Ify menatap langit-langit kamarnya hampa. Semalaman, Ify tidak bisa
tidur lagi, masih tidak bisa menerima kenyataan bahwa Rio adalah seorang
gay. Ify masih sulit memercayainya. Ify setengah mati berharap bahwa
Rio hanya berbohong, tetapi yang Ify lihat kemarin terlalu meyakinkan.
Bahkan, Rio sampai memanggil namanya dan memeluknya.
Ify terduduk lemah. Ify merasa terlalu lelah dengan semua ini,
tetapi Ify tidak pernah menyesal telah menyukai Rio. Sampai sekarang
pun, Ify masih menyukai Rio walaupun Rio tidak mungkin mencintainya.
Ify tidak tahu harus melakukan apa dan bersikap bagaimana di depan
Rio. Ify tidak jijik padanya karena dia seorang gay, tetapi Ify terlalu
menyukainya sampai tidak mampu menatapnya.
Ify membentur-benturkan kepalanya ke lutut, berharap bahwa semalam
tidak pernah terjadi apa-apa. Mendadak, semua kenangannya selama bersama
Rio terputar di otaknya. Ify benar-benar tidak mau percaya.
Tiba-tiba, ponsel Ify berdering. Sivia meneleponnya. Ify kemudian cepat-cepat mengangkatnya.
"Ify? Lo, kok, nggak kuliah?" seru Sivia dari seberang. "Kenapa, Fy? Lo sakit?"
Belum sempat menjawab, Ify sudah keburu terisak.
"Fy? Lo kenapa? Ada apa?" tanya Sivia panik sementara isakan Ify semakin menjadi-jadi.
"Via...," kata Ify, dan selanjutnya kronologi kejadian semalam
mengalir seperti air bah. Di ujung sana, Sivia diam membisu, tak bisa
berkata-kata.
"Dia... gay?" kata Sivia lambat-lambat, tak percaya. Ify makin terisak. "Fy! Lo tunggu, ya! Gue langsung ke kost lo sekarang!"
Sivia memutuskan sambungan telepon sementara Ify kembali tersuruk di antara bantal-bantalnya.
Sivia sekarang sudah berada di kost Ify, memegang tangan Ify
erat-erat. Sivia benar-benar tak habis pikir dengan cobaan yang
sepertinya dialami Ify tanpa berkesudahan. Sivia pikir sudah cukup
kenyataan bahwa Rio adalah seorang penderita HIV positif, sekarang
ditambah kenyataan bahwa Rio menderita penyakit itu gara-gara hubungan
sesama jenis. Sivia jadi semakin menyesal kenapa kemarin-kemarin dia
malah memberi semangat pada sahabatnya itu.
"Ify... Maafin gue, ya," kata Sivia membuat Ify menatapnya lemah.
"Kenapa, Sivia? Emangnya kamu salah apa?" tanya Ify bingung.
"Karena kemaren gue udah bilang yang nggak-nggak. Soal takdir itu," jawab Sivia hati-hati. Ify tersenyum menatap sahabatnya itu.
"Nggak apa-apa, Sivia. Bukan salah kamu," balas Ify pelan.
Sivia menatap Ify lama. Sivia tahu kesedihan Ify hanya dengan
melihatnya. Hati Ify sudah hancur, tetapi gadis itu berusaha mati-matian
untuk tegar.
"Terus... lo mau gimana?" tanya Sivia, kembali berhati-hati.
Ify terdiam sebentar, dia tersenyum dengan sisa-sisa kekuatan yang dimilikinya.
"Aku nggak bisa ngejauhin dia, Vie. Perasaanku masih sama, bahkan
setelah aku tau kalau dia itu gay. Aku nggak bisa lantas benci sama
dia," ujar Ify lirih.
"Jangan maksain diri, Fy," kata Sivia. "Dia pasti ngerti."
Ify menggeleng. "Aku mau nemenin dia sampai dia pergi. Itu udah keputusanku," jawab Ify tegas. Sivia menatap Ify sedih.
"Tapi, Fy, dia bisa aja nyakitin lo lagi," katanya membuat Ify menggeleng.
"Vie, apa lagi yang tersisa dari aku, yang masih bisa buat
disakiti?" Ify tersenyum getir. "Dia nggak mungkin suka sama aku. Tapi,
aku nggak nyesel pernah suka sama dia. Dia... sedikit banyak udah ngasih
aku pelajaran dalam hidup. Dia sangat menghargai orang lain
sampai-sampai dia rela hidup sendirian, Sivia. Itu yang bikin aku nggak
bisa ninggalin dia. Dia... kesepian."
Sivia menatap Ify, matanya masih menyiratkan ketidakpercayaan.
Sebenarnya, Sivia ingin berteriak pada Ify agar tidak berhubungan lagi
dengan Rio. Ify menghela napas melihat kekhawatiran Sivia.
"Vie, di luar dia punya penyakit HIV dan seorang gay, dia butuh seseorang. Kita semua butuh seseorang," kata Ify.
"Tapi, kenapa harus lo, Ify?" tanya Sivia lagi membuat Ify tersenyum lembut.
"Mungkin karena ini takdir. Kamu sendiri, kan, yang bilang," jawab Ify membuat Sivia terkesiap.
Ify sudah mengambil keputusan. Ify tidak akan menjauhi Rio. Ify akan
menerima Rio apa adanya walaupun itu berarti cinta Ify tidak akan
terbalas. Ify akan berusaha semampunya untuk mendukung Rio.
Sivia mempererat genggamannya pada tangan Ify, mengagumi kekuatan
hati sahabatnya itu. Ify juga sudah tidak menangis lagi. Dia berjanji
dalam hati untuk menjadi lebih kuat, agar bisa menemani Rio tanpa
membebaninya.
***
Rio menatap kosong langit penuh bintang di atasnya. Pikiran Rio
melayang ke mana-mana, mulai dari kenangan masa SMA-nya sampai kejadian
beberapa malam lalu saat dia mengaku gay pada Ify. Dan, sekarang, wajah
sedih Ify sudah memenuhi kepalanya.
Mendadak, terdengar suara pintu yang seperti ditendang paksa,
membuat Rio menoleh. Ify sudah berdiri di sana dengan kedua tangan
memegang mug yang mengepul. Di wajahnya, terpasang cengiran nakal.
Rio menatapnya nanar. Cewek itu masih saja mau mencarinya, bahkan
setelah tahu dia gay. Kali ini, Rio benar-benar tak habis pikir. Rio
menyerah pada cewek yang satu ini.
Ify menghampiri Rio, dia lalu duduk di sebelahnya. Dia menyodorkan
mug plastik berisi cokelat panas pada Rio. Rio menerimanya dan
mengangguk kecil, berterima kasih.
"Wah, bintangnya lagi banyak, ya?" ujar Ify, berusaha terdengar
ceria, sambil melayangkan pandangannya ke arah langit yang membentang di
atasnya. Rio hanya diam tak menjawabnya. Dia pura-pura sibuk menyeruput
cokelat panasnya. Ify menatap Rio.
"Gimana, Rio? Udah ketemu?" tanya Ify membuat Rio menatapnya heran. "Gabriel. Udah ketemu belum?"
Rio melotot mendengar pertanyaan Ify. Rio sama sekali tak menyangka
kalau Ify akan membahas masalah ini dengannya. Dia pikir, Ify akan jijik
dengannya dan menghindar, tetapi pikirannya salah. Cewek ini ternyata
benar-benar ingin menyampuri kehidupannya.
"Belum," jawab Rio setelah terdiam beberapa detik. Ify mengangguk-angguk.
"Eh, Yo, aku punya ide bagus," kata Ify membuat Rio menatapnya.
"Gimana kalo aku bantuin nyari di kampusku? Aku bakalan tanya-tanyain ke
semua jurusan. Gimana?"
Rio hampir saja menganga. Dan dia bahkan sudah menganga, tetapi
untungnya Ify sibuk menghirup cokelat panasnya, jadi tidak sempat
menyadarinya. Rio segera mengatupkan mulutnya. Gelas di tangannya sudah
hampir remuk.
Rio tidak tahu mengapa dia bisa sebegini kesal, tetapi perkataan Ify
tadi membuat darahnya naik ke kepala. Bisa-bisanya dia mengatakan akan
membantu Rio mencari Gabriel, padahal kemarin-kemarin cewek itu bilang
sayang dan sebagainya.
"Kenapa lo ngelakuin ini?" tanya Rio kemudian, membuat Ify kembali
menatapnya. Rio menatap Ify tajam. "Kenapa lo mau ngebantu gue?"
"Rio, dulu aku pernah bilang, kan, kalo aku mau nemenin kamu?" kata
Ify lembut. "Dan, sekarang, mungkin kita udah nggak bisa bersama, tapi
aku tetep mau bantu kamu. Sebagai teman. Boleh, kan?"
Rio mengalihkan pandangannya dari Ify. Tentu saja. Perasaan Ify yang
kemarin memang cuma simpati, makanya sekarang Ify sudah melupakannya
dan memutuskan untuk membantunya. Rio tertawa dalam hati, menertawakan
kebodohannya sendiri. Sekarang, Rio hanya harus berhati-hati untuk tidak
terbawa oleh perasaannya sendiri. Rio harus meneruskan perannya.
"Yo," ujar Ify lirih tapi masih bisa didengar oleh Rio, sehingga
membuat si empunya nama menoleh. "Jangan khawatirkan perasaanku. Aku
pasti baik-baik aja."
Mata Rio melebar setelah mendengar perkataan Ify. Pikiran Rio
ternyata salah besar. Cewek itu masih menyukainya, hanya saja dia
berusaha untuk terlihat tegar. Perasaan Ify untuknya ternyata tulus.
Hati Rio terasa sakit bila mengingat hal ini. Tidak seharusnya dia
berbohong pada cewek itu, tetapi Rio tak mau mengambil risiko.
Menyelamatkan Ify dari masa-masa suram bersamanya adalah tugas utamanya
sekarang.
"Boleh aja," kata Rio kemudian sambil tersenyum pada Ify. "Thanks, ya. Lo udah baik banget sama gue selama ini."
Ify balas tersenyum, lalu mengangguk. Kalau saja Rio tidak menahan
diri, dia pasti sudah menangis lagi di hadapan Ify. Rio mengalihkan
pandangannya, sebisa mungkin tidak melihat cewek itu.
"Yo, karena sekarang kita temen, kamu bisa, kan, cerita sama aku?" pinta Ify ceria. Ify tidak mau terlihat sedih di depan Rio.
"Hm... cerita apa, ya?" kata Rio. "Gimana kalo... si Kancil?"
Ify tertawa lepas mendengar gurauan Rio, sementara dalam hatinya dia
sedih karena baru kali ini Rio mau bercanda dengannya. Rio sendiri
lebih memilih untuk diam dan menolak untuk melirik Ify.
Keheningan menyelimuti mereka selama beberapa saat, tak satu pun
dari mereka yang mengeluarkan suara, sibuk dengan pikiran masing-masing.
Sampai akhirnya, Ify tiba-tiba bergidik.
"Kamu nggak kedinginan, Yo?" tanya Ify.
"Nggak," jawab Rio pendek.
"Aku... kedinginan, nih. Aku turun duluan, ya?" ujar Ify sambil
bangkit dan membersihkan bagian bawah dari terusannya yang kotor oleh
debu. Ify bergerak ke pintu.
"Ify," panggil Rio membuat Ify menoleh. Rio mengangkat mug plastik yang dipegangnya. "Ini, makasih, ya."
Ify mengangguk, meneruskan berjalan menuju pintu. Sedih juga, Rio
tidak lagi memanggilnya dengan nama kecil seperti beberapa hari yang
lalu. Beberapa langkah kemudian, dia kembali menoleh.
"Rio," kata Ify membuat Rio menatapnya. "Kalo ada apa-apa, kamu boleh cerita sama aku. Kalo aku bisa, aku pasti bantu kamu."
"Oke. Thanks, ya," kata Rio, dan Ify menghilang di balik pintu.
Rio menatap pintu itu lama dan setelah yakin kalau Ify sudah tidak
ada di sana, air matanya mengalir tanpa bisa dihentikannya. Dari sekian
banyak penderitaan yang pernah dialaminya, inilah yang paling
menyakitkan. Sebelumnya, Rio sudah pasrah menerima penyakitnya dan sudah
siap mati kapan pun juga, tetapi semenjak mengenal Ify, Rio menjadi
sangat marah pada Tuhan.
"Kenapa...," gumam Toushiro geram. Mat kembali terpancang pada
langit malam yang bertaburan bintang. "Kenapa harus dipertemukan sama
dia kalau pada akhirnya mesti dipisahin lagi?"
Mug di tangan Rio sudah remuk, isinya tumpah. Tangannya terkepal
keras dan gemetar hebat. Dia menunduk, dan tetesan air matanya dengan
segera membasahi langit semen yang dingin.
***
Ify berjalan gontai menuju kamarnya. Air matanya pun sudah menganak
sungai di pipinya. Dia masuk dan menutup pintu kamarnya, lalu merosot ke
lantai.
Ternyata, perasaan Ify terhadap Rio masih sama besarnya seperti
sebelum Rio mengatakan bahwa dia gay. Ify masih belum bisa sepenuhnya
merelakan Rio. Ify masih saja berharap Rio akan berkata bahwa dia bohong
soal perkataannya itu.
Tiba-tiba, Ify tersadar. Sekarang sudah tidak ada gunanya
terus-terusan memikirkan itu. Ify harus mengesampingkan perasaannya demi
membantu Rio. Rio membutuhkan teman, dan hal itulah yang akan dilakukan
Ify. Ify akan menjadi lebih kuat dan tegar untuk menolong Rio.
Ify menghapus air matanya, dan tanpa sengaja melirik komputernya, ia mendapat ide, lalu mulai mengetik.
***
Rio menyalakan korek api, dia membakar rokok yang terselip di
mulutnya. Setelah itu dia menarik napas, dan menghembuskannya. Hari ini,
Rio sedang mencari Gabriel di Universitas Fakultas Olahraga. Namun,
tampaknya orang itu tidak ada di sana.
Rio menghela napas, membuka layar handycam-nya. Di dalam handycam
itu, terdapat kaset yang selama ini selalu dihindari Rio, yaitu kaset
dengan judul "Manado Beach 2004". Rio menggigit bibir bagian bawahnya
ragu, tetapi dinyalakannya juga handycam itu.
Mata Rio sampai terasa panas karena tidak berkedip saat menonton
film yang terputar di sana. Rahang Rio mengeras. Mungkin memang
seharusnya dia tidak pernah menonton film ini lagi. Mungkin seharusnya
Rio membuangnya.
Film ini terlalu mengingatkan Rio pada semua hal yang dulu pernah
dimilikinya, namun sekarang telah hilang, terampas secara paksa darinya
karena penyakit mengerikan yang diidapnya. Keluarganya. Sahabatnya.
Kekasihnya. Mimpinya. Hidupnya. Semua kebahagiaannya.
Setetes air jatuh ke layar handycam itu. Bukan hujan, melainkan itu hanyalah tetes air yang berasal dari mata Rio.
***
Ify mengendarai motornya tanpa semangat. Tadi di dekat kampus, dia
hampir menabrak seseorang karena melamun. Dan barusan di dekat kost-nya,
dia juga hampir menabrak Ozy yang baru pulang dari warung.
Ify mematikan mesin motornya dan mendorongnya masuk. Dia membuka helm. Sementara itu, Ozy menatap wajah Ify yang kusut.
"Lo kenapa, Fy?" tanyanya bingung.
"Nggak apa-apa, kok," jawab Ify sambil naik tangga menuju ke lantai dua dengan gontai.
Tadi di kampus, dia sudah mencari orang yang sedang dicari Rio
selama ini, Gabriel. Namun, tak ada satu pun yang bernama Gabriel
Stevent, juga tak ada yang mengenal Gabriel. Ify merasa kalau dia tak
akan menemukan orang itu kalau caranya seperti ini.
Ify menghela napas lagi. Ify akan melakukan apa pun untuk menolong
Rio, tak peduli yang sedang dicarinya itu pasangan sejenisnya atau siapa
pun. Ify mengangguk semangat, tak mau terlihat sedih di hadapan Rio.
Ketika sampai di lantai dua, Ify terpaku melihat seorang cewek
cantikdengan rambut yang dibiarkan terurai di depan kamar Rio.
Cewek itu menoleh dengan wajah cemas, namun kemudian dia tersenyum
pada Ify. Rukia balas senyumannya, tetapi masih terlihat heran.
"Hai," sapa cewek itu ramah. "Ng... Kamu... kost di sini?"
"Iya," jawab Ify pendek. Ekspresi cewek itu berubah cerah. Ify mengamati cewek yang cantik dan semampai itu.
"Kamu... kenal sama Vano, Eh maksudnya Rio?" tanya cewek itu lagi.
"Kenal. Itu kamar dia," jawab Ify lagi, tapi entah mengapa firasatnya terhadap cewek ini tidak bagus.
"Dia lagi keluar, ya?" tanya cewek itu lagi.
"Mungkin," jawab Ify. "Kamu... siapa, ya?"
Baru ketika cewek itu akan menjawab, terdengar suara langkah orang
yang sedang menaiki tangga. Rio muncul dari tangga dengan wajah lelah.
Dia sedang memijati lehernya, namun kemudian terpaku menatap sosok cewek
yang berdiri di depan kamarnya.
Rio serasa tidak bisa melakukan apa pun, baik bernapas maupun
bergerak, saat melihat cewek manis itu. Cewek itu membekap mulut, lalu
berlari ke arah Rio dan memeluknya erat-erat. Rio terlalu kaget
sampai-sampai tidak sempat menghindar.
"VAno" sahut cewek itu, air matanya mulai mengalir. "Aku pikir, aku nggak bakal bisa ketemu lagi sama kamu lagi!"
"Shil...la...?" gumam Rio, masih terlalu terkejut. Cewek yang
ternyata memiliki nama Ashilla Zahrantiara itu sekarang sudah mempererat
pelukannya.
"Rio, maafin aku. Maafin aku... Aku janji nggak bakal ninggalin kamu
lagi..." Shilla sudah terisak. "Aku nyesel udah ninggalin kamu. Maafin
aku, Vano..."
Rio merasakan seluruh tubuhnya membeku, termasuk lidahnya. Dia sama
sekali tak menyangka Shilla akan menyusulnya dan meminta maaf. Rio
berusaha mengambil napas, dan saat itulah, dia menyadari keberadaan Ify
yang sedang menatapnya marah.
Kedua tangan Ify gemetar di samping pahanya. Ify sangat marah
sampai-sampai ingin meninju Rio di tempat, tetapi tak bisa dilakukannya.
Entah mengapa, Ify hanya bisa terdiam menonton adegan romantis si
pembohong Mario Stevano dan mungkin pacarnya.
Rio menatap Ify, berpikir keras sementara Shilla masih terus terisak
sambil memeluknya erat. Rio akhirnya balas memeluk Shilla, membuat Ify
memalingkan pandangannya.
Rio berusaha untuk tidak melihat bagaimana Ify menangis. Rio juga
menahan segala keinginannya untuk menahan Ify saat dia berderap turun.
Yang sekarang Rio pikirkan hanyalah, bagaimana Ify bisa menjauhinya, apa
pun caranya.
"Apa kabar, Yo?" tanya Shilla setelah didesak Rio untuk tidak memanggilnya dengan sebutan "Vano".
Rio mengisap rokoknya, lalu menghembuskannya. Sekarang, mereka ada
di lantai tiga. Shilla menatap punggung Rio yang tampak kesepian.
"Begini aja," jawab Rio pendek. "Jadi, tau dari mana alamat ini?"
"Aku... nelpon Alvin, terus aku ancam dia. Akhirnya, dia ngasih tau alamat kamu," kata Shilla.
Rio mendengus. Tentu saja, Alvin. Hanya Alvin satu-satunya yang tahu di mana Rio tinggal sekarang.
"Terus... ngapain ke sini?" tanya Rio lagi.
"Aku... Maafin aku, Rio," ujar Shilla pelan. "Dulu, kita masih muda.
Dulu, aku nggak pernah berpikir kalo aku bakal sangat kehilangan kamu."
Rio hanya diam, tak berkomentar apa pun. Dia menatap langit yang mulai berubah warna menjadi jingga keemasan.
"Rio, aku bener-bener bodoh udah ninggalin kamu," ujar Shilla lagi. "Sekarang, aku sadar kalo aku..."
"Shilla, kamu udah bener," potong Rio membuat Shilla menatapnya.
"Kamu dulu udah membuat keputusan yang benar, ninggalin aku. Jangan
mikir macem-macem lagi. Aku udah nggak apa, kok."
"Tapi, Yo, aku masih say..."
"Shill, kalo emang kamu masih sayang sama aku, tolong bantu aku.
Kamu ngerti, kan?" potong Rio lagi. Rio kemudian duduk di samping
Shilla.
"Rio..."
"Shilla, aku udah maafin kamu," kata Rio. "Dulu mungkin aku nggak
bisa terima kenapa kamu ninggalin aku di saat aku merasa sangat
membutuhkan kamu. Tapi, sekarang aku udah merelakan kamu."
Shilla menatap Rio yang menolak untuk menatapnya balik. Air mata Shilla sudah jatuh.
"Yo, kamu beneran mau maafin aku?" tanya Shilla. Rio mengangguk, menepuk kepala Shilla, membuat cewek itu langsung terisak.
"Jangan nagis, dong," kata Rio sambil mengacak-acak rambut Shilla. "Thanks, ya, kamu udah dateng ke sini."
Shilla mengangguk di sela-sela tangisnya. Shilla benar-benar
menyesal mengapa dulu dia meninggalkan Rio. Shilla sampai sekarang masih
tak mengerti, kenapa Tuhan memilih Rio untuk menerima penyakit ini,
penyakit yang telah merenggut semua kebahagiaannya.
"Yo...," kata Shilla sambil menatap Rio. "Jangan cari dia lagi."
Rio menatap Shilla sebentar, lalu mengalihkan pandangannya. "Nggak
bisa, Shil. Aku harus cari dia sampe ketemu. Setelah itu, aku nggak
peduli lagi sama apa yang bakal terjadi sama aku."
"Rio, kamu harus peduli! Kamu masih punya ibumu, kamu masih punya
aku! Jangan cari Gabriel lagi, Yoo, aku mohon!" seru Shilla sambil
menarik tangan Rio.
"Shil, sampai sekarang, dia yang membuat aku tetap hidup.
Kebencianku terhadap dia juga yang udah membuat aku bertahan, tetap
hidup untuk menemukan dia. Nggak ada siapa pun yang bisa menghentikan
aku," ujar Rio tegas. "Karena dia, aku kena penyakit sialan ini. Kamu
ngerti, kan, gimana perasaanku?"
Shilla menatap Rio yang tampak emosi.
"Yo, janji sama aku, jangan ngelakuin hal-hal bodoh. Janji, Yo," desak Shilla cemas.
"Shill, kalo soal yang satu ini, aku nggak bisa menjanjikan apa pun," balas Rio keras kepala. "Thanks karena udah mikirin aku."
Shilla terisak lagi, memikirkan Rio yang sudah berada jauh di luar
jangkauannya. Alvin memang sudah memperingatkannya, tetapi dia tak
menyangka kalau Rio akan menjadi seperti ini. Benar-benar bukan Rio yang
dulu pernah dikenalnya.
"Shilla," kata Rio kemudian. "Jangan pernah mikirin aku lagi. Kamu juga harus nerusin hidup kamu. Kamu udah punya cowok, kan?"
Shilla melirik Rio marah membuat Rio nyengir.
"Yah, masa, sih, kamu jomblo terus selama lima tahun," kata Rio lagi.
"Tau nggak, Rio. Hatiku sakit banget, lho, denger kamu ngomong
begitu," jawab Shilla membuat cengiran Rio lenyap. "Denger kamu bisa
nanya-nanya yang begitu sama aku seolah kamu udah bener-bener ngelupain
aku, hatiku sakit banget."
Rio terdiam sesaat. "Sori," kata Rio membuat Shilla menatapnya.
"Rio," kata Shilla. "Kamu suka... cewek itu, ya?"
Rio segera menoleh pada Shilla yang tampak serius. Tahu siapa cewek
yang dimaksud, Rio segera mengalihkan pandangannya. Sepertinya percuma
saja jika dia berusaha berbohong. Rio mengangguk, pandangannya
menerawang langit yang sudah mulai petang. Shilla menghela napas.
"Udah aku kira," kata Shilla. "Apa dia... udah tau, ng... penyakit kamu?"
Rio mengangguk lagi. "Dia udah tau dan dia bisa terima," jawab Rio membuat Shilla mengangguk-angguk.
"Aku kagum sama dia," ujar Shilla, matanya jauh menerawang. "Aku dulu... bodoh, ya?"
"Shilla," tegur Rio membuat Shilla tersenyum.
"Rio, aku bener-bener minta maaf," kata Shilla lagi. "Aku tau ini
mungkin udah sangat terlambat, tapi kapan pun kamu ngebutuhin aku, aku
nggak akan lari lagi."
"Thanks." Rio tersenyum pada Shilla.
Mereka kemudian menghabiskan petang itu dalam diam.
***
Ify melangkahkan kakinya ke atas tangga, berharap setengah mati
kalau Rio tidak ada. Mata Ify sudah bengkak karena terlalu banyak
menangis di kost Shilla tadi, dan Rio adalah makhluk terakhir yang ingin
dilihatnya.
Baru ketika Ify muncul di tangga, Rio baru kembali dari kamar mandi
dengan handuk tersampir di lehernya. Ify menatap Rio marah, dan berjalan
menuju kamarnya. Rio menatap Ify yang tampak enggan menatapnya balik.
"Jadi, yang tadi itu yang namanya Gabriel, ya?" sindir Ify, tak
tahan untuk tidak bertanya. Rio tampak tak berekspresi. Dia bersandar di
dinding sambil menatap Ify malas.
"Namanya Ashilla Zahrantiara." Jawaban Rio membuat Ify melotot. Ify
refleks mengambil sepatu dan melempar Rio dengan sepatu itu. Rio bahkan
tidak mengelak. Air mata Ify sekarang sudah jatuh lagi.
"Kamu kejam! Aku bahkan nggak mau tau siapa namanya!" sahut Ify emosi. Rio hanya menatapnya.
Rio mengambil sepatu yang tadi dilempar Ify, dan meletakkannya
kembali ke rak sepatu. Dia menghela napas, berusaha menatap ke arah lain
selain Ify yang sedang menatapnya marah.
"Kenapa, sih, kamu bohong terus?" tanya Ify lagi, hampir menjerit. "Kenapa kamu harus sekejam ini sama aku? Kenapa, Rio?"
"Sori," kata Rio membuat Ify menatapnya tajam. "Gue nggak bermaksud nyakitin..."
"Nggak bermaksud?" ulang Ify tak percaya. "Nggak bermaksud kamu bilang? Kamu pakai segala cara buat ngejauhin aku dari kamu!"
Rio terdiam, sementara Ify sudah memukul-mukulinya sambil terisak.
"Kenapa kamu harus bilang kalau kamu gay? Kenapa kamu seneng banget
nyakitin aku?" seru Ify lagi. "Kalo kamu emang segitu nggak sukanya sama
aku, kenapa nggak bilang terus terang?"
"Gue nggak suka sama lo!" sahut Rio membuat Ify terdiam dan berhenti
memukulinya. Rio menatapnya serius. "Lo mau gue bilang itu, kan? Gue
bilang sekarang, gue nggak suka sama lo. Gue udah kasih peringatan dari
awal, kan? Tapi, lo tetep mau tau urusan gue. Gue nggak tau lagi gimana
caranya supaya lo menjauh dari gue, dan terus terang aja, gue nggak tega
ngomong langsung kalo gue nggak suka sama cewek yang selalu ingin ikut
campur urusan orang lain kayak lo!"
Rio tersengal setelah mengatakan semua itu pada Ify. Ify menatap Rio tanpa berkedip, membuat air matanya mengalir makin deras.
"Rio," ujar Ify kemudian. "Kamu bisa lebih kejam lagi dari ini?"
Rio terdiam menatap Ify yang sudah gemetar.
"Maaf, Ify. Tapi, Shilla adalah satu-satunya cewek buat gue. Dari
dulu sampai sekarang, cuma dia yang ada di hati gue. Nggak akan ada yang
bisa menggantikan dia," kata Rio membuat Ify tersenyum miris.
"Rio... Kenapa kamu nggak sekalian bunuh aku?" kata Ify getir,
membuat Rio terdiam. "Kenapa, Mario... Kenapa kamu harus datang ke sini?
Kenapa? Kenapa aku bisa kenal sama kamu?"
Ify berderap menuju kamarnya, bergerak masuk dan membanting
pintunya. Rio hanya bisa menatapnya tanpa mampu berbuat banyak. Misi
berhasil. Sekarang yang harus Rio lakukan adalah pergi secepatnya dari
kost ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar