannya, yang dia temukan hanya setumpuk pakaian kotor yang belum dicuci. Ify melesat ke kamarnya, dan menemukan sweter milik ayahnya, setelah itu memakaikannya pada Rio. Walaupun ukurannya kebesaran, tetapi jauh lebih baik daripada tidak sama sekali.



"Rio, tunggu bentar ya, aku ambil air hangat dulu," kata Ify. Dia segera turun ke rumah tantenya. Bu Winda heran melihat Ify terburu-buru merebus air.



"Ify? Buat apa air panas?" tanyanya.



"Itu Tante, Rio..." Ify berhenti berbicara. Dia teringat pada Rio yang pasti tidak ingin tantenya tahu soal penyakitnya.



"Rio...?" tanya Bu Winda penasaran.



"Rio... mau bikin susu cokelat, katanya baik buat pertumbuhan!" sahut Ify cepat, lalu segera kembali secepat mungkin ke atas.



"Huft... Astaga! Tadi itu benar-benar berbahaya!" batinnya, setelah berhasil menjauh dari pandangan Bu Winda.

Ify mengisi baskom dengan air hangat, dan mengambil saputangan handuk miliknya. Dia juga mengambil selimut miliknya dan memakaikannya ke tubuh Rio.



Rio membuka matanya, sadar kalau Ify ada di sampingnya. Walaupun berkunang-kunang, Rio masih bisa melihat Ify yang sedang memeras saputangan. Saat Ify mau meletakkannya ke dahi Rio, Rio menepisnya.



"Pergi... Jangan peduliin gue...," gumam Rio, tetapi Ify tidak peduli. Dia mengambil saputangan yang jatuh, lalu berusaha memakaikannya pada Rio. Rio masih tetap bersikeras tidak mau.



"Mario Stevano!" sahut Ify marah. "Jangan kamu kira aku bego, ya! Aku tau penyakit kamu nggak akan menular kalo cuma begini doang!"



Rio berhenti berusaha dan membiarkan Ify mengompres dahinya. Ify menghela napas.



"Sori. Nggak maksud teriak-teriak," kata Ify sambil membetulkan selimut. "Kamu, kok, bisa panas begini, sih?"

Ify mengedarkan pandangannya ke kamar Rio, dan menemukan seonggok baju basah di pojokan. Ify mendelik pada Rio.



"Kan, udah aku bilang bawa payung," kata Ify sebal sambil mengambil kompres di dahi Rio, mencelupkannya ke baskom, memerasnya, lalu meletakkannya kembali, tetapi kali ini kompres itu jatuh di mata Rio.



Rio membetulkan sendiri kompres itu, sambil melirik Ify yang masih kelihatan sebal.



"Cari penyakit sendiri," kata Ify pendek, kemudian bangkit. Rio sama sekali tak punya tenaga untuk bertanya dia mau ke mana. Sebelum menghilang di pintu, Ify berbalik. "Mau ambil obat," katanya, lalu pergi.



Rio menatap langit-langit yang sudah berbayang-bayang. Alangkah baiknya kalau seumur hidupnya Ify mau menemaninya seperti ini. Rio tak akan protes walaupun dimarahi seperti tadi seumur hidupnya.



Rio menurunkan kompres itu ke matanya, siapa tahu air matanya keluar lagi. Beberapa menit kemudian, Ify kembali dengan berbagai jenis obat di tangannya. Ify duduk di samping Rio sambil mengamati obat-obat di tangannya.



"Hm... yang mana, ya?" gumamnya membuat Rio mengernyit ngeri. Bisa saja cewek itu memberinya obat untuk diare. "Yang ini aja, deh."



Ify membuka salah satu obat, lalu menyodorkannya pada Rio yang tampak enggan. Ify mengambil sebotol air mineral dan membantu Rio untuk minum. Rio sendiri akhirnya tidak bisa menolak. Dia pasrah saja menelan pil berwarna putih itu.



Setelah itu, Ify kembali membetulkan selimut Rio dan mengganti kompresnya. Ify kemudian menengok ke kiri dan kanan, seolah mencari sesuatu.



"Rio? Obat kamu mana? Udah diminum belum?" tanya Ify membuat Rio memejamkan mata, berpura-pura tidur. "Rio? Kamu udah ke rumah sakit?"



Ify kemudian melirik Rio yang tampak sudah tertidur, lalu menghela napas. Ify mengganti kompres lagi, setelah itu bangkit dan keluar kamar. Rio kembali mebuka mata, dan menatap langit-langit.



Obat.



Rumah sakit.



Dua hal yang tidak akan mungkin membantunya. Rio tak mau repot-repot pergi ke rumah sakit hanya untuk ditolak. Sudah cukup semua penolakan yang pernah dialaminya.



Rio melirik pintu yang sudah tertutup, bertanya-tanya apa Ify akan datang lagi. Walaupun Rio sadar, dia sudah menyakiti dirinya sendiri lagi dengan harapan ini.





***





Ify mengaduk bubur dalam panci dengan pandangan kosong. Pikirannya melayang pada Rio yang sekarang sedang terbaring demam di kamarnya. Dia pasti kehujanan, dan karena daya tahan tubuhnya rendah, dia mudah sakit.

Ify juga berpikir soal obat Rio yang waktu itu sudah remuk di tangan Rio. Apa Rio sudah ke rumah sakit lagi untuk meminta obat? Kalau belum, apakah Rio akan baik-baik saja tanpa obat itu?



"Ify, kamu ngapain? Buburnya hangus, tuh!" sahut Bu Winda, menyadarkan Ify.



Ify segera mematikan kompor, lalu mengangkat panci itu. Setelah itu, dia menuangkan isi panci itu ke dalam

mangkuk. Sedangkan Bu Winda mengamatinya dengan penuh minat.



"Tumben kamu masak bubur malem-malem gini," ujarnya membuat Ify gelagapan.



"Ng... lagi pengen aja," kata Ify cepat, setelah itu segera pergi dari dapur dan membawa bubur itu naik ke kamar Rio.



Ify membuka pintu kamar Rio, lalu duduk di samping Rio yang masih terbaring di tempat tidurnya. Rio masih tampak tertidur. Ify mengganti kompres, menepuk-nepuk pelan pipi Rio. Panasnya ternyata sudah turun.



"Rio," kata Ify membuat empunya nama membuka matanya. Rio yang memang sempat tertidur sebentar, menoleh lemas. "Makan dulu. Udah aku buatin bubur," sambung Ify.



Rio menatap mangkuk di tangan Ify tanpa minat.



"Kamu kan harus minum obat, jadi makan dulu," kata Ify lagi, membuat Rio membuang muka.



"Nggak perlu," ujar Rio.



"Nggak boleh!" sahut Ify tegas. "Kamu harus makan, kalo nggak ntar kamu nggak sembuh-sembuh! Oh iya, ngomong-ngomong, mana obatnya?"



"Habis," jawab Rio sekenanya.



"Ya udah, kalo habis, tapi yang penting sekarang kamu harus makan," kata Ify, dia membantu Rio membetulkan duduknya.



"Gue nggak mau," kata Rio, menolak saat Ify menyodorkan sesendok bubur padanya. Rio melirik bubur itu malas.

"Keliatannya nggak enak."



Ify menganga sebal, tetapi kemudian teringat pada kejadian Rio menolak makanan dari Bu Winda. Ini semua ternyata soal peralatan makan.



"Ng... setelah kamu makan, aku buang, deh, mangkuk ama sendoknya. Itu kalo kamu takut kenapa-napa," kata Ify hati-hati. Rio menatapnya.



"Bukannya itu punya tante lo?" tanya Rio.



"Yah, ntar aku bilang sama dia. Atau, aku ganti," jawab Ify, mulai tak sabar. "Yang penting, sekarang kamu makan dulu."



Rio mulai menerima sesuap demi sesuap bubur yang ada di mangkuk.



"Enak, kan?" goda Ify begitu bubur di mangkuk akan habis.



"Di mana-mana rasa bubur, ya, gitu aja," kata Rio membuat cengiran di wajah Ify lenyap. Ify berdecak dan mengedikkan bahu.



"Yah, kalo udah begini berarti kamu udah sembuh," kata Ify sambil meletakkan mangkuk dan menyodorkan air minum untuk Rio. Ify melirik mangkuk dan sendok. "Rio, aku cuci aja, ya, mangkuknya?"



"Beli baru aja. Uangnya ambil di dompet gue," kata Rio tegas.Ify menatap Rio.



"Rio, bukannya kamu yang paling tau kalo virus HIV nggak menular lewat air liur? Kenapa, sih..."



"Gue nggak mau ambil resiko," potong Rio sambil kembali merebahkan dirinya. Kepalanya masih terasa pening.

"Jangan lupa mangkuknya dibuang. Atau kalo perlu, dipecahin dulu," kata Rio lagi. Dia mulai memejamkan mata, berusaha tidur.



Ify menatap Rio sedih. Rio begitu mementingkan orang lain tanpa mempedulikan perasaannya sendiri.



"Sakit, ya, Yo?" tanya Ify.



"Pusing doang," jawab Rio sambil memijat kepalanya yang terasa pening.



"Sakit, ya, setiap kali kamu menghindari orang?" tanya Ify lagi, membuat Rio mebuka matanya. "Sakit, kan? Jadi, kenapa nggak berhenti berusaha menjauhi orang lain sekuat tenaga? Orang-orang yang bener-bener peduli sama kamu pasti maklum, kok."



Rio menatap langit-langit kamarnya, memikirkan kemungkinan itu. Tetapi, itu tidak mungkin, karena tidak ada orang-orang yang benar-benar peduli padanya.



"Udahlah, gue mau tidur," kata Rio, kembali memejamkan matanya. Ify menatap wajah tampan Rio lama, lalu mulai beranjak mengganti kompres Rio.



"Istirahat, ya, Rio, besok pagi aku ke sini lagi," ujar Ify lalu bangkit sambil membawa mangkuk bubur.

Sekeluarnya Ify dari kamarnya, Rio segera menempatkan kompres di matanya, tetapi kompres itu tidak bisa menghentikan aliran air mata Rio.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar