Gabriel sudah siap memukul Rio dengan tangan terkepal. “Heh! Lo apain
adik gue sampai jadi begitu he?!” tantangnya garang. Bunda berusaha
mencegahnya, sementara Rio tampak berdiri pasrah di depan Gabriel.
“Pukul aja, Kak. Gue memang salah.” ucapnya parau.
“Jangan
sok deh lo, lo kira gue nggak berani mukul lo?” Satu pukulan mendarat
di pipi Rio. Dia sempat tersungkur, tapi kemudian perlahan-lahan bangkit
berdiri lagi.
Bunda langsung menarik tangan Gabriel dan
memaksa anaknya itu menghadap kepadanya. “Bunda nggak pernah mengajarkan
untuk menyelesaikan masalah dengan kekerasan,” kata Bunda. Gabriel
terdiam.
“Biarkan saja, Bunda. Berapa banyak pukulan pun akan Rio terima untuk menebus kesalahan Rio,” kata Rio lirih.
“Tidak,
bukan seperti itu penyelesaiannya. Bunda ingin kamu menjelaskan semua
ini. Apa yang sebenarnya terjadi?” ucap Bunda bijak.
“Rio
juga tidak tahu, Bunda.” Wajah Rio tampak kusut tak keruan. Disekanya
darah segar yang mengalir di sudut mulutnya. “Rio Cuma tahu, Rio bikin
perjanjian dengan Ashilla. Awalnya dia mengancam akan melukai Ify kalo
Rio nggak ninggalin Ify. Tapi Rio bersikukuh akan jagain Ify. Bahkan Rio
bilang akan segera tunangan dengan Ify untuk ganti mengancam Shilla.
Tiba-tiba dia berubah baik dan membuat kesepakatan, bahwa dia akan
relakan Rio bersama Ify asalkan Rio mau menghabiskan tiga hari
bersamanya. Mengurus ulang tahunnya dan menghadiri pestanya dengan baju
yang sudah dipilihkan olehnya. Rio bahkan bersedia pontang-panting
nganterin dia ke mana aja asal bisa segera kembali kepada Ify dan
terbebas dari Shilla. Siapa sangka kejadiannya bakal seperti ini.” Wajah
lusuh itu tertunduk lesu. “Rio bahkan nggak nyangka akan membuat Ify
sakit hati sampai seperti itu, Bunda. Rio hanya ingin menjauhkan Ify
dari keganasan Shilla.”
Semua terdiam mendengar penjelasan itu. Bahkan Gabriel telah melemaskan tangannya yang tadi terkepal menahan marah.
“Tapi,
Yo...” Sivia memecah keheningan. “Waktu itu jelas-jelas kami lihat
rangkaian bunga besar ucapan selamat bertunangan buat lo dan Shilla.
Bunga itu diletakkan di pintu masuk rumah Shilla. Lo bisa jelasin itu?”
tanya Sivia tegas. Entah dari mana ia mendapat keberanian hingga sanggup
mengemukakan pertanyaan itu.
“Bunga apa? Gue nggak tau,
Siv. Gue nggak tau,” sahut Rio pelan. “Tapi percayalah, gue nggak
mungkin mengkhianati Ify. Setelah apa yang terjadi antara gue dan dia
selama ini,” sambungnya.
Bunda mengembuskan napas panjang.
“Yo, Bunda percaya sama kamu,” katanya sambil mendekati Rio dan menepuk
bahunya pelan. “Bunda tahu, karena mata itu takkan bisa berbohong pada
Bunda.” Ditatapnya mata Rio yang terlihat sayu dan sedih. “Tapi untuk
meyakinkan Ify, Bunda rasa perlu sedikit waktu lagi. Kamu tahu sendiri
gimana Ify. Hatinya sudah terlanjur sakit. Dia pasti sudah menutup
rapat-rapat hatinya. Dan untuk membuka-nya lagi, bukan hal yang mudah.”
“Gabriel
belum bisa percaya seratun persen, Bunda. Gabriel akan ke SMA Teitan
untuk mencari jawab atas perlakuan cewek sialan itu!” Gabriel ikut
berkomentar.
“Ya, pergilah ke sana, kamu boleh cari
gara-gara, biar masalah semakin panjang,” tantang Bunda. “Kamu kira apa
yang tidak bisa dilakukan orang kaya? Menuduhmu melakukan penganiayaan
dan menjebloskanmu ke penjara itu bukan hal sulit bagi mereka. Jadi
lakukanlah niatmu itu, tapi jangan pernah panggil aku Bunda,” ancam
Bunda galak. Ini memang salah satu jurus Bunda menangani putranya yang
kadang nekat.
Dan terbukti jurus itu ampuh, karena Gabriel langsung terdiam.
“Rio,
lebih baik sekarang kamu pulang. Tenangkan pikiran dan coba cari jalan
untuk membujuk Ify. Biasanya kan kamu paling pintar mengambil hatinya.
Sementara kami juga akan kita mencoba membujuknya.”
“Terima
kasih, Bunda,” ujarnya Rio. Dijabatnya tangan Bunda lalu diciumnya
dengan sayang sebelum akhirnya meninggalkan rumah Ify.
“Sivia,” panggil Bunda.
“Ya, Bunda.”
“Kamu
saja yang cari tahu soal rangkaian bunga itu. Biar cowok sok macho itu
lebih percaya lagi kalo Rio sungguh-sungguh dengan perkataannya,” pinta
Bunda seraya menggedikkan kepala ke arah Gabriel.
Sivia
mengangguk cepat. “Baik, Bunda.” Baginya itu bukan tugas, melainkan
kasih sayang Bunda kepadanya yang diwujudkan dalam bentuk kepercayaan. Sivia akan lakukan apa pun untuk menemukan jawaban atas semua ini, Bunda. Karena Sivia juga sudah janji pada Ify, katanya dalam hati.
@@@@@
“Prissy... Alvin... ngapain kalian di sini?” tanya Sivia tak percaya, mendapati kedua sohib Ify berada di pos satpam sekolahnya.
“Hai, Siv, sorry ganggu. Tapi kami nggak bisa tinggal diam liat sobat kami tergeletak di kasur.” Prissy yang menjawab.
“Dari mana kalian...”
“Semalem
kami nelepon Ify di rumah, kata Bunda dia sakit, makanya kami ke sana.
Kami nggak tahu kejadiannya separah itu. Bunda yang cerita,” Alvin
menjelaskan singkat.
“Dan gue nggak mau ketinggalan nyakar Nenek Lampir kurang ajar itu,” tambah Prissy garang.
Sivia tersenyum. “Baiklah, tapi kalian harus janji nggak bikin masalah.”
Keduanya mengacungkan jempol dan berkata bersamaan, “Sip, Bos.”
“Ya
udah, ayo masuk.” Sivia mengajak mereka memasuki gerbang sekolah
setelah sebelumnya berkata kepada satpam, “Mereka teman saya, Pak.”
SMA
Teitan sudah sepi saat mereka masuk. Hanya beberapa anak yang ikut
ekstrakurikuler dan anak-anak kelas tiga yang mengikuti kelas sore yang
masih tinggal. Selebihnya, hanya mereka bertiga. Koridor sekolah juga
tampak lengang, karena penghuninya pasti lebih memilih ke kantin mengisi
perut daripada ngobrol di sepanjang koridor. Soalnya mereka masih punya
beban yang harus ditanggung seusai istirahat.
“Apa
rencananya, Siv?” tanya Prissy. “Nenek Lampir itu kan selalu bareng
antek-anteknya,” tambahnya, tapi langsung meralat, “eh, maaf... gue
nggak bermaksud...” ketika ia tiba-tiba teringat cerita Ify bahwa Sivia
dulu teman Ashilla.
“Lupakan. Gue sekarang bukan
antek-antek Shilla lagi. Lagi pula, hari ini Shilla Cuma ditemani satu
antek. Angel namanya. Yang lain udah pada pulang,” balas Sivia
tersenyum. “Nah, Zevana ini selalu ke WC setiap ada kesempatan. Nah,
kita bakal ngerjain dia di situ.”
“Ngapain si Zevana ke WC setiap ada kesempatan, emang dia beser ya?” tanya Prissy heran.
“Bukan, dia hobinya dandan. Dia paling takut kalo dandanannya amburadul. Dia lebih baik mati daripada kelihatan jelek.”
“Bagus, ada untungnya juga lo jadi mantan temen Ashilla.” Prissy melempar senyum jailnya.
Mereka kemudian standby di toilet SMA Teitan yang kata Sivia jadi langganan Zevana untuk bercermin dan membenahi dandanan.
Mereka
terdiam mendengar suara nyanyian kecil yang menuju ke arah mereka. “Itu
Zevana. Sembunyi!” bisik Sivia seraya menarik Prissy masuk ke salah
satu kamar kecil.
Dari suara langkah kaki Zevana dan
dendangan kecilnya ketahuan cewek itu sudah sampai di WC. Sivia memberi
tanda kepada Prissy untuk keluar.
“Halo, Zeva,” sapa Sivia ramah.
Yang
disapa bukannya senang malah kaget. “Sivia... lo ngap...” Dia tampak
ketakutan, apalagi Prissy muncul di belakang Sivia. “Siv... lo masukin
tikus kotor ini ke toilet kita?” katanya berjengit jijik. “Dia bahkan
nggak lebih bersih dari toilet ini!” tambahnya nyinyir.
Tanpa
menunggu komando Sivia lagi, Prissy menarik tangan Zevana dan dengan
cepat menelikungnya ke belakang. Persis polisi yang berhasil menangkap
maling.
“Ao... sakit...!” jerit Zevana.
“Diam. Atau gue berantakin rambut lo!” ancam Prissy seraya bermaksud menjambak rambut indah Zevana.
“Tunggu... tunggu... oke, gue diem, tapi please, jangan berantakin rambut gue,” setengah memohon Zevana mengucap.
Sivia mengerling ke arah Prissy. Asyik juga ngerjain orang yang takut berantakan begini, pikir Prissy senang.
“Zeva...”
Sivia mendekatkan wajahnya pada mantan temannya itu. “Gue mau tanya,
dan gue harap, lo jawab pertanyaan gue sejujur-jujurnya,” katanya
lambat-lambat.
“Sivia, lo ternyata udah berubah ya?” komentar Zevana.
“Itu
semua berkat lo juga,” balas Ify tersenyum. “Oke, gue mau tanya, apa
yang sebenarnya terjadi di hari ULTAH Ashilla? Maksud gue, soal
pertunangan itu. Semua Cuma akal bulus Shilla, kan?”
“Ho... ho... ho... Siv... apa lo pikir gue bakal ngejawab pertanyaan lo?” Zevana tertawa.
“Tentu,”
ucap Sivia yakin. “Kecuali lo mau lipstik gue mendarat di wajah mulus
lo.” Sivia mengeluarkan lipstik dari saku rok seragamnya.
Gila, ternyata Sivia udah mempersiapkan semuanya, pikir Prissy kagum.
“Apa? Lo nggak mungkin serius, kan, Siv? Kita kan teman!” Jelas sekali Zevana ketakutan dengan ancaman Sivia.
“Oke, gue buktiin aja daripada lo nggak percaya!”
Sivia membuka lipstiknya dan mendekatkannya ke wajah Zevana. Gadis itu tak bisa bergerak karena Prissy masih memeganginya.
“Tunggu, Siv... tunggu,” cegah Zevana yang ketakutan wajah mulusnya tercoreng-moreng. “Gue ceritain deh,” katanya.
“Oke. Katakan.”
Zevana
menelan ludahnya pelan. “Shilla yang merencanakan semua ini,” katanya
kemudian. “Dia sengaja mengajukan syarat ke Rio supaya tikus kampung itu
salah paham sama Rio dan akhirnya meninggalkan Rio.”
“Hei, namanya Ify. Kalo lo sebut dia tikus lagi, gue jambak rambut lo!” Prissy benar-benar nggak terima sahabatnya dihina.
“Iya... iya... Ify,” ralat Zevana cepat.
“Soal
percakapan kalian di kantin dengan Rio. Siapa yang sebenarnya dimaksud
Rio dengan tunangannya? Bukan Shilla, kan?” tanya Sivia lagi.
“Bukan.
Kebetulan Rio pernah bilang dia mau tunangan sama ti... eh, Ify.”
Cengkraman tangan Prissy membuat Zevana meralat nama yang disebutnya.
“Kata-kata Rio itu dijadikan senjata oleh Shilla untuk bikin lo salah
paham, Siv. Karena sebenarnya waktu itu kita tau lo lagi ambil minum,”
jelas Zevana.
“Lalu rangkaian bunga itu?”
“Shilla
sudah pesan pada kami bertiga untuk menaruh bunga itu di pintu masuk
begitu lo datang bersama ti... ee... Ify. Dan kami harus segera
menyingkirkan dan menyembunyikannya setelah kalian masuk supaya Rio
nggak tahu. Soalnya kalo Rio sampai tahu, dia pasti kabur dari pesta.”
Sivia dan Prissy berpandang-pandangan. “Bagus. Sekarang jelas ini hanya rencana Ashilla,” kata Sivia.
Zevana berusaha melepaskan diri. “Kalian kan udah dapet semuanya. Sekarang lepasin gue dong!”
Sivia
melempar pandang sekali lagi pada Prissy yang langsung mengangguk
senang. “Sorry, Zeva. Gue masih ada urusan sama Shilla. Dan gue ingin
dia sendirian. Jadi, terpaksa lo harus tinggal di sini dulu.” Sivia
mencoretkan lipstiknya di baju Zevana. Zevana akan butuh banyak waktu
untuk membersihkannya.
“Oh... tidak...”
BERSAMBUNG.........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar