Selasa, 26 Juni 2012

Will You Marry Me? - Part 14

“Apaan sih, jadi ikut penasaran!” Sivia masih sabar menanti. Berteman dengan Ify beda banget dengan berteman dengan Ashilla. Kalau Ify mau cerita, dia sanggup nunggu sampai kapan pun. Trus dia juga bebas mengatakan apa pun kepada Ify. Sebaliknya dengan Ashilla. Yang ada hanya ketakutan dan paksaan.

“Gini... Prissy itu ngerasa dia udah pernah liat lo sebelumnya. Tapi dia lupa pernah ketemu lo di mana. Nah... gue disuruh tanya ke lo, apa lo pernah ketemu Prissy sebelum ini?”

Sivia benar-benar terpaku mendengar pertanyaan Ify itu. Dia tahu suatu saat nanti dia harus mengungkapkan semuanya.

“Siv...” Sikap diam Sivia mengusik rasa penasaran Ify. “Apa kita memang pernah bertemu sebelumnya, Siv?” tanyanya ragu. “Soalnya gue juga ngerasa pernah lihat lo sebelumnya.”

Gadis cantik berambut pendek yang dibiarkan tergerai itu menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. “Sebenarnya, ini juga yang ingin gue sampein ke lo,” katanya mencoba tetap tenang.

“Maksud lo?” Ify mengerutkan kening.

“Kita memang pernah ketemu, Fy. Lo, Prissy, Alvin, dan gue. Kita pernah ketemu sebelum ini,” ungkap Sivia.

Ify terdiam. Dia masih saja memandang tak percaya pada Sivia.

“Fy... dengar, ini... ini masalah terbesar buat gue. Jadi... gue harap, lo jangan potong pembicaraan gue, sampai gue selesai cerita. Apa lo bisa, Fy?” tanya Sivia waswas.

Walaupun ragu, toh Ify mengangguk juga.

Sivia bangkit dari duduknya, lalu berjalan menuju jendela kamar Ify. “Kita memang pernah ketemu di SMA Teitan. Waktu itu lo, Prissy, dan Alvin nyari Zahra,” ujarnya sambil memandang lurus ke taman bungan Bunda yang terlihat indah. “Gue...” Sivia menunduk, “salah satu teman Ashilla,” lanjutnya seraya menatap Ify.

Gadis mungil itu membelalak tak percaya. Terputar kembali dalam ingatannya kejadian di SMA Teitan yang membuatnya membenci Rio walau hanya sesaat. Siapa sangka salah satu orang yang membuatnya menangis itu adalah pacar kakaknya yang sekarang berdiri tegak di depannya?

“Gue tau lo pasti benci banget sama gue, Fy. Tapi asal lo tau aja, gue lebih tersiksa menjadi teman Ashilla selama ini daripada lo yang mungkin sempat menangis semalam karena perkataan Ashilla,” Sivia kembali berkata. “Gue juga maklum kalo lo semakin membenci gue kalo lo tau, gue ada di sini karena diperintah Ashilla.”

Bagai disambar petir Ify mendengar pengakuan Sivia. Orang yang selama ini kelihatan baik dan bisa akrab dengan semuanya, ternyata musuh dalam selimut. Dia sudah menipu semuanya. Terlebih Kak Iyel, pikir Ify, emosinya siap meledak. Tapi paling nggak, Ify masih menghargai janjinya untuk tidak menginterupsi sampai cerita Sivia selesai.

“Ashilla ingin tahu semua tentang lo dan Rio. Dia mau memanfaatkan Gabriel yang jatuh hati ke gue. Tapi... gue nggak bisa, Fy. Gue nggak bisa mengkhianati cinta Gabriel yang begitu tulus. Gue juga nggak bisa ngerusak kebahagiaan gadis sebaik lo. Gue bahkan nggak rela kehilangan kasih sayang Bunda yang nggak gue dapet dari keluarga gue. Lo tau, kalianlah keluarga gue. Tempat berbagi cerita, canda, segalanya. Tapi gue takut sama Ashilla.” Sivia menunduk. Pandangannya menerawang jauh ke luar jendela Ify. “Gue takut pada kediktatorannya,” ucapnya tanpa ekspresi. Benaknya kembali memutar kejadian-kejadian menyedihkan bersama Ashilla.

Ify masih terdiam di tempatnya. Dia belum bisa memercayai semua yang disampaikan Sivia kepadanya.

“Tadinya gue udah bisa menghindari dia. Tapi Ashilla bukan orang bodoh. Dia datang ke rumah gue. Dan maksa gue bilang semuanya.” Sivia kembali menghadap ke arah Ify. Pelan ia menghampiri Ify dan duduk disampingnya. “Maafin gue, Fy... gue kasih tahu Shilla kalo lo jadian ama Rio. Jujur Cuma itu yang gue sampein ke dia. Dan gue sangka itu nggak bakal berbahaya buat lo ataupun Rio. Maaf...” Tatapan Sivia tampak sendu sekali.

Ify memandang mata Sivia lurus-lurus. Entah kapan mataitu basah oleh air mata. Tak ada tanda-tanda kebohongan di sana. Hanya ketulusan, kesedihan, dan rasa bersalah yang dalam.

“Apa lo cinta sama Kak Iyel?” tanya Ify singkat.

Sivia mengangguk.

“Kalo gitu,lupakan saja yang pernah terjadi. Anggap lo nggak pernah cerita apa pun ke gue.” Ify tersenyum ringan. Dia berharap ini penyelesaian yang terbaik.

“Jadi... jadi lo maafin gue...???” tanya Sivia nggak percaya.

Ify mengangguk mantap.

Sivia mengembangkan senyum paling manisnya. Serta-merta diraihnya Ify ke dalam pelukannya. “Terima kasih, Fy... terima kasih... Gue kira gue akan kehilangan lo dan keluarga ini,” ucapnya dalam uraian air mata.

Pelan Ify melepas pelukan Sivia. “Sudahlah, Siv, gue tau kok gimana rasanya ditekan orang kayak Ashilla. Gue aja yang baru sekali ngerasain langsung nangis semalaman. Apalagi lo yang saban hari menjalani. Nggak bisa bayangin deh gue.” Diusapnya air mata Sivia yang langsung tersapu senyum di bibirnya.

“Gue nggak tahu harus bilang apa lagi, Fy. Yang jelas gue bersyukur udah dikasih tugas sama Ashilla buat deketin Gabriel. Kalo nggak, gue nggak bakal ngerasain kebahagiaan seperti ini,” ungkapnya tulus.

Tanpa mereka sadari, ada yang tersenyum dari balik pintu. Gabriel yang tak sengaja lewat mendengarkan semua percakapan mereka. “Gue tahu, gue nggak salah ngenalin keluarga gue ke lo, Siv. Paling nggak gue nggak harus perang sama lo karena Ify. Bukankah rencana gue sempurna?” gumamnya pada dirinya sendiri, kemudian segera berlalu dari situ.

“Ya udah, lupakan aja masa-masa dengan Mak Lampir itu. Lagian nggak ada dampaknya kan lo cerita atau nggak, lama-lama juga si Mak Lampir bakal tau soal hubungan gue sama Rio,” balas Ify santai.

Anehnya, wajah Sivia kembali tegang. Dilepasnya pandangannya dari Ify. Dia kembali tertunduk dan resah memikirkan apa yang nyaris lupa disampaikannya.

“Ada apa lagi, Siv?” tanya Ify penasaran.

Sivia menatap Ify ragu. “Fy... gue bawa cerita buruk. Sangat buruk,” katanya pelan.

“Berita buruk? Ada apa lagi, Siv? Ashilla?” tebak Ify.

Gadis berkulit putih itu mengangguk pelan.

“Ada apa dengan Ashilla?” Ify mulai ikut khawatir.

“Dia... dia ngasih sesuatu ke gue untuk disampaikan ke lo,” kata Sivia seraya merogoh saku baju seragamnya. “Ini.” Diserahkannya undangan merah jambu yang dititipkan Ashilla padanya.

Ify meraih undangan itu dan membukanya dengan jantung berdebar. “Undangan ulang tahun?” ucapnya dengan dahi berkerut. “Kenapa dia ngundang gue ke pesta ulang tahunnya?” tanyanya heran.

“Itu karena... karena...”

“Karena apa, Siv?”

“Karena itu bukan sekedar pesta ulang tahun. Tapi juga...”

“Juga?” Ify tak sabar menunggu jawaban Sivia.

“Juga acara pertunangan.”

“Pertunangan? Emang apa urusannya ama gue? Dia mau ultah kek, tunangan  kek, kan nggak ada hubungannya ama gue!” tukas Ify keki. Sivia diam aja. “Tunggu dulu,” Melihat sikap Sivia sebuah pikiran berkelebat di benak Ify. “Jangan bilang dia mau tunangan sama... Rio...”

Sivia tetap diam dan tertunduk, membuat Ify semakin yakin dengan dugaannya. “Siv... katakan ini nggak ada hubungannya sama Rio,” tuntutnya.

Sivia mengangguk ragu.

“Nggak mungkin. Ini pasti akal bulus Ashilla,” Ify berusaha menghibur hatinya.

“Tadinya gue pikir juga begitu, Fy.” Sivia akhirnya kembali menemukan suaranya. “Gue sampai berencana akan membuang undangan itu dan nggak ngasih ke lo. Tapi... gue denger sendiri Rio mengatakannya dengan mulutnya sendiri.” Sivia kemudian menceritakan kejadian saat Ashilla ke rumahnya sampai saat dia kebetulan mendengar percakapan Rio dengan Ashilla dan gerombolannya.

“Nggak mungkin...” ucap Ify setengah menerawang. “Nggak mungkin Rio bohongin gue,” lanjutnya. Anehnya, tak setitik pun air mata keluar dari matanya.

“Sebaiknya undangan ini kita apakan, Fy? Apa kita abaikan saja?” Sivia bingung bagaimana menghadapi kekalutan Ify yang tercurah dalam diam.

“Nggak. Gue kepingin lihat dengan mata kepala gue sendiri apa yang sebenarnya terjadi.” Kemarahan berkelebat di mata Ify, walaupun dia berusaha untuk tetap tenang.

“Tapi, Fy, apa nggak pa-pa kita ke sana? Ah... ya, gue akan ajak Gabriel, dan lo bisa ajak Alvin dan Prissy. Jadi kalo sampai ada apa-apa...”

“Nggak,” potong Ify. Sivia memandangnya heran. “Lo jangan kasih tau Kak Iyel ataupun Alvin dan juga Prissy. Gue minta lo rahasiain ini dari mereka.”

“Tapi...”

“Siv, sekali ini aja gue minta tolong ke lo. Bantuin gue menghadapi ini. Gue mohon.” Ify tampak sungguh-sungguh dengan ucapannya.

Sivia menelan ludah. Menghadapi Ashilla bersama Ify, bukankah ini mimpi buruk?

“Siv... gue Cuma nggak ingin Rio digebukin Kak Iyel, Alvin, dan Prissy sebelum gue tau kebenarannya. Dan gue juga setuju dengan pendapat Ashilla, maling nggak akan teriak maling. Jadi percuma gue tanya ke Rio. Bisa aja dia bohongin gue. Makanya gue Cuma bisa minta tolong ke lo,” Ify berusaha meyakinkan Sivia.

“Mmm... Tapi, Fy...”

“Please.” Ify kembali memohon.

Ayolah, Sivia, ini saatnya lo menebus dosa, desak pikirannya. “Mmm... baiklah,” putusnya akhirnya.

“Terima kasih, Siv,” ungkap Ify tulus. “Bener ya, jangan bilang masalah ini ke siapa pun. Terutama Gabriel.” Sivia Cuma mengangguk mendengar permintaan Ify.

Semoga kebenaranlah yang kita dapet, Fy. Dan semoga kebenaran itu adalah kebahagiaan lo, batin Sivia sambil memeluk Ify.













BERSAMBUNG..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar