Selasa, 26 Juni 2012

Will You Marry Me? - Part 10

Mereka makan di salah satu warung kaki lima yang berjejer sepanjang pinggir jalan di tengah kota. Suasana malam itu ramai sekali. Maklum, walaupun besok libur nasional, tapi jatuhnya tepat pada hari Sabtu.

Ify dan Rio tak henti-hentinya bergurau. Makan sambil nongkrong, putar-putar dengan motor kesayangan Rio, nonton di 21. Rio sudah menyiapkan tiket bioskop untuk film jam sembilan malam. Tadinya Ify mencak-mencak karena itu berarti dia akan pulang lebih dari jam sebelas. Dan bukan hal aneh kalau Bunda bakal ngamuk besar sama mereka. Tapi dasar Rio, dia memang telah merencanakan segalanya, termasuk izin kepada Bunda. Membuat Ify berpikir, Jangan-jangan Rio sengaja mengulur-ulur waktu, karena dia mau jadi orang pertama yang ngucapin selamat ultah buat gue. Aduuhh romantisnya....

“Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya Rio tiba-tiba.

“Nggak, nggak papa,” jawab Ify nggak kalah cepat, meskipun dia menyimpan sejuta perasaan berbunga di hatinya.

Seperti yang diperkirakan Ify, mereka sampai dirumah hampir jam dua belas malam. Motor berhenti di pintu gerbang rumah Ify. Rio ikut turun dari motor untuk membuka pagar. “Gelap amat. Apa lampu depan mati, ya?” kata Ify seraya memandang sekelilingnya. Lampu ruang tamu memang selalu dimatikan sebelum pergi tidur. Tapi hari ini, lampu depan pun mati. Atau sengaja dimatikan? “Aduh... jangan-jangan Bunda marah, lagi,” gumam Ify ketakutan. “Yo, lo serius kan udah pamit ama Bunda? Gue nggak ikutan ya kalo Bunda sampe ngamuk.”

“Udah, gue bilang ama Bunda mau pulang jam dua belas malam, karena gue mau jadi orang pertama yang ngucapin met ultah buat lo.” Ify kembali tertunduk malu mendengar pengakuan Rio.

Tuh kan, bener.... romantis banget.... batinnya berbunga-bunga.

“Kemarilah.” Rio mengedikkan kepala meminta Ify mendekat kepadanya. Satu tangannya memeluk pinggang Ify, tangan yang lain diangkat tinggi-tinggi di depan dada agar terlihat jelas jam tangannya yang menyala dalam gelap. “Kita hitung mundur bareng-bareng, ya,” katanya. Ify langsung mengangguk pelan.

“Lima... empat...” mereka menghitung bersama. “Tiga... dua... satu...”

“Selamat ulang tahun...” Ify membelalak tak percaya. Lampu taman di belakang Rio tiba-tiba menyala. Semua ada di sana, bahkan Prissy dan Alvin juga.

“Kalian...” Belum hilang kekagetan Ify, kembang api warna-warni sudah menghias langit malam di atas mereka, membentuk tulisan HAPPY B’DAY IFY.

“Ah... ha... ha... ha... ha... ha...” Ify tak bisa menahan kebahagiaannya. Tak lepas dipandangnya langit malam berhiaskan ucapan selamat dan namanya. Ayah... Ayah lihat, kan... Ify bahagia, Ayah... sangat bahagia...

“Happy b’day to you... happy b’day to you...” Gabriel, Rio, Prissy, Alvin, bahkan Mbok Sum menghampiri Ify sambil mengiringi Bunda yang membawa kue ultah yang diyakini Ify dibuat khusus oleh Bunda selama dia pergi bersama Rio. “Happy b’day... happy b’day... happy b’day Ify...” Ify tak kuasa lagi menahan air mata.

“Make a wish, Fy,” usul Prissy.

Ify langsung memejamkan mata. Ya Tuhan... semoga kebahagiaan ini tak pernah berlalu dariku dan keluargaku. Juga untuk Ayah disisi-Mu. Begitu matanya terbuka, ditiupnya lilin berbentuk angka tujuh belas itu. Semua bersorak, semua bertepuk tangan.

Bunda yang pertama memeluk Ify setelah menyerahkan kue kepada Mbok Sum. “Selamat ulang tahun, Sayang. Maaf ya, Bunda tidak bisa bikin perayaan yang meriah seperti yang biasa dilakukan Ayah. Bunda juga hanya bisa mendoakan, semoga kamu selalu menjadi putri kecil Bunda yang berbahagia,” kata Bunda diiringi belaian lembut di rambut Ify.

“Bunda... ini ulang tahun Ify yang paling meriah yang pernah Ify alami. Dengan berkumpulnya kalian di sini, itu sudah lebih dari cukup buat Ify.” Gadis mungil itu tersenyum manis saat Bunda melepas pelukannya. Diusapnya air bening yang menetes di pipi Bunda.

“Bunda, gantian dong, Gabriel juga mau ngucek-ngucek rambut Ify nih!” potong Gabriel. Bunda hanya geleng-geleng kepala seraya memberi tempat agar Gabriel bisa memeluk adiknya. “Met ultah, ya. Awas aja kalo tambah bawel!” kata Gabriel seraya melepas pelukannya dan mengacak rambut lembut rambut Ify.

Bukannya marah-marah seperti biasa, Ify malah tersenyum sambil berkata, “Terima kasih, Kak.”

Setelah itu bergantian Ify memeluk Prissy, Bagas, juga Mbok Sum. Sedangkan Rio dapat giliran terakhir. Dipeluknya Ify sesaat, lalu dikecupnya kening Ify dengan sayang. Setelah itu diserahkannya seikat mawar putih yang dirangkai dengan indah. “Sorry, mawarnya ilang satu, soalnya macan gue bisa nyakar kalo nggak dikasih mawar,” kata cowok itu jail.

“Anak-anak, sebaiknya kita masuk. Anginnya makin kencang, nanti pada masuk angin, lagi.” Usul Bunda disambut hangat semuanya. “Lagian makanan yang Bunda siapkan nanti keburu dingin,” tambahnya.

“Tenang, Bunda, walaupun sudah dingin, kalo Bunda yang masak, pasti Gabriel abisin,” timpal Gabriel.

“Huu... ngerayu tuh, Bunda. Memang Kak Iyel aja yang tukang makan,” sambut Prissy dibarengi tawa yang lain.

“Eh, Fy, lo ke mana aja tadi?” tanya Prissy lagi seraya menjejeri langkah Ify menuju ruang tengah.

“Ada deh,” jawab Ify seraya melirik Rio yang membalasnya dengan senyuman. “Ngomong-ngomong, ide siapa nih semua ini?” Ify balik bertanya.

“Rio. Dia merancang semuanya,” sahut Prissy. “Tadinya sih gue nelepon dia mau marah-marah minta penjelasan yang tempo hari. Habis gue nggak tega lihat lo diem aja. Tapi dia malah kasih tau gue rencananya. Ya gue nggak jadi marah.”

Ify tersenyum. Diam-diam dia mencuri pandang menatap Rio yang ternyata juga sedang melakukan yang sama. Mereka tersenyum dan kembali bercanda dengan yang lain.



@@@@@



PYAR... Shilla membanting pecah jam mejanya. Sivia, temannya yang pendiam, diam-diam berjengit ngeri.

“Rio... Rio... Rio... ke mana sih tuh anak?” kata Shilla geram sambil berjalan mondar-mandir. “Telepon nggak diangkat, disamperin ke rumahnya nggak pernah ada. Ketemu di sekolah berlagak sok sibuk. Bisa gila nih lama-lama gue mikirin tingkahnya!” Shilla ganti menendang boneka yang menghalangi langkahnya. “Apa lagi nih?” ucapnya semakin berang.

“Tenang, Shil...” Sivia sang teman berusaha menenangkannya.

“Tenang... tenang... lo kira gue bisa tenang, Rio gue mau dicuri orang?! Bego banget sih lo!” Shilla memelototi Sivia dengan galak. Ditudingnya kepala Sivia dengan telunjuknya. Tapi... dia teringat sesuatu yang membuatnya yang membuatnya tersenyum pada temannya yang tertunduk lesu di pinggir tempat tidurnya. “Tunggu... bukankah si tikus itu punya kakak? Dan si kakak itu kan cowok nekat yang tergila-gila sama lo!” wajahnya berseri-seri senang.

Sivia teringat sosok Gabriel yang selalu setia menunggunya sepulang sekolah hanya untuk memandang wajahnya. Sebab Shilla tak pernah mengizinkannya berdekatan dengan Sivia. Pernah Gabriel nekat masuk SMA Teitan untuk bertemu dengannya. Tapi belum sempat mengatakan sepatah kata pun dia sudah jadi kambing congek Shilla dan gengnya. Dan Sivia yang lemah hanya bisa tertunduk dan menangis pilu di toilet sekolah.

Terus terang dia kagum pada keberanian Gabriel yang tak kenal putus asa untuk bisa menemuinya. Kadang Sivia berpikir ingin berlari ke pelukan Gabriel agar terbebas dari kediktatoran sahabatnya. Tapi saat dia ingat Gabriel bukan anak SMA Teitan, yang berarti hanya bisa melindungi Sivia di luar gerbang sekolah, angan-angannya pun lenyap seketika. Sivia tak mau jadi seperti Zahra, gadis pintar yang kini dikucilkan karena Shilla menyebar berita tak sedap ke seantero sekolah tentangnya. Dia tak setegar Zahra. Dan dia menyebut dirinya sendiri “pengecut”.

“Heh, lo denger nggak sih?” Sivia tersentak oleh gertakan Shilla. Lamunannya buyar karena wajah Shilla muncul begitu dekat dengan wajahnya. Sivia cepat-cepat mengangguk, walau tak satu pun kalimat Shilla yang didengarnya. “Bagus,” Shilla menarik wajahnya, dia kembali mondar-mandir di depan Sivia. “Jadi, besok gue akan usir lo dari mobil gue. Lo gue turunin di tempat biasanya cowok kere itu nongkrong nungguin lo. Nah... setelah itu, terserah lo!” katanya bersemangat.

“Terserah gue? Emang gue mesti ngapain?” tanya Sivia tak mengerti.

“Oh God...” Shilla menepuk keningnya sendiri. Dibantingnya tubuhnya ke samping Sivia. “Sivia, lo tuh kurang jelas di mananya? Gue kan udah jelasin rencana gue sejelas-jelasnya. Belum ngerti juga lo?” dia berusaha sabar.

Sivia hanya bisa menggeleng pasrah.

“Oke, gue ulangin. Soalnya gue nggak mau rencana ini gagal hanya karena kebodohan lo!” Shilla berusaha mengendalikan kejengkelannya. “Denger ya, gue mau lo jadi mata-mata gue,” lanjutnya. “Lo pura-pura terima cinta cowok kurang ajar itu. Lo masuk ke keluarganya. Gue kepingin lo liat dengan mata kepala sendiri apa yang sebenarnya terjadi pada Rio dan gadis kampungan itu. Kalo memang ada ikatan di antara mereka berdua... gue akan susun rencana lain untuk menghancurkannya.” Mata Shilla berkilat-kilat jahat.

Sivia nggak percaya mendengar tugasnya yang dirasanya begitu berat. “Shil... gue... gue nggak bisa...”

“Gue nggak suka ditolak!” potong Shilla cepat. “Lo harusnya bangga, karena ini untuk pertama kalinya lo berguna buat gue!” tambahnya tegas.

“Tapi... gimana kalo gue ketahuan? Gimana kalo gue ketemu Rio? Gue harus ngomong apa?” Sivia jujur melontarkan semua kekhawatirannya. Satu-satunya kekhawatiran yang tak ingin diungkapkannya adalah, dia nggak sanggup berbohong pada Gabriel yang masih saja setia menunggunya pulang sekolah, siap dengan segala cacian dan makian Shilla.

“Gue sendiri yang bakal bilang ke Rio kalo lo udah gue depak dari geng elite gue. Jadi, kalopun lo ketemu dia, dia nggak bakal tanya macam-macam. Selanjutnya terserah lo. Gue mau lo laporin semua tentang mereka ke gue. Awas, kalo lo lari dari semua ini, lo bakal tau rasanya dikucilkan!” ancam Shilla, membuat Sivia bergidik. “Nah, sekarang lo pulang. Siap-siap buat besok.” Shilla merebahkan tubuhnya di tempat tidur kesayangannya.

Sivia pergi setelah berpamitan pada Shilla. Berkali-kali dia mengutuki kebodohannya yang mau saja datang ke rumah Shilla, padahal dia bisa saja berbohong untuk menolaknya. Tapi Sivia memang bukan gadis yang pandai berbohong. Dia takut Shilla bakal lebih meledak kemarahannya kalau sampai tahu dia berbohong kepadanya.

Ya Tuhan... apa yang harus kulakukan? tanyanya.

Sesampai di rumah pun pikirannya masih belum tenang. Bahkan sampai larut malam pun batinnya masih mempertengkarkan tugas berat yang dipikulnya itu.

Ayolah, Siv, bukankah ini berarti kesempatan lo deket ama Gabriel? kata pikiran yang satu.

Iya, tapi apa lo tega ngebohongin orang yang masih terus bertahan mengharapkan lo? ungkap pikiran yang lain.

Masalah seperti itu jangan jadi beban dulu, Siv. Pasrahkan semua kepada Tuhan. Dia pasti kasih jalan yang terbaik buat lo. yang penting jalanin aja dulu. Yang jelas, lo mesti tetapkan niat, kalo lo deketin Gabriel bukan karena Shilla, tapi karena lo emang mau deket sama dia. Masalah lain, urus belakangan. Akhirnya, pikiran inilah yang membuat Sivia jatuh tertidur saat jam di kamarnya sudah menunjukkan pukul satu pagi.







BERSAMBUNG.................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar