Selasa, 26 Juni 2012

The Truth About Forever - Chapter 3 : Misteriuos Guy

"Aneh banget," kata Ify dengan mata menerawang. Sivia menatap Ify, lalu beralih pada whiteboard. Mereka sedang berada di kelas, menunggu dosen datang.



"Apanya?" tanya Sivia, setelah tak menemukan kejanggalan pada whiteboard yang sejak tadi dipandang Ify.



"Si alien," kata Ify lagi yang membuat Sivia tiba-tiba bersemangat.



"Oh, Rio? Emangnya kenapa? Dia ngapa-ngapain elo?" seru Sivia, dan berhasil membuat Ify mendelik. Ify lalu menghela napas lelah.



"Kadang-kadang baik. Kadang-kadang judes. Semalam malah ngamuk," cerita Ify lagi membuat Sivia mengernyit.



"Ngamuk kenapa?" tanyanya. Ify mengkat bahu.



"Nggak tau, gue juga nggak ngerti. Padahal gue cuma bawain dia makanan kayak sebelum-sebelumnya. Gue pikir gue punya salah, tapi setelah dipikir-pikir lagi, kayaknya nggak," lanjut Ify lagi, lalu mendesah. "Emang bener-bener makhluk aneh."



"Ify," kata Sivia membuat Ify menoleh. "Elo nggak naksir dia, kan?"



Ify tidak langsung menjawab. Dia menatap Sivia sebentar, dan Sivia balas menatapnya penuh arti.



"Vie, kayaknya salah, deh, gue curhat sama lo," kata Ify akhirnya membuat Sivia cemberut.



"Naksir juga nggak apa-apa. Gue ikhlas, kok." Jawaban Sivia sukses membuat Ify mengernyit.



"Kenapa juga harus nggak ikhlas?" tanya Ify dan Sivia pun tertawa.



***



Rio menatap bangunan di depannya. Fakultas Hukum Universitas Bandung. Mungkin orang yang dicarinya ada di sini. Setelah kejadian semalam, Rio kembali bersemangat untuk menemukan orang itu, menyelesaikan masalahnya, dan kembali ke Manado. Rio tak mau lagi berlama-lama di sini.



Rio mengorek sakunya, mengeluarkan ponsel yang selama beberapa hari terakhir dimatikan, dan mengaktifkannya. Seketika, beberapa pesan masuk ke dalam inbox-nya. Kebanyakan dari ibunya, dan satu pesan dari seseorang yang membuat Rio tertegun. Tanpa membacanya, Rio mencatat nomor Alvin di kertas, mencabut SIM card dari ponselnya, dan kemudian membuangnya ke selokan.



Rio berjalan mencari orang yang menjual kartu perdana, setelah mendapatkannya, dia langsung menelepon Alvin.



"Alvin? Ini gue, Rio. Gue di depan Fakultas Hukum Univesitas Bandung. Kalo bisa, gue pengen ketemu," kata Rio, lalu dia mengangguk. "Oke, gue tunggu."



Dia memutus sambungan telepon dan duduk di halte bus. Dia mulai memasang headphone-nya dan mendengarkan Baby It's You milik June.



Tak berapa lama, sebuah mobil Jazz hitam berhenti di depan Rio. Si pengendara mobil itu membuka kaca mobilnya sedikit, lalu mengangguk pada Rio.



"Oi, Rioo," kata Alvin membuat Rio bangkit. "Ayo."



Rio memakai ranselnya dan duduk di samping Alvin yang menyetir. Tanpa basa-basi Alvin segera tancap gas.



"Jadi, apa kabar lo, Yo?" tanya Alvin sambil mengembuskan asap rokoknya.



"Gitu aja," jawab Rio pendek sambil memainkan kotak rokoknya.



Mereka sedang berada di kafetaria Universitas Bandung. Karena belum saatnya makan siang, kafetaria itu tampak sepi.



"Belum ketemu juga?" tanya Alvin lagi. Rio menggeleng. Alvin mendesah sambil mematikan rokok di asbak. "Lo masih dendam sama dia, Yo? Udah tiga tahun."



Rioo mendengus. "Gimana gue nggak dendam, Vin? Dia udah ngehancurin hidup gue."



"Yo, kalo lo masih mikirin kejadian itu, lo nggak bakal maju. Lupain aja kenapa? Lagian lo nggak kenapa-napa, kan?" kata Alvin membuat Rioo menatapnya tajam.



"Lo nggak tau apa-apa, Vin," katanya dingin.



"Kalo gitu, kasih tau gue. Lo nggak bisa berharap gue mau bantu lo, kalo lo nggak ngasih tau gue apa masalahnya," ucap Alvin lagi. Rio menatap Alvin ragu.



Kafetaria makin ramai saat Rio akhirnya mau memberitahu Alvin tentang apa yang terjadi padanya tiga tahun terakhir.



"Serius lo, Yo?" tanya Alvin, wajahnya menegang. Rio mengangguk dengan wajah datar.



"Sekarang, mau ngomong apa lo tentang lupain aja?" cetus Rio dingin. "Gue harus cari dia sampai dapat. Setelah itu, gue nggak peduli apa yang bakal terjadi sama gue. Toh, gue juga udah nggak punya alasan buat hidup."



ALvin menatap Rio yang sekarang menyalakan rokoknya.



"Stop dulu ngerokoknya," pinta Alvin sambil mengambil rokok dari mulut Rio. Rio bengong lalu tertawa terbahak-bahak.



"Lo kedengaran kayak nyokap gue," kata Rio setelah sembuh dari gelinya.



Alvin tidak tertawa, dia hanya menatap temannya itu, tak tahu apa yang harus dilakukan atau dikatakannya saat ini.



"Jangan lo juga, Vin," sambung Rio membuat Alvin mengernyit. "Jangan sampai lo juga kasihan sama gue. Gue muak dikasihani."



Alvin mengangguk kecil. "Sori. Gue bakal bantu lo semampu gue, tapi gue nggak janji bisa ketemu sama lo karena gue juga ada kerjaan."



"Nggak apa-apa. Gue lega udah ngomong sama lo. Seenggaknya, lo orang paling kalem setelah tau gue kenapa," kata Rio sambil tertawa miris.



Alvin balas tersenyum sedikit, lalu menatap Rio yang kembali menyalakan rokok. Tak pernah disangkanya kalau teman masa SMA-nya ini akan menjadi orang seperti ini.



***



Ify memasukkan motornya ke dalam garasi kos, ia naik tangga dengan langkah gontai. Setelah tadi kuliah seharian penuh, tubuhnya seakan baru ditimpa raksasa. Diam-diam, dia mengutuk kehidupan perkuliahannya yang semakin berat.



Ify sedang memijat lehernya yang pegal saat dia melihat Rio keluar dari kamar mandi. Sesaat, mereka saling tatap, tetapi akhirnya Rio membuang muka dan berjalan cuek ke kamarnya.



"Dasar alien!" ujar Ify membuat Rio menoleh.



"Hah?" tanya Rio



"Dasar alien, sebentar-sebentar baik, sebentar-sebentar judes. Nggak konsisten," kata Ify lagi. Rio menatap Ify yang cemberut.



"Terserahlah," komentarnya pendek, lalu masuk ke dalam kamar.



"Hiiiiihhhh!" seru Ify gemas sambil melemparkan sendalnya ke pintu kamar Rio. "Orang aneeeehhh!"



Sambil tersengal, Ify masuk ke dalam kamarnya dan melemparkan tasnya sembarangan. Ify mendelik ke dinding yang menempel dengan kamar Rio. Tiba-tiba, kata-kata Sivia tadi pagi terngiang di telinga Ify.



"AAAAARGH! Emangnya siapa yang suka sama orang aneh kayak elo!" teriak Ify lagi, sambil melemparkan boneka-boneka chappy-nya ke dinding itu.



Rioo mengernyit saat mendengar suara-suara ribut dari kamar sebelah.



"Berisik!" sahutnya sambil memukul dinding di sebelahnya. Dia sedang berkonsentrasi pada layar handycam di depannya.



Rio memutar kembali kaset berisi rekaman saat kelasnya sedang bersiap-siap mengadakan pentas seni. Sekilas, dia menangkap sosok Alvin yang sedang memotong karton. Itu membuatnya teringat pada pertemuannya dengan Alvin tadi siang.



Rio merasa bebannya sedikit terangkat setelah berterus terang pada Alvin. Setidaknya, sekarang Alvin mau besungguh-sungguh membantunya menemukan orang itu, dan tidak menjauhinya seperti semua orang.



Mendadak, sosok orang yang selama ini sedang dicari Rio muncul di layar handycam, tertawa-tawa sambil mengacung-acungkan sapu, seolah tak ada yang terjadi. Memang, saat itu semuanya belum terjadi. Rio ingin kembali ke masa-masa itu, masa-masa saat semuanya masih baik-baik saja.



Namun, sudah tak mungkin. Tak ada gunanya mengharapkan sesuatu yang mustahil. Rio menatap layar handycam. Tangannya terkepal keras sampai bergetar.



Dia harus menemukan orang itu. Harus.



Ify menatap kosong langit biru di atasnya. Tangannya memegang baju-baju yang baru diangkatnya dari jemuran. Semalam, Rukia tidak bisa tidur ataupun meneruskan tulisannya. Otaknya tiba-tiba macet karena terhalang sosok Rio.



"Kenapa dia harus kos di sini, sih?" gumam Ify sebal sambil meneruskan mengambil beberapa baju yang masih tergantung.



Setelah selesai, Ify bergerak menuruni tangga. Tempat jemuran berada di lantai tiga, yang tidak jadi dibangun karena kurang dana. Sekarang, lantai itu hanya berupa lahan kosong beratapkan langit yang sering digunakan Ify sebagai tempat mencari inspirasi.



Ify berjalan dengan baju menutupi pandangannya. Dia tak sadar kalau ada yang terjatuh dari pegangannya.



"34 A," kata seseorang membuat Ify menoleh.



"Hah?" tanya Ify bingung.



Rio sedang duduk di depan pintu kamarnya sambil menggunting kuku.



"Itu," kata Rio sambil mengedikkan kepalanya ke sesuatu di lantai. Rukia semakin menatapnya bingung, namun kemudian mengikuti arah pandangan Rio dan mendapati sesuatu berwarna pink di lantai. Seketika, mata Ify membesar.



"Aaaaahhh!" seru Ify panik saat menyadari kalau benda pink itu adalah bra-nya. Dia cepat-cepat memungutnya sambil mendelik ganas ke arah Rio, yang dengan cueknya kembali menggunting kukunya. Setelah lama mendapat tatapan ganas dari Ify, Rio mendongak.



"Apa?" tanyanya pada Ify yang matanya masih memicing curiga.



"Ini udah kedua kalinya," ujar Ify lambat-lambat. "Elo ngeliat benda-benda pribadi gue."



Rio bengong dengan tampang sedikit mencemooh, tapi beberapa detik kemudian dia kembali menggunting kukunya. "Kayak gue mau aja," komentarnya pendek membuat Ify melotot.



"Sempet-sempetnya liat ukurannya lagi!" sahut Ify panas.



"Nggak sengaja," jawab Rio tak peduli pada kekesalan Ify.



"Cabul," umpat Ify dendam.



"Hah?" Rio tak terima. Ify menatap Rio ganas, lalu Rio cepat-cepat masuk ke kamarnya. Namun, sebelum sempat masuk, Rio berkata lagi, "Emangnya nggak kebesaran ya, 34 A?"



Ify menatap Rio tak percaya, sementara Rio pura-pura tak melihatnya.



"Dasar cabuuuuuuulll!" jerit Ify, lalu ia segera masuk ke kamar dan membanting pintunya.



Rio terkekeh sendiri. Namun, tiba-tiba dia menyadari kalau lagi-lagi dia telah melakukan hal yang tidak semestinya.



***



"Ify, Rio ke mana?" tanya Bu Winda saat makan malam.



"Tau," kata Ify. Dia masih sebal karena kejadian tadi siang.



"Makanannya dianterin lagi sana, siapa tau dia lapar," kata Bu Winda lagi. Pak Joe mengangguk-angguk setuju.



"Tante, kalo dia emang laper, dia pasti akan ke sini," jawab Ify, malas mengantarkan makanan lagi.



"Kemarin dia kenapa, ya?" tanya Septian.



"Mungkin ada masalah," kata Bu Winda. "Atau nggak enak badan. Makanya, sana kamu antarkan lagi."



Ify menatap tantenya penuh harap supaya tidak jadi mengantarkan, tetapi Bu Winda malah menyiapkan makanan untuk Rio. Ify tertunduk lemas, akhirnya dengan terpaksa dia menyanggupinya.



Ify berjalan ragu ke kamar Rio. Lampunya menyala, berarti cowok itu ada di kamar. Tadinya, Ify bermaksud untuk menaruh makanan itu begitu saja di depan pintu, tetapi tidak jadi setelah melihat seekor kucing sudah stand by di sebelahnya.



"Jangan harap," kata Ify kejam pada kucing itu, yang segera mengeong marah dan pergi. Ify menghela napas, dan akhirnya menendang pintu kamar Rio karena tangannya penuh.



"Rio," panggil Ify, tetapi tak ada jawaban. Mungkin Rio sedang tidur. Baru saja Ify akan membawa makanan itu kembali, dia mendengar suara pintu tingkap atas terbuka. Ify mengernyit, lalu berjalan ke arah tangga menuju lantai tiga. Pintunya terbuka dan menutup karena tertiup angin. Ify segera naik dan mendapati Rio sedang berbaring di lantai, menatap langit yang bertaburan bintang.



"Ngapain lo di sini?" tanya Ify heran.



Rio menoleh sebentar, lalu kembali menatap langit.



"Nggak ngapa-ngapain," kata Rio, yang segera duduk. "Udah gue bilang, kan, nggak usah bawain gue apa-apa lagi."



"Eh, bukannya mau gue, ya, nganterin makan lo, kayak raja aja," kata Ify panas. "Tapi kalo emang lo nggak mau, balikin aja sendiri ke Tante Winda."



Ify meletakkan nampan di depan Rio. Rio menatap nampan itu. Kali ini, nampan itu berisi satu magkuk kecil nasi, semangkuk sup ikan, dan segelas es jeruk. Rio menelan ludahnya, teramat sangat ingin mencicipi semua itu, tetapi itu berarti dia akan menerima kebaikan lagi.



Ify menatap bingung Rio yang tampaknya sedang berpikir keras.



"Apa susahnya, sih, tinggal makan ini? Serius amat mikirnya," kata Ify membuat Rio tersadar.



"Nanti gue balikin sendiri," ujar Rio akhirnya. Sebisa mungkin dia menatap ke arah lain, menghindari makanan di depannya.



Ify mengernyit, menggelengkan kepalanya, dan akhirnya mengangkat bahu.



"Udah aneh, cabul, banyak mikir lagi. Lo pikir gimana lo bisa menjalani hidup?" kata Ify sok bijak, lalu meninggalkan Rio yang menatapnya sebal.



Setelah Ify menghilang, Rio kembali menatap nampan itu. Rio tak boleh mengulangi hal yang sama. Jadi saat seekor kucing datang dan memakan isi mangkuk itu, Rio tak begitu keberatan.



***



Hari Minggu siang. Rio baru saja bangun, ia tidak berniat pergi ke mana pun karena kampus libur. Dan itu akan membuat orang yang dicarinya akan semakin sulit ditemukan. Rio akan berusaha pergi ke mal-mal atau tempat hiburan lain, nanti jika nyawanya sudah lebih terkumpul.



Rio membuka pintu kamarnya dan seketika terbatuk karena debu-debu tebal yang berterbangan di sekitanya. Rio menoleh dan mendapati Ify sedang memukuli kasur yang tergantung di depan kamarnya. Dia memakai kain untuk menutup hidung dan mulutnya, sementara dipinggangnya tergantung kemoceng.



Ify berhenti memukul, ia menoleh pada Rio. Dia berkacak pinggang, menatap Rio sambil memicing.



"Ya ampun, hari gini baru bangun? Mau jadi apa generasi zaman sekarang?" katanya sambil geleng-geleng kepala.



"Bawel," balas Rio sambil menggaruk kepalanya. "Lo ngapain, sih? Bikin polusi aja. Kalo mau, di atas aja sana."



"Oh, berhubung sekarang lo ngomong gitu, tolong sekalian bawain, dong, ke atas. Gue nggak kuat, nih," pinta Ify membuat Rio menyesal telah memberinya saran.



Rio berdecak, tetapi ia mengangkat kasur Ify dan berjalan malas ke atas. "Awas jatuh," kata Ify saat menaiki tangga. "Kasurnya."



Rio mendelik sementara Ify tertawa. Tak berapa lama, Rio sudah meletakkan kasur itu di antara dua kursi. Ify segera memukulinya dengan heboh, membuat hujan debu di mana-mana.



"Udah berapa taun, sih, lo nggak ngebasin kasur?" seru Rio di sela-sela batuknya. "Mending buang aja, deh!"



"Enak aja lo ngomong. Emang mau beliin lagi?" sahut Ify tak jelas, karena megap-megap di balik kain penutup hidungnya. "Kalo lo mau tau, kasur yang lo pakai lebih banyak debunya, mungkin malah bisa jadi adukan semen!"



Rio jadi teringat pada kasur di kamarnya, dia berjanji dalam hati tidak akan duduk serampangan lagi. Selama beberapa saat, Rio memerhatikan kesibukan Ify.



"Eh, lo tau mal di sini di mana?" tanya Rio tiba-tiba.



"Mal?" Ify balik bertanya. "Emang kenapa?"



"Nggak, cuma nanya doang," jawab Rio berkelit. Ify berhenti mengebasi kasur, dan menatap curiga.



"Lo mau ngelamar kerjaan jadi cleaning service, ya?" tanyanya membuat Rio bengong. "Nggak diterima di mana-mana, makanya putus asa, ya, kan?"



Rio berdecak, dia menatap Ify ganas.



"Udahlah, lupain aja," ujarnya keki.



"Eh, kenapa harus dilupain?" sambar Ify jahil sambil mendekati Rio dan menatapnya seolah memberi semangat. "Cleaning service juga kerjaan. Yang panting halal. Ya, nggak?"



Rio tertawa garing sambil menatap ke sekeliling. Pemandangan di depannya hanyalah atap-atap rumah tetangga, tetapi langit biru cerah membuat perasaannya nyaman.



"Oh, iya, gue tau!" seru Ify lagi, membuat perasaan Rio kembali tidak enak. "Gimana kalo lo bantuin gue beres-beres kamar gue, sekalian latihan jadi cleaning service nanti!"



Rio menatap Ify datar, melewatinya tanpa bicara sepatah kata pun. Cewek itu memang makhluk yang kompleks.



***



Rio tadi sudah mengunjungi satu mal yang dianggapnya paling dekat dari tempat kost-nya. Karena sudah malas bertanya pada Ify, akhirnya dia bertanya pada Alvin. Selama beberapa jam dia mencari, tetapi orang yang dicarinya tak ketemu juga. Rio juga baru tahu, kalau setelah pukul enam malam di Bandung tak ada lagi bus yang beroperasi. Jadi, dia pulang jalan kaki dan sekarang dia hampir tak punya tenaga lagi untuk naik tangga.



"Kenapa, Rio? Kayak kakek-kakek gitu," celetuk Ify yang tak sengaja melihat Rio berjalan terseok-seok menaiki tangga. Rio hanya nyengir tak jelas.



"Rio," panggil seseorang yang ternyata Bu Winda yang sedang menyiram pot-pot di depan rumahnya. "Nanti makan malam bareng, ya!"



"Saya udah makan, Bu," kata Rio cepat. "Makasih."



Rio lalu buru-buru naik, sebelum Bu Winda mulai membujuknya atau menanyainya macam-macam. Setelah aman, Rio kembali berjalan terseok. Ketika lewat depan kamar Ify, Rio tak sengaja melirik. Di dalam, Ify yang sedang menghadapi layar komputernya menoleh.



"Wah, udah pulang! Gimana, dapet kerjaannya?" tanya Ify, dan Rio memilih untuk tidak menjawab. Ify bangkit berjalan keluar kamar. "Gitu aja nggak dapet? Aduh, ternyata lo sebego yang gue kira, ya..."



Ify terkekeh kejam, membuat Rio menatapnya sebal.



"Berhenti ngegodain gue, oke? Yang kemarin-kemarin, gue beneran nggak sengaja," kata Rio membuat Ify memicing.



"Tapi lo sempet liat ukurannya!" balas Ify sengit. "Dalam waktu sesingkat itu, lo bisa liat ukurannya!"



"Oke, oke, gue liat ukurannya. Jadi? Nggak penting juga, kan?" jawab Rio membuat Ify semakin panas. Rio mendesah. "Oke, kalo ini emang penting buet lo, gue minta maaf."



Ify menatap Rio, menimbang-nimbang. Akhirnya, dia mendesah.



"Yah, mau gimana lagi. Emang cowok zaman sekarang pikirannya selalu ke situ," kata Ify membuat Rio melotot.



"Ke mana maksud lo?" katanya tak terima.



"Tapi gue mau lo ngelakuin sesuatu buat gantinya," kata Ify membuat Rio mengernyit. "Ambilin kasur gue, terus taruh di kamar gue."



Rio bengong sesaat. "Bilang aja lo mau minta tolong ambilin kasur!" sahut Rio keki. "Pake nyudutin gue segala, lagi!"



"Yah, itu kan salah lo juga. Udah, ambilin sana!" balas Ify.



Rio akhirnya pergi juga walaupun sambil bersungut-sungut. Ify nyengir penuh kemenangan.

Beberapa saat kemudia, Rio datang sambil membawa kasur. Ify sudah menantinya dengan senyum lebar.



"Taruh di mana?" tanya Rio kesal.



"Di sini," kata Ify sambil menunjuk karpet yang terhampar. Rio meletakkan kasur itu, kemudian menepuk-nepuk bajunya yang terkena debu kasur itu.



Ify segera memberi seprai pada kasur itu, sementara Rio mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar Ify yang bernuansa ungu. Tanpa disadarinya, dia melangkahkan kakinya ke arah papan target Ify dan membacanya.



"Satu. Menjadi penulis best-seller," gumam Rio, lalu menoleh pada Ify dan mentapnya sangsi. "Lo? Penulis best-seller?"



"Eh, jangan salah! Suatu saat, kalo gue beneran jadi penulis best-seller, lo jangan nyesel ya, nggak baik-baik sama gue." Ucapan Ify membuat Rio mendengus. Dia kemudian melirik sebuah pigura berisi foto Rukia bersama dua orang yang sepertinya orang tuanya, seorang pria yang tampak masih muda berambut hitam panjang terurai dan seorang wanita yang memiliki wajah sangat mirip dengan Ify.



"Meninggal setahun yang lalu," jelas Ify seolah mengetahui pertanyaan di benak Rio. "Kecelakaan mobil."



"Oh," kata Rio. "Sori."



"Nggak apa-apa," jawab Ify. Dia telah selesai memasang seprai dan kini bediri di samping Rio. "Orang tua gue bilang, apa pun cita-cita gue, gue pasti bisa raih kalau gue bener-bener berusaha. Makanya, gue yakin bisa jadi penulis best-seller. Kalo cita-cita lo apa, Rio?"



Rio mendadak bergeming. Dia tidak tahu apa yang dilakukannya di sini, di kamar ini. Dia tidak tahu kenapa dia malah mengobrol tentang ini-itu bersama seorang gadis yang hampir tidak dikenalnya, dan tidak boleh dikenalnya lebih jauh.



“Rio?" tanya Ify, bingung pada Rio yang tiba-tiba membatu.



"Gue... capek," kata Rio dingin. Dia melangkah keluar kamar dari kamar Ify dan segera masuk ke dalam kamarnya.



Rio terduduk di kasur, matanya menerawang. Selama ini, dia bertekad tidak akan memulai hubungan apa pun dengan siapa pun, dan selama ini telah berhasil pada semua orang yang ditemuinya. Tetapi, kenapa tidak pada gadis ini? Kenapa setiap kali Rio berusaha menjauhinya dia selalu saja lupa?



Rio tak boleh lupa siapa dirinya. Tidak boleh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar