Selasa, 26 Juni 2012

Will You Marry Me? - Part 6

“Tunggu-tunggu, gue tahu.” Pernyataan Alvin membuat dua cewek di depannya mengalihkan pandangan kepadanya. “Kalo nggak salah nih, SMA Teitan tuh sekolah swasta internasional. Bahkan mulai kelas dua, bahasa pengantarnya bahasa Inggris.”

“Serius lo, Vin?” Ify dan Prissy berkata serempak.

“More than serious,” jawab Alvin sok ke-Inggris-inggrisan. Padahal pelajaran bahasa Inggris-nya nggak ada yang dapat enam, hampir selalu lima.

“Jangan sok deh, Vin. Ntar ternyata itu Cuma khayalan lo aja, lagi,” komentar Prissy.

“E... dengerin dulu!” Cowok berpotongan rambut bros itu mencoba tetap tenang. “Gue tuh ngomong gini karena ada teman SMP gue yang juga sekolah di sana.”

Ify dan Prissy bertukar pandang, tapi keduanya sepakat untuk mendengarkan penjelasan Alvin.

“Namanya Zahra. Dia murid teladan di SMP gue dulu. Terus, pas penjaringan beasiswa, dia lolos dan berhak masuk SMA Teitan,” Alvin mulai cerita. “Waktu itu gue sempat penasaran, kayak gimana sih yang namanya SMA Teitan. Gue juga baru denger. Dari situ gue akhirnya tanya-tanya ke Zahra, dan dia jelasin dengan gamblang.”

“SMA Teitan tuh bertaraf internasional. Mulai kelas dua, bahasa pengantarnya bahasa Inggris. SMA ini impian gue sejak lama. Soalnya kalo gue bisa mempertahankan beasiswa gue sampai kelas tiga, gue punya peluang dapat beasiswa ke luar negeri. Begitu lulus gue langsung bisa kerja di tempat yang udah ditunjuk sekolah.”

“Sehebat itu? Pastinya sekolahnya bonafide abis, ya?” tanya Alvin waktu itu.

“Gue pernah ke sana sekali, pas ujian beasiswa. Dan gue nggak pernah bayangin ada sekolah sebesar itu di kota kita. Fasilitasnya lebih dari komplet. Kelasnya luas dan ber-AC, dengan layar proyektor sebagai pengganti papan tulis. Perpustakaan dengan sistem komputer, dan berjuta buku berderet rapi di rak-rak yang besar dan panjang. Ada loker-loker pribadi untuk siswa, sampai kolam renang dan lapangan tenis juga ada. Pokoknya superlengkap deh.” (kayak sekolah Zahra yg asli ya? Di Binus wkwk)

“Yang bener, Vin? Kok gue bisa sampai nggak tau ada sekolah sebonafide itu dikota ini?!” Ify tampak nggak percaya.

“Itu saking bonafidenya tuh sekolah. Dan juga karena penghuninya tertutup terhadap dunia luar,” terang Alvin.

“Maksudnya?” Prissy lagi-lagi mengerutkan dahi.

“Mayoritas yang sekolah di sana kaum borjuis, makanya Cuma masyarakat kelas atas yang tau tentang sekolah itu.”

“Wah, itu berarti Rio borjuis dong?”Prissy berkata sambil menyenggol lengan Ify jail. Sementara yang disenggol Cuma balas memandang tanpa ekspresi.

“Belum tentu juga sih. Soalnya setahu gue, Zahra tuh bukan dari keluarga borju. Ayahnya aja satpam swalayan. Cuma... otaknya encer,” Alvin kembali menjelaskan. Dia merasa istimewa hari itu, soalnya semua keterangan berasal dari dirinya.

“Kalo begitu bisa disimpulkan, manusia yang sekolah di SMA Teitan ada dua golongan, kaum borjuis dan kaum intelektual, alias, manusia supercerdas.” Kesimpulan Prissy mendapat acungan jempol dari kekasihnya itu. (berharap Alvin sm Prissy kaya gini *eh)

“Seratus untuk my dear,” katanya sambil mengerling kekasihnya. “Dan percayalah, manusia supercerdas kayak Zahra, misalnya, harus terus mempertahankan prestasinya. Soalnya, tanpa beasiswa, bahkan kita sekalipun nggak bakal sanggup membayar uang sekolahnya,” tambah Alvin.

“Wah, terus gimana caranya kita nyelidikin Rio? Masa sih kita mesti ke sekolahnya yang kata lo tertutup itu? Atau, kita tanya temen lo aja? Siapa tadi namanya? Zahra?”

“Iya Cinta, Zahra namanya. Sayangnya... gue udah kehilangan jejak dia.” Mendengar itu semangat Prissy dan Ify langsung surut.

“Sama juga boong dong!” gumam Ify.

“Eh, tunggu, tunggu. Kenapa kita nggak ke sana aja?” kata Prissy tiba-tiba.

“Ke sana? Ke mana?” tanya Alvin linglung.

“Ya ke SMA Teitan lah. Ke mana lagi? Pasar?!” Wajah Prissy kembali bersemangat.

“Ha... lo gila ya?” Alvin teriak spontan.

“Emangnya kenapa? Kita kan bisa tanya sama siapa kek kalo kita lagi cari Zahra.”

“Lo kira SMA Teitan itu kecil, sampai lo bisa tanya ke sembarang orang kalo lo lagi nyari Zahra? Emang Zahra selebriti sampai semua orang kenal? Belum lagi kalo si Zahra udah pulang, bisa jadi topeng monyet kita. Lagian, emang lo tau di mana SMA Teitan?” protes Alvin abis-abisan.

“Kirain lo tau di mana letaknya SMA Teitan!” Prissy kembali terdiam, berpikir.

“Teman-teman,” suara Ify tiba-tibe terdengar ragu. “Apa sebaiknya rencana ini kita urungkan aja? Perasaaan gue nggak enak nih. Lagian lusa kan ultah gue. Walaupun nggak ada perayaan spesial, gue nggak mau denger berita buruk di sweet seventeen gue. Gue udah puas kok dengan Rio yang sekarang,” tambahnya lirih.

“Ah, kenapa kita nggak tanya Kak Iyel aja?” Prissy menjentikkan kedua jarinya dan bangkit menuju kamar Gabriel tanpa memedulikan keluh-kesah Ify.

“Fy...” Alvin kelihatan bingung harus bagaimana, karena dia tahu kegalauan jelas tergambar di mata Ify.

Namun Ify hanya tersenyum sambil berkata lirih, “Nggak papa, Vin. Kita ikutin Prissy aja yuk.”

Tanpa dikomando lagi mereka pun beranjak mengikuti Prissy.

“Apaan sih lo, senyum-senyum sendiri? Lupa minum obat, ya?” suara Gabriel terdengar cukup jelas dari balik pintu tempat Ify dan Alvin berdiri.

“Yah... Kakak. Prissy kan senyum khusus buat Kakak, kok malah dikira lupa minum obat sih?” Prissy merayu Gabriel yang sedang sibuk dengan tugas kuliahnya.

“Heh... nggak usah basa-basi deh, bilang aja lo mau apa, gue lagi sibuk nih.”

“Kakak tau aja!” Prissy tersenyum senang. “Gini, Kak, sebenarnya yang mau tanya tuh Ify. Tapi dia malu, Kak.” Untung Prissy tidak melihat pelototan Ify di balim pintu, jadi dia bisa meneruskan sandiwaranya. “Ify mau ketemu Rio, Kak, ada hal penting yang mesti diomongin. Tapi HP-nya nggak aktif, padahal Rio udah bilang nggak bisa ke sini dua hari ini. kak Iyel punya nggak nomor telepon rumahnya?” pancing Prissy cerdik.

“Nggak, gue nggak tahu nomor telepon rumahnya,” jawab Gabriel masih sibuk.

“Yah... terus gimana dong? Padahal penting banget nih, Kak.” Prissy pura-pura kebingungan.

“Cari aja di sekolahnya,” sahut Gabriel singkat.

“Wah, bener juga ya, Kak.” Prissy melonjak senang seakan baru saja mendapat masukan yang brilian. Padahal semua sudah direncanakan. “Kakak memang jenius. Tapi... kita kan nggak tahu di mana SMA Teitan, Kak.” Prissy tertunduk lesu, walau diam-diam melirik, penasaran dengan reaksi Gabriel selanjutnya.

Gabriel memutar kursi belajarnya menghadap ke Prissy. “Kalo kampus gue, lo tahu nggak?”

“He-eh.” Prissy mengangguk penuh semangat. “Emang deket ya, sama kampus Kak Iyel?” Prissy balik bertanya.

“Yah... paling...” Gabriel mengira-ngira sebentar. “Seratus meteranlah dari kampus gue,” jelasnya.

“Trus gimana caranya nyari Rio, Kak? Masa mesti tanya sama semua orang? Kan nggak lucu.”

“Heh, di SMA lo aja ada pos satpamnya, apalagi di SMA Teitan. Di sana pos satpamnya dilengkapi komputer yang memuat data seluruh warganya. Jadi kalo ada tamu mereka tinggal mencari data orang yang dicari dan mengumumkan lewat interkom, di ruangan mana orang itu berada. Kalo nggak ada tanggapan, baru mereka mengumumkan ke ruang umum, seperti kantin, perpustakaan, taman sekolah, atau ruang ekstrakurikuler,” jelas Gabriel panjang-lebar.

“Darimana kita tahu orang yang kita cari ada di tempat apa nggak?” Prissy masih belum puas dengan info yang didengarnya.

“Jelas tahu dong!” Beruntung Gabriel sabar menghadapi teman adiknya yang cerewet ini. “Siapa aja yang merasa namanya dipanggil, wajib menjawab panggilan lewat interkom yang tersedia di seluruh ruangan di SMA Teitan. Dan mereka boleh menentukan mau bertemu di mana dengan tamu mereka. Nah, kalo dalam sepuluh menit nggak ada respons, berarti orang yang dicari nggak ada, atau bisa jadi nggak mau ketemu. Tapi kelas tiga kayaknya ada kelas sore, jadi Rio paling pulangnya maghrib.”

“Wah, Kak Iyel serbatahu, ya. Jangan-jangan Kak Iyel sering kencan sama Rio disekolahnya, lagi,” goda Prissy puas.

“Enak aja, gue masih normal, tau. Ngapain cari-cari Rio? Mending gue nyamperin Siv... eh... udah deh, sana, sana, gue masih banyak tugas nih!” potong Gabriel tersipu, cepat-cepat dia memutar kursinya ke posisi semula untuk menutupi wajahnya yang merah.

“Siv.. Siv siapa, Kak?” goda Prissy usil. Serta-merta Gabriel meliriknya supertajam, membuat Prissy mundur perlahan-lahan dari hadapan cowok sok cuek yang baik hati itu. “Makasih, Kak,” ucapnya seraya tersenyum terpaksa. Dan menambahi, “Besok kita sampein salam Kakak buat Siv deh...” godanya, begitu aman di balik pintu.

Gabriel hanya bisa teriak sebal dari tempatnya duduk. “Prissy... awas lo ya...”

“He... he... dapat!” ujar Prissy kepada dua manusia yang memandangnya terperangah, tak percaya dengan apa yang telah dilakukannya. “Apaan sih? Besok kita tinggal berangkat. Kalian dengar sendiri kan penjelasan Kak Iyel.”

“Tapi, Pris... Ify...” Alvin melirik sekilas sahabatnya yang diikuti tatapan penasaran Prissy.

Ify memandang kedua sahabatnya bergantian, lalu tersenyum. “Gue mau kedudukan gue dan Rio seimbang. Dia tau soal gue, gue juga harus tau siapa dia.”

“Artinya...”

“Kita berangkat!” kata Ify yakin.

“Yes!” Prissy bersorak kegirangan. “Itu baru sohib gue,” tambahnya seraya merangkul Ify. “Oke, selanjutnya kita susun rencana ke SMA Teitan.” Dasar Prissy, dia memang paling getol urusan beginian.



@@@@@



“TARAAAA...! Tibalah saat penyelidikan...!!!” teriak Prissy yang tampak begitu bersemangat siang itu. Sepanjang jam pelajaran dia udah nggak konsen, sampai-sampai dia ditegur beberapa guru karena cengengesan sendiri.

Prissy memang begitu, paling suka sama yang namanya teka-teki. Makanya jangan heran kalo Prissy-lah yang paling bersemangat dengan rencana penyelidikan hari ini.

Alvin Cuma geleng-geleng melihat tingkah pujaan hatinya, sementara seharian itu Ify tiba-tiba jadi gadis pendiam.

“Fy, kalo lo emang nggak yakin, mending lo nggak usah ikut aja. Biar gue sama Prissy aja yang maju. Lo terima beres aja. Gimana?” Alvin jadi khawatirmelihat kondisi teman mungilnya. Tapi dia juga nggak tega kalau rencana ini harus batal. Siapa coba yang tega melihat kekasih hati kecewa lantaran rencananya batal dilaksanakan?

“Makasih, Vin. Tapi gue lebih suka tau sendiri daripada denger dari orang lain. Jadi, maaf aja kalo gue harus ganggu acara kalian berdua.” Alvin tersenyum mendengarnya.

Semoga ini bisa jadi awal yang indah buat lo, Fy, batinnya.

Mereka berangkat dengan mobil bokap Alvin. Dan berkat petunjuk Gabriel, akhirnya mereka sampai juga di depan gedung megah dengan plakat besar bertuliskan SMA TEITAN INTERNASIOANAL.

“Gila, ini sekolah apa hotel?” ucap Prissy kagum.

“Lo nggak salah berhenti, kan, Vin?” akhirnya suara Ify terdengar juga setelah sekian lama hilang ditelan keraguannya sendiri.

“Kata Kak Iyel, jam segini harusnya mereka sudah pulang. Kecuali yang ikut kelas sore dan ekstrakulikuler,” kata Prissy.

“Jadi Rio belum pulang, ya?” tanya Ify setengah melamun.

Prissy angkat bahu. “Kenapa lo nggak tanya langsung aja ke dia? Kan elo pacarnya, bukan gue.”

“Sial!” Ify mencubit Prissy. Paling tidak, candaan Prissy membuatnya lebih santai.

“Hei, jadi nggak nih?” tanya Alvin. “Tuh, pos satpamnya di sana.”

“Oke, kita beraksi sekarang. Kita coba tanyakan apa temen lo yang namanya Zahra itu ada dan mau ketemuan ama kita apa nggak. Baru setelah itu kita korek keterangan dari dia,” Prissy memberi komando.

“Kenapa kita nggak tanya langsung aja ke Pak Satpam tentang Rio?” tanya Ify, masih belum yakin juga dengan keputusannya datang ke sekolah elite yang baginya terlihat menakutkan daripada kesan mewah yang ditampilkan bangunan itu.

“Bisa aja sih, tapi paling kita Cuma dikasih tahu di mana kelasnya dan akan dihubungkan sama dia. Mau ketahuan sebelum dapat info apa-apa?” timpal Prissy santai.

Ify dan Alvin menggeleng bersamaan.

“Ya udh, tunggu apa lagi? Ayo, masuk.” Tanpa menunggu Prissy berkata dua klai, mereka langsung bergerak.

Baru sampai di pos satpam, mereka sudah melongo nggak percaya. Ruangan itu tampak sangat besar dan luas. Ada beberapa satpam perempuan di depan komputer, dan satpam laki-laki di layanan tamu. Persis yang digambarkan Gabriel.

Alvin yang kejatuhan tugas bertanya tentang Zahra. Satpam di depan komputer langsung sibuk dengan data-datanya, sebelum akhirnya menjawab, “Nona Zahra Damariva, kelas II BAHASA B. Anda mau menemuinya di mana?”

“Kalo di sini bisa?” tanya Alvin.

“Tunggu sebentar.” Pak Satpam mengangkat pesawat telepon. Sesaat dia berbicara dengan seseorang. “Maaf, nama Anda?” tanyanya pada Alvin tanpa menutup telepon.

“Alvin, Alvin Jonathan Sindunata.”

Satpam itu kembali berkutat dengan teleponnya. Beberapa menit kemudian dia menutup gagang telepon dan kembali berjalan ke arah Alvin yang berdiri di depan posnya.

“Anda diminta ke kantin,” katanya. Kemudian ditunjukkannya arah menuju kantin.

“Terima kasih ya, Pak. Selamat siang.” Alvin segera mengajak Prissy dan Ify masuk ke pintu gerbang superbesar.

“Vin, temen lo itu nunggu dimana?” Ify berjalan menjejeri Alvin di sebelah kirinya.

“Kantin.”

“Lo yakin tau tempatnya?” Prissy yang juga menjejeri langkah Alvin di sebelah kanan, tampak menengok ke kanan-kiri. Koridor sekolah penuh loker. Dia bahkan menyempatkan diri melongok ke satu ruang kelas yang kosong dan terpukau beberapa saat. Kalau Alvin tidak berinisiatif menariknya, Prissy pasti tetap nyangkut di kelas itu.

“Gila, sama persis dengan yang digambarkan temen lo itu, Vin. Tapi dia lupa bilang kalo kursinya sistem individu. Kayak ruang kuliahan aja. Kerenan ini, malah. Kelasnya dingin ya.” Prissy tak henti-hentinya berdecak kagum.

Alvin dan Ify nggak bisa lagi menahan keingintahuan dan kekagumam Prissy. Terus terang, mereka pun sama kagumnya.

Makanya pas Prissy lagi-lagi melongok ke ruangan bertuliskan LIBRARY, baik Ify maupun Alvin ikut-ikutan takjub. “Temen lo pinter banget mendeskripsikan yang dilihatnya,” kata Prissy saat melihat perpustakaan dengan mata kepalanya sendiri.

“Hei, bukannya kantin di sebelah sana?” Ify menunjuk kerumunan anak yang mengenakan seragam sama seperti yang dipakai Rio. Alvin dan Prissy memandang arah yang ditunjuk Ify.

“Bukan, Fy, tapi di belakangnya. Yang lo tunjuk itu taman sekolah,” ujar Alvin. Tempat itu sangat luas dan dipenuhi pepohonan rindang dan teduh yang dilengkapi bangku-bangku panjang yang kelihatannya memang disediakan untuk beristirahat.

Tak jauh dari taman itu tampak gubuk-gubuk berpayung besar yang ternyata konter-konter yang menawarkan berbagai hidangan mulai dari makanan asli Indonesia sampai yang berasal dari negeri Paman Sam.

Iiihh, jadi berasa di mal deh, pikir Prissy.

Mereka baru tersadar telah menjadi pusat perhatian saat Alvin menyenggol tangan mereka. Tatapan meremehkan membuat mereka tertunduk.

“Ada alien kesasar nih!” celetuk seseorang.

“Jangan-jangan mereka lagi nyari sumbangan. Harus ada yang ngasih tau tuh, di sini sekolahan, bukan perusahaan,” sambung yang lain.

Tiga sahabat itu hanya bisa terdiam. Ify, yang paling kelihatan minder, berbisik pelan ke Alvin, “Vin, temen lo mana sih?”

“Iya, mana sih temen lo? Dan sebaiknya dia ramah ya, atau gue bakal ngamuk di sini!” tambah Prissy sambil ikutan berbisik.

Alvin tak berani menjawab. Dia sendiri ragu apakah Zahra yang sekarang sama dengan Zahra yang dulu dikenalnya. Bahkan seorang yang ramah pun bisa berubah total menjadi sombong dan nggak pedulian kalau berada di lingkungan kayak begini.

“Vin, Alvin!” suara itu berasal dari belakang mereka.





BERSAMBUNG..................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar