Selasa, 26 Juni 2012

The Truth About Forever - Chapter 10 : Another Lies

Ify menatap langit-langit kamarnya hampa. Semalaman, Ify tidak bisa tidur lagi, masih tidak bisa menerima kenyataan bahwa Rio adalah seorang gay. Ify masih sulit memercayainya. Ify setengah mati berharap bahwa Rio hanya berbohong, tetapi yang Ify lihat kemarin terlalu meyakinkan. Bahkan, Rio sampai memanggil namanya dan memeluknya.

Ify terduduk lemah. Ify merasa terlalu lelah dengan semua ini, tetapi Ify tidak pernah menyesal telah menyukai Rio. Sampai sekarang pun, Ify masih menyukai Rio walaupun Rio tidak mungkin mencintainya.

Ify tidak tahu harus melakukan apa dan bersikap bagaimana di depan Rio. Ify tidak jijik padanya karena dia seorang gay, tetapi Ify terlalu menyukainya sampai tidak mampu menatapnya.

Ify membentur-benturkan kepalanya ke lutut, berharap bahwa semalam tidak pernah terjadi apa-apa. Mendadak, semua kenangannya selama bersama Rio terputar di otaknya. Ify benar-benar tidak mau percaya.

Tiba-tiba, ponsel Ify berdering. Sivia meneleponnya. Ify kemudian cepat-cepat mengangkatnya.

"Ify? Lo, kok, nggak kuliah?" seru Sivia dari seberang. "Kenapa, Fy? Lo sakit?"

Belum sempat menjawab, Ify sudah keburu terisak.

"Fy? Lo kenapa? Ada apa?" tanya Sivia panik sementara isakan Ify semakin menjadi-jadi.

"Via...," kata Ify, dan selanjutnya kronologi kejadian semalam mengalir seperti air bah. Di ujung sana, Sivia diam membisu, tak bisa berkata-kata.

"Dia... gay?" kata Sivia lambat-lambat, tak percaya. Ify makin terisak. "Fy! Lo tunggu, ya! Gue langsung ke kost lo sekarang!"

Sivia memutuskan sambungan telepon sementara Ify kembali tersuruk di antara bantal-bantalnya.

Sivia sekarang sudah berada di kost Ify, memegang tangan Ify erat-erat. Sivia benar-benar tak habis pikir dengan cobaan yang sepertinya dialami Ify tanpa berkesudahan. Sivia pikir sudah cukup kenyataan bahwa Rio adalah seorang penderita HIV positif, sekarang ditambah kenyataan bahwa Rio menderita penyakit itu gara-gara hubungan sesama jenis. Sivia jadi semakin menyesal kenapa kemarin-kemarin dia malah memberi semangat pada sahabatnya itu.

"Ify... Maafin gue, ya," kata Sivia membuat Ify menatapnya lemah.

"Kenapa, Sivia? Emangnya kamu salah apa?" tanya Ify bingung.

"Karena kemaren gue udah bilang yang nggak-nggak. Soal takdir itu," jawab Sivia hati-hati. Ify tersenyum menatap sahabatnya itu.

"Nggak apa-apa, Sivia. Bukan salah kamu," balas Ify pelan.

Sivia menatap Ify lama. Sivia tahu kesedihan Ify hanya dengan melihatnya. Hati Ify sudah hancur, tetapi gadis itu berusaha mati-matian untuk tegar.

"Terus... lo mau gimana?" tanya Sivia, kembali berhati-hati.

Ify terdiam sebentar, dia tersenyum dengan sisa-sisa kekuatan yang dimilikinya.

"Aku nggak bisa ngejauhin dia, Vie. Perasaanku masih sama, bahkan setelah aku tau kalau dia itu gay. Aku nggak bisa lantas benci sama dia," ujar Ify lirih.

"Jangan maksain diri, Fy," kata Sivia. "Dia pasti ngerti."

Ify menggeleng. "Aku mau nemenin dia sampai dia pergi. Itu udah keputusanku," jawab Ify tegas. Sivia menatap Ify sedih.

"Tapi, Fy, dia bisa aja nyakitin lo lagi," katanya membuat Ify menggeleng.

"Vie, apa lagi yang tersisa dari aku, yang masih bisa buat disakiti?" Ify tersenyum getir. "Dia nggak mungkin suka sama aku. Tapi, aku nggak nyesel pernah suka sama dia. Dia... sedikit banyak udah ngasih aku pelajaran dalam hidup. Dia sangat menghargai orang lain sampai-sampai dia rela hidup sendirian, Sivia. Itu yang bikin aku nggak bisa ninggalin dia. Dia... kesepian."

Sivia menatap Ify, matanya masih menyiratkan ketidakpercayaan. Sebenarnya, Sivia ingin berteriak pada Ify agar tidak berhubungan lagi dengan Rio. Ify menghela napas melihat kekhawatiran Sivia.

"Vie, di luar dia punya penyakit HIV dan seorang gay, dia butuh seseorang. Kita semua butuh seseorang," kata Ify.

"Tapi, kenapa harus lo, Ify?" tanya Sivia lagi membuat Ify tersenyum lembut.

"Mungkin karena ini takdir. Kamu sendiri, kan, yang bilang," jawab Ify membuat Sivia terkesiap.

Ify sudah mengambil keputusan. Ify tidak akan menjauhi Rio. Ify akan menerima Rio apa adanya walaupun itu berarti cinta Ify tidak akan terbalas. Ify akan berusaha semampunya untuk mendukung Rio.

Sivia mempererat genggamannya pada tangan Ify, mengagumi kekuatan hati sahabatnya itu. Ify juga sudah tidak menangis lagi. Dia berjanji dalam hati untuk menjadi lebih kuat, agar bisa menemani Rio tanpa membebaninya.





***



Rio menatap kosong langit penuh bintang di atasnya. Pikiran Rio melayang ke mana-mana, mulai dari kenangan masa SMA-nya sampai kejadian beberapa malam lalu saat dia mengaku gay pada Ify. Dan, sekarang, wajah sedih Ify sudah memenuhi kepalanya.

Mendadak, terdengar suara pintu yang seperti ditendang paksa, membuat Rio menoleh. Ify sudah berdiri di sana dengan kedua tangan memegang mug yang mengepul. Di wajahnya, terpasang cengiran nakal.

Rio menatapnya nanar. Cewek itu masih saja mau mencarinya, bahkan setelah tahu dia gay. Kali ini, Rio benar-benar tak habis pikir. Rio menyerah pada cewek yang satu ini.

Ify menghampiri Rio, dia lalu duduk di sebelahnya. Dia menyodorkan mug plastik berisi cokelat panas pada Rio. Rio menerimanya dan mengangguk kecil, berterima kasih.

"Wah, bintangnya lagi banyak, ya?" ujar Ify, berusaha terdengar ceria, sambil melayangkan pandangannya ke arah langit yang membentang di atasnya. Rio hanya diam tak menjawabnya. Dia pura-pura sibuk menyeruput cokelat panasnya. Ify menatap Rio.

"Gimana, Rio? Udah ketemu?" tanya Ify membuat Rio menatapnya heran. "Gabriel. Udah ketemu belum?"

Rio melotot mendengar pertanyaan Ify. Rio sama sekali tak menyangka kalau Ify akan membahas masalah ini dengannya. Dia pikir, Ify akan jijik dengannya dan menghindar, tetapi pikirannya salah. Cewek ini ternyata benar-benar ingin menyampuri kehidupannya.

"Belum," jawab Rio setelah terdiam beberapa detik. Ify mengangguk-angguk.

"Eh, Yo, aku punya ide bagus," kata Ify membuat Rio menatapnya. "Gimana kalo aku bantuin nyari di kampusku? Aku bakalan tanya-tanyain ke semua jurusan. Gimana?"

Rio hampir saja menganga. Dan dia bahkan sudah menganga, tetapi untungnya Ify sibuk menghirup cokelat panasnya, jadi tidak sempat menyadarinya. Rio segera mengatupkan mulutnya. Gelas di tangannya sudah hampir remuk.

Rio tidak tahu mengapa dia bisa sebegini kesal, tetapi perkataan Ify tadi membuat darahnya naik ke kepala. Bisa-bisanya dia mengatakan akan membantu Rio mencari Gabriel, padahal kemarin-kemarin cewek itu bilang sayang dan sebagainya.

"Kenapa lo ngelakuin ini?" tanya Rio kemudian, membuat Ify kembali menatapnya. Rio menatap Ify tajam. "Kenapa lo mau ngebantu gue?"

"Rio, dulu aku pernah bilang, kan, kalo aku mau nemenin kamu?" kata Ify lembut. "Dan, sekarang, mungkin kita udah nggak bisa bersama, tapi aku tetep mau bantu kamu. Sebagai teman. Boleh, kan?"

Rio mengalihkan pandangannya dari Ify. Tentu saja. Perasaan Ify yang kemarin memang cuma simpati, makanya sekarang Ify sudah melupakannya dan memutuskan untuk membantunya. Rio tertawa dalam hati, menertawakan kebodohannya sendiri. Sekarang, Rio hanya harus berhati-hati untuk tidak terbawa oleh perasaannya sendiri. Rio harus meneruskan perannya.

"Yo," ujar Ify lirih tapi masih bisa didengar oleh Rio, sehingga membuat si empunya nama menoleh. "Jangan khawatirkan perasaanku. Aku pasti baik-baik aja."

Mata Rio melebar setelah mendengar perkataan Ify. Pikiran Rio ternyata salah besar. Cewek itu masih menyukainya, hanya saja dia berusaha untuk terlihat tegar. Perasaan Ify untuknya ternyata tulus. Hati Rio terasa sakit bila mengingat hal ini. Tidak seharusnya dia berbohong pada cewek itu, tetapi Rio tak mau mengambil risiko. Menyelamatkan Ify dari masa-masa suram bersamanya adalah tugas utamanya sekarang.

"Boleh aja," kata Rio kemudian sambil tersenyum pada Ify. "Thanks, ya. Lo udah baik banget sama gue selama ini."

Ify balas tersenyum, lalu mengangguk. Kalau saja Rio tidak menahan diri, dia pasti sudah menangis lagi di hadapan Ify. Rio mengalihkan pandangannya, sebisa mungkin tidak melihat cewek itu.

"Yo, karena sekarang kita temen, kamu bisa, kan, cerita sama aku?" pinta Ify ceria. Ify tidak mau terlihat sedih di depan Rio.

"Hm... cerita apa, ya?" kata Rio. "Gimana kalo... si Kancil?"

Ify tertawa lepas mendengar gurauan Rio, sementara dalam hatinya dia sedih karena baru kali ini Rio mau bercanda dengannya. Rio sendiri lebih memilih untuk diam dan menolak untuk melirik Ify.

Keheningan menyelimuti mereka selama beberapa saat, tak satu pun dari mereka yang mengeluarkan suara, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sampai akhirnya, Ify tiba-tiba bergidik.

"Kamu nggak kedinginan, Yo?" tanya Ify.

"Nggak," jawab Rio pendek.

"Aku... kedinginan, nih. Aku turun duluan, ya?" ujar Ify sambil bangkit dan membersihkan bagian bawah dari terusannya yang kotor oleh debu. Ify bergerak ke pintu.

"Ify," panggil Rio membuat Ify menoleh. Rio mengangkat mug plastik yang dipegangnya. "Ini, makasih, ya."

Ify mengangguk, meneruskan berjalan menuju pintu. Sedih juga, Rio tidak lagi memanggilnya dengan nama kecil seperti beberapa hari yang lalu. Beberapa langkah kemudian, dia kembali menoleh.

"Rio," kata Ify membuat Rio menatapnya. "Kalo ada apa-apa, kamu boleh cerita sama aku. Kalo aku bisa, aku pasti bantu kamu."

"Oke. Thanks, ya," kata Rio, dan Ify menghilang di balik pintu.

Rio menatap pintu itu lama dan setelah yakin kalau Ify sudah tidak ada di sana, air matanya mengalir tanpa bisa dihentikannya. Dari sekian banyak penderitaan yang pernah dialaminya, inilah yang paling menyakitkan. Sebelumnya, Rio sudah pasrah menerima penyakitnya dan sudah siap mati kapan pun juga, tetapi semenjak mengenal Ify, Rio menjadi sangat marah pada Tuhan.

"Kenapa...," gumam Toushiro geram. Mat kembali terpancang pada langit malam yang bertaburan bintang. "Kenapa harus dipertemukan sama dia kalau pada akhirnya mesti dipisahin lagi?"

Mug di tangan Rio sudah remuk, isinya tumpah. Tangannya terkepal keras dan gemetar hebat. Dia menunduk, dan tetesan air matanya dengan segera membasahi langit semen yang dingin.



***



Ify berjalan gontai menuju kamarnya. Air matanya pun sudah menganak sungai di pipinya. Dia masuk dan menutup pintu kamarnya, lalu merosot ke lantai.

Ternyata, perasaan Ify terhadap Rio masih sama besarnya seperti sebelum Rio mengatakan bahwa dia gay. Ify masih belum bisa sepenuhnya merelakan Rio. Ify masih saja berharap Rio akan berkata bahwa dia bohong soal perkataannya itu.

Tiba-tiba, Ify tersadar. Sekarang sudah tidak ada gunanya terus-terusan memikirkan itu. Ify harus mengesampingkan perasaannya demi membantu Rio. Rio membutuhkan teman, dan hal itulah yang akan dilakukan Ify. Ify akan menjadi lebih kuat dan tegar untuk menolong Rio.

Ify menghapus air matanya, dan tanpa sengaja melirik komputernya, ia mendapat ide, lalu mulai mengetik.



***



Rio menyalakan korek api, dia membakar rokok yang terselip di mulutnya. Setelah itu dia menarik napas, dan menghembuskannya. Hari ini, Rio sedang mencari Gabriel di Universitas Fakultas Olahraga. Namun, tampaknya orang itu tidak ada di sana.

Rio menghela napas, membuka layar handycam-nya. Di dalam handycam itu, terdapat kaset yang selama ini selalu dihindari Rio, yaitu kaset dengan judul "Manado Beach 2004". Rio menggigit bibir bagian bawahnya ragu, tetapi dinyalakannya juga handycam itu.

Mata Rio sampai terasa panas karena tidak berkedip saat menonton film yang terputar di sana. Rahang Rio mengeras. Mungkin memang seharusnya dia tidak pernah menonton film ini lagi. Mungkin seharusnya Rio membuangnya.

Film ini terlalu mengingatkan Rio pada semua hal yang dulu pernah dimilikinya, namun sekarang telah hilang, terampas secara paksa darinya karena penyakit mengerikan yang diidapnya. Keluarganya. Sahabatnya. Kekasihnya. Mimpinya. Hidupnya. Semua kebahagiaannya.

Setetes air jatuh ke layar handycam itu. Bukan hujan, melainkan itu hanyalah tetes air yang berasal dari mata Rio.



***



Ify mengendarai motornya tanpa semangat. Tadi di dekat kampus, dia hampir menabrak seseorang karena melamun. Dan barusan di dekat kost-nya, dia juga hampir menabrak Ozy yang baru pulang dari warung.

Ify mematikan mesin motornya dan mendorongnya masuk. Dia membuka helm. Sementara itu, Ozy menatap wajah Ify yang kusut.

"Lo kenapa, Fy?" tanyanya bingung.

"Nggak apa-apa, kok," jawab Ify sambil naik tangga menuju ke lantai dua dengan gontai.

Tadi di kampus, dia sudah mencari orang yang sedang dicari Rio selama ini, Gabriel. Namun, tak ada satu pun yang bernama Gabriel Stevent, juga tak ada yang mengenal Gabriel. Ify merasa kalau dia tak akan menemukan orang itu kalau caranya seperti ini.

Ify menghela napas lagi. Ify akan melakukan apa pun untuk menolong Rio, tak peduli yang sedang dicarinya itu pasangan sejenisnya atau siapa pun. Ify mengangguk semangat, tak mau terlihat sedih di hadapan Rio. Ketika sampai di lantai dua, Ify terpaku melihat seorang cewek cantikdengan rambut yang dibiarkan terurai di depan kamar Rio.

Cewek itu menoleh dengan wajah cemas, namun kemudian dia tersenyum pada Ify. Rukia balas senyumannya, tetapi masih terlihat heran.

"Hai," sapa cewek itu ramah. "Ng... Kamu... kost di sini?"

"Iya," jawab Ify pendek. Ekspresi cewek itu berubah cerah. Ify mengamati cewek yang cantik dan semampai itu.

"Kamu... kenal sama Vano, Eh maksudnya Rio?" tanya cewek itu lagi.

"Kenal. Itu kamar dia," jawab Ify lagi, tapi entah mengapa firasatnya terhadap cewek ini tidak bagus.

"Dia lagi keluar, ya?" tanya cewek itu lagi.

"Mungkin," jawab Ify. "Kamu... siapa, ya?"

Baru ketika cewek itu akan menjawab, terdengar suara langkah orang yang sedang menaiki tangga. Rio muncul dari tangga dengan wajah lelah. Dia sedang memijati lehernya, namun kemudian terpaku menatap sosok cewek yang berdiri di depan kamarnya.

Rio serasa tidak bisa melakukan apa pun, baik bernapas maupun bergerak, saat melihat cewek manis itu. Cewek itu membekap mulut, lalu berlari ke arah Rio dan memeluknya erat-erat. Rio terlalu kaget sampai-sampai tidak sempat menghindar.

"VAno" sahut cewek itu, air matanya mulai mengalir. "Aku pikir, aku nggak bakal bisa ketemu lagi sama kamu lagi!"

"Shil...la...?" gumam Rio, masih terlalu terkejut. Cewek yang ternyata memiliki nama Ashilla Zahrantiara itu sekarang sudah mempererat pelukannya.

"Rio, maafin aku. Maafin aku... Aku janji nggak bakal ninggalin kamu lagi..." Shilla sudah terisak. "Aku nyesel udah ninggalin kamu. Maafin aku, Vano..."

Rio merasakan seluruh tubuhnya membeku, termasuk lidahnya. Dia sama sekali tak menyangka Shilla akan menyusulnya dan meminta maaf. Rio berusaha mengambil napas, dan saat itulah, dia menyadari keberadaan Ify yang sedang menatapnya marah.

Kedua tangan Ify gemetar di samping pahanya. Ify sangat marah sampai-sampai ingin meninju Rio di tempat, tetapi tak bisa dilakukannya. Entah mengapa, Ify hanya bisa terdiam menonton adegan romantis si pembohong Mario Stevano dan mungkin pacarnya.

Rio menatap Ify, berpikir keras sementara Shilla masih terus terisak sambil memeluknya erat. Rio akhirnya balas memeluk Shilla, membuat Ify memalingkan pandangannya.

Rio berusaha untuk tidak melihat bagaimana Ify menangis. Rio juga menahan segala keinginannya untuk menahan Ify saat dia berderap turun. Yang sekarang Rio pikirkan hanyalah, bagaimana Ify bisa menjauhinya, apa pun caranya.

"Apa kabar, Yo?" tanya Shilla setelah didesak Rio untuk tidak memanggilnya dengan sebutan "Vano".

Rio mengisap rokoknya, lalu menghembuskannya. Sekarang, mereka ada di lantai tiga. Shilla menatap punggung Rio yang tampak kesepian.

"Begini aja," jawab Rio pendek. "Jadi, tau dari mana alamat ini?"

"Aku... nelpon Alvin, terus aku ancam dia. Akhirnya, dia ngasih tau alamat kamu," kata Shilla.

Rio mendengus. Tentu saja, Alvin. Hanya Alvin satu-satunya yang tahu di mana Rio tinggal sekarang.

"Terus... ngapain ke sini?" tanya Rio lagi.

"Aku... Maafin aku, Rio," ujar Shilla pelan. "Dulu, kita masih muda. Dulu, aku nggak pernah berpikir kalo aku bakal sangat kehilangan kamu."

Rio hanya diam, tak berkomentar apa pun. Dia menatap langit yang mulai berubah warna menjadi jingga keemasan.

"Rio, aku bener-bener bodoh udah ninggalin kamu," ujar Shilla lagi. "Sekarang, aku sadar kalo aku..."

"Shilla, kamu udah bener," potong Rio membuat Shilla menatapnya. "Kamu dulu udah membuat keputusan yang benar, ninggalin aku. Jangan mikir macem-macem lagi. Aku udah nggak apa, kok."

"Tapi, Yo, aku masih say..."

"Shill, kalo emang kamu masih sayang sama aku, tolong bantu aku. Kamu ngerti, kan?" potong Rio lagi. Rio kemudian duduk di samping Shilla.

"Rio..."

"Shilla, aku udah maafin kamu," kata Rio. "Dulu mungkin aku nggak bisa terima kenapa kamu ninggalin aku di saat aku merasa sangat membutuhkan kamu. Tapi, sekarang aku udah merelakan kamu."

Shilla menatap Rio yang menolak untuk menatapnya balik. Air mata Shilla sudah jatuh.

"Yo, kamu beneran mau maafin aku?" tanya Shilla. Rio mengangguk, menepuk kepala Shilla, membuat cewek itu langsung terisak.

"Jangan nagis, dong," kata Rio sambil mengacak-acak rambut Shilla. "Thanks, ya, kamu udah dateng ke sini."

Shilla mengangguk di sela-sela tangisnya. Shilla benar-benar menyesal mengapa dulu dia meninggalkan Rio. Shilla sampai sekarang masih tak mengerti, kenapa Tuhan memilih Rio untuk menerima penyakit ini, penyakit yang telah merenggut semua kebahagiaannya.

"Yo...," kata Shilla sambil menatap Rio. "Jangan cari dia lagi."

Rio menatap Shilla sebentar, lalu mengalihkan pandangannya. "Nggak bisa, Shil. Aku harus cari dia sampe ketemu. Setelah itu, aku nggak peduli lagi sama apa yang bakal terjadi sama aku."

"Rio, kamu harus peduli! Kamu masih punya ibumu, kamu masih punya aku! Jangan cari Gabriel lagi, Yoo, aku mohon!" seru Shilla sambil menarik tangan Rio.

"Shil, sampai sekarang, dia yang membuat aku tetap hidup. Kebencianku terhadap dia juga yang udah membuat aku bertahan, tetap hidup untuk menemukan dia. Nggak ada siapa pun yang bisa menghentikan aku," ujar Rio tegas. "Karena dia, aku kena penyakit sialan ini. Kamu ngerti, kan, gimana perasaanku?"

Shilla menatap Rio yang tampak emosi.

"Yo, janji sama aku, jangan ngelakuin hal-hal bodoh. Janji, Yo," desak Shilla cemas.

"Shill, kalo soal yang satu ini, aku nggak bisa menjanjikan apa pun," balas Rio keras kepala. "Thanks karena udah mikirin aku."

Shilla terisak lagi, memikirkan Rio yang sudah berada jauh di luar jangkauannya. Alvin memang sudah memperingatkannya, tetapi dia tak menyangka kalau Rio akan menjadi seperti ini. Benar-benar bukan Rio yang dulu pernah dikenalnya.

"Shilla," kata Rio kemudian. "Jangan pernah mikirin aku lagi. Kamu juga harus nerusin hidup kamu. Kamu udah punya cowok, kan?"

Shilla melirik Rio marah membuat Rio nyengir.

"Yah, masa, sih, kamu jomblo terus selama lima tahun," kata Rio lagi.

"Tau nggak, Rio. Hatiku sakit banget, lho, denger kamu ngomong begitu," jawab Shilla membuat cengiran Rio lenyap. "Denger kamu bisa nanya-nanya yang begitu sama aku seolah kamu udah bener-bener ngelupain aku, hatiku sakit banget."

Rio terdiam sesaat. "Sori," kata Rio membuat Shilla menatapnya.

"Rio," kata Shilla. "Kamu suka... cewek itu, ya?"

Rio segera menoleh pada Shilla yang tampak serius. Tahu siapa cewek yang dimaksud, Rio segera mengalihkan pandangannya. Sepertinya percuma saja jika dia berusaha berbohong. Rio mengangguk, pandangannya menerawang langit yang sudah mulai petang. Shilla menghela napas.

"Udah aku kira," kata Shilla. "Apa dia... udah tau, ng... penyakit kamu?"

Rio mengangguk lagi. "Dia udah tau dan dia bisa terima," jawab Rio membuat Shilla mengangguk-angguk.

"Aku kagum sama dia," ujar Shilla, matanya jauh menerawang. "Aku dulu... bodoh, ya?"

"Shilla," tegur Rio membuat Shilla tersenyum.

"Rio, aku bener-bener minta maaf," kata Shilla lagi. "Aku tau ini mungkin udah sangat terlambat, tapi kapan pun kamu ngebutuhin aku, aku nggak akan lari lagi."

"Thanks." Rio tersenyum pada Shilla.

Mereka kemudian menghabiskan petang itu dalam diam.



***



Ify melangkahkan kakinya ke atas tangga, berharap setengah mati kalau Rio tidak ada. Mata Ify sudah bengkak karena terlalu banyak menangis di kost Shilla tadi, dan Rio adalah makhluk terakhir yang ingin dilihatnya.

Baru ketika Ify muncul di tangga, Rio baru kembali dari kamar mandi dengan handuk tersampir di lehernya. Ify menatap Rio marah, dan berjalan menuju kamarnya. Rio menatap Ify yang tampak enggan menatapnya balik.

"Jadi, yang tadi itu yang namanya Gabriel, ya?" sindir Ify, tak tahan untuk tidak bertanya. Rio tampak tak berekspresi. Dia bersandar di dinding sambil menatap Ify malas.

"Namanya Ashilla Zahrantiara." Jawaban Rio membuat Ify melotot. Ify refleks mengambil sepatu dan melempar Rio dengan sepatu itu. Rio bahkan tidak mengelak. Air mata Ify sekarang sudah jatuh lagi.

"Kamu kejam! Aku bahkan nggak mau tau siapa namanya!" sahut Ify emosi. Rio hanya menatapnya.

Rio mengambil sepatu yang tadi dilempar Ify, dan meletakkannya kembali ke rak sepatu. Dia menghela napas, berusaha menatap ke arah lain selain Ify yang sedang menatapnya marah.

"Kenapa, sih, kamu bohong terus?" tanya Ify lagi, hampir menjerit. "Kenapa kamu harus sekejam ini sama aku? Kenapa, Rio?"

"Sori," kata Rio membuat Ify menatapnya tajam. "Gue nggak bermaksud nyakitin..."

"Nggak bermaksud?" ulang Ify tak percaya. "Nggak bermaksud kamu bilang? Kamu pakai segala cara buat ngejauhin aku dari kamu!"

Rio terdiam, sementara Ify sudah memukul-mukulinya sambil terisak.

"Kenapa kamu harus bilang kalau kamu gay? Kenapa kamu seneng banget nyakitin aku?" seru Ify lagi. "Kalo kamu emang segitu nggak sukanya sama aku, kenapa nggak bilang terus terang?"

"Gue nggak suka sama lo!" sahut Rio membuat Ify terdiam dan berhenti memukulinya. Rio menatapnya serius. "Lo mau gue bilang itu, kan? Gue bilang sekarang, gue nggak suka sama lo. Gue udah kasih peringatan dari awal, kan? Tapi, lo tetep mau tau urusan gue. Gue nggak tau lagi gimana caranya supaya lo menjauh dari gue, dan terus terang aja, gue nggak tega ngomong langsung kalo gue nggak suka sama cewek yang selalu ingin ikut campur urusan orang lain kayak lo!"

Rio tersengal setelah mengatakan semua itu pada Ify. Ify menatap Rio tanpa berkedip, membuat air matanya mengalir makin deras.

"Rio," ujar Ify kemudian. "Kamu bisa lebih kejam lagi dari ini?"

Rio terdiam menatap Ify yang sudah gemetar.

"Maaf, Ify. Tapi, Shilla adalah satu-satunya cewek buat gue. Dari dulu sampai sekarang, cuma dia yang ada di hati gue. Nggak akan ada yang bisa menggantikan dia," kata Rio membuat Ify tersenyum miris.

"Rio... Kenapa kamu nggak sekalian bunuh aku?" kata Ify getir, membuat Rio terdiam. "Kenapa, Mario... Kenapa kamu harus datang ke sini? Kenapa? Kenapa aku bisa kenal sama kamu?"

Ify berderap menuju kamarnya, bergerak masuk dan membanting pintunya. Rio hanya bisa menatapnya tanpa mampu berbuat banyak. Misi berhasil. Sekarang yang harus Rio lakukan adalah pergi secepatnya dari kost ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar