“Tunggu-tunggu, gue tahu.” Pernyataan Alvin membuat dua cewek di
depannya mengalihkan pandangan kepadanya. “Kalo nggak salah nih, SMA
Teitan tuh sekolah swasta internasional. Bahkan mulai kelas dua, bahasa
pengantarnya bahasa Inggris.”
“Serius lo, Vin?” Ify dan Prissy berkata serempak.
“More than serious,” jawab Alvin sok ke-Inggris-inggrisan. Padahal
pelajaran bahasa Inggris-nya nggak ada yang dapat enam, hampir selalu
lima.
“Jangan sok deh, Vin. Ntar ternyata itu Cuma khayalan lo aja, lagi,” komentar Prissy.
“E... dengerin dulu!” Cowok berpotongan rambut bros itu mencoba
tetap tenang. “Gue tuh ngomong gini karena ada teman SMP gue yang juga
sekolah di sana.”
Ify dan Prissy bertukar pandang, tapi keduanya sepakat untuk mendengarkan penjelasan Alvin.
“Namanya Zahra. Dia murid teladan di SMP gue dulu. Terus, pas
penjaringan beasiswa, dia lolos dan berhak masuk SMA Teitan,” Alvin
mulai cerita. “Waktu itu gue sempat penasaran, kayak gimana sih yang
namanya SMA Teitan. Gue juga baru denger. Dari situ gue akhirnya
tanya-tanya ke Zahra, dan dia jelasin dengan gamblang.”
“SMA Teitan tuh bertaraf internasional. Mulai kelas dua, bahasa
pengantarnya bahasa Inggris. SMA ini impian gue sejak lama. Soalnya kalo
gue bisa mempertahankan beasiswa gue sampai kelas tiga, gue punya
peluang dapat beasiswa ke luar negeri. Begitu lulus gue langsung bisa
kerja di tempat yang udah ditunjuk sekolah.”
“Sehebat itu? Pastinya sekolahnya bonafide abis, ya?” tanya Alvin waktu itu.
“Gue pernah ke sana sekali, pas ujian beasiswa. Dan gue nggak pernah
bayangin ada sekolah sebesar itu di kota kita. Fasilitasnya lebih dari
komplet. Kelasnya luas dan ber-AC, dengan layar proyektor sebagai
pengganti papan tulis. Perpustakaan dengan sistem komputer, dan berjuta
buku berderet rapi di rak-rak yang besar dan panjang. Ada loker-loker
pribadi untuk siswa, sampai kolam renang dan lapangan tenis juga ada.
Pokoknya superlengkap deh.” (kayak sekolah Zahra yg asli ya? Di Binus
wkwk)
“Yang bener, Vin? Kok gue bisa sampai nggak tau ada sekolah sebonafide itu dikota ini?!” Ify tampak nggak percaya.
“Itu saking bonafidenya tuh sekolah. Dan juga karena penghuninya tertutup terhadap dunia luar,” terang Alvin.
“Maksudnya?” Prissy lagi-lagi mengerutkan dahi.
“Mayoritas yang sekolah di sana kaum borjuis, makanya Cuma masyarakat kelas atas yang tau tentang sekolah itu.”
“Wah, itu berarti Rio borjuis dong?”Prissy berkata sambil menyenggol
lengan Ify jail. Sementara yang disenggol Cuma balas memandang tanpa
ekspresi.
“Belum tentu juga sih. Soalnya setahu gue, Zahra tuh bukan dari
keluarga borju. Ayahnya aja satpam swalayan. Cuma... otaknya encer,”
Alvin kembali menjelaskan. Dia merasa istimewa hari itu, soalnya semua
keterangan berasal dari dirinya.
“Kalo begitu bisa disimpulkan, manusia yang sekolah di SMA Teitan
ada dua golongan, kaum borjuis dan kaum intelektual, alias, manusia
supercerdas.” Kesimpulan Prissy mendapat acungan jempol dari kekasihnya
itu. (berharap Alvin sm Prissy kaya gini *eh)
“Seratus untuk my dear,” katanya sambil mengerling kekasihnya. “Dan
percayalah, manusia supercerdas kayak Zahra, misalnya, harus terus
mempertahankan prestasinya. Soalnya, tanpa beasiswa, bahkan kita
sekalipun nggak bakal sanggup membayar uang sekolahnya,” tambah Alvin.
“Wah, terus gimana caranya kita nyelidikin Rio? Masa sih kita mesti
ke sekolahnya yang kata lo tertutup itu? Atau, kita tanya temen lo aja?
Siapa tadi namanya? Zahra?”
“Iya Cinta, Zahra namanya. Sayangnya... gue udah kehilangan jejak dia.” Mendengar itu semangat Prissy dan Ify langsung surut.
“Sama juga boong dong!” gumam Ify.
“Eh, tunggu, tunggu. Kenapa kita nggak ke sana aja?” kata Prissy tiba-tiba.
“Ke sana? Ke mana?” tanya Alvin linglung.
“Ya ke SMA Teitan lah. Ke mana lagi? Pasar?!” Wajah Prissy kembali bersemangat.
“Ha... lo gila ya?” Alvin teriak spontan.
“Emangnya kenapa? Kita kan bisa tanya sama siapa kek kalo kita lagi cari Zahra.”
“Lo kira SMA Teitan itu kecil, sampai lo bisa tanya ke sembarang
orang kalo lo lagi nyari Zahra? Emang Zahra selebriti sampai semua orang
kenal? Belum lagi kalo si Zahra udah pulang, bisa jadi topeng monyet
kita. Lagian, emang lo tau di mana SMA Teitan?” protes Alvin
abis-abisan.
“Kirain lo tau di mana letaknya SMA Teitan!” Prissy kembali terdiam, berpikir.
“Teman-teman,” suara Ify tiba-tibe terdengar ragu. “Apa sebaiknya
rencana ini kita urungkan aja? Perasaaan gue nggak enak nih. Lagian lusa
kan ultah gue. Walaupun nggak ada perayaan spesial, gue nggak mau
denger berita buruk di sweet seventeen gue. Gue udah puas kok dengan Rio
yang sekarang,” tambahnya lirih.
“Ah, kenapa kita nggak tanya Kak Iyel aja?” Prissy menjentikkan
kedua jarinya dan bangkit menuju kamar Gabriel tanpa memedulikan
keluh-kesah Ify.
“Fy...” Alvin kelihatan bingung harus bagaimana, karena dia tahu kegalauan jelas tergambar di mata Ify.
Namun Ify hanya tersenyum sambil berkata lirih, “Nggak papa, Vin. Kita ikutin Prissy aja yuk.”
Tanpa dikomando lagi mereka pun beranjak mengikuti Prissy.
“Apaan sih lo, senyum-senyum sendiri? Lupa minum obat, ya?” suara
Gabriel terdengar cukup jelas dari balik pintu tempat Ify dan Alvin
berdiri.
“Yah... Kakak. Prissy kan senyum khusus buat Kakak, kok malah dikira
lupa minum obat sih?” Prissy merayu Gabriel yang sedang sibuk dengan
tugas kuliahnya.
“Heh... nggak usah basa-basi deh, bilang aja lo mau apa, gue lagi sibuk nih.”
“Kakak tau aja!” Prissy tersenyum senang. “Gini, Kak, sebenarnya
yang mau tanya tuh Ify. Tapi dia malu, Kak.” Untung Prissy tidak melihat
pelototan Ify di balim pintu, jadi dia bisa meneruskan sandiwaranya.
“Ify mau ketemu Rio, Kak, ada hal penting yang mesti diomongin. Tapi
HP-nya nggak aktif, padahal Rio udah bilang nggak bisa ke sini dua hari
ini. kak Iyel punya nggak nomor telepon rumahnya?” pancing Prissy
cerdik.
“Nggak, gue nggak tahu nomor telepon rumahnya,” jawab Gabriel masih sibuk.
“Yah... terus gimana dong? Padahal penting banget nih, Kak.” Prissy pura-pura kebingungan.
“Cari aja di sekolahnya,” sahut Gabriel singkat.
“Wah, bener juga ya, Kak.” Prissy melonjak senang seakan baru saja
mendapat masukan yang brilian. Padahal semua sudah direncanakan. “Kakak
memang jenius. Tapi... kita kan nggak tahu di mana SMA Teitan, Kak.”
Prissy tertunduk lesu, walau diam-diam melirik, penasaran dengan reaksi
Gabriel selanjutnya.
Gabriel memutar kursi belajarnya menghadap ke Prissy. “Kalo kampus gue, lo tahu nggak?”
“He-eh.” Prissy mengangguk penuh semangat. “Emang deket ya, sama kampus Kak Iyel?” Prissy balik bertanya.
“Yah... paling...” Gabriel mengira-ngira sebentar. “Seratus meteranlah dari kampus gue,” jelasnya.
“Trus gimana caranya nyari Rio, Kak? Masa mesti tanya sama semua orang? Kan nggak lucu.”
“Heh, di SMA lo aja ada pos satpamnya, apalagi di SMA Teitan. Di
sana pos satpamnya dilengkapi komputer yang memuat data seluruh
warganya. Jadi kalo ada tamu mereka tinggal mencari data orang yang
dicari dan mengumumkan lewat interkom, di ruangan mana orang itu berada.
Kalo nggak ada tanggapan, baru mereka mengumumkan ke ruang umum,
seperti kantin, perpustakaan, taman sekolah, atau ruang
ekstrakurikuler,” jelas Gabriel panjang-lebar.
“Darimana kita tahu orang yang kita cari ada di tempat apa nggak?” Prissy masih belum puas dengan info yang didengarnya.
“Jelas tahu dong!” Beruntung Gabriel sabar menghadapi teman adiknya
yang cerewet ini. “Siapa aja yang merasa namanya dipanggil, wajib
menjawab panggilan lewat interkom yang tersedia di seluruh ruangan di
SMA Teitan. Dan mereka boleh menentukan mau bertemu di mana dengan tamu
mereka. Nah, kalo dalam sepuluh menit nggak ada respons, berarti orang
yang dicari nggak ada, atau bisa jadi nggak mau ketemu. Tapi kelas tiga
kayaknya ada kelas sore, jadi Rio paling pulangnya maghrib.”
“Wah, Kak Iyel serbatahu, ya. Jangan-jangan Kak Iyel sering kencan sama Rio disekolahnya, lagi,” goda Prissy puas.
“Enak aja, gue masih normal, tau. Ngapain cari-cari Rio? Mending gue
nyamperin Siv... eh... udah deh, sana, sana, gue masih banyak tugas
nih!” potong Gabriel tersipu, cepat-cepat dia memutar kursinya ke posisi
semula untuk menutupi wajahnya yang merah.
“Siv.. Siv siapa, Kak?” goda Prissy usil. Serta-merta Gabriel
meliriknya supertajam, membuat Prissy mundur perlahan-lahan dari hadapan
cowok sok cuek yang baik hati itu. “Makasih, Kak,” ucapnya seraya
tersenyum terpaksa. Dan menambahi, “Besok kita sampein salam Kakak buat
Siv deh...” godanya, begitu aman di balik pintu.
Gabriel hanya bisa teriak sebal dari tempatnya duduk. “Prissy... awas lo ya...”
“He... he... dapat!” ujar Prissy kepada dua manusia yang
memandangnya terperangah, tak percaya dengan apa yang telah
dilakukannya. “Apaan sih? Besok kita tinggal berangkat. Kalian dengar
sendiri kan penjelasan Kak Iyel.”
“Tapi, Pris... Ify...” Alvin melirik sekilas sahabatnya yang diikuti tatapan penasaran Prissy.
Ify memandang kedua sahabatnya bergantian, lalu tersenyum. “Gue mau
kedudukan gue dan Rio seimbang. Dia tau soal gue, gue juga harus tau
siapa dia.”
“Artinya...”
“Kita berangkat!” kata Ify yakin.
“Yes!” Prissy bersorak kegirangan. “Itu baru sohib gue,” tambahnya
seraya merangkul Ify. “Oke, selanjutnya kita susun rencana ke SMA
Teitan.” Dasar Prissy, dia memang paling getol urusan beginian.
@@@@@
“TARAAAA...! Tibalah saat penyelidikan...!!!” teriak Prissy yang
tampak begitu bersemangat siang itu. Sepanjang jam pelajaran dia udah
nggak konsen, sampai-sampai dia ditegur beberapa guru karena cengengesan
sendiri.
Prissy memang begitu, paling suka sama yang namanya teka-teki.
Makanya jangan heran kalo Prissy-lah yang paling bersemangat dengan
rencana penyelidikan hari ini.
Alvin Cuma geleng-geleng melihat tingkah pujaan hatinya, sementara seharian itu Ify tiba-tiba jadi gadis pendiam.
“Fy, kalo lo emang nggak yakin, mending lo nggak usah ikut aja. Biar
gue sama Prissy aja yang maju. Lo terima beres aja. Gimana?” Alvin jadi
khawatirmelihat kondisi teman mungilnya. Tapi dia juga nggak tega kalau
rencana ini harus batal. Siapa coba yang tega melihat kekasih hati
kecewa lantaran rencananya batal dilaksanakan?
“Makasih, Vin. Tapi gue lebih suka tau sendiri daripada denger dari
orang lain. Jadi, maaf aja kalo gue harus ganggu acara kalian berdua.”
Alvin tersenyum mendengarnya.
Semoga ini bisa jadi awal yang indah buat lo, Fy, batinnya.
Mereka berangkat dengan mobil bokap Alvin. Dan berkat petunjuk
Gabriel, akhirnya mereka sampai juga di depan gedung megah dengan plakat
besar bertuliskan SMA TEITAN INTERNASIOANAL.
“Gila, ini sekolah apa hotel?” ucap Prissy kagum.
“Lo nggak salah berhenti, kan, Vin?” akhirnya suara Ify terdengar juga setelah sekian lama hilang ditelan keraguannya sendiri.
“Kata Kak Iyel, jam segini harusnya mereka sudah pulang. Kecuali yang ikut kelas sore dan ekstrakulikuler,” kata Prissy.
“Jadi Rio belum pulang, ya?” tanya Ify setengah melamun.
Prissy angkat bahu. “Kenapa lo nggak tanya langsung aja ke dia? Kan elo pacarnya, bukan gue.”
“Sial!” Ify mencubit Prissy. Paling tidak, candaan Prissy membuatnya lebih santai.
“Hei, jadi nggak nih?” tanya Alvin. “Tuh, pos satpamnya di sana.”
“Oke, kita beraksi sekarang. Kita coba tanyakan apa temen lo yang
namanya Zahra itu ada dan mau ketemuan ama kita apa nggak. Baru setelah
itu kita korek keterangan dari dia,” Prissy memberi komando.
“Kenapa kita nggak tanya langsung aja ke Pak Satpam tentang Rio?”
tanya Ify, masih belum yakin juga dengan keputusannya datang ke sekolah
elite yang baginya terlihat menakutkan daripada kesan mewah yang
ditampilkan bangunan itu.
“Bisa aja sih, tapi paling kita Cuma dikasih tahu di mana kelasnya
dan akan dihubungkan sama dia. Mau ketahuan sebelum dapat info apa-apa?”
timpal Prissy santai.
Ify dan Alvin menggeleng bersamaan.
“Ya udh, tunggu apa lagi? Ayo, masuk.” Tanpa menunggu Prissy berkata dua klai, mereka langsung bergerak.
Baru sampai di pos satpam, mereka sudah melongo nggak percaya.
Ruangan itu tampak sangat besar dan luas. Ada beberapa satpam perempuan
di depan komputer, dan satpam laki-laki di layanan tamu. Persis yang
digambarkan Gabriel.
Alvin yang kejatuhan tugas bertanya tentang Zahra. Satpam di depan
komputer langsung sibuk dengan data-datanya, sebelum akhirnya menjawab,
“Nona Zahra Damariva, kelas II BAHASA B. Anda mau menemuinya di mana?”
“Kalo di sini bisa?” tanya Alvin.
“Tunggu sebentar.” Pak Satpam mengangkat pesawat telepon. Sesaat dia
berbicara dengan seseorang. “Maaf, nama Anda?” tanyanya pada Alvin
tanpa menutup telepon.
“Alvin, Alvin Jonathan Sindunata.”
Satpam itu kembali berkutat dengan teleponnya. Beberapa menit
kemudian dia menutup gagang telepon dan kembali berjalan ke arah Alvin
yang berdiri di depan posnya.
“Anda diminta ke kantin,” katanya. Kemudian ditunjukkannya arah menuju kantin.
“Terima kasih ya, Pak. Selamat siang.” Alvin segera mengajak Prissy dan Ify masuk ke pintu gerbang superbesar.
“Vin, temen lo itu nunggu dimana?” Ify berjalan menjejeri Alvin di sebelah kirinya.
“Kantin.”
“Lo yakin tau tempatnya?” Prissy yang juga menjejeri langkah Alvin
di sebelah kanan, tampak menengok ke kanan-kiri. Koridor sekolah penuh
loker. Dia bahkan menyempatkan diri melongok ke satu ruang kelas yang
kosong dan terpukau beberapa saat. Kalau Alvin tidak berinisiatif
menariknya, Prissy pasti tetap nyangkut di kelas itu.
“Gila, sama persis dengan yang digambarkan temen lo itu, Vin. Tapi
dia lupa bilang kalo kursinya sistem individu. Kayak ruang kuliahan aja.
Kerenan ini, malah. Kelasnya dingin ya.” Prissy tak henti-hentinya
berdecak kagum.
Alvin dan Ify nggak bisa lagi menahan keingintahuan dan kekagumam Prissy. Terus terang, mereka pun sama kagumnya.
Makanya pas Prissy lagi-lagi melongok ke ruangan bertuliskan
LIBRARY, baik Ify maupun Alvin ikut-ikutan takjub. “Temen lo pinter
banget mendeskripsikan yang dilihatnya,” kata Prissy saat melihat
perpustakaan dengan mata kepalanya sendiri.
“Hei, bukannya kantin di sebelah sana?” Ify menunjuk kerumunan anak
yang mengenakan seragam sama seperti yang dipakai Rio. Alvin dan Prissy
memandang arah yang ditunjuk Ify.
“Bukan, Fy, tapi di belakangnya. Yang lo tunjuk itu taman sekolah,”
ujar Alvin. Tempat itu sangat luas dan dipenuhi pepohonan rindang dan
teduh yang dilengkapi bangku-bangku panjang yang kelihatannya memang
disediakan untuk beristirahat.
Tak jauh dari taman itu tampak gubuk-gubuk berpayung besar yang
ternyata konter-konter yang menawarkan berbagai hidangan mulai dari
makanan asli Indonesia sampai yang berasal dari negeri Paman Sam.
Iiihh, jadi berasa di mal deh, pikir Prissy.
Mereka baru tersadar telah menjadi pusat perhatian saat Alvin
menyenggol tangan mereka. Tatapan meremehkan membuat mereka tertunduk.
“Ada alien kesasar nih!” celetuk seseorang.
“Jangan-jangan mereka lagi nyari sumbangan. Harus ada yang ngasih
tau tuh, di sini sekolahan, bukan perusahaan,” sambung yang lain.
Tiga sahabat itu hanya bisa terdiam. Ify, yang paling kelihatan minder, berbisik pelan ke Alvin, “Vin, temen lo mana sih?”
“Iya, mana sih temen lo? Dan sebaiknya dia ramah ya, atau gue bakal ngamuk di sini!” tambah Prissy sambil ikutan berbisik.
Alvin tak berani menjawab. Dia sendiri ragu apakah Zahra yang
sekarang sama dengan Zahra yang dulu dikenalnya. Bahkan seorang yang
ramah pun bisa berubah total menjadi sombong dan nggak pedulian kalau
berada di lingkungan kayak begini.
“Vin, Alvin!” suara itu berasal dari belakang mereka.
BERSAMBUNG..................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar