Selasa, 26 Juni 2012

Will You Marry Me? - Part 3

“Lho, bukannya itu Ify?” Prissy menunjuk cewek yang baru turun dari Kawasaki Ninja hitam metalik.

“Hah?! Masa sih? Motor Kak Iyel kan warnanya merah, kok jadi hitam? Apa dituker baru ya?” Alvin yang berangkat bareng Prissy pagi itu ikut menyipitkan mata (padahal aslinya aja udah sipit-_-), menajamkan penglihatan.

Sementara kedua sohibnya merhatiin dari jauh dengan pandangan nggak yakin, Ify buru-buru turun dari boncengan cowok yang nggak lain dan nggak bukan adalah Rio.

Ia tidak mengucapkan salam perpisahan atau terima kasih pada sang pengantar. Ia malah bergegas lari menghampiri dua sohibnya yang masih bengong memandangnya jauh.

“Hi, guys...” sapa Ify seraya memaksakan senyum.

Alvin dan Prissy tak segera menjawab. Mereka masih melongo dan malah berpandang-pandangan. Belum secuil pun pertanyaan terucap dari mulut mereka, Rio yang melihat ketiga sahabat itu berkumpul, menghampiri mereka dengan motornya.

“Hai, kalian pasti Alvin dan Prissy, kan?” sapanya sok akrab. Diulurkannya tangannya tanpa turun dari motor. “Gue Rio. Cowoknya Ify.”

Mulut Alvin dan Prissy menganga mendengar ucapannya. Antara sadar dan nggak, mereka menyambut uluran tangan Rio.

“Udah dulu ya, gue bisa terlambat nih. Nanti kita ketemu lagi. Oke?” Pandangan Rio beralih dari dua sohib Ify ke arah cewek itu. “Berangkat dulu ya, Sayang. Ingat, jangan selingkuh.” Rio tersenyum. Dicubitnya hidung lancip Ify dengan sayang. Ify diam saja sambil memanyunkan mulut, kesal. Rio pun melaju dengan motornya.

“Fy, kayaknya ada yang mesti kita omongin deh,” kata Prissy tanpa lepas memandang kepergian Rio.

“Dan harus dibahas terperinci,” tambah Alvin yang juga masih memandang motor Rio.

Lalu tanpa dikomando keduanya memandang Ify dan berkata bersamaan, “SEKARANG!!”

Ify Cuma bisa pasrah. Dia tahu kedua sohibnya bakal bereaksi seperti itu. Dan dia sudah siap merespons reaksi mereka.

“Gue tahu. Kita bolos jam olahraga, gimana?” tawar Ify yang langsung disetujui kedua sohibnya.

@@@@@

“Hah?!” lagi-lagi mulut Alvin dan Prissy menganga lebar. Dan untuk kesekian kali Ify harus menempelkan telunjuknya ke mulut supaya mereka nggak berisik. Sayang usahanya sia-sia. Petugas UKS menghampiri mereka.

“Kalian sudah baikan?” tanyanya.

“Belum, Pak,” jawab Prissy cepat.

“Kok teriak-teriak?”

“Perut saya sakit lagi, Pak.”

“Kamu biasa minum obat apa? Biar Bapak ambilkan.”

“Terima kasih, Pak. Saya sudah bawa obat sendiri.”

“Lho?! Kalau begitu cepat diminum. Atau Bapak akan mengirim kalian kembali ke lapangan. Ngerti?!”

“Ya, Pak,” ketiganya menjawab serempak. Untungnya Pak UKS percaya bualan Prissy. Dia langsung ngeloyor pergi begitu melihat anggukan kepala ketiga murid itu.

Ada-ada aja! Hanya untuk mendengar cerita Ify, mereka rela nggak ikut jam olahraga. Yang ilang sakit perut jarena lagi datang bulanlah. Jatuh saat basketlah. Dan untungnya, luka Ify pas jatuh Sabtu kemarin masih membekas hingga tak sulit untuk minta izin nggak ikut olahraga.

Dan sekarang mereka asyik ber-story ria di ruang UKS.

“Lo lagi ngarang novel ya, Fy? Bagus. Bisa jadi best seller tuh cerita lo,” komentar Prissy.

“Jangan lupa traktir kita-kita kalo dapet royalti, ya,” Alvin ikut nyambung.

“Kalian kok nggak percaya sih sama gue? Gue serius. Kalo kalian kira gue bohong, terus siapa dong cowok yang nganter gue tadi? Dan ingat, dia langsung tahu nama kalian. Padahal gue belum pernah cerita apa pun soal kalian ke dia.” Ify tampak kesal karena dua sohibnya nggak percaya.

Alvin dan Prissy berpandang-pandangan. “Iya sih,” kata Alvin.

“Tapi cerita lo tuh fiksi banget, gitu loh. Coba aja lo cerita ke semua orang di sekolah kalau lo baru dilamar orang yang sama sekali nggak lo kenal dan tu cowok keren, lagi. lo bakal dicap pembohong besar deh!” tambah Prissy panjang-lebar.

Ify hanya bisa membenarkan kata-kata Prissy. Jangankan dua sohibnya atau orang-orang di sekolah, dia sendiri yang ngalamin belum bisa mempercayai apa yang terjadi.

“Udah, udah. Anggep aja kita sekarang percaya cerita lo, Fy. Masalahnya, apa lo terima gitu aja jadi istri cowok yang nggak jelas asal-usulnya begitu? Lo gila, ya?!” Alvin geleng-geleng kepala.

“Sori, Vin, tapi gue bukan istrisnya. Baru pacarnya. Itu pun terpaksa!” protes Ify cepat.

“Mau istri kek, pacar kek, terserah. Tapi kenapa lo mau?”

“Denger dulu dong! Lo masih ingat perjanjian gue sama Rio, kan? Itu lho, tentang bisa nggak dia naklukin Bunda. Nah, ternyata...”

@@@@@

Ify sudah sangat senang ketika akhirnya ia melihat pagar rumahnya terbuka lebar. Bersiaplah untuk pergi secara tidak terhormat, cowok lancang, batinnya penuh semangat.


“Bunda...” Ify memanggil Bunda yang duduk-duduk di teras depan rumahnya.

“Lho, Fy? Kamu kenapa sampai gendongan begitu?” tanya Bunda seraya menghampiri Ify dan Rio.

“Ini nih, Bunda, orang ini yang...”

“Ify, nggak baik menyebut pacar sendiri dengan sebutan orang ini. kasihan kan Nak Rio. Dia sudah nunggu kamu dari tadi, e... kamunya nggak pulang-pulang. Giliran dijemput, kamu malah marah-marah. Apa karena Nak Rio jemputnya jalan kaki terus kamu marah? Tuh, motornya ditinggal di sini kok.”

Ify melongo mendengar ucapan Bunda. Bukan Cuma nggak surprise atas kehadiran Rio, Bunda juga menyebut cowok itu dengan panggilan Nak Rio. Dan, dengan gambalang Bunda bilang nggak baik menyebut pacar sendirin”orang ini”. Bunda bahkan mengumumkan motor Rio ditinggal di rumah.

Sial! Jadi begitu? Sebelum jemput gue, dia udah mampir di rumah? Pantesan dia hafal banget rumah gue. Tapi, kenapa Bunda bisa menerima kehadiran Rio begitu aja, ya? Padahal biasanya Bunda paling anti lihat gue pacaran. Apalagi sama orang yang sama sekali nggak dikenal.

Berbagai pikiran bercampur aduk, membuat Ify terdiam seribu bahasa. Dia bahkan Cuma bisa menurut saat Rio menurunkannya di ruang tamu, dan meminta Mbok Sum membersihkan lagi lukanya. Ify juga sudah nggak kaget lagi saat Gabriel –kakak laki-lakinya- yang baru muncul dari dalam langsung ngobrol akrab dengan Rio, seolah-olah mereka udah lama berteman karib.

“Bunda kok nggak marah Ify pulang digendong cowok? Biasanya kan...?” tanya Ify ragu saat Bunda mengoleskan parem kocok ke pergelangan kakinya yang terkilir. Rio tampak asyik bercanda dengan Gabriel di ruang tamu.

Bunda tersenyum. “Untuk itu Bunda harus minta maaf sama kamu, Sayang.”

Ify mengerutkan kening. “Maksud Bunda?”

“Maksud Bunda, Bunda salah menilai putri Bunda. Bunda selalu menganggap kamu masih kecil. Ternyata... kamu sudah gadis, Ify. Dan gadis yang baik seperti kamu, pasti nggak bakal salah memilih kekasih. Dan kamu benar, Sayang. Kamu nggak salah milih pacar, Bunda suka kamu jadian sama Rio. Dia oke untukmu.” Sambil berkata demikian, Bunda mengacungkan kedua ibu jarinya. “Bunda juga yakin, ayahmu disurga juga akan setuju dengan pilihanmu. Rio itu gampang akrab dengan siapa aja. Seandainya Ayah masih hidup...” Bunda menerawang sesaat, namun kemudian memandang putrinya sambil tersenyum lembut.

Ya Tuhan... ada apa sih sebenarnya? Ify tertunduk lesu. Bawa-bawa Ayah segala, lagi. Nggak! Kalo Ayah di sini, dia pasti belain Ify. Iya kan, Yah? Tapi percuma, bagaimanapun Ayah nggak ada. Dan gue bener-bener terpojok sekarang.

“Tapi, Bunda, bagaimana mungkin...”

“Sudah. Mbak Ify ndak usah bingung begitu. Mbok akan beritahu satu rahasia, tapi Mbak Ify jangan marah sama Mas Rio, ya?” Mbok Sum ikut nimbrung dan duduk si sebelah Bunda. “Kita sebenarnya sudah tahu Mbak Ify jadian sama Mas Rio sejak setengah bulan lalu.”

“Haaah?! Setengah bulan? Tapi...” bukannya jadi jelas, Ify malah makin bingung.

“Iya, kami tahu Mbak Ify sengaja, apa itu namanya...”

“Backstreet, Mbok,” sambung Bunda.

“Iya, backstreet. Mbak Ify sengaja backstreet soalnya takut dimarahi Nyonya. Terus..., Mas Rio yang jantan itu datang ke sini, Mbak.”

“Jadi... Rio datang ke sini sejak setengah bulan lalu?”

“Iya, Mbak. Mas Rio minta izin sama Nyonya untuk jadi pacarnya Mbak Ify. Mas Rio waktu itu janji akan buktiin dia serius. Mulanya sih kita biasa aja, tapi lama-lama kita seneng banget dengan kunjungan Mas Rio. Apalagi Mas Rio nggak Cuma sekali-dua kali aja mesen katering ke kita. Mana pesanan Mas Rio selalu dalam partai besar, lagi. Kita sampai kelawahan lho, Mbak, tapi seneng.” Mbok Sum tersenyum bahagia. “Makanya, Mbak Ify ndak perlu sembunyi-sembunyi lagi pacarannya, Nyonya udah oke kok. Mbok juga oke.”

Ify melongo nggak percaya.

Rio curang. Dia ngelangkahin gue seenaknya. Dia bikin keluarga gue mengkhianati gue. Bagaimana bisa dia mencuri hati orang di rumah ini tanpa gue sadari?
“Nggak usah bingung, Fy. Rio memang sengaja merahasiakan semua ini dari kamu. Katanya sebagai hadiah untuk kamu. Makanya dia selalu ke sini pas kamu nggak ada. Jangan marah sama dia, ya. Tujuan Rio kan baik, ini untuk kalian juga, kan?” ucap Bunda mengelus kepala anak gadisnya.

Sebel nggak seeeeh?!!!

@@@@@

“Begitulah, akhirnya gue kalah taruhan. Dan gue nggak mungkin dong menjilat ludah gue sendiri. Kalian tahu, kan, gue bukan tipe cewek yang suka obral janji,” Ify mengakhiri penjelasannya. Kedua sohibnya lagi-lagi melongo.

“Gila! Bener-bener gila! Kayaknya lawan lo udah profesional nih, Fy. Dia udah ngerencanain semua ini jauh-jauh hari,” kata Alvin.

“Dan sialnya, dia tahu semua kelemahan lo. Jadi bisa dibilang lo kalah telak. Atau dalam tinju disebut KO,” tambah Prissy yang emang getol nonton olahraga fisik.

“Kok kalian malah nakut-nakutin gue sih? Bantuin bebasin gue dari dia dong. Please...” Ify hampir menangis mendengar pertanyaan dua sohibnya. Nggak satu pun ucapan mereka memberinya harapan untuk terlepas dari Rio.

Alvin dan Prissy berpandang-pandangan. Mereka mengangkat bahu bersamaan, lalu memandang Ify yang tampak putus asa.

“Fy, ada satu jalan yang bisa nyelametin lo,” ucap Prissy tiba-tiba.

“Oh ya? Gimana?” Ify kembali bersemangat.


BERSAMBUNGGGGGGGGG.............

Tidak ada komentar:

Posting Komentar