Mereka makan di salah satu warung kaki lima yang berjejer sepanjang
pinggir jalan di tengah kota. Suasana malam itu ramai sekali. Maklum,
walaupun besok libur nasional, tapi jatuhnya tepat pada hari Sabtu.
Ify dan Rio tak henti-hentinya bergurau. Makan sambil nongkrong,
putar-putar dengan motor kesayangan Rio, nonton di 21. Rio sudah
menyiapkan tiket bioskop untuk film jam sembilan malam. Tadinya Ify
mencak-mencak karena itu berarti dia akan pulang lebih dari jam sebelas.
Dan bukan hal aneh kalau Bunda bakal ngamuk besar sama mereka. Tapi
dasar Rio, dia memang telah merencanakan segalanya, termasuk izin kepada
Bunda. Membuat Ify berpikir, Jangan-jangan Rio sengaja mengulur-ulur
waktu, karena dia mau jadi orang pertama yang ngucapin selamat ultah
buat gue. Aduuhh romantisnya....
“Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya Rio tiba-tiba.
“Nggak, nggak papa,” jawab Ify nggak kalah cepat, meskipun dia menyimpan sejuta perasaan berbunga di hatinya.
Seperti yang diperkirakan Ify, mereka sampai dirumah hampir jam dua
belas malam. Motor berhenti di pintu gerbang rumah Ify. Rio ikut turun
dari motor untuk membuka pagar. “Gelap amat. Apa lampu depan mati, ya?”
kata Ify seraya memandang sekelilingnya. Lampu ruang tamu memang selalu
dimatikan sebelum pergi tidur. Tapi hari ini, lampu depan pun mati. Atau
sengaja dimatikan? “Aduh... jangan-jangan Bunda marah, lagi,” gumam Ify
ketakutan. “Yo, lo serius kan udah pamit ama Bunda? Gue nggak ikutan ya
kalo Bunda sampe ngamuk.”
“Udah, gue bilang ama Bunda mau pulang jam dua belas malam, karena
gue mau jadi orang pertama yang ngucapin met ultah buat lo.” Ify kembali
tertunduk malu mendengar pengakuan Rio.
Tuh kan, bener.... romantis banget.... batinnya berbunga-bunga.
“Kemarilah.” Rio mengedikkan kepala meminta Ify mendekat kepadanya.
Satu tangannya memeluk pinggang Ify, tangan yang lain diangkat
tinggi-tinggi di depan dada agar terlihat jelas jam tangannya yang
menyala dalam gelap. “Kita hitung mundur bareng-bareng, ya,” katanya.
Ify langsung mengangguk pelan.
“Lima... empat...” mereka menghitung bersama. “Tiga... dua... satu...”
“Selamat ulang tahun...” Ify membelalak tak percaya. Lampu taman di
belakang Rio tiba-tiba menyala. Semua ada di sana, bahkan Prissy dan
Alvin juga.
“Kalian...” Belum hilang kekagetan Ify, kembang api warna-warni
sudah menghias langit malam di atas mereka, membentuk tulisan HAPPY
B’DAY IFY.
“Ah... ha... ha... ha... ha... ha...” Ify tak bisa menahan
kebahagiaannya. Tak lepas dipandangnya langit malam berhiaskan ucapan
selamat dan namanya. Ayah... Ayah lihat, kan... Ify bahagia, Ayah...
sangat bahagia...
“Happy b’day to you... happy b’day to you...” Gabriel, Rio, Prissy,
Alvin, bahkan Mbok Sum menghampiri Ify sambil mengiringi Bunda yang
membawa kue ultah yang diyakini Ify dibuat khusus oleh Bunda selama dia
pergi bersama Rio. “Happy b’day... happy b’day... happy b’day Ify...”
Ify tak kuasa lagi menahan air mata.
“Make a wish, Fy,” usul Prissy.
Ify langsung memejamkan mata. Ya Tuhan... semoga kebahagiaan ini tak
pernah berlalu dariku dan keluargaku. Juga untuk Ayah disisi-Mu. Begitu
matanya terbuka, ditiupnya lilin berbentuk angka tujuh belas itu. Semua
bersorak, semua bertepuk tangan.
Bunda yang pertama memeluk Ify setelah menyerahkan kue kepada Mbok
Sum. “Selamat ulang tahun, Sayang. Maaf ya, Bunda tidak bisa bikin
perayaan yang meriah seperti yang biasa dilakukan Ayah. Bunda juga hanya
bisa mendoakan, semoga kamu selalu menjadi putri kecil Bunda yang
berbahagia,” kata Bunda diiringi belaian lembut di rambut Ify.
“Bunda... ini ulang tahun Ify yang paling meriah yang pernah Ify
alami. Dengan berkumpulnya kalian di sini, itu sudah lebih dari cukup
buat Ify.” Gadis mungil itu tersenyum manis saat Bunda melepas
pelukannya. Diusapnya air bening yang menetes di pipi Bunda.
“Bunda, gantian dong, Gabriel juga mau ngucek-ngucek rambut Ify
nih!” potong Gabriel. Bunda hanya geleng-geleng kepala seraya memberi
tempat agar Gabriel bisa memeluk adiknya. “Met ultah, ya. Awas aja kalo
tambah bawel!” kata Gabriel seraya melepas pelukannya dan mengacak
rambut lembut rambut Ify.
Bukannya marah-marah seperti biasa, Ify malah tersenyum sambil berkata, “Terima kasih, Kak.”
Setelah itu bergantian Ify memeluk Prissy, Bagas, juga Mbok Sum.
Sedangkan Rio dapat giliran terakhir. Dipeluknya Ify sesaat, lalu
dikecupnya kening Ify dengan sayang. Setelah itu diserahkannya seikat
mawar putih yang dirangkai dengan indah. “Sorry, mawarnya ilang satu,
soalnya macan gue bisa nyakar kalo nggak dikasih mawar,” kata cowok itu
jail.
“Anak-anak, sebaiknya kita masuk. Anginnya makin kencang, nanti pada
masuk angin, lagi.” Usul Bunda disambut hangat semuanya. “Lagian
makanan yang Bunda siapkan nanti keburu dingin,” tambahnya.
“Tenang, Bunda, walaupun sudah dingin, kalo Bunda yang masak, pasti Gabriel abisin,” timpal Gabriel.
“Huu... ngerayu tuh, Bunda. Memang Kak Iyel aja yang tukang makan,” sambut Prissy dibarengi tawa yang lain.
“Eh, Fy, lo ke mana aja tadi?” tanya Prissy lagi seraya menjejeri langkah Ify menuju ruang tengah.
“Ada deh,” jawab Ify seraya melirik Rio yang membalasnya dengan
senyuman. “Ngomong-ngomong, ide siapa nih semua ini?” Ify balik
bertanya.
“Rio. Dia merancang semuanya,” sahut Prissy. “Tadinya sih gue
nelepon dia mau marah-marah minta penjelasan yang tempo hari. Habis gue
nggak tega lihat lo diem aja. Tapi dia malah kasih tau gue rencananya.
Ya gue nggak jadi marah.”
Ify tersenyum. Diam-diam dia mencuri pandang menatap Rio yang
ternyata juga sedang melakukan yang sama. Mereka tersenyum dan kembali
bercanda dengan yang lain.
@@@@@
PYAR... Shilla membanting pecah jam mejanya. Sivia, temannya yang pendiam, diam-diam berjengit ngeri.
“Rio... Rio... Rio... ke mana sih tuh anak?” kata Shilla geram
sambil berjalan mondar-mandir. “Telepon nggak diangkat, disamperin ke
rumahnya nggak pernah ada. Ketemu di sekolah berlagak sok sibuk. Bisa
gila nih lama-lama gue mikirin tingkahnya!” Shilla ganti menendang
boneka yang menghalangi langkahnya. “Apa lagi nih?” ucapnya semakin
berang.
“Tenang, Shil...” Sivia sang teman berusaha menenangkannya.
“Tenang... tenang... lo kira gue bisa tenang, Rio gue mau dicuri
orang?! Bego banget sih lo!” Shilla memelototi Sivia dengan galak.
Ditudingnya kepala Sivia dengan telunjuknya. Tapi... dia teringat
sesuatu yang membuatnya yang membuatnya tersenyum pada temannya yang
tertunduk lesu di pinggir tempat tidurnya. “Tunggu... bukankah si tikus
itu punya kakak? Dan si kakak itu kan cowok nekat yang tergila-gila sama
lo!” wajahnya berseri-seri senang.
Sivia teringat sosok Gabriel yang selalu setia menunggunya sepulang
sekolah hanya untuk memandang wajahnya. Sebab Shilla tak pernah
mengizinkannya berdekatan dengan Sivia. Pernah Gabriel nekat masuk SMA
Teitan untuk bertemu dengannya. Tapi belum sempat mengatakan sepatah
kata pun dia sudah jadi kambing congek Shilla dan gengnya. Dan Sivia
yang lemah hanya bisa tertunduk dan menangis pilu di toilet sekolah.
Terus terang dia kagum pada keberanian Gabriel yang tak kenal putus
asa untuk bisa menemuinya. Kadang Sivia berpikir ingin berlari ke
pelukan Gabriel agar terbebas dari kediktatoran sahabatnya. Tapi saat
dia ingat Gabriel bukan anak SMA Teitan, yang berarti hanya bisa
melindungi Sivia di luar gerbang sekolah, angan-angannya pun lenyap
seketika. Sivia tak mau jadi seperti Zahra, gadis pintar yang kini
dikucilkan karena Shilla menyebar berita tak sedap ke seantero sekolah
tentangnya. Dia tak setegar Zahra. Dan dia menyebut dirinya sendiri
“pengecut”.
“Heh, lo denger nggak sih?” Sivia tersentak oleh gertakan Shilla.
Lamunannya buyar karena wajah Shilla muncul begitu dekat dengan
wajahnya. Sivia cepat-cepat mengangguk, walau tak satu pun kalimat
Shilla yang didengarnya. “Bagus,” Shilla menarik wajahnya, dia kembali
mondar-mandir di depan Sivia. “Jadi, besok gue akan usir lo dari mobil
gue. Lo gue turunin di tempat biasanya cowok kere itu nongkrong nungguin
lo. Nah... setelah itu, terserah lo!” katanya bersemangat.
“Terserah gue? Emang gue mesti ngapain?” tanya Sivia tak mengerti.
“Oh God...” Shilla menepuk keningnya sendiri. Dibantingnya tubuhnya
ke samping Sivia. “Sivia, lo tuh kurang jelas di mananya? Gue kan udah
jelasin rencana gue sejelas-jelasnya. Belum ngerti juga lo?” dia
berusaha sabar.
Sivia hanya bisa menggeleng pasrah.
“Oke, gue ulangin. Soalnya gue nggak mau rencana ini gagal hanya
karena kebodohan lo!” Shilla berusaha mengendalikan kejengkelannya.
“Denger ya, gue mau lo jadi mata-mata gue,” lanjutnya. “Lo pura-pura
terima cinta cowok kurang ajar itu. Lo masuk ke keluarganya. Gue
kepingin lo liat dengan mata kepala sendiri apa yang sebenarnya terjadi
pada Rio dan gadis kampungan itu. Kalo memang ada ikatan di antara
mereka berdua... gue akan susun rencana lain untuk menghancurkannya.”
Mata Shilla berkilat-kilat jahat.
Sivia nggak percaya mendengar tugasnya yang dirasanya begitu berat. “Shil... gue... gue nggak bisa...”
“Gue nggak suka ditolak!” potong Shilla cepat. “Lo harusnya bangga,
karena ini untuk pertama kalinya lo berguna buat gue!” tambahnya tegas.
“Tapi... gimana kalo gue ketahuan? Gimana kalo gue ketemu Rio? Gue
harus ngomong apa?” Sivia jujur melontarkan semua kekhawatirannya.
Satu-satunya kekhawatiran yang tak ingin diungkapkannya adalah, dia
nggak sanggup berbohong pada Gabriel yang masih saja setia menunggunya
pulang sekolah, siap dengan segala cacian dan makian Shilla.
“Gue sendiri yang bakal bilang ke Rio kalo lo udah gue depak dari
geng elite gue. Jadi, kalopun lo ketemu dia, dia nggak bakal tanya
macam-macam. Selanjutnya terserah lo. Gue mau lo laporin semua tentang
mereka ke gue. Awas, kalo lo lari dari semua ini, lo bakal tau rasanya
dikucilkan!” ancam Shilla, membuat Sivia bergidik. “Nah, sekarang lo
pulang. Siap-siap buat besok.” Shilla merebahkan tubuhnya di tempat
tidur kesayangannya.
Sivia pergi setelah berpamitan pada Shilla. Berkali-kali dia
mengutuki kebodohannya yang mau saja datang ke rumah Shilla, padahal dia
bisa saja berbohong untuk menolaknya. Tapi Sivia memang bukan gadis
yang pandai berbohong. Dia takut Shilla bakal lebih meledak kemarahannya
kalau sampai tahu dia berbohong kepadanya.
Ya Tuhan... apa yang harus kulakukan? tanyanya.
Sesampai di rumah pun pikirannya masih belum tenang. Bahkan sampai
larut malam pun batinnya masih mempertengkarkan tugas berat yang
dipikulnya itu.
Ayolah, Siv, bukankah ini berarti kesempatan lo deket ama Gabriel? kata pikiran yang satu.
Iya, tapi apa lo tega ngebohongin orang yang masih terus bertahan mengharapkan lo? ungkap pikiran yang lain.
Masalah seperti itu jangan jadi beban dulu, Siv. Pasrahkan semua
kepada Tuhan. Dia pasti kasih jalan yang terbaik buat lo. yang penting
jalanin aja dulu. Yang jelas, lo mesti tetapkan niat, kalo lo deketin
Gabriel bukan karena Shilla, tapi karena lo emang mau deket sama dia.
Masalah lain, urus belakangan. Akhirnya, pikiran inilah yang membuat
Sivia jatuh tertidur saat jam di kamarnya sudah menunjukkan pukul satu
pagi.
BERSAMBUNG.................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar