Selasa, 26 Juni 2012

The Truth About Forever - Chapter 4 : Don't Fall In Love With Me

"Ternyata, emang bener-bener aneh," kata Ify sambil melamun.

"Hn? Siapa?" tanya Sivia sambil clingak-clinguk. Mereka sedang berada di cafetaria menunggu jam kuliah selanjutnya.

"Si alien," ujar Ify lagi. Sivia langsung tersedak lemon tea-nya.

"Apalagi sekarang?" tanyanya, tertarik.

"Orangnya nggak jelas. Kadang baik, kadang aneh. Nggak bisa ditebak," cerita Ify lagi. Sivia mengangguk-angguk.

"Gue jadi pengen liat, deh," kata Sivia, tampak benar-benar penasaran. "Pulang ntar gue main ke kost-an elo, ya? Udah lama juga nggak ke sana."

"Terserah aja," kata Sivia tak begitu mendengarkan, sementara Sivia sudah bersorak girang.

Ify men-starter motor birunya, sementara Sivia naik untuk dibonceng. Begitu Rukia keluar dari parkiran, ia mengerem mendadak. Kepala Sivia sampai terantuk helm Ify.

"Kenapa, sih? Sakit, nih!" serunya, tetapi Ify tak menjawab. Mata violet-nya menangkap sesosok cowok berambut putih seputih sjangkung dengan sweter abu-abu dan headphone besar melingkar di lehernya, yang sedang berdiri membelakangi Ify di depan gerbang kampus.

Rio sedang menyalakan iPod-nya, lalu setelah lagu terdengar, dia memasang headphone ke telinganya. Dia kemudian berbalik dan mendapati Ify sedang menatapnya. Selama beberapa saat, mereka saling tatap sampai akhirnya Rio mengalihkan arah pandangnya. Rio sama sekali tak tahu kalau Ify kuliah di kampus ini, Fakultas Ekonomi.

Ify menjalankan motornya sampai ke dekat Rio, lalu berhenti. Sivia yang tadinya sibuk memanggil Ify, terdiam saat melihat sosok Rio. Dia menyadari bahwa itulah alien keren yang selama ini tinggal di sebelah Ify. Sivia sampai lupa bernapas saking senangnya.

"Ngapain elo di sini?" tanya Ify bingung. Rio berusaha untuk tidak menatap Ify. Dia sama sekali tak punya jawabannya. "Lagi nunggu seseorang?"

"Yah, begitulah," jawab Rio akhirnya.

"Siapa?" tanya Sivia, membuat Rio mengernyit.

"Oh, dia Sivia Azizah, temen gue," kata Ify, membuat Rio mengangguk-angguk, sementara Sivia nyengir lebar, mencoba tebar pesona. "Jadi, lagi nunggu siapa?" tanya Ify lagi.

"Bukan urusan lo," kata Rio dingin, membuat Ify tertegun dan cengiran Sivia lenyap.

"Oh," ujar Ify setelah beberapa saat. "Kalo gitu, gue duluan."

Rio mengangguk tanpa menatap Ify. Ify menancap gas dan meluncur ke jalan dengan pikiran kosong.

"Alyssa Saufika!" seru Sivia emosi membuat Ify kaget sehingga motornya oleng.

"Apaan, sih?" Ify balas berseru setelah motornya kembali seimbang.

"Gue nggak setuju kalo elo sama alien itu! Sok banget!" seru Sivia membuat Ify terdiam.

"Bukannya kemarin-kemarin lo bilang kalo dia itu cool? Lagian siapa bilang gue mau sama dia," ujar Ify sementara Sivia masih terus mengoceh.

Ify tidak mendengarkan sisa kata-kata Sivia karena sibuk memikirkan alasan Rio ada di kampusnya.

Ify menatap kosong layar komputernya. Sudah sejak dua jam lalu dia melakukan hal itu. Ify masih teringat dengan kejadian tadi siang, saat Rio ada di kampusnya dan sedang menunggu seseorang. Bahkan, Rio tidak mau menatapnya sama sekali dan kembali bersikap seperti pertama kali dia datang ke sini.

Ify akhirnya berbaring. Dia tidak merasa melakukan kesalahan apapun, jadi apa yang membuat Rio bersikap seperti itu padanya?

Ify memutuskan membuat cokelat panas untuk menenangkan pikirannya. Rio benar, alasan dia datang ke sini memang bukan urusan Ify. Ify menghela napas sambil membuka pintu kamarnya. Saat melewati kamar Rio, dia melirik sedikit, dan tampaknya cowok itu tidak ada di dalam. Ify membuang muka, lalu berderap ke dapur. Dia tak mau tahu lagi soal cowok aneh itu.

Rio menatap langit yang penuh bintang di atasnya. Hari ini, dia kembali pulang dengan tangan kosong. Namun, bukan itu yang memenuhi pikirannya sekarang. Dia sama sekali tidak tahu kalau kampus yang tadi didatanginya adalah kampus Ify. Kalau saja dia tahu, dia akan lebih hati-hati supaya tidak begitu terlihat.

Rio menghela napas berat. Kenapa, sih, "orang itu" begitu susah dicari? Kalau sudah ketemu, Rio akan segera pergi dari tempat ini dan tak akan berurusan lagi dengan orang-orang di kost ini.

Baru saja Rio mengingat kejadian tadi siang, subjek yang dipikirkannya muncul dari pintu dengan membawa mug yang mengepul. Wajahnya tampak kaget.

Ify menatap Rio yang juga menatapnya, perempuan itu bermaksud untuk pergi lagi. Ify tidak tahu kalau Rio ada di sini. Tahu begitu, Ify tidak akan naik ke atap.

"Mana buat gue?" tanya Rio membuat Ify tak jadi turun. Dia berbalik dan menatap Rio bingung.

"Hah?"

"Itu," kata Rio sambil mengedikkan kepalanya ke arah mug yang dipegang Ify. "Mana buat gue?"

"Ih, bikin sendiri sana," kata Ify cepat, dia bingung pada sikap Rio yang sudah berubah lagi.

Rio kembali menatap langit dan menutup matanya. Ify menatapnya ragu, lalu mendekati cowok itu dan duduk di sebelahnya. Angin semilir bertiup, menggerakkan poni Ify ke sana ke mari.

"Gue tau, apa pun yang terjadi sama lo, itu bukan urusan gue," kata Ify memulai pembicaraan, membuat mata teal Rio terbuka. "Tapi, bisa nggak kita ngobrol apa pun selain itu, kayak misalnya, apa yang lagi lo baca, udah nonton Fade to Black apa belum..."

Sudut bibir Rio terangkat, dia melihat punggung Ify yang tampak kecil. Kepala cewek itu menggeleng-geleng, seolah merasa salah bicara.

"Jadi, udah nonton Fade to Black belum?" tanya Rio membuat Ify menoleh dan menatapnya tak percaya. Rio memejamkan matanya lagi.

"Belum. Elo?" tanya Ify balik.

"Nggak sempet," jawab Rio membuat Ify mengangguk-angguk.

"Hm... di sini lagi diputer, lho. Nonton, yuk?" Ajakan Ify membuat mata Rio terbuka lagi. Tahu-tahu, Ify menoleh, panik. "Eh, bukan, bukan! Bukannya gue mau ngajak elo date atau gimana! Cuma nggak sengaja!"

Rio tersenyum kecil, dia duduk dan menyalakan rokoknya. Ify memerhatikan kepulan-kepulan asap yang dibuat Rio.

"Ng... cewek lo ada di kampus gue, ya?" tanya Ify tiba-tiba, membuat Rio mentapnya heran. "Tadi di kampus, elo lagi nungguin cewek lo, ya?"

Rio mengernyit, seolah tak suka pada kata-kata Ify.

"Oke, oke, bukan urusan gue, gue ngerti," kata Ify cepat. "Sori."

Rio menatap atap-atap rumah di depannya kosong. Sejenak, tak ada yang bicara di antara mereka.

"Oke, gini aja," kata Ify kemudian. "Berhubung kehidupan lo top secret banget, gue aja yang cerita. Gimana?"

Rio menatap Ify, tak mengerti.

"Jadi, gue lahir tanggal 14 Januari di Surabaya," kata Ify, membuat Rio terkekeh. “mama gue orang Bandung, papa orang Surabaya. Gue cuma sampai SMP di Surabaya, terus waktu SMA gue pindah ke Bandung..."

Rio tak berusaha menghentikan cerita Ify. Dia hanya mendengarkan dan tak sekalipun menyela.

"Wah, hujan," kata Ify begitu keluar dari kamarnya.

Musim memang sudah berganti. Mulai sekarang, hujan akan terus membasahi kota Bandung dan Ify sebal karena dia tak suka naik motor menggunakan jas hujan.

Tiba-tiba, pintu kamar sebelah terbuka. Rio keluar dengan kaus oblong dan rambut acak-acakan. Begitu bersentuhan dengan hawa luar, dia langsung bergidik.

"Gila, dingin banget," komentarnya sambil menggosok-gosok lengannya, berusaha menghangatkan diri. Dia tidak sadar kalau di sebelahnya Ify sedang menatapnya.

"Apa?" tanya Rio begitu sadar dan Ify cuma menggeleng sambil tersenyum. Rio menatap cewek itu heran, dia lalu bergerak ke kamar mandi karena hasrat alamnya.

Ify menatap geli Rio yang kebelet. Semalam, Ify seperti bermimpi bisa mengobrol panjang lebar dengannya. Yah, tidak bisa dibilang mengobrol, sih, karena Cuma Ify yang bicara, tetapi itu sudah bisa disebut kemajuan.

"Eh, tunggu," gumam Ify bingung sendiri. "Kemajuan apaan?"

Ify mendadak terkena serangan panik. Rio yang sudah keluar dari kamar mandi menatapnya bingung.

"Kenapa lo?" tanyanya dan Ify menatapnya tak percaya.

"Ya ampun, ya ampun," kata Ify masih menatap Rio tak percaya. "Nggak mungkin!"

"Apaan, sih?" tanya Rio kesal karena Ify seperti hidup dalam dunianya sendiri. "Ngomong-ngomong, di muka lo ada nasinya tuh."

"Hah? Masa, sih?" kata Ify sambil bercermin di jendela kamarnya, sementara Toushiro buru-buru masuk ke dalam kamarnya. Setelah lama berkaca dan tak menemukan satu butir pun nasi di wajahnya, Ify baru sadar kalau dia belum sarapan dan tak mungkin ada nasi di wajahnya.

"Heeiii!" seru Ify sebal ke arah pintu kamar Rio. Namun, setelah itu dia tersenyum dan berangkat ke kampus dengan hati riang walaupun hujan yang turun tambah deras.

Rio tidak pergi ke mana pun hari ini karena hujan turun dengan lebat sepanjang pagi. Sekarang, setelah langit cerah, dia sudah malas untuk menggerakkan tubuhnya. Rio menggapai handycam, lalu menyetel kaset yang bertuliskan "Manado Beach 2000" setelah sempat ragu sejenak.

Baru sedetik film itu terputar, Rio menutup layar handycam-nya. Ternyata, dia memang masih belum mampu menontonnya. Rio menatap layar handycam-nya kosong. Seharusnya dia tak pernah menonton video ini.

Rio tiba-tiba ingin melihat pantai. Dia ingin berteriak sekuat tenaga untuk melepaskan semua kepenatannya. Rio bangkit, dan bersiap-siap pergi. Tak berapa lama, dia sudah menuruni tangga dan mendapati Ify baru memasukkan motornya ke dalam garasi. Rio menatap motor Ify dan seketika mendapat ide. Ify balas menatap Rio bingung.

"Gue pinjem motor lo, dong," kata Rio.

"Hah? Emang mau ke mana?" tanya Ify heran.

"Udah deh, nggak usah banyak tanya," jawab Rio sambil mengambil helm Ify dan membawa motornya.

"Eh! Tunggu! Ini motor baru! Gue ikut!" seru Ify sambil mengambil helm dari motor Ozy dan melompat ke belakang Rio. Ify tidak bisa membiarkan Rio pergi dengan motor hasil dari warisan orang tuanya.

Rio segera tancap gas, membuat Ify terjengkang dan hampir jatuh.

"Mau ke mana, sih?" sahut Ify.

"Pantai," jawab Rio tenang dan Ify cuma mengangguk-angguk. Tetapi, tak lama kemudian dia tersadar.

"HEEEH? Pantai?" serunya membuat motor oleng. "Elo gila, ya?"

"Iya, lo kasih tau jalannya, ya," jawab Rio lagi, membuat Ify semakin yakin kalau Rio benar-benar sakit jiwa.

Setelah menempuh perjalanan selama dua jam, mereka sampai juga di pantai daerah pinggiran Bandung. Rio berjalan tenang ke pantai, sementara Ify menatap sedih motor barunya yang kepanasan karena baru diajak jalan-jalan sepanjang berkilo-kilo.

"Oi, Rio, tunggu!" sahut Ify menyusul Rio yang tatapannya kosong. Ify menatapnya curiga, lalu mendekap mulutnya. Lalu dia mengguncang-guncang bahu Rio. "Rio! Lo nggak bermaksud ngelakuin hal gila, kan? Rio, sadar!"

Tepat ketika Rio akan bicara, Ify menamparnya sekuat tenaga, membuat pipi Rio terasa panas dan lehernya serasa patah.

"Apaan, sih, lo?" amuk Rio. Pipinya berdenyut menyakitkan.

"Hhh... Syukur, deh," kata Ify dengan mata berkaca-kaca, lega.

"Syukur apanya!" sahut Rio membuat Ify bingung.

"Lho? Emangnya lo nggak mau bunuh diri, ya?" katanya polos, membuat Rio gemas dan ingin menjitaknya. "Abis, lo tiba-tiba aja mau ke pantai."

Rio menghela napas, sambil meneruskan perjalanannya ke pantai. Saat itu karena habis hujan, laut menjadi pasang. Pantai ini tidak begitu bagus, tapi lumayan untuk menenangkan pikiran Rio.

"Wah, langit abis hujan cerah banget, ya," komentar Ify saat melihat langit biru tanpa awan. "Udah lama juga gue nggak ke pantai."

Ify meregangkan ototnya lalu merentangkan tangannya, bermaksud merasakan angin yang berhembus. Rio menatapnya sebentar, mengeluarkan handycam dan merekam Ify di luar kesadarannya.

Ify tidak sadar kalau Rio sedang merekamnya. Dia benar-benar senang datang ke pantai setelah lama tidak melakukannya. Dia berlari-lari ke air dan bermain kejar-kejaran dengan ombak sambil sesekali menjerit kedinginan saat kakinya terkena air.

Rio melepaskan matanya dari layar dan menatap Ify yang tertawa sendiri karena ombak yang datang begitu besar sehingga membasahi rok se-lututnya.

"Rio! Lo ngapain? Ayo sini!" sahut Ify membuat Rio tersadar. Rio segera mematikan handycam-nya dan mengikuti Ify untuk turun ke air. Memang benar, airnya dingin sekali.

Rio menatap ke laut lepas, dia bermaksud untuk berteriak sekuat tenaga, tetapi tiba-tiba Ify mendorongnya sekuat tenaga sampai dia tercebur.Ify lantas tertawa lepas melihat Rio yang sekarang basah kuyup.

Rio menatap Ify sebal, dia bangkit, bermaksud mengejar cewek itu. Ify segera berlari menghindari Rio, tetapi akhirnya tertangkap. Walaupun Ify memberi perlawanan, Rio berhasil menceburkan cewek itu ke air. Rio berganti tertawa penuh kemenangan, tapi beberapa detik kemudian, dia tersadar.

"Kenapa, Yo?" tanya Ify, heran melihat Rio yang tiba-tiba berhenti tertawa.

"Nggak apa-apa," kata Rio sambil kembali ke pasir, dan terduduk di sana sementara Ify masih bermain-main dengan ombak. Rio menatap Ify kosong. "Barusan gue ngapain, sih," gumamnya, lalu tertawa miris.

Rio membaringkan tubuhnya di pasir yang masih lembab, mencoba memejamkan matanya. Dalam lima tahun terakhir, baru kali ini dia tertawa selepas itu. Dan bahkan dengan cewek yang baru dikenalnya. Saat pertama kali mendengar kenyataan pahit yang menimpanya, jangankan tertawa, untuk tersenyum saja rasanya sulit sekali.

"Rio, kok malah tidur?" tanya Ify yang menghampirinya.

"Tolong jangan ganggu gue sebentar," kata Rio tanpa membuka matanya. "Gue butuh sendiri."

Benar. Rencana awalnya adalah dia datang sendirian ke pantai dan melepaskan semua kepenatannya. Tapi, kenapa cewek ini malah ikut?

"Oh, oke," kata Ify, dia berjalan kembali ke pantai.

Entah sudah berapa lama Rio tertidur, saat dia terbangun, langit sudah berganti warna. Matahari sudah mau tenggelam. Rio duduk, melihat Ify yang sedang berlari menyeret sesuatu yang bentuknya seperti layangan. Rio menatapnya heran.

"Lo ngapain?" tanya Rio bingung.

"Oh, udah bangun?" tanya Ify dengan napas tersengal. "Gue lagi main layangan."

Ternyata benar, layangan. Rio menghela napas. Cewek satu ini memang tidak bisa diharapkan. Rio bangkit, lalu mengambil benang dari tangan Ify.

"Pegang layangannya," perintah Rio dan Ify segera melakukannya. "Kalo gue bilang lepas, dilepas."

Ify mengangguk. Rio menghela napas lagi, lalu berkata, "Lepas."

Ify melepas layangannya, dan tepat pada saat itu, Rio menarik benangnya. Dalam seketika, layangan berbentuk burung itu sudah terbang.

"Uwwaaahh! Hebat!" sahut Ify sambil bertepuk tangan girang. Rio meliriknya, heran kenapa cewek di sampingnya itu begitu senang melihat layangan terbang.

"Emang begini harusnya maen layangan. Gue nggak pernah liat versi lo tadi," ejek Rio, membuat Ify mendelik.

"Eh, gue boleh pegang nggak?" tanya Rukia penuh harap, Rio menyerahkan benangnya. "Uwaaahhh!"

Sebenarnya, Ify agak grogi saat memegang benang layangan itu, takut layangan itu putus. Ify tak pernah sekali pun memegang layangan yang benar-benar terbang seperti itu. Itulah sebabnya, dia memegang benangnya dengan ekstra hati-hati. Ekor layangan itu berkibar-kibar indah membuat Ify takjub. Rio kembali ke pasir dan duduk sambil melihat Ify yang masih berteriak-teriak girang seperti anak kecil. Rio lantas merekamnya lagi dengan handycam-nya.

Tak terasa, matahari sudah hampir tenggelam. Ify sudah puas dengan layangannya yang terbang karena pegangannya terlepas. Sekarang, dia sedang duduk lelah di samping Rio yang tertidur lagi.

Ify menatap wajah polos Rio yang sedang tertidur. Ify benar-benar senang bisa menghabiskan sore bersama cowok itu seperti ini.

"Jangan ngeliatin terus," kata Rio tiba-tiba membuat Ify kaget.

"Siapa juga," kata Ify blushing + salah tingkah dan berusaha membuang pandangannya. Namun, tak berlangsung lama, karena di luar kesadarannya, dia kembali menatap Rio.

"Serius. Ntar lo suka sama gue," kata Rio lagi.

"Emangnya kenapa kalo gue suka sama lo?" tanya Ify menantang.

"Jangan," jawab Rio setelah beberapa detik.

"Kenapa?" tanya Ify lagi, membuat Rio menghela napas.

"Karena kita nggak punya masa depan," jawabnya tanpa membuka mata. Ify menatap wajah itu lama, tak mengerti akan perkataannya, tetapi entah mengapa dia tak punya keinginan untuk bertanya lebih jauh. Ify memiliki perasaan, kalaupun bertanya, jawaban Rio pasti akan lebih menyakitkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar