Motor melaju selama sekitar 45 menit. Ify memeluk erat pinggang Rio,
jantungnya terus berpacu kencang. Kerinduannya sedikit terobati.
Rio baru menghentikan motornya ketika tiba di jalan menanjak yang
tepiannya diberi pengaman besi. Ify melepas helmnya, terdengar jelas
olehnya debur ombak dari kejauhan.
“Wah... laut...” Ify berlari sampai ke pengaman besi. Dibiarkannya rambutnya berantakan dibelai angin.
Rio menyusul dan berdiri tenang di samping Ify.
“Wah... bagus bangeeeet... Lihat, Yo, matahari ditelan laut!” jerit
Ify kegirangan saat dilihatnya pemandangan sore itu. Matahari terbenam
di ufuk barat. Sinarnya yang terang berpendar seperti kuning telur yang
pecah dan menyebar menjadi siluet senja yang indah. Tak hanya itu,
lautan yang terlihat jelas dari tempat Ify berdiri seperti menelan dan
menenggelamkan matahari ke perutnya yang luas. Sungguh indah melihat
kembalinya matahari ke peraduan di atas laut.
“Lo suka?”
“Iya, gue suka banget,” jawab Ify spontan, lupa pada gengsi dan
kemarahannya. “Lo tau, Yo, dulu Ayah yang ngajakin gue lihat matahari
ditelan laut pas ultah gue. Dan itu jadi hari terindah buat gue sama
Ayah, mengingat waktu Ayah yang terbatas untuk gue.” Dipandangnya Rio
dengan ragu. Mungkin nggak ya, Rio tahu besok gue ultah? tanyanya dalam
hati.
“Tapi gue lebih suka jadi pacar lo,” jawaban Rio membuat Ify tertunduk malu.
“Jadi... jadi ini ya kejutan yang lo maksud?” tanyanya salah tingkah.
“Bisa ya, bisa nggak,” sahut Rio. “Karena gue punya sesuatu yang bakal bikin lo lebih terpesona lagi,” lanjutnya.
“O ya, apa?” tanya Ify berdebar.
Rio tak langsung menjawab. Sekali lagi diliriknya jam tangannya.
“Kita harus nunggu sebentar lagi, soalnya kejutan gue yang satu ini agak
pemalu,” tambahnya seraya bersandar membelakangi laut pada palang
pembatas.
Ify ikut duduk bersandar di samping Rio.
Sesaat suasana hening. Ify jadi salah tingkah. Apalagi Rio tak
lepas-lepas memandangnya. Akhirnya Ify hanya tertunduk sambil berharap
Rio mengatakan sesuatu.
“Fy...”
“Ya?”
Rio tersenyum. “Jangan salting gitu dong,” katanya.
“Habis... lo diem aja sih!” protes Ify pelan.
“Wajar dong, gue kan lagi terpesona sama wajah pacar gue,” jawab Rio jujur. Jantung Ify berpacu tak karuan.
“Udah deh... jangan mulai lagi. Tadi lo mau ngomong apa?” Ify berusaha menutupi rasa malunya.
“Nggg... gue... gue boleh tau nggak tentang bokap lo?” Gadis itu
terkejut mendengar pertanyaan yang tak pernah terbayangkan olehnya akan
dilontarkan Rio. “Sorry, Fy... lo boleh nggak jawab kok,” ralat Rio
cepat.
“Gue mau jawab kok,” kata Ify yakin. “Lagian cerita tentang Ayah
selalu membanggakan buat gue. Gue malah heran, kok lo baru tanya
sekarang?” tambah mulut mungil itu seraya tersenyum. Tanpa menunggu
jawaban Rio, Ify langsung bercerita, “Ayah pilot yang disegani. Baik,
ramah, dan sayang sama gue.” Ify menerawang jauh. “Waktu itu gue masih
kelas 1 SMA. Mbok Sum menjemput gue di sekolah, mengabarkan Ayah pingsan
usai mendaratkan pesawatnya dengan selamat. Kami segera menuju rumah
sakit tempat Ayah dirawat. Tapi sayang...” gadis mungil itu menunduk
sedih. “Bukan senyum Ayah yang gue terima seperti biasa, melainkan isak
tangis Bunda dan Kak Gabriel yang langsung menghampiri dan memeluk gue
sambil mengabarkan Ayah udah meninggal.”
Ify kembali menerawang jauh. Dia mengembuskan napas panjang. “Kata
Dokter, Ayah kena serangan jantung. Padahal Ayah nggak mengidap penyakit
jantung. Lagi pula, sebagai pilot Ayah selalu menjalani cek kesehatan
setiap enam bulan sekali. Begitu tercatat punya kelainan jantung, Ayah
nggak bakal boleh menerbangkan pesawat lagi. Tapi nyatanya Ayah
meninggal. Tapi gue bangga banget Ayah bisa menunaikan tugas terakhirnya
dengan baik. Beliau meninggal di kursi penerbangannya.”
Perlahan Rio menghampiri Ify. Direngkuhnya bahu mungil kekasihnya
dan dikecupnya mesra kening Ify yang setinggi bahunya. Ify hanya
terdiam. Pelukan Rio terasa nyaman. “Izinkan gue jagain lo, Fy,” kata
Rio lirih. Dan meskipun Ify terdiam, itu sudah lebih dari “Iya” bagi
Rio. “Hei, sepertinya kejutan gue udah siap. Mau lihat, nggak?” Rio
memecah kesunyian setelah lagi-lagi melihat ke arah jam tangannya.
Ify mengangguk cepat sambil tersenyum.
“Oke, ayo berbalik,” perintah Rio seraya ikut menggerakkan tubuh Ify ke arah yang dia maksud.
“Wooow... Yo... Ini... bagus banget. Bulan itu, dari mana lo
tahu...” Ify berdecak kagum tak percaya. Dia benar-benar menikmati
pemandangan di hadapannya.
Bulan purnama menyembul dari balik batu karang di selatan lautan.
Permukaannya yang bulat dan penuh menyajikan cahaya putih yang indah.
Satu-dua bintang mengikuti kemunculannya, bagaikan dayang megantar tuan
putrinya ke luar peraduan.
“Menurut perhitungan Jawa, ini tanggal lima belas, dan itu berarti saatnya bulan purnama,” Rio menjelaskan penemuannya itu.
“Iya, tapi dari mana lo tahu sekarang ini tanggal lima belas? Dan
pemandangan di atas laut ini... lo udah merencankan ini sebelumnya,
kan?”
Rio tak langsung menjawab. Dia tersenyum dan menghampiri Ify.
“Begitu gue tahu lo menyukai keajaiban langit, gue langsung tanya
ini-itu sama ahlinya. Gue juga tanya pembokat gue tentang perhitungan
Jawa. Dan beginilah hasilnya. Bagus, kan? Gue pikir lihat matahari
terbenam di lautan itu indah banget, tapi lebih indah lagi melihat
terbitnya bulan purnama di atas karang.” Rio kian memandang lembut
kekasihnya. Perlahan dipeluknya pinggang Ify, membuat jantung Ify
bedesir aneh. Namun Ify tak berniat menolaknya.
Yo, kenapa lo selalu bikin gue merasa nggak karuan begini? Sampai nggak bisa berkata-kata lagi...
“Gue masih punya kejutan lain, Fy. Lo mau tau?” tawar Rio yang
langsung dijawab anggukan kepala Ify. “Pejamkan mata lo, jangan dibuka
sampai gue suruh.”
Ify menuruti semua perintah Rio seperti yang sudah-sudah. Tapi kali
ini jantungnya semakin berdebar lagi. Apalagi waktu dirasakannya bibir
Rio menyentuh bibirnya. Ify sempat tersentak, tapi dia tak kuasa
menolak. Bibir itu hangat dan lembut.
Sesaat kemudian Rio melepas kecupannya. “Buka mata lo, Fy,”
pintanya. Pandangan mereka bertemu. Desiran aneh di dada Ify membuatnya
salah tingkah. Dia hanya bisa tertunduk malu.
“Lo nggak marah, kan, Fy?” tanya Rio, tatapannya tetap lembut. Ify
tersenyum dan menggeleng pelan. “Ini yang pertama buat lo, kan?” Kali
ini Ify mengangguk.
“Dan gue harap, Cuma lo aja yang berhak atas diri gue,” tambahnya. Mendengar itu Rio memeluknya.
“Gue janji, Cuma lo yang ada di hati gue,” gumam Rio pelan. “Dan
masalah Ashilla, gue minta lo sabar. Untuk sementara gue belum bisa
cerita ke lo. Tapi yang jelas, antara gue dan Ashilla nggak ada apa-apa.
Lo percaya gue, kan, Fy?”
Perlahan-lahan Ify melepaskan pelukan Rio, lalu tersenyum pada
laki-laki yang telah membuatnya jatuh cinta itu. “Sejak pertama kita
jadian, gue emang sempat nggak percaya sama lo. Tapi sekarang gue jaga
kepercayaan gue ke elo, Yo. Apa pun, gue Cuma percaya sama lo.”
Mereka tersenyum. Senyum kebahagiaan yang mereka rasakan bersama-sama untuk pertama kalinya.
“Fy, coba lihat ke atas.” Rio menunjuk langit malam yang kini penuh
bintang. Dipeluknya pinggang Ify dari belakang, mendekat ke palang besi
pangaman sepanjang jalan tanjakan itu.
“Wah, bintangnya banyak banget. Tahu, nggak? Kata Nenek, orang yang
udah meninggal akan berubah jadi bintang dan menempati langit tertinggi.
Makanya gue seneng banget lihat bintang. Rasanya kayak lihat Ayah di
atas sana.” Pandangan Ify menerawang jauh menembus langit malam.
Senyumnya mengembang manis seakan menemukan ayahnya di sana.
“Fy, apa itu nggak bikin lo sedih?” tanya Rio ragu. Ify memandangnya tanpa memudarkan senyum.
“Kenapa harus sedih? Ayah kan juga bahagia di sana, dan bagi gue itu
cukup. Bukankah kita nggak boleh egois? Kita menangisi kematian
seseorang itu wajar-wajar aja, tapi kalo bertahun-tahun gak merelakan
kepergiannya, itu namanya kita egois.”
“Kenapa begitu?”
“Karena, ketidakrelaan kita atas kematian orang yang kita cintai
akan menyiksa mereka di alam sana. Makanya, gue merelakan kepergian Ayah
untuk kebahagiaan Ayah di sana. Kan gue masih bisa memandang bintang
Ayah dari sini.” Ify menunjuk satu bintang yang cahayanya paling terang.
Rio diam-diam mengagumi ketegaran Ify. Siapa yang menyangka, di
balik tubuh mungilnya, tersimpan kekuatan hati yang dulu tak
dimilikinya.
“Hei, gimana kalo sekarang lo lihat ke bawah?” Tanpa menunggu dua kali, Ify memandang ke arah yang ditunjuk Rio.
“Waah! Ha ha ha..., Yo, sebenarnya lo punya berapa kejutan buat gue
sih?” kata Ify takjub. Di bawah sana rumah-rumah penduduk terhampar
dengan lampu-lampu terang yang dari atas tampak seperti taburan bintang
di atas bumi. Ditambah lagi laut yang membiaskan cahaya bulan purnama,
semua menjadi paduan sempurna pemandangan malam itu.
“Sebenarnya masih banyak kejutan buat lo sih,” kata Rio.
“O ya, berapa banyak?”
“Banyak banget.”
“Mana?”
Rio memandang kekasihnya seraya tersenyum. “Yuk, ikut gue.”
Ditariknya tangan Ify pelan. Mereka beranjak ke palang besi di depan
mereka. “Naiklah,” katanya kepada Ify.
“Hah? Ke situ? Kalo jatuh gimana?” Kali ini Ify tampak ragu.
“Udah! Gue pegangin.” Mau nggak mau Ify menaiki palang pembatas itu.
“Nah, rentangkan tangan lo.” Ify mengikuti instuksi Rio. “Nah, tahan
ya.” Rio kemudian menyusul menaiki palang di sebelah kanan Ify, ikut
merentangkan tangan.
“Fy, pernah nonton Titanic nggak?” seru Rio di antara gemuruh angin yang makin kencang.
“Pernah.”
“Nah, sekarang kita kayak Jack sama Rose. Ingat, kan, adegan di
geladak kapal?” Ify hanya mengangguk dan tersenyum. Rio tiba-tiba
berteriak keras dengan kedua tangan terentang lebar. “Fy... I’m
flying...”
Ify tertawa kecil, sebelum akhirnya mengikuti perbuatan Rio. “Yo...
I’m flying...” Rambut sebahunya berantakan tertiup angin yang semakin
kencang.
Keduanya bertatapan dan tertawa.
“Lega ya?”
Rio menguncupkan tangan dan berteriak sekali lagi, “I love you, Fy...!”
Ify kembali meniru dan berseru, “Love you too, Yo...!”
“Lega ya?”
“Iya.”
“Jadi laper nih, cari makan yuk!”
“Yuk.”
Keduanya turun dari palang besi dan menuju motor yang sejak tadi jadi saksi bisu ikrar cinta mereka.
BERSAMBUNG....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar