"Hah? Ada orang yang ngekos di sebelah kamar lo?" tanya Sivia teman
sekampus Ify. Mereka sedang berada di cafetaria Fakultas Ekonomi
Universitas Bandung yang ramai dengan mahasiswa. Ify mengangguk
menyambut kata-kata Sivia.
"Cowok aneh yang asalnya dari Mars," jawab Ify sambil menusuk satu glintir bakso dan memasukkan ke mulutnya.
"Hah? Dari Mars?" tanya Sivia bingung.
"Dia yang bilang sendiri. Emang, sih, dia kayak alien," kata Ify sambil masih mengunyah baksonya.
"Tapi seru, kan, punya tetangga cowok. Oh ya, ngomong-ngomong
orangnya cakep nggak?" Sivia terus bertanya membuat alis Ify berkerut.
"Sivia Azizah, intinya adalah: dia cowok! Artinya, gue nggak bakal punya privasi lagi!" sahut Ify.
"Iya, iya, tapi cakep nggak?" Sivia tak mau kalah.
"Oke. Jelas-jelas elo nggak dapet poinnya di sini," ujar Ify sebal." Cakep, sih, cakep..."
"Eh, beneran? Ify! Bener? Gue boleh, dong, dikenalin!" Suara Sivia yang tiba-tiba histeris membuat Ify mengernyit.
"Sivia cantik, kayaknya lo harus belajar membiarkan orang lain
menyelesaikan kalimatnya, deh. Tadi gue mau bilang, cakep, sih, cakep,
tapi tetep aja dia alien!" ujar Ify.
"Nggak apa-apa alien, asal cakep," balas Sivia, imajinasinya kini sudah terbang entah ke mana.
"Makan, tuh, cakep." Ify berubah sebal. "Gue, sih, males banget liat tampang sombong dan sok misteriusnya itu."
"Fy, cowok misterius tuh, justru lebih menarik," kata Sivia. "Mereka seolah punya aura yang jadi magnet buat cewek-cewek."
Ify menatap jijik temannya yang satu itu, tetapi dalam hati dia
mengiyakan kata-kata Sivia. Rio sepertinya memang punya aura seperti
yang dikatakan Sivia.
"Ngomong-ngomong, namanya siapa?" Sivia masih penasaran.
"Kata tante gue, sih, Rio... ya, kalo nggak salah Mario Stevano,"
jawab Ify yang langsung saja disahuti oleh teriakan histeris Sivia. Ify
hampir tersedak dibuatnya.
"Ya ampun, Alyssa Saufika! Namanya aja keren banget! Pasti orangnya
cool banget... kayak namanya!" teriakan Sivia membuat Ify menyesal sudah
memberitahunya. Temannya yang satu ini kadang memang bisa jadi sangat
norak kalo udah menyangkut masalah fashion dan cowok cakep.
Rio merasa sudah berjalan beberapa kilometer sampai akhirnya
menemukan salah satu fakultas Universitas Bandung terdekat, yaitu
Fakultas Pertanian. Rio duduk di bangku taman, memerhatikan dengan
cermat orang-orang yang melewatinya.
Rio harus menemukan orang itu, bagaimanapun caranya. Info yang dia
dapat dari temannya sangat sedikit. Alvin Jonathan, temannya itu,
mengatakan kalau orang yang sekarang dicari Rio pernah terlihat di
sekitar kampus Universitas Bandung. Alvin tidak tahu kampus yang mana,
tetapi Rio tetap pergi. Tak masalah jika Rio harus mendatangi setiap
kampus dan mencari orang itu dibandingkan dia hanya duduk diam dan
menyesali nasib. Rio harus bertemu dengannya.
Rio memasang headphone superbesarnya. Dan lagu This Light I See
milik Paku Romi mengalun dari iPod-nya. Pikiran Rio melayang ke
masa-masa SMA, dan tanpa disadarinya, dia mencengkeram lengan kirinya
kuat-kuat.
Rio melangkah ke tempat kosnya yang terlihat gelap. Lampu depan kos
yang sudah berpendar dan hampir mati, membuat kos itu tampak jauh lebih
horror dibandingkan saat siang hari. Saat menaiki tangga, Ify sedang
menyapu gang depan kamarnya. Ify menoleh dan menatap Rio yang tampak
lelah.
"Abis kuliah?" tanya Ify, mencoba ramah.
"Nggak," sahut Rio pendek, tak ingin membuat pembicaraan apa pun.
"Oh... abis kerja?" tanya Ify lagi membuat Rio meliriknya sebal.
"Nggak juga." Rio menjawab sambil merogoh saku celananya bermaksud mengambil kunci.
"Lho, jadi kamu ngapain di sini?" kejar Ify. Sebelum Rioo sempat
menjawab, Ify sudah berkata lagi, "Oh, gue tau. Pasti lagi nyari
kerjaan!"
"Yah, begitulah," kata Rio berusaha menyudahi pembicaraan dan tak
ingin capek-capek menjawab. Dia membuka pintu kamarnya dan masuk tanpa
banyak bicara lagi.
Rio melempar tasnya ke atas kasur yang tergeletak menyedihkan tanpa
sprei. Dia membanting tubuhnya sendiri ke atas kasur itu walaupun tahu
itu akan menyakitkan. Dengan seketika, debu-debu dari kasur itu
berterbangan, membuat Rio terbatuk.
Rio terduduk, mengambil air mineral dan meminumnya. Dia menatap ke
sekeliling kamarnya yang tampak mengenaskan. Selain kasur tadi, di dalam
kamar itu hanya terdapat lemari setinggi satu meter dan sebuah meja
kecil. Ranselnya tergeletak sembarangan dengan isi yang sudah
berhamburan, sementara cup-cup bekas mie tergeletak di atas meja kecil
bersama sebuah tas kecil.
Rio bangkit untuk meraih tas kecil itu dan membukanya. Dia
mengeluarkan sebuah handycam perak dengan model yang kuno. Rio menatap
ragu handycam itu, kemudian menyalakannya, bermaksud untuk menonton
kaset yang sudah beberapa lama mengendap di sana.
Baru sedetik setelah muncul gambar, Rio cepat-cepat mematikannya.
Dia melemparkan handycam itu ke sebelahnya dan meremas kepalanya
kuat-kuat. Mendadak, ponsel yang ada di sakunya bergetar. Rio tertegun
saat membaca nama di layar ponselnya. Mama.
Ragu, Rio mengangkatnya.
"Hallo?" kata Rio.
"Hallo? Rio? Ini Mama. Kamu di mana sekarang?" tanya ibunya, Mama Manda, dari seberang. Rio terdiam sebentar.
"Mama nggak usah khawatir," sahut Rio, menolak untuk menjawab pertanyaan ibunya.
"Rio, jawab Mama! Sekarang kamu ada di mana?" desak mama Manda lagi.
"Mama, aku harus menyelesaikan masalah ini. Aku bener-bener harus," kata Rio tegas. Sementara mama Manda terdengar terisak.
"Rio, udah lupain aja. Yang penting sekarang kamu pikirkan dirimu sendiri," bujuk Mama Manda lagi.
"Ma, aku harus menyelesaikan ini sebelum waktuku habis." Rio
bersikeras. "Ini satu-satunya kesempatanku. Tolong jangan halangi aku."
Mama masih terisak. Rio baru berniat untuk memutuskan sambungan
ketika mama Manda berkata lagi, "Kayaknya, kamu nggak akan ngedengerin
Mama. Tapi, tolong Rio, jangan lakukan hal-hal bodoh."
"Mama tenang aja." Rio menjawab dengan suara dingin.
"Rio, obatnya jangan lupa diminum," desakan mama Manda membuat Rio
benar-benar memutuskan sambungan telepon. Dia lalu menonaktifkan
ponselnya, berjaga-jaga agar Mamanya tak bisa kembali meneleponnya.
Rio mengorek isi ranselnya sampai menemukan sebuah botol berisi
pil-pil. Rio mencengkeram botol itu keras, lalu membantingnya ke
dinding, membuat isinya berhamburan ke segala arah. Rio terduduk lemas
di lantai menatap pil-pil yang berceceran.
Pil-pil yang kabarnya dapat menyelamatkannya.
Rio menatap sebuah bangunan dengan taman yang rindang. Kali ini,
Fakultas Kehutanan Universitas Bandung. Rio tak tahu harus menunggu
beberapa lama, mungkin sampai Fakultas ini tutup, tetapi dia harus
melakukannya.
Rio duduk di salah satu bangku taman dan memerhatikan orang-orang
yang sedang berdiskusi di dekatnya. Tak ada satu pun dari mereka yang
wajahnya mendekati orang yang dicari Rio. Rio menghela napas, memasang
headphone-nya, lalu mengorek saku celananya untuk mencari rokok.
Setelah beberapa jam dan menghabiskan sepuluh batang rokok, Rio
memutuskan untuk menghampiri orang-orang yang lewat dan menanyainya
langsung. Rio menyodorkan foto orang yang dicarinya, tetapi semua orang
yang ditanyainya menggeleng tak kenal.
Lelah bertanya, Rio kembali duduk. Dia menatap foto di tangannya.
Foto zaman SMA. Foto bersama orang yang dulu sangat penting baginya.
Orang yang paling ingin ditemuinya saat ini.
Rio berjalan gontai ke kamarnya. Rio melirik kamar Ify. Kamar itu
gelap. Rio masuk ke kamarnya dan membanting dirinya ke kasur, dan dia
segera meringis saat sadar kalau kasur itu kelentingannya sama dengan
nol.
Rio merogoh saku celananya, menarik foto yang seharian tadi
ditunjukkannya kepada semua orang yang lewat. Tanpa disadarinya,
cengkeramannya pada foto itu mengeras sehingga membuat foto itu kusut,
tetapi Rio tak peduli. Foto itu telah mengingatkannya pada kenangan yang
tak ingin diingatnya lagi.
Mendadak, terdengar suara ketukan, membuat lamunan Rio buyar. Penasaran, Rio bangkit dan membuka pintu.
Ify.
"Ada apa?" tanya Rio malas. Di depannya, Ify nyengir.
"Ini. Dari Tante Winda, dia takut elo kena busung lapar," kata Ify
sambil menyodorkan nampan berisi makanan. Rio menatap nampan itu ragu.
"Nggak usah, gue nggak laper," sahut Rio akhirnya.
Baru saja Ify akan mengatakan sesuatu, terdengar suara janggal dari perut Rio. Sesaat, Ify dan Rio sama-sama bengong.
"Kadang, otak sama perut kurang bisa berkoordinasi ya," kata Ify, setengah mati menahan tawa. Rio hanya tersenyum kecut.
"Yah, makasih." Rio mengalah dan mengambil nampan itu dari tangan Ify.
"Jangan lupa abis makan piringnya dicuci ya," jelas Ify. Dia
teringat akan pengalamannya sendiri saat lupa mencuci piring dan kena
marah tantenya.
"Yes, Mom," jawab Rio membuat Ify tersenyum geli.
Sebelum Rio menghilang ke dalam kamarnya, Ify berkata lagi, "Jangan lupa, sebelum makan cuci tangan dulu, ya!"
Rio menutup pintu, tersenyum sendiri mendengar kata-kata Ify. Dia
menatap makanan di tangannya. Kare buatan Winda. Rasanya sudah begitu
lama Rio tidak melihat nasi. Rio dengan segera duduk dan dengan cepat
menyantap nasi kare itu seakan tidak pernah makan sebelumnya.
"Agni tak kuasa lagi menahan perih di hatinya saat melihat Cakka
pergi... Kenapa bahasa gue jadi menjijikkan gini, ya?" gumam Ify bingung
saat membaca layar komputernya. "Arrrggghhhhh!"
Ify berbaring di lantai, frustasi pada karyanya yang sedari tadi
belum juga beranjak dari halaman tiga sembilan, dan malah makin ngaco.
Ify menghela napas, bangkit, dan seperti biasa, melakukan senam-senam
kecil utnuk kembali menyegarkan pikirannya. Dia melirik jam: dua belas
lebih sepuluh.
Ify memutuskan untuk membuat secangkir cokelat panas untuk
mengembalikan semangatnya. Perempuan itu mengambil air dan sebungkus
susu cokelat, lalu membuka pintu untuk pergi ke dapur. Dia melirik kamar
Rio yang lampunya masih menyala. Lalu, dia buru-buru kembali lagi ke
kamarnya.
Rio menatap kosong layar handycam-nya. Di sana, tampak teman-teman
SMA-nya sedang bersama-sama mengerjakan pentas seni. Rio menekan tombol
stop, membuka kaset mini-DV-nya, lalu melemparkannya sembarangan. Di
kaset itu, tertempel stiker bertuliskan, 'Pensi 2004'. Rio
menggapai-gapai kaset lain tanpa melihat dan yang terambil adalah yang
bertuliskan 'Manado Beach 2004'. Rio tak langsung menyetelnya, dia
malah menatap kaset itu dingin.
"Rio..."
Rio tersentak kaget saat mendengar suara seseorang yang memanggil namanya. Rio menatap kaset di tangannya bingung. Mungkinkah—
"Rio..."
Kali ini, Rio segera melempar kaset itu. Suara itu mirip sekali
dengan suara seseorang yang pernah dikenalnya. Tetapi, tidak mungkin
itu...
"Mario Stevano!"
Rio menoleh ke arah pintu. Ternyata, suara itu berasal dari sana.
Rio menghela napas lega, tetapi kembali bingung. Dia melirik jam
tangannya. Setengah satu pagi.
Rio membuka pintu dan tampang Ify muncul. Di tangannya—Ify, terdapat dua buah mug yang mengepul. Rio mengernyit.
"Nih." Ify menyodorkan salah satu mug yang ada di tangannya.
"Apa, nih?" tanya Rio, belum mengambil mug yang disodorkan.
"Susu cokelat. Katanya, bagus buat pertumbuhan," jelas Ify.
Cttikkk. Langsung muncul persimpangan jalan di kepala Rio.
"Pertumbuhan gue udah maksimal," sahut Rio sewot, mengingat tinggi
badannya yang abnormal.
"Ambil aja kenapa, gue nggak mau minum dua-duanya, nih," balas Ify. "Udah susah-susah dibuatin, juga."
"Nggak ada yang nyuruh lo ngebuatin." Tetapi, Rio menerima mug itu. "Thanks."
Ify mengangguk kecil sambil mengintip ke dalam kamar Rio.
"Lo lagi ngapain, jam segini belum tidur?" tanya Ify yang membuat Rio merasa harusnya dialah yang bertanya itu.
"Nggak ada," jawab Rio berusaha menghalangi pandangan Ify. "Lo sendiri? Nggak takut lo jalan-jalan sendirian hari gini?"
"Udah terlalu terbiasa," balas Ify. "Tinggal di kos ini bakal bikin elo nggak takut sama apa pun lagi."
Rio membenarkan dalam hati. Kost ini memang lebih mirip rumah hantu.
"Oke. Kalo gitu, gue mau tidur." Rio mengakhiri pembicaraan, tak berniat mengobrol malam-malam. "Ini, Thanks."
Rio menutup pintu kamarnya. Tak berapa lama, dia mendengar suara
pintu sebelah ditutup. Rio duduk di kasur, menatap susu cokelat di
tangannya. Sepertinya, dia tidak boleh terlalu baik pada Ify. Dia tidak
membutuhkan lebih banyak masalah.
Rio menghirup susu cokelat itu, dan menghabiskannya dalam sekali teguk.
Sudah beberapa hari ini Rio mendatangi beberapa fakultas di kampus
Universitas Bandung, tetapi orang yang dicarinya tidak ketemu juga. Tak
terkecuali hari ini. Rio pulang dengan tangan kosong.
Orang yang pertama dilihat Rio di kos adalah seseorang pemuda yang
tidak terlalu tinggi dengan poni yang menghiasi keningnya. Tubuhnya
kecil, tidak terlalu tinggi untuk orang sebayanya.
"Hai," sapa orang itu membuat Rio berhenti. Rio mengangguk pada orang itu. "Anak baru, ya?"
Rio mengangguk lagi. Ternyata, orang itu penghuni kos ini juga. Salah satu dari dua cowok yang tertinggal di kos ini.
"Nama gue Fauzy. Tapi, lo bisa panggil gue Ozy," katanya sambil menyodorkan tangan. Rio menyambutnya.
"Mario Stevano," kata Rio.
"Peace, yo!" kata Ozy tiba-tiba sambil menunjukkan gerakan memukul dada dan mengacungkan simbol victory. Rio menatapnya bingung.
"Peace," kata Rio akhirnya sambil mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya juga.
Tiba-tiba, terdengar suara tawa dari lantai atas, membuat Rio dan Ozy mendongak. Ternyata Ify.
"Cuekin aja, Rio, dia pikir dia Bob Marley," ucap Ify, membuat Ozy cemberut. Rio tersenyum sopan pada Ozy, lalu naik.
"Lo nggak kuliah, Fy?" tanya Ozy pada Ify.
"Nggak. Lagi libur," jawab Ify dan langsung nyengir pada Rio yang sudah sampai lantai dua.
"Oi, Rio, hati-hati, lho, sama Ify. Siap nyerang kapan aja, tuh,"
teriak Ozy dari bawah, membuat Rio tersenyum kaku. "Tiap malem mesti
kunci pintu!"
"Heh, mestinya gue yang dibilangin begitu!" balas Ify keki.
"Wah, sama sekali nggak ada niat buat nyerang, tuh," kata Rio sambil merogoh saku celananya dan mengambil kunci.
"Eh, jangan pede dulu, ntar-ntar kalo elo naksir gue, bakal repot, lho!" sahut Ify membuat Rio mendengus.
Rio masuk ke kamarnya lalu menutup pintu. Benar. Benar sekali. Akan
sangat merepotkan baginya kalau harus menyukai seseorang. Ataupun,
disukai.
Rio baru akan memasak air untuk mie cup-nya saat Ify muncul tiba-tiba dan mematikan kompor. Rio mengernyit menatap cewek itu.
"Disuruh makan bareng sama Tante Winda. Ayo!" kata Ify sambil menarik Rio yang belum sempat menyanggupi, menuju rumah Bu Winda.
Di sana, sudah ada Bu Winda beserta keluarganya: suami dan anak
satu-satunya yang masih berusia sepuluh tahun bernama Deva, kemudian
Ozy, dan seorang berkacamata yang diyakini Rio sebagai penghuni kos
satunya lagi.
"Gue berhasil ngebawa dia ke sini!" seru Ify ceria, lalu menyuruh
Rio duduk. "Ini dia, nih, anak baru yang nggak sopan. Udah dua minggu
lebih ngekos, tapi belum kenalan."
"Ify, jangan ngomong begitu dong, siapa tau dia sibuk," kata Bu Winda sambil tersenyum pada Rio yang membalasnya dengan kaku.
"Iya. Rio, maaf ya, Ify memang agak judes," sahut suami Bu Winda membuat Ify melotot.
"Nggak apa-apa, Pak," jawab Rio membuat Ify pindah memelototinya.
"Rio, ini suami saya Joe, dan ini Deva, anak saya satu-satunya.
Terus kamu udah kenal Ozy, kan? Nah, kalo yang ini namanya Septian,"
kata Yuroichi, menunjuk lelaki berkacamata. Rio mengangguk padanya, yang
dibalas anggukan singkat. "Dia anak kedokteran, pinter banget, lho,
sampai dapat beasiswa!"
Rio mengangguk-angguk kecil, benar-benar kagum pada orang yang sudah
kuliah di kedokteran, dapat beasiswa pula. Tak heran "bentuk" Septian
seperti itu, mungkin dia terlalu sibuk belajar, ampai rambutnya lepek
begitu.
"Yang bawel itu, kamu pasti udah kenal. Dia banyak nyusahin kamu nggak, Rio?" tanya Bu Winda lagi. Kini, Ify siap mengamuk.
"Lumayan," jawab Rio membuat Ify benar-benar mengamuk.
"Aduh, maaf, ya, kalo dia sering ribut, anaknya memang suka heboh
sendiri. Tapi sebenarnya dia anak baik, kok," kata Bu Winda sambil
nyengir pada Ify yang masih misuh-misuh.
"Besok-besok, kalau mau makan, datang saja ke sini. Kita makan bareng," kata Joe. "Kami semua sudah biasa makan malam bareng."
Rio mengangguk ragu.
"Ya sudah kalau begitu, ayo kita mulai makan!" sahut Joe lagi. "Ayo Rio, makan yang banyak!"
Rio mengangguk pelan sambil memerhatikan anak-anak lain berebutan makanan yang ada di atas meja. Ify menatap Rio heran.
"Rio? Kenapa?" tanyanya membuat Rio menatapnya. "Jangan salahin
kita, lho, kalo makanannya habis. Di sini sistemnya seleksi alam."
Rio tertawa garing dan menggapai satu lauk yang tersisa, kemudian
menatap nasi yang ada di piringnya. Dia melirik orang-orang di
sekitarnya yang sudah mulai sibuk berkicau. Sudah lama Rio tidak
merasakan suasana makan malam seperti ini. Rio tersenyum sendiri, dan
bermaksud untuk mulai makan.
"Tante, nanti aku bantuin cuci piring," ujar Ify di sela-sela cerita
Septian tentang ujiannya. Mendengar itu Rio tersentak dan menatap
sendok di tangannya yang sudah setengah terangkat di udara. Sendok itu
terlepas dengan sendirinya dan jatuh ke piring, membuat suara dentingan
keras. Semua orang berhenti berbicara dan menatap Rio yang wajahnya
pucat pasi.
"Rio? Kamu kenapa?" tanya Bu Winda, wajahnya khawatir. "Masakan saya nggak enak?"
Rio masih belum bisa menguasai dirinya. Wajahnya tegang dan dari dahinya keluar keringat dingin.
"Maaf, saya ke belakang dulu," katanya, lalu buru-buru bangkit dan
pergi meninggalkan meja makan. Semua orang saling tatap dengan pandangan
heran.
Rio berjalan secepat mungkin ke kamar mandi, sambil menjambak-jambak
rambutnya sendiri. Bagaimana mungkin tadi dia berpikiran untuk makan
bersama keluarga itu? Bagaimana mungkin kemarin-kemarin dia juga
menerima makanan dan minuman dari Ify?
Rio memukul dinding di depannya keras-keras. Napasnya tersengal,
muak memikirkan dirinya yang nista itu dengan tamaknya mau merasakan
sedikit kebahagiaan tanpa memikirkan akibatnya.
Rio menatap cermin kecil di depannya. Dia tahu dia seharusnya tidak
memulai hubungan baik dengan siapa pun. Rio membasuh wajahnya dengan
air, menarik napas dalam-dalam, lalu menghelanya.
Rio keluar dari kamar mandi, dia tertegun melihat Ify yang sudah
menunggu di depan kamarnya sambil membawa nampan. Wajahnya terlihat
khawatir.
"Rio, lo nggak enak badan, ya?" tanyanya sementara Rio berjalan
mendekatinya. "Tante khawatir banget, makanya gue bawain aja makanan lo
ke sini."
"Nggak perlu," kata Rio dingin sambil melewati Ify. Dia bermaksud masuk ke kamarnya. Ify menatap Rio bingung.
"Tapi, ntar lo sakit," kata Ify lagi, membuat Rio berbalik.
"Apa peduli lo?" tanyanya tak sabar. Ify terdiam. Rio mendesah.
"Denger. Jangan pernah bawain apa pun lagi ke sini, karena gue nggak
perlu. Ngerti?"
Rio masuk ke kamar dan membanting pintunya tepat di depan Ify yang
masih mematung. Rio meremas kepalanya sambil terduduk di belakang pintu.
Lebih baik begini. Memang, lebih baik begini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar