“Apaan sih, jadi ikut penasaran!” Sivia masih sabar menanti. Berteman
dengan Ify beda banget dengan berteman dengan Ashilla. Kalau Ify mau
cerita, dia sanggup nunggu sampai kapan pun. Trus dia juga bebas
mengatakan apa pun kepada Ify. Sebaliknya dengan Ashilla. Yang ada hanya
ketakutan dan paksaan.
“Gini... Prissy itu ngerasa dia
udah pernah liat lo sebelumnya. Tapi dia lupa pernah ketemu lo di mana.
Nah... gue disuruh tanya ke lo, apa lo pernah ketemu Prissy sebelum
ini?”
Sivia benar-benar terpaku mendengar pertanyaan Ify itu. Dia tahu suatu saat nanti dia harus mengungkapkan semuanya.
“Siv...”
Sikap diam Sivia mengusik rasa penasaran Ify. “Apa kita memang pernah
bertemu sebelumnya, Siv?” tanyanya ragu. “Soalnya gue juga ngerasa
pernah lihat lo sebelumnya.”
Gadis cantik berambut pendek
yang dibiarkan tergerai itu menarik napas panjang dan membuangnya
perlahan. “Sebenarnya, ini juga yang ingin gue sampein ke lo,” katanya
mencoba tetap tenang.
“Maksud lo?” Ify mengerutkan kening.
“Kita memang pernah ketemu, Fy. Lo, Prissy, Alvin, dan gue. Kita pernah ketemu sebelum ini,” ungkap Sivia.
Ify terdiam. Dia masih saja memandang tak percaya pada Sivia.
“Fy...
dengar, ini... ini masalah terbesar buat gue. Jadi... gue harap, lo
jangan potong pembicaraan gue, sampai gue selesai cerita. Apa lo bisa,
Fy?” tanya Sivia waswas.
Walaupun ragu, toh Ify mengangguk juga.
Sivia
bangkit dari duduknya, lalu berjalan menuju jendela kamar Ify. “Kita
memang pernah ketemu di SMA Teitan. Waktu itu lo, Prissy, dan Alvin
nyari Zahra,” ujarnya sambil memandang lurus ke taman bungan Bunda yang
terlihat indah. “Gue...” Sivia menunduk, “salah satu teman Ashilla,”
lanjutnya seraya menatap Ify.
Gadis mungil itu membelalak
tak percaya. Terputar kembali dalam ingatannya kejadian di SMA Teitan
yang membuatnya membenci Rio walau hanya sesaat. Siapa sangka salah satu
orang yang membuatnya menangis itu adalah pacar kakaknya yang sekarang
berdiri tegak di depannya?
“Gue tau lo pasti benci banget
sama gue, Fy. Tapi asal lo tau aja, gue lebih tersiksa menjadi teman
Ashilla selama ini daripada lo yang mungkin sempat menangis semalam
karena perkataan Ashilla,” Sivia kembali berkata. “Gue juga maklum kalo
lo semakin membenci gue kalo lo tau, gue ada di sini karena diperintah
Ashilla.”
Bagai disambar petir Ify mendengar pengakuan
Sivia. Orang yang selama ini kelihatan baik dan bisa akrab dengan
semuanya, ternyata musuh dalam selimut. Dia sudah menipu semuanya. Terlebih Kak Iyel,
pikir Ify, emosinya siap meledak. Tapi paling nggak, Ify masih
menghargai janjinya untuk tidak menginterupsi sampai cerita Sivia
selesai.
“Ashilla ingin tahu semua tentang lo dan Rio. Dia
mau memanfaatkan Gabriel yang jatuh hati ke gue. Tapi... gue nggak
bisa, Fy. Gue nggak bisa mengkhianati cinta Gabriel yang begitu tulus.
Gue juga nggak bisa ngerusak kebahagiaan gadis sebaik lo. Gue bahkan
nggak rela kehilangan kasih sayang Bunda yang nggak gue dapet dari
keluarga gue. Lo tau, kalianlah keluarga gue. Tempat berbagi cerita,
canda, segalanya. Tapi gue takut sama Ashilla.” Sivia menunduk.
Pandangannya menerawang jauh ke luar jendela Ify. “Gue takut pada
kediktatorannya,” ucapnya tanpa ekspresi. Benaknya kembali memutar
kejadian-kejadian menyedihkan bersama Ashilla.
Ify masih terdiam di tempatnya. Dia belum bisa memercayai semua yang disampaikan Sivia kepadanya.
“Tadinya
gue udah bisa menghindari dia. Tapi Ashilla bukan orang bodoh. Dia
datang ke rumah gue. Dan maksa gue bilang semuanya.” Sivia kembali
menghadap ke arah Ify. Pelan ia menghampiri Ify dan duduk disampingnya.
“Maafin gue, Fy... gue kasih tahu Shilla kalo lo jadian ama Rio. Jujur
Cuma itu yang gue sampein ke dia. Dan gue sangka itu nggak bakal
berbahaya buat lo ataupun Rio. Maaf...” Tatapan Sivia tampak sendu
sekali.
Ify memandang mata Sivia lurus-lurus. Entah kapan
mataitu basah oleh air mata. Tak ada tanda-tanda kebohongan di sana.
Hanya ketulusan, kesedihan, dan rasa bersalah yang dalam.
“Apa lo cinta sama Kak Iyel?” tanya Ify singkat.
Sivia mengangguk.
“Kalo
gitu,lupakan saja yang pernah terjadi. Anggap lo nggak pernah cerita
apa pun ke gue.” Ify tersenyum ringan. Dia berharap ini penyelesaian
yang terbaik.
“Jadi... jadi lo maafin gue...???” tanya Sivia nggak percaya.
Ify mengangguk mantap.
Sivia
mengembangkan senyum paling manisnya. Serta-merta diraihnya Ify ke
dalam pelukannya. “Terima kasih, Fy... terima kasih... Gue kira gue akan
kehilangan lo dan keluarga ini,” ucapnya dalam uraian air mata.
Pelan
Ify melepas pelukan Sivia. “Sudahlah, Siv, gue tau kok gimana rasanya
ditekan orang kayak Ashilla. Gue aja yang baru sekali ngerasain langsung
nangis semalaman. Apalagi lo yang saban hari menjalani. Nggak bisa
bayangin deh gue.” Diusapnya air mata Sivia yang langsung tersapu senyum
di bibirnya.
“Gue nggak tahu harus bilang apa lagi, Fy.
Yang jelas gue bersyukur udah dikasih tugas sama Ashilla buat deketin
Gabriel. Kalo nggak, gue nggak bakal ngerasain kebahagiaan seperti ini,”
ungkapnya tulus.
Tanpa mereka sadari, ada yang tersenyum
dari balik pintu. Gabriel yang tak sengaja lewat mendengarkan semua
percakapan mereka. “Gue tahu, gue nggak salah ngenalin keluarga gue ke
lo, Siv. Paling nggak gue nggak harus perang sama lo karena Ify.
Bukankah rencana gue sempurna?” gumamnya pada dirinya sendiri, kemudian
segera berlalu dari situ.
“Ya udah, lupakan aja masa-masa
dengan Mak Lampir itu. Lagian nggak ada dampaknya kan lo cerita atau
nggak, lama-lama juga si Mak Lampir bakal tau soal hubungan gue sama
Rio,” balas Ify santai.
Anehnya, wajah Sivia kembali
tegang. Dilepasnya pandangannya dari Ify. Dia kembali tertunduk dan
resah memikirkan apa yang nyaris lupa disampaikannya.
“Ada apa lagi, Siv?” tanya Ify penasaran.
Sivia menatap Ify ragu. “Fy... gue bawa cerita buruk. Sangat buruk,” katanya pelan.
“Berita buruk? Ada apa lagi, Siv? Ashilla?” tebak Ify.
Gadis berkulit putih itu mengangguk pelan.
“Ada apa dengan Ashilla?” Ify mulai ikut khawatir.
“Dia...
dia ngasih sesuatu ke gue untuk disampaikan ke lo,” kata Sivia seraya
merogoh saku baju seragamnya. “Ini.” Diserahkannya undangan merah jambu
yang dititipkan Ashilla padanya.
Ify meraih undangan itu
dan membukanya dengan jantung berdebar. “Undangan ulang tahun?” ucapnya
dengan dahi berkerut. “Kenapa dia ngundang gue ke pesta ulang tahunnya?”
tanyanya heran.
“Itu karena... karena...”
“Karena apa, Siv?”
“Karena itu bukan sekedar pesta ulang tahun. Tapi juga...”
“Juga?” Ify tak sabar menunggu jawaban Sivia.
“Juga acara pertunangan.”
“Pertunangan?
Emang apa urusannya ama gue? Dia mau ultah kek, tunangan kek, kan
nggak ada hubungannya ama gue!” tukas Ify keki. Sivia diam aja. “Tunggu
dulu,” Melihat sikap Sivia sebuah pikiran berkelebat di benak Ify.
“Jangan bilang dia mau tunangan sama... Rio...”
Sivia
tetap diam dan tertunduk, membuat Ify semakin yakin dengan dugaannya.
“Siv... katakan ini nggak ada hubungannya sama Rio,” tuntutnya.
Sivia mengangguk ragu.
“Nggak mungkin. Ini pasti akal bulus Ashilla,” Ify berusaha menghibur hatinya.
“Tadinya
gue pikir juga begitu, Fy.” Sivia akhirnya kembali menemukan suaranya.
“Gue sampai berencana akan membuang undangan itu dan nggak ngasih ke lo.
Tapi... gue denger sendiri Rio mengatakannya dengan mulutnya sendiri.”
Sivia kemudian menceritakan kejadian saat Ashilla ke rumahnya sampai
saat dia kebetulan mendengar percakapan Rio dengan Ashilla dan
gerombolannya.
“Nggak mungkin...” ucap Ify setengah
menerawang. “Nggak mungkin Rio bohongin gue,” lanjutnya. Anehnya, tak
setitik pun air mata keluar dari matanya.
“Sebaiknya
undangan ini kita apakan, Fy? Apa kita abaikan saja?” Sivia bingung
bagaimana menghadapi kekalutan Ify yang tercurah dalam diam.
“Nggak.
Gue kepingin lihat dengan mata kepala gue sendiri apa yang sebenarnya
terjadi.” Kemarahan berkelebat di mata Ify, walaupun dia berusaha untuk
tetap tenang.
“Tapi, Fy, apa nggak pa-pa kita ke sana?
Ah... ya, gue akan ajak Gabriel, dan lo bisa ajak Alvin dan Prissy. Jadi
kalo sampai ada apa-apa...”
“Nggak,” potong Ify. Sivia
memandangnya heran. “Lo jangan kasih tau Kak Iyel ataupun Alvin dan juga
Prissy. Gue minta lo rahasiain ini dari mereka.”
“Tapi...”
“Siv,
sekali ini aja gue minta tolong ke lo. Bantuin gue menghadapi ini. Gue
mohon.” Ify tampak sungguh-sungguh dengan ucapannya.
Sivia menelan ludah. Menghadapi Ashilla bersama Ify, bukankah ini mimpi buruk?
“Siv...
gue Cuma nggak ingin Rio digebukin Kak Iyel, Alvin, dan Prissy sebelum
gue tau kebenarannya. Dan gue juga setuju dengan pendapat Ashilla,
maling nggak akan teriak maling. Jadi percuma gue tanya ke Rio. Bisa aja
dia bohongin gue. Makanya gue Cuma bisa minta tolong ke lo,” Ify
berusaha meyakinkan Sivia.
“Mmm... Tapi, Fy...”
“Please.” Ify kembali memohon.
Ayolah, Sivia, ini saatnya lo menebus dosa, desak pikirannya. “Mmm... baiklah,” putusnya akhirnya.
“Terima
kasih, Siv,” ungkap Ify tulus. “Bener ya, jangan bilang masalah ini ke
siapa pun. Terutama Gabriel.” Sivia Cuma mengangguk mendengar permintaan
Ify.
Semoga kebenaranlah yang kita dapet, Fy. Dan semoga kebenaran itu adalah kebahagiaan lo, batin Sivia sambil memeluk Ify.
BERSAMBUNG..........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar