Selasa, 26 Juni 2012

Will You Marry Me? - Part 9

Motor melaju selama sekitar 45 menit. Ify memeluk erat pinggang Rio, jantungnya terus berpacu kencang. Kerinduannya sedikit terobati.

Rio baru menghentikan motornya ketika tiba di jalan menanjak yang tepiannya diberi pengaman besi. Ify melepas helmnya, terdengar jelas olehnya debur ombak dari kejauhan.

“Wah... laut...” Ify berlari sampai ke pengaman besi. Dibiarkannya rambutnya berantakan dibelai angin.

Rio menyusul dan berdiri tenang di samping Ify.

“Wah... bagus bangeeeet... Lihat, Yo, matahari ditelan laut!” jerit Ify kegirangan saat dilihatnya pemandangan sore itu. Matahari terbenam di ufuk barat. Sinarnya yang terang berpendar seperti kuning telur yang pecah dan menyebar menjadi siluet senja yang indah. Tak hanya itu, lautan yang terlihat jelas dari tempat Ify berdiri seperti menelan dan menenggelamkan matahari ke perutnya yang luas. Sungguh indah melihat kembalinya matahari ke peraduan di atas laut.

“Lo suka?”

“Iya, gue suka banget,” jawab Ify spontan, lupa pada gengsi dan kemarahannya. “Lo tau, Yo, dulu Ayah yang ngajakin gue lihat matahari ditelan laut pas ultah gue. Dan itu jadi hari terindah buat gue sama Ayah, mengingat waktu Ayah yang terbatas untuk gue.” Dipandangnya Rio dengan ragu. Mungkin nggak ya, Rio tahu besok gue ultah? tanyanya dalam hati.

“Tapi gue lebih suka jadi pacar lo,” jawaban Rio membuat Ify tertunduk malu.

“Jadi... jadi ini ya kejutan yang lo maksud?” tanyanya salah tingkah.

“Bisa ya, bisa nggak,” sahut Rio. “Karena gue punya sesuatu yang bakal bikin lo lebih terpesona lagi,” lanjutnya.

“O ya, apa?” tanya Ify berdebar.

Rio tak langsung menjawab. Sekali lagi diliriknya jam tangannya. “Kita harus nunggu sebentar lagi, soalnya kejutan gue yang satu ini agak pemalu,” tambahnya seraya bersandar membelakangi laut pada palang pembatas.

Ify ikut duduk bersandar di samping Rio.

Sesaat suasana hening. Ify jadi salah tingkah. Apalagi Rio tak lepas-lepas memandangnya. Akhirnya Ify hanya tertunduk sambil berharap Rio mengatakan sesuatu.

“Fy...”

“Ya?”

Rio tersenyum. “Jangan salting gitu dong,” katanya.

“Habis... lo diem aja sih!” protes Ify pelan.

“Wajar dong, gue kan lagi terpesona sama wajah pacar gue,” jawab Rio jujur. Jantung Ify berpacu tak karuan.

“Udah deh... jangan mulai lagi. Tadi lo mau ngomong apa?” Ify berusaha menutupi rasa malunya.

“Nggg... gue... gue boleh tau nggak tentang bokap lo?” Gadis itu terkejut mendengar pertanyaan yang tak pernah terbayangkan olehnya akan dilontarkan Rio. “Sorry, Fy... lo boleh nggak jawab kok,” ralat Rio cepat.

“Gue mau jawab kok,” kata Ify yakin. “Lagian cerita tentang Ayah selalu membanggakan buat gue. Gue malah heran, kok lo baru tanya sekarang?” tambah mulut mungil itu seraya tersenyum. Tanpa menunggu jawaban Rio, Ify langsung bercerita, “Ayah pilot yang disegani. Baik, ramah, dan sayang sama gue.” Ify menerawang jauh. “Waktu itu gue masih kelas 1 SMA. Mbok Sum menjemput gue di sekolah, mengabarkan Ayah pingsan usai mendaratkan pesawatnya dengan selamat. Kami segera menuju rumah sakit tempat Ayah dirawat. Tapi sayang...” gadis mungil itu menunduk sedih. “Bukan senyum Ayah yang gue terima seperti biasa, melainkan isak tangis Bunda dan Kak Gabriel yang langsung menghampiri dan memeluk gue sambil mengabarkan Ayah udah meninggal.”

Ify kembali menerawang jauh. Dia mengembuskan napas panjang. “Kata Dokter, Ayah kena serangan jantung. Padahal Ayah nggak mengidap penyakit jantung. Lagi pula, sebagai pilot Ayah selalu menjalani cek kesehatan setiap enam bulan sekali. Begitu tercatat punya kelainan jantung, Ayah nggak bakal boleh menerbangkan pesawat lagi. Tapi nyatanya Ayah meninggal. Tapi gue bangga banget Ayah bisa menunaikan tugas terakhirnya dengan baik. Beliau meninggal di kursi penerbangannya.”

Perlahan Rio menghampiri Ify. Direngkuhnya bahu mungil kekasihnya dan dikecupnya mesra kening Ify yang setinggi bahunya. Ify hanya terdiam. Pelukan Rio terasa nyaman. “Izinkan gue jagain lo, Fy,” kata Rio lirih. Dan meskipun Ify terdiam, itu sudah lebih dari “Iya” bagi Rio. “Hei, sepertinya kejutan gue udah siap. Mau lihat, nggak?” Rio memecah kesunyian setelah lagi-lagi melihat ke arah jam tangannya.

Ify mengangguk cepat sambil tersenyum.

“Oke, ayo berbalik,” perintah Rio seraya ikut menggerakkan tubuh Ify ke arah yang dia maksud.

“Wooow... Yo... Ini... bagus banget. Bulan itu, dari mana lo tahu...” Ify berdecak kagum tak percaya. Dia benar-benar menikmati pemandangan di hadapannya.

Bulan purnama menyembul dari balik batu karang di selatan lautan. Permukaannya yang bulat dan penuh menyajikan cahaya putih yang indah. Satu-dua bintang mengikuti kemunculannya, bagaikan dayang megantar tuan putrinya ke luar peraduan.

“Menurut perhitungan Jawa, ini tanggal lima belas, dan itu berarti saatnya bulan purnama,” Rio menjelaskan penemuannya itu.

“Iya, tapi dari mana lo tahu sekarang ini tanggal lima belas? Dan pemandangan di atas laut ini... lo udah merencankan ini sebelumnya, kan?”

Rio tak langsung menjawab. Dia tersenyum dan menghampiri Ify. “Begitu gue tahu lo menyukai keajaiban langit, gue langsung tanya ini-itu sama ahlinya. Gue juga tanya pembokat gue tentang perhitungan Jawa. Dan beginilah hasilnya. Bagus, kan? Gue pikir lihat matahari terbenam di lautan itu indah banget, tapi lebih indah lagi melihat terbitnya bulan purnama di atas karang.” Rio kian memandang lembut kekasihnya. Perlahan dipeluknya pinggang Ify, membuat jantung Ify bedesir aneh. Namun Ify tak berniat menolaknya.

Yo, kenapa lo selalu bikin gue merasa nggak karuan begini? Sampai nggak bisa berkata-kata lagi...

“Gue masih punya kejutan lain, Fy. Lo mau tau?” tawar Rio yang langsung dijawab anggukan kepala Ify. “Pejamkan mata lo, jangan dibuka sampai gue suruh.”

Ify menuruti semua perintah Rio seperti yang sudah-sudah. Tapi kali ini jantungnya semakin berdebar lagi. Apalagi waktu dirasakannya bibir Rio menyentuh bibirnya. Ify sempat tersentak, tapi dia tak kuasa menolak. Bibir itu hangat dan lembut.

Sesaat kemudian Rio melepas kecupannya. “Buka mata lo, Fy,” pintanya. Pandangan mereka bertemu. Desiran aneh di dada Ify membuatnya salah tingkah. Dia hanya bisa tertunduk malu.

“Lo nggak marah, kan, Fy?” tanya Rio, tatapannya tetap lembut. Ify tersenyum dan menggeleng pelan. “Ini yang pertama buat lo, kan?” Kali ini Ify mengangguk.

“Dan gue harap, Cuma lo aja yang berhak atas diri gue,” tambahnya. Mendengar itu Rio memeluknya.

“Gue janji, Cuma lo yang ada di hati gue,” gumam Rio pelan. “Dan masalah Ashilla, gue minta lo sabar. Untuk sementara gue belum bisa cerita ke lo. Tapi yang jelas, antara gue dan Ashilla nggak ada apa-apa. Lo percaya gue, kan, Fy?”

Perlahan-lahan Ify melepaskan pelukan Rio, lalu tersenyum pada laki-laki yang telah membuatnya jatuh cinta itu. “Sejak pertama kita jadian, gue emang sempat nggak percaya sama lo. Tapi sekarang gue jaga kepercayaan gue ke elo, Yo. Apa pun, gue Cuma percaya sama lo.”

Mereka tersenyum. Senyum kebahagiaan yang mereka rasakan bersama-sama untuk pertama kalinya.

“Fy, coba lihat ke atas.” Rio menunjuk langit malam yang kini penuh bintang. Dipeluknya pinggang Ify dari belakang, mendekat ke palang besi pangaman sepanjang jalan tanjakan itu.

“Wah, bintangnya banyak banget. Tahu, nggak? Kata Nenek, orang yang udah meninggal akan berubah jadi bintang dan menempati langit tertinggi. Makanya gue seneng banget lihat bintang. Rasanya kayak lihat Ayah di atas sana.” Pandangan Ify menerawang jauh menembus langit malam. Senyumnya mengembang manis seakan menemukan ayahnya di sana.

“Fy, apa itu nggak bikin lo sedih?” tanya Rio ragu. Ify memandangnya tanpa memudarkan senyum.

“Kenapa harus sedih? Ayah kan juga bahagia di sana, dan bagi gue itu cukup. Bukankah kita nggak boleh egois? Kita menangisi kematian seseorang itu wajar-wajar aja, tapi kalo bertahun-tahun gak merelakan kepergiannya, itu namanya kita egois.”

“Kenapa begitu?”

“Karena, ketidakrelaan kita atas kematian orang yang kita cintai akan menyiksa mereka di alam sana. Makanya, gue merelakan kepergian Ayah untuk kebahagiaan Ayah di sana. Kan gue masih bisa memandang bintang Ayah dari sini.” Ify menunjuk satu bintang yang cahayanya paling terang.

Rio diam-diam mengagumi ketegaran Ify. Siapa yang menyangka, di balik tubuh mungilnya, tersimpan kekuatan hati yang dulu tak dimilikinya.

“Hei, gimana kalo sekarang lo lihat ke bawah?” Tanpa menunggu dua kali, Ify memandang ke arah yang ditunjuk Rio.

“Waah! Ha ha ha..., Yo, sebenarnya lo punya berapa kejutan buat gue sih?” kata Ify takjub. Di bawah sana rumah-rumah penduduk terhampar dengan lampu-lampu terang yang dari atas tampak seperti taburan bintang di atas bumi. Ditambah lagi laut yang membiaskan cahaya bulan purnama, semua menjadi paduan sempurna pemandangan malam itu.

“Sebenarnya masih banyak kejutan buat lo sih,” kata Rio.

“O ya, berapa banyak?”

“Banyak banget.”

“Mana?”

Rio memandang kekasihnya seraya tersenyum. “Yuk, ikut gue.” Ditariknya tangan Ify pelan. Mereka beranjak ke palang besi di depan mereka. “Naiklah,” katanya kepada Ify.

“Hah? Ke situ? Kalo jatuh gimana?” Kali ini Ify tampak ragu.

“Udah! Gue pegangin.” Mau nggak mau Ify menaiki palang pembatas itu. “Nah, rentangkan tangan lo.” Ify mengikuti instuksi Rio. “Nah, tahan ya.” Rio kemudian menyusul menaiki palang di sebelah kanan Ify, ikut merentangkan tangan.

“Fy, pernah nonton Titanic nggak?” seru Rio di antara gemuruh angin yang makin kencang.

“Pernah.”

“Nah, sekarang kita kayak Jack sama Rose. Ingat, kan, adegan di geladak kapal?” Ify hanya mengangguk dan tersenyum. Rio tiba-tiba berteriak keras dengan kedua tangan terentang lebar. “Fy... I’m flying...”

Ify tertawa kecil, sebelum akhirnya mengikuti perbuatan Rio. “Yo... I’m flying...” Rambut sebahunya berantakan tertiup angin yang semakin kencang.

Keduanya bertatapan dan tertawa.

“Lega ya?”

Rio menguncupkan tangan dan berteriak sekali lagi, “I love you, Fy...!”

Ify kembali meniru dan berseru, “Love you too, Yo...!”

“Lega ya?”

“Iya.”

“Jadi laper nih, cari makan yuk!”

“Yuk.”

Keduanya turun dari palang besi dan menuju motor yang sejak tadi jadi saksi bisu ikrar cinta mereka.








BERSAMBUNG....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar