"Uwwaaah..." Ify meregangkan tubuhnya yang terasa penat. Sudah seharian
dia mengerjakan naskah baru untuk novelnya yang kedua. Sekarang, dia
sedang beristirahat di lantai tiga.
Ify berbaring di lantai semen, lalu menatap langit biru yang cerah
tak berawan. Melakukan hal itu dia jadi teringat Rio, laki-laki yang
satu setengah tahun lalu pernah datang ke kost ini dan menjadi cinta
pertamanya.
Ify menghela napas, lalu memakai headphone besar dan menyetel iPod
yang di berikan Rio setahun lalu sebelum dia pulang ke Manado. Dan,
sudah setahun ini juga Ify mendengarkan musik-musik yang ada di iPod
itu. Ify jadi tahu musik kesukaan Rio, dan Ify juga ikut menyukainya.
"Rio... kamu lagi apa sekarang?" gumam Ify sambil masih tetap menatap langit biru.
Selama setahun ini, Rio sama sekali tidak memberi kabar, tetapi Ify
percaya padanya. Ify yakin, Rio pasti sedang berkonsentrasi pada
cita-citanya. Ify tahu dari Shilla kalau Rio sedang kuliah di sekolah
perfilman dan Ify sangat senang mendengarnya.
Ify juga tidak mau kalah. Sekitar sebulan yang lalu, sebuah penerbit
menghubunginya dan mengatakan bahwa novel pertamanya akan diterbitkan.
"Sebentar lagi kita ketemu, ya...," gumam Ify lagi sambil tersenyum sendiri. "Rio, kamu juga berusaha, ya."
Ify baru akan menutup matanya ketika Winda—tantenya, memanggil dari
bawah. Ify segera beranjak turun, lalu menatap bingung paket yang
dipegang Winda.
"Ify, ini paket buat kamu," kata Winda sambil menyerahkan paket itu pada Ify.
Ify menerima paket itu lalu membukanya dengan bingung. Dia menarik
salah satu buku dari paket itu, lalu terbelalak melihat judulnya.
"Tante!" seru Ify membuat Winda kaget. "Tante, ini buku Ify! Buku pertama Ify udah jadi!"
"Hah? Yang bener, Fy?" seru Winda, ikut kaget.
"Beneran!" sahut Ify girang. Teriakannya membuat Ozy dan Septian keluar dari kamarnya masing-masing.
"Ada apaan, sih, Fy?" tanya Ozy bingung.
"Zy! Buku gue udah jadi!" seru Ify sambil menyerahkan satu novel untuk Ozy dan satu lagi untuk Septian.
"Wah, selamet, ya!" sahut Septian.
Ify mengangguk senang. Dengan begini, dia sudah bisa bertemu dengan Rio.
"Rio, buruan dooong!" sahut Rukia lagi, membuat semua orang yang ada di sana menatap sekeliling, seolah mencari sesuatu.
"Hah? Mana Rio?" tanya Ozy bingung, sementara Ify hanya nyengir.
Ify menatap novel di tangannya. Ify benar-benar tidak percaya cita-citanya akan tercapai. Ify tidak percaya karyanya
sudah diterbitkan.
Neighbour from Mars. Itulah judul novelnya.
"Sivia! Bukuku udah jadi, lho!" sahut Ify membuat Sivia yang ada di seberang telepon mengamuk.
"Apaan, sih, teriak-teriak, budek, nih!" Ify balas menyahut tapi
selanjutnya terdiam, sepertinya sedang mencermati perkataan(baca:
teriakan) Rukia tadi. "EHH? Buku lo udah terbit?"
Ify nyengir gila-gilaan, sekarang dia sedang berbaring di tempat tidurnya.
"Iyaaa! Ntar kamu aku kirimin, deh!" sahut Ify lagi.
"Wah, keren, Fy! Novelnya... jadi tentang si Rio?" tanya Sivia hati-hati.
"Iya!" sahut Ify ceria. "Keren banget, deh, pokoknya kamu harus baca!"
Sivia tertawa kecil lalu terdiam sebentar. "Lo apa kabar, Fy? Kuliah beres? Jangan cuma nulis novel aja dong..."
"Ih, gaya aja yang udah kerja," kata Ify membuat Sivia terkekeh. "Bentar lagi juga aku lulus!"
"Bener, ya, ntar pas wisuda gue dateng, deh," kata Sivia. "Hmm... Fy, lo beneran nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa, kok. Aku malah seneng, berarti sebentar lagi aku bisa ketemu lagi sama Rio!" kata Ify
"Oh, gitu, ya. Kalo gitu, ntar kalo kalian ketemu, salamin dari gue, ya," ujar Sivia lagi.
"Iya, ntar aku salamin. Ya udah, deh, kalo gitu. Vie, yang semangat, ya!" kata Ify. "Dan, doain aku bisa tidur ntar
malem."
"Huu... dasar! Pasti grogi-grogi nggak jelas gitu, deh. Ya udah, dadah!"
Sivia memutuskan sambungan teleponnya. Ify menghela napas, dia
menatap langit-langit kamarnya. Sivia memang sudah pasti menjadi orang
pertama yang ingin diberitahunya tentang bukunya. Namun, sebenarnya, ada
orang yang paling ingin diberitahu Ify, namun Ify tidak tahu bagaimana
caranya.
Selama hari itu, Ify sudah berkali-kali menatap bukunya. Ify masih
belum benar-benar percaya kalau dia sudah menerbitkan sebuah buku. Dan
karena buku itu, Ify jadi semangat untuk membuat yang lain lagi.
Sekarang, Ify sedang berada di depan komputer, serius dengan naskah
terbarunya. Kalau dulu dia menulis tentang Rio dalam novel pertamanya,
sekarang dia ingin menulis sesuatu yang benar-benar berasal dari
khayalannya.
Selama mengetik, Ify tidak henti-hentinya nyengir. Ify memikirkan
tentang pertemuannya dengan Rio yang tinggal selangkah lagi. Setelah Rio
berhasil membuat film, mereka pasti akan bertemu.
Karena merasa haus, Ify mengulurkan tangannya untuk mengambil gelas, tetapi gelas itu malah tersenggol dan jatuh ke lantai.
"Aaah!" seru Ify sambil berusaha menyelamatkan gelas itu, tapi gelas
itu sudah terlanjur jatuh dan pecah. Ify bermaksud untuk membereskan
pecahan gelas tersebut, tapi jarinya terkena pecahan itu hingga
berdarah. Ify—secara spontan—segera mengisap darah yang merembes keluar
dari celah kulitnya yang tersayat.
Mendadak, Ify teringat tentang kejadian saat dulu jari Rio juga
pernah berdarah. Dan, mengingatnya membuat Ify tiba-tiba teringat saat
Rio baru datang sampai akhirnya pergi lagi. Ify tersenyum, dan ketika
dia mau mulai mengetik lagi, ponselnya berbunyi.
Ify mengernyit bingung saat melihat deretan angka di layar
ponselnya. Ify merasa tidak mengenali nomor telepon itu, tapi pada
akhirnya dia mengangkatnya juga.
"Hallo?" kata Ify.
"Hallo?" Terdengar suara lembut seorang wanita dari seberang, dan Ify merasa pernah mendengarnya di suatu
tempat. "Apa benar ini... Ify?"
"Iya benar. Maaf, tapi ini siapa, ya?" tanya Ify.
"Saya... ibunya Rio, Manda," jawab suara itu lagi membuat Ify terkejut.
"Ah, Tante. Eh, maaf, ibunya Toushiro," kata Ify serba salah.
"Panggil Tante juga tidak apa-apa, kok, Fy," kata Manda lembut.
"Oh, iya, Tante," jawab Ify lagi—masih gugup, tetapi selanjutnya dia merasa bingung, kenapa ibunya Rio meneleponnya.
"Saya dapat nomor kamu dari ponsel Rio," kata Manda lagi. "Saya mengganggu, ya?"
"Ah, tidak, kok, Tan," jawab Fy cepat.
"Fy... selama ini Rio selalu membicarakan kamu. Saya baru sempat berterima kasih sekarang, maaf ya," ujar Manda
lagi. "Terima kasih karena kamu sudah merawat Rio selama dia berada
di sana. Terima kasih karena kamu mau mendengarkan Rio dan memberi
harapan untuk Rio."
"Ah, tidak, Tante...," sanggah Ify.
"Rio kembali sekolah juga berkat kamu, saya tidak tahu harus bagaimana lagi berterima kasih sama kamu, Fy."
Ify terdiam, benar-benar tak tahu harus menjawab apa.
"Fy... Rio punya janji sama kamu, ya?" tanya Manda.
"Ng... iya, Tante," jawab Ify bingung.
"Fy... saya menelepon kamu untuk menyampaikan pesan dari Rio," kata
Manda membuat jantung Ify tiba-tiba berdetak cepat. "Katanya... maaf
karena sudah ingkar janji."
"Maksud... Tante...?" tanya Ify terbata-bata. Manda terdiam sesaat, terdengar seperti sedang menarik napas.
"Ify, kamu harus tahu, selama setahun ini Rio sudah sebisa mungkin
berusaha," kata Manda lagi. "Rio melakukan semua itu demi bertemu dengan
kamu lagi. Tapi, Rio tidak bisa memenuhi janjinya, Rio benar-benar
minta maaf."
"Tante, apa maksud Tante dia gagal membuat film?" tanya Ify cepat.
"Kalau memang dia gagal, nggak apa-apa! Aku masih mau ketemu sama dia!"
Manda terdiam sebentar. Ify bisa mendengar isakan wanita setengah
baya itu. Ify tahu ini bukan pertanda yang baik, tapi Ify tak mau
memercayainya.
"Ify, Rio... baru saja... meninggal," kata Manda membuat jantung Ify
seperti berhenti berdetak. Tubuh Ify terasa lemas. Ify tidak bisa
merasakan satu pun dari organ tubuhnya. Ify menggeleng-gelengkan
kepalanya. Dia tadi pasti salah dengar. Rio tidak mungkin sudah
meninggal.
"Tante, tadi aku salah dengar, kan, ya?" tanya Ify, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri. "Tadi, aku salah dengar, kan?"
"Ify, saya minta maaf. Tapi, sampai saat terakhir, Rio selalu minta
maaf dan menyebut nama kamu," kata Manda, sudah terisak. Ify sendiri
bergeming, air matanya sudah jatuh—bebas menuruni pipinya tanpa ada yang
menyeka.
"Kenapa...?" gumam Ify lirih.
"Ify, semenjak bertemu kamu, semangat hidup Rio kembali. Dia jadi
rajin minum obat, dia periksa ke dokter rutin, semuanya Rio lakukan
supaya dia bisa tetap bertahan hidup," cerita Manda. "Tapi, takdir
berkata lain, Fy. Dia meninggal karena kecelakaan."
"Kecelakaan...?" gumam Ify lagi.
"Dia baru pulang dari pemutaran filmnya," kata Manda lagi. "Dia
tertabrak mobil waktu mau menyelamatkan anak-anak yang jatuh di jalan."
Ify tak bisa berkata-kata lagi. Air matanya sudah mengalir deras.
Ify merasa dadanya sangat sesak sehingga tak sanggup untuk bicara.
"Fy, mungkin permintaan terakhir Rio adalah bertemu dengan kamu,"
kata Manda. "Jadi, besok kami akan menunggu kamu sebelum memakamkan
Rio."
Ify terisak hebat. Dia tidak bisa mendengar kata-kata Manda yang
selanjutnya. Ponselnya sudah jatuh tergeletak begitu saja. Ify mengambil
iPod dari Rio dan mendekapnya erat-erat.
Malam itu, Ify menangis sejadi-jadinya. Air matanya seakan tak pernah bisa berhenti mengalir.
Ify tidak banyak bicara selama dalam perjalanan ke Manado. Winda
meliriknya cemas. Pagi itu, Ify beserta Winda dan Joe berangkat ke
Manado dengan Pesawat untuk menghadiri pemakaman Rio. Wanda sangat kaget
saat semalam Ify tiba-tiba menghampirinya dengan menangis dan
mengatakan bahwa Rio telah tiada.
Sepanjang perjalanan, Ify hanya menatap ke luar jendela sambil
mendengarkan musik dari iPod milik Rio. Sesekali, Ify menangis, tetapi
baik Winda maupun Joe tak ada yang mencoba untuk menghiburnya. Karena
mereka tahu bahwa Ify tak akan bisa dihibur dengan cara apa pun juga.
Dan sekarang, mereka akhirnya sampai di depan rumah Rio yang sedang
diselimuti dengan suasana duka. Ify turun dari mobil dan seketika itu
juga kakinya terasa lemas—seakan tak kuat untuk menopang tubuh
mungilnya. Dia merasa tidak akan sanggup melihat Rio. Joe pun segera
memapahnya masuk ke dalam pekarangan, dan di sana sudah ada Alvin dan
Shilla.
Masih ada bekas air mata yang telah mengering di kedua pipi Shilla.
Sedangkan Alvin, dari luar dia memang terlihat tegar, tetapi tak ada
saorang pun yang tahu kalau sebenarnya dialah yang merasa paling
terpukul atas kematian Rio.
Di matanya terpancar rasa bersalah yang amat dalam. Dan sebisa
mungkin, Alvin menghindari kontak mata dengan Ify, dia tidak ingin
melihat kesedihan Ify. Karena semua ini adalah salahnya. Ya, kematian
Rio adalah kesalahan terbesar yang pernah diperbuatnya.
"Ify," kata Shilla yang segera menghambur ke arah Ify dan
memeluknya. Tangis Shilla pecah, tetapi Ify tidak menangis. "Fy, kamu
harus kuat, ya?"
Ify mengangguk, lalu Joe membawanya masuk ke dalam rumah duka. Di
dalam sana, sudah ada beberapa orang dengan pakaian serba hitam yang
mengelilingi sosok kaku di tengah ruangan. Ify mendekati sosok kaku itu
dengan langkah terseok.
Rio tampak begitu pucat dengan kapas yang menutupi kedua lubang
hidungnya. Tapi meskipun begitu, wajah tampannya terlihat sangat
damai—benar-benar polos tanpa beban sedikit pun. Ify juga bisa melihat
senyuman tipis terpasang di bibir pucatnya menghiasi wajahnya yang kini
nampak kaku. Ify terduduk di sampingnya dan menatapnya. Zeth dan
Manda—orang tua Rio, menatap Ify sedih.
"Yo," kata Ify lirih. "Akhirnya... kita bisa ketemu lagi, ya?"
Tangis Manda mendadak pecah, lalu menangis di pelukan Zeth. Shilla
juga sudah menangis di ambang pintu masuk, Alvin yang berada di
sampingnya—dengan mata yang juga tak kalah berkaca-kaca—hanya bisa
memeluk gadis itu, berusaha menenangkannya.
"Akhirnya... kita sama-sama berhasil, ya?" kata Ify lagi, lalu
menunjukkan bukunya. "Nih, bukuku udah terbit. Isinya tentang kamu,
lho."
Setetes air mata Ify sudah mulai jatuh.
"Yo, kok kamu diem aja, sih?" ujar Ify lagi. "Kok, kamu pucet banget? Ini apaan lagi, ada kapas di hidung. Jelek banget, tau."
Ify bermaksud melepas kapas yang menutupi lubang hidung Rio, tetapi
tanpa sengaja dia menyentuh kulit wajah Rio yang sedingin es. Ify segera
terisak, menyadari kalau Rio tidak akan pernah bisa menjawabnya lagi.
Ify juga menyadari bahwa Rio tidak akan lagi bisa mengacak-acak
rambutnya sambil mengatainya cengeng saat dia menangis.
"Yo, kamu nggak ingkar janji, kok," kata Ify lagi. "Kita udah
ketemu, kan? Kita juga udah sama-sama berhasil meraih cita-cita kita,
kan? Aku bangga sama kamu, Yo."
Manda terisak lebih kuat, sedangkan Zeth masih memeluknya erat.
"Yo, suatu saat nanti kita pasti bisa ketemu lagi," ujar Ify, masih terisak. "Suatu saat, kita pasti ketemu lagi. Dan
sampai saat itu tiba, kamu tunggu aku, ya."
Ify membelai pipi Rio yang terasa dingin bagai es, lalu terisak lagi. Ify ternyata tidak bisa kuat seperti janjinya.
Pemakaman Rio sudah berakhir. Ify sempat pingsan saat jasad Rio
masuk ke liang kubur. Sekarang, Ify tidak bisa beranjak dari makam pria
yang dicintainya itu. Air mata juga masih nampak di wajahnya yang sendu.
Air mata memang ditakdirkan untuk menghiasi perpisahan. Ify sendiri
enggan menghapus air matanya. Biarlah air mata itu menjadi saksi betapa
besarnya ikatan cinta dan kasih sayangnya terhadap Rio.
Sudah satu jam Ify terduduk di depan makam Rio, membelakangi Alvin
yang berdiri sekitar satu meter di belakangnya. Semua pelayat sudah
pergi—termasuk Manda, Zeth, Shilla, serta Joe dan Winda, yang menunggu
Ify di rumah Rio. Sehingga di sana hanya tertinggal Ify dan Alvin.
Tiba-tiba, Alvin berjalan mendekati Ify dari belakang.
"Ify?" panggil Alvin, membuat Ify menoleh dengan mata sembab. "Gue Alvin, temennya Rio."
Ify mengangguk. Alvin mengeluarkan sebuah piala yang terbuat dari kaca dan menyodorkannya pada Ify. Ify
menerimanya dengan bingung.
"Piala penghargaan buat Rio," jelas Alvin. "Kemarin dia menang lomba film indie."
Ify menatap Alvin tak percaya, lalu beralih menatap piala di tangannya.
"Rio benar-benar berusaha untuk bikin film itu," kata Alvin lagi. "Ini kopiannya, dia bikin khusus buat lo."
Ify menerima sebuah CD yang disodorkan Alvin, air matanya jatuh lagi. Alvin menatap Ify lama.
"Fy, terima kasih banyak karena udah menyelamatkan Rio," kata Alvin,
matanya masih menatap lekat-lekat gadis di hadapannya. "Karena lo, Rio
bisa meninggal dengan lebih baik." 'Tapi, maafin gue karena udah
merampas dia dari hidup lo, Fy. Gue bener-bener minta maaf,' lanjutnya
penuh penyesalan dalam hati.
"Tapi, aku nggak sempat ketemu sama dia," ujar Ify lirih.
"Walaupun kalian nggak sempat ketemu, lo pasti tau apa yang mau dia
omongin, kan?" tanya Alvin membuat Ify menatapnya bingung. "Lo pasti
tau."
Ify tidak tahu. Dia sama sekali tidak tahu apa yang akan dikatakan Rio seandainya mereka bertemu. Ify menatap makam Rio.
"Apa yang mau kamu omongin?" tanya Ify lirih. "Aku sama sekali nggak tau, Yo."
Alvin masih menatap Ify lama, lalu mengalihkan pandangannya ke
langit yang terlihat mendung—seolah ikut berduka atas kematian Rio. Dan
itu membuatnya kembali teringat akan pesan terakhir yang dikatakan Rio
kepadanya, sesaat sebelum Rio meninggalkan dunia ini.
"Jaga Ify, Vin. Gue tau kalo suatu saat, gue pasti harus ninggalin
dia. Dan di saat gue udah nggak bisa ngejaga dia, gue mohon, gantiin gue
buat ngejaga dia dengan baik. Jangan biarin dia nangis lagi. Gue nggak
bisa terus-terusan ngeliat dia nangis karena gue. Gue mohon, Vin. Jaga
Ify... demi gue."
Alvin kembali menatap Ify yang masih terduduk di samping makam Rio.
Alvin benar-benar sedang mengalami dilema. Di satu sisi, dia ingin
melaksanakan pesan terakhir sahabatnya itu. Tapi di sisi lain, dia
sendiri bingung, bagaimana bisa dia menggantikan Rio untuk menjaga Ify
sementara dirinyalah yang menyebabkan Rio pergi untuk selamanya dari
sisi gadis itu.
"Kenapa harus gue, Yo?" gumam Alvin lirih. "Mana bisa gue ngejaga
orang yang bahkan nggak akan pernah bisa ngelupain lo selamanya."
Ify tidak mendengar Alvin. Ify sudah disibukkan dengan pikirannya
sendiri, memikirkan apa kata-kata yang akan Rio ucapkan padanya
seandainya mereka bertemu.
Sudah tiga bulan semenjak kematian Rio, dan Ify sudah bisa
melanjutkan hidupnya. Novelnya menjadi best-seller dalam waktu tiga
bulan itu. Film Rio juga sedang dalam proses untuk diangkat ke layar
lebar berkat bantuan teman-teman kampusnya.
Film itu bercerita tentang kehidupan seorang penderita AIDS yang
berjuang untuk meneruskan hidupnya, mirip seperti perjalanan hidup Rio
sendiri. Dan, novel Ify menceritakan seorang Mario Stevano dari sudut
pandangnya.
Ify sekarang juga sudah menjadi aktivis yang membantu penderita
AIDS. Ify ingin membuat perubahan. Ify ingin menunjukkan bahwa penderita
AIDS bukan untuk dijauhi, karena mereka juga manusia yang butuh
perhatian dan kasih sayang dari orang lain. Ify membantu memberikan
penyuluhan dan pengertian bahwa AIDS tidak menular lewat cara
bersentuhan—seperti banyak orang-orang pikirkan.
Ify baru saja selesai memberikan penyuluhan di sebuah puskesmas di
daerah sekitar Pantai Bandung, dan sekarang dia sedang berjalan-jalan di
pantai. Melihat pantai ini, dia jadi teringat lagi saat dia dan Rio
datang ke sini. Saat itu,
Rio mengatakan untuk jangan jatuh cinta kepadanya, dan Ify masih belum mengerti keadaan Rio.
Ify duduk di pasir sambil menikmati angin pantai yang berembus. Saat
itu sudah sore, dan matahari sebentar lagi terbenam. Ify lalu memasang
headphone dan menyetel iPod pemberian Rio. Dan kemudian, ingatannya
kembali terbang ke saat Rio memberinya iPod itu.
oOo Flashback oOo
Rio melepasheadphone besar yang sedari tadi melingkar di lehernya
dan memakaikannya pada Ify. Dia menyerahkan iPod-nya pada Ify yang
terlihat bingung. "Nih, pegang. Ntar gue ambil lagi, jadi jangan
dirusakin."
Ify menatap bingung iPod di tangannya.
"Beneran nggak apa-apa, Yo? Bukannya ini penting?" tanya Ify.
"Iya ini penting, ini suara hati gue," kata Rio sambil nyengir. "Makanya gue pinjemin. Ntar harus didengerin."
Ify mengangguk.
oOo End of Flashback oOo
Sejak saat itu, Ify selalu mendengarkan musik dari sana. Ini adalah
musik yang selalu didengarkan Rio, dan Rio juga sudah memintanya untuk
mendengarkannya. Katanya, musik-musik ini adalah suara hatinya.
Ify lalu memutuskan untuk berbaring, dan pada saat itulah musik di
telinganya berhenti. Ify kembali duduk sambil memerhatikan layar
iPod-nya. Baterainya masih penuh. Ternyata, Ify tadi tidak sengaja
menekan suatu tombol yang membuatnya keluar dari menu musik ke mode
rekaman. Bingung karena tidak pernah mengutak-atiknya, Ify sembarangan
menekan tombol. Tahu-tahu dari headphone terdengar suara gemeresak.
Ehem, tes tes.
Ify terkejut setengah mati saat mendengar suara Rio ada di sana. Ify
menekan headphone-nya lebih dalam ke telinganya, takut salah dengar.
Ify lalu mendengarkannya baik-baik.
Ify?
Ini gue.
Ify membekap mulutnya. Ini memang benar suara Rio. Jantung Ify
langsung berdetak tak beraturan. Sudah terlalu lama Ify tidak mendengar
suara itu. Sungguh bohong besar jika dia bilang kalau dia tak merindukan
suara itu.
Euhm... gue nggak tau kapan lo bakal ngedengerin rekaman ini.
Mungkin tepat setelah gue kasih iPod gue.
Atau baru sekarang ini, saat lo udah sedikit lebih canggih dan baru sadar kalo ada rekaman ini selain lagu.
Maaf, bercanda.
Maaf lagi karena udah nyakitin lo selama ini.
Maaf karena gue nggak pernah mau ngedengerin lo.
Maaf karena gue nggak pernah bisa membalas setiap kebaikan lo.
Maaf karena gue terlalu pengecut untuk ngomong semua ini langsung sama lo.
Gue takut kalo gue ngomong langsung, lo bakal nangis, dan gue nggak pengen liat lo nangis lagi.
Atau, gue yang bakal nangis dan nggak mau ninggalin lo.
Atau malah, kita sama-sama nangis, dan kalo udah gitu, nggak akan ada yang berubah.
Ify...
Gue yang sekarang ini terlalu memalukan buat lo.
Gue yang sekarang ini cuma bisa nyusahin lo.
Dan, gue mau lo kenal dengan Mario Stevano yang semangat dan punya cita-cita.
Gue bakal balik kayak Mario Stevano yang dulu, dan dengan keadaan itu, gue mau kita ketemu lagi.
Ify...
Terima kasih karena udah menyelamatkan gue.
Terima kasih karena udah mau menemani gue.
Terima kasih juga karena udah nerima keadaan gue.
Dan, lo pasti tau kalo selama ini gue selalu menyalahkan Tuhan atas semua hal yang terjadi di kehidupan gue.
Mulai dari penyakit mengerikan ini, sampai ke kebahagiaan yang terambil satu per satu dari kehidupan gue.
Tapi, belakangan ini gue sadar, bahwa ada baiknya kalau gue justru bersyukur dengan apa yang Tuhan takdirkan
sama gue selama ini.
Karena, tanpa keadaan gue yang terpuruk seperti itu—ditambah rasa
dendam gue sama Gabriel, gue mungkin nggak bakal pernah pergi ke
Bandung, apalagi ketemu sama lo.
Nah, sekarang udah nangis, kan?
Hapus, tuh, air mata, jelek banget tau.
Boong ding.
Lo cewek tercantik yang pernah gue kenal, dan lo adalah keajaiban terindah dalam hidup gue.
Walaupun kita ketemu dengan cara yang sulit, gue seneng bisa ketemu sama lo.
Dan, walaupun gue agak sedikit malu, gue bisa bilang ini.
Gue sayang sama lo.
Dan gue nggak akan maafin lo kalo buku lo nggak terbit-terbit.
Ify...
Sekali lagi terima kasih.
Gue akan berusaha nggak mati dulu sebelum ketemu sama lo lagi.
Tapi, kalo Tuhan berkehendak lain, maafin gue karena udah ninggalin lo.
I'll see you soon.
Ify sudah menangis sejadi-jadinya. Perasaan Ify campur aduk. Senang
karena akhirnya bisa mendengar apa yang mau dikatakan Rio, dan menyesal
karena tidak menyadarinya lebih awal. Ternyata, ini yang dimaksud Rio
sebagai suara hatinya.
Ify menangis sampai dadanya terasa sesak, sampai kepalanya sakit.
Sepertinya, air matanya terus keluar walaupun Ify mencoba untuk
menghentikannya.
Selama satu jam dia terisak, sampai tiba-tiba dia merasakan sepasang
tangan memeluknya dari belakang. Ify menggigit bibir bagian bawahnya,
lalu perlahan memejamkan matanya. Ify bisa merasakan tubuh hangat Rio
yang sedang memeluknya. Setetes air mata Ify jatuh lagi.
"Ify, hidup untuk bagian gue juga, ya."
Sayup-sayup Ify mendengar bisikan suara Rio. Bukan melalui
headphone, tetapi melalui angin yang berembus lembut di sekitar
telinganya.
Ify kemudian membuka mata, dan menyaksikan matahari yang terbenam.
Ify lalu mngambil buku 'Neighbour from Mars' yang ada di sebelahnya dan
membuka halaman pertamanya. Di sana terdapat tulisan:
Buku ini aku persembahkan untuk Mario Stevano, orang yang memberi awal dari kehidupanku yang sesungguhnya.
Orang yang lebih mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri.
Orang yang tersesat dan akhirnya menemukan jalan kembali.
Rio, sekian tahun aku bertanya-tanya, untuk apa aku dilahirkan ke dunia ini?
Dan, sekarang aku tahu jawabannya.
Untuk bertemu denganmu. Untuk membuat perubahan. Dan, untuk hidup bersama perubahan itu.
Sekali pun aku tidak pernah menyesali pertemuan kita.
Rio, terima kasih atas kepercayaanmu. Buku ini adalah tanda terima kasihku atas kepercayaanmu itu.
P.S. Setelah pulang ke Mars, jangan lupa untuk kembali ke Bumi, karena kamu masih punya janji dengan makhluk
Bumi ini.
Ify membalik halaman demi halaman bukunya itu, dan seketika
memorinya terpanggil. Dari saat awal ketika bertemu Rio yang "datang"
dari Mars, saat mereka pergi ke pantai ini, saat mereka menjalani
hal-hal sulit bersama, sampai akhirnya mereka berjanji untuk bertemu
lagi.
Dan, sekarang Ify sampai pada halaman terakhir. Halaman saat sang
alien harus kembali ke Mars. Ify menutup bukunya, lalu tersenyum menatap
lautan yang sudah berwarna oranye karena pantulan matahari.
Pasti, suatu saat Ify akan bertemu Rio lagi. Pasti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar