Selasa, 26 Juni 2012

Will You Marry Me? - Part 17

Gabriel sudah siap memukul Rio dengan tangan terkepal. “Heh! Lo apain adik gue sampai jadi begitu he?!” tantangnya garang. Bunda berusaha mencegahnya, sementara Rio tampak berdiri pasrah di depan Gabriel.

“Pukul aja, Kak. Gue memang salah.” ucapnya parau.

“Jangan sok deh lo, lo kira gue nggak berani mukul lo?” Satu pukulan mendarat di pipi Rio. Dia sempat tersungkur, tapi kemudian perlahan-lahan bangkit berdiri lagi.

Bunda langsung menarik tangan Gabriel dan memaksa anaknya itu menghadap kepadanya. “Bunda nggak pernah mengajarkan untuk menyelesaikan masalah dengan kekerasan,” kata Bunda. Gabriel terdiam.

“Biarkan saja, Bunda. Berapa banyak pukulan pun akan Rio terima untuk menebus kesalahan Rio,” kata Rio lirih.

“Tidak, bukan seperti itu penyelesaiannya. Bunda ingin kamu menjelaskan semua ini. Apa yang sebenarnya terjadi?” ucap Bunda bijak.

“Rio juga tidak tahu, Bunda.” Wajah Rio tampak kusut tak keruan. Disekanya darah segar yang mengalir di sudut mulutnya. “Rio Cuma tahu, Rio bikin perjanjian dengan Ashilla. Awalnya dia mengancam akan melukai Ify kalo Rio nggak ninggalin Ify. Tapi Rio bersikukuh akan jagain Ify. Bahkan Rio bilang akan segera tunangan dengan Ify untuk ganti mengancam Shilla. Tiba-tiba dia berubah baik dan membuat kesepakatan, bahwa dia akan relakan Rio bersama Ify asalkan Rio mau menghabiskan tiga hari bersamanya. Mengurus ulang tahunnya dan menghadiri pestanya dengan baju yang sudah dipilihkan olehnya. Rio bahkan bersedia pontang-panting nganterin dia ke mana aja asal bisa segera kembali kepada Ify dan terbebas dari Shilla. Siapa sangka kejadiannya bakal seperti ini.” Wajah lusuh itu tertunduk lesu. “Rio bahkan nggak nyangka akan membuat Ify sakit hati sampai seperti itu, Bunda. Rio hanya ingin menjauhkan Ify dari keganasan Shilla.”

Semua terdiam mendengar penjelasan itu. Bahkan Gabriel telah melemaskan tangannya yang tadi terkepal menahan marah.

“Tapi, Yo...” Sivia memecah keheningan. “Waktu itu jelas-jelas kami lihat rangkaian bunga besar ucapan selamat bertunangan buat lo dan Shilla. Bunga itu diletakkan di pintu masuk rumah Shilla. Lo bisa jelasin itu?” tanya Sivia tegas. Entah dari mana ia mendapat keberanian hingga sanggup mengemukakan pertanyaan itu.

“Bunga apa? Gue nggak tau, Siv. Gue nggak tau,” sahut Rio pelan. “Tapi percayalah, gue nggak mungkin mengkhianati Ify. Setelah apa yang terjadi antara gue dan dia selama ini,” sambungnya.

Bunda mengembuskan napas panjang. “Yo, Bunda percaya sama kamu,” katanya sambil mendekati Rio dan menepuk bahunya pelan. “Bunda tahu, karena mata itu takkan bisa berbohong pada Bunda.” Ditatapnya mata Rio yang terlihat sayu dan sedih. “Tapi untuk meyakinkan Ify, Bunda rasa perlu sedikit waktu lagi. Kamu tahu sendiri gimana Ify. Hatinya sudah terlanjur sakit. Dia pasti sudah menutup rapat-rapat hatinya. Dan untuk membuka-nya lagi, bukan hal yang mudah.”

“Gabriel belum bisa percaya seratun persen, Bunda. Gabriel akan ke SMA Teitan untuk mencari jawab atas perlakuan cewek sialan itu!” Gabriel ikut berkomentar.

“Ya, pergilah ke sana, kamu boleh cari gara-gara, biar masalah semakin panjang,” tantang Bunda. “Kamu kira apa yang tidak bisa dilakukan orang kaya? Menuduhmu melakukan penganiayaan dan menjebloskanmu ke penjara itu bukan hal sulit bagi mereka. Jadi lakukanlah niatmu itu, tapi jangan pernah panggil aku Bunda,” ancam Bunda galak. Ini memang salah satu jurus Bunda menangani putranya yang kadang nekat.

Dan terbukti jurus itu ampuh, karena Gabriel langsung terdiam.

“Rio, lebih baik sekarang kamu pulang. Tenangkan pikiran dan coba cari jalan untuk membujuk Ify. Biasanya kan kamu paling pintar mengambil hatinya. Sementara kami juga akan kita mencoba membujuknya.”

“Terima kasih, Bunda,” ujarnya Rio. Dijabatnya tangan Bunda lalu diciumnya dengan sayang sebelum akhirnya meninggalkan rumah Ify.

“Sivia,” panggil Bunda.

“Ya, Bunda.”

“Kamu saja yang cari tahu soal rangkaian bunga itu. Biar cowok sok macho itu lebih percaya lagi kalo Rio sungguh-sungguh dengan perkataannya,” pinta Bunda seraya menggedikkan kepala ke arah Gabriel.

Sivia mengangguk cepat. “Baik, Bunda.” Baginya itu bukan tugas, melainkan kasih sayang Bunda kepadanya yang diwujudkan dalam bentuk kepercayaan. Sivia akan lakukan apa pun untuk menemukan jawaban atas semua ini, Bunda. Karena Sivia juga sudah janji pada Ify, katanya dalam hati.




@@@@@




“Prissy... Alvin... ngapain kalian di sini?” tanya Sivia tak percaya, mendapati kedua sohib Ify berada di pos satpam sekolahnya.

“Hai, Siv, sorry ganggu. Tapi kami nggak bisa tinggal diam liat sobat kami tergeletak di kasur.” Prissy yang menjawab.

“Dari mana kalian...”

“Semalem kami nelepon Ify di rumah, kata Bunda dia sakit, makanya kami ke sana. Kami nggak tahu kejadiannya separah itu. Bunda yang cerita,” Alvin menjelaskan singkat.

“Dan gue nggak mau ketinggalan nyakar Nenek Lampir kurang ajar itu,” tambah Prissy garang.

Sivia tersenyum. “Baiklah, tapi kalian harus janji nggak bikin masalah.”

Keduanya mengacungkan jempol dan berkata bersamaan, “Sip, Bos.”

“Ya udah, ayo masuk.” Sivia mengajak mereka memasuki gerbang sekolah setelah sebelumnya berkata kepada satpam, “Mereka teman saya, Pak.”

SMA Teitan sudah sepi saat mereka masuk. Hanya beberapa anak yang ikut ekstrakurikuler dan anak-anak kelas tiga yang mengikuti kelas sore yang masih tinggal. Selebihnya, hanya mereka bertiga. Koridor sekolah juga tampak lengang, karena penghuninya pasti lebih memilih ke kantin mengisi perut daripada ngobrol di sepanjang koridor. Soalnya mereka masih punya beban yang harus ditanggung seusai istirahat.

“Apa rencananya, Siv?” tanya Prissy. “Nenek Lampir itu kan selalu bareng antek-anteknya,” tambahnya, tapi langsung meralat, “eh, maaf... gue nggak bermaksud...” ketika ia tiba-tiba teringat cerita Ify bahwa Sivia dulu teman Ashilla.

“Lupakan. Gue sekarang bukan antek-antek Shilla lagi. Lagi pula, hari ini Shilla Cuma ditemani satu antek. Angel namanya. Yang lain udah pada pulang,” balas Sivia tersenyum. “Nah, Zevana ini selalu ke WC setiap ada kesempatan. Nah, kita bakal ngerjain dia di situ.”

“Ngapain si Zevana ke WC setiap ada kesempatan, emang dia beser ya?” tanya Prissy heran.

“Bukan, dia hobinya dandan. Dia paling takut kalo dandanannya amburadul. Dia lebih baik mati daripada kelihatan jelek.”

“Bagus, ada untungnya juga lo jadi mantan temen Ashilla.” Prissy melempar senyum jailnya.

Mereka kemudian standby di toilet SMA Teitan yang kata Sivia jadi langganan Zevana untuk bercermin dan membenahi dandanan.

Mereka terdiam mendengar suara nyanyian kecil yang menuju ke arah mereka. “Itu Zevana. Sembunyi!” bisik Sivia seraya menarik Prissy masuk ke salah satu kamar kecil.

Dari suara langkah kaki Zevana dan dendangan kecilnya ketahuan cewek itu sudah sampai di WC. Sivia memberi tanda kepada Prissy untuk keluar.

“Halo, Zeva,” sapa Sivia ramah.

Yang disapa bukannya senang malah kaget. “Sivia... lo ngap...” Dia tampak ketakutan, apalagi Prissy muncul di belakang Sivia. “Siv... lo masukin tikus kotor ini ke toilet kita?” katanya berjengit jijik. “Dia bahkan nggak lebih bersih dari toilet ini!” tambahnya nyinyir.

Tanpa menunggu komando Sivia lagi, Prissy menarik tangan Zevana dan dengan cepat menelikungnya ke belakang. Persis polisi yang berhasil menangkap maling.

“Ao... sakit...!” jerit Zevana.

“Diam. Atau gue berantakin rambut lo!” ancam Prissy seraya bermaksud menjambak rambut indah Zevana.

“Tunggu... tunggu... oke, gue diem, tapi please, jangan berantakin rambut gue,” setengah memohon Zevana mengucap.

Sivia mengerling ke arah Prissy. Asyik juga ngerjain orang yang takut berantakan begini, pikir Prissy senang.

“Zeva...” Sivia mendekatkan wajahnya pada mantan temannya itu. “Gue mau tanya, dan gue harap, lo jawab pertanyaan gue sejujur-jujurnya,” katanya lambat-lambat.

“Sivia, lo ternyata udah berubah ya?” komentar Zevana.

“Itu semua berkat lo juga,” balas Ify tersenyum. “Oke, gue mau tanya, apa yang sebenarnya terjadi di hari ULTAH Ashilla? Maksud gue, soal pertunangan itu. Semua Cuma akal bulus Shilla, kan?”

“Ho... ho... ho... Siv... apa lo pikir gue bakal ngejawab pertanyaan lo?” Zevana tertawa.

“Tentu,” ucap Sivia yakin. “Kecuali lo mau lipstik gue mendarat di wajah mulus lo.” Sivia mengeluarkan lipstik dari saku rok seragamnya.

Gila, ternyata Sivia udah mempersiapkan semuanya, pikir Prissy kagum.

“Apa? Lo nggak mungkin serius, kan, Siv? Kita kan teman!” Jelas sekali Zevana ketakutan dengan ancaman Sivia.

“Oke, gue buktiin aja daripada lo nggak percaya!”

Sivia membuka lipstiknya dan mendekatkannya ke wajah Zevana. Gadis itu tak bisa bergerak karena Prissy masih memeganginya.

“Tunggu, Siv... tunggu,” cegah Zevana yang ketakutan wajah mulusnya tercoreng-moreng. “Gue ceritain deh,” katanya.

“Oke. Katakan.”

Zevana menelan ludahnya pelan. “Shilla yang merencanakan semua ini,” katanya kemudian. “Dia sengaja mengajukan syarat ke Rio supaya tikus kampung itu salah paham sama Rio dan akhirnya meninggalkan Rio.”

“Hei, namanya Ify. Kalo lo sebut dia tikus lagi, gue jambak rambut lo!” Prissy benar-benar nggak terima sahabatnya dihina.

“Iya... iya... Ify,” ralat Zevana cepat.

“Soal percakapan kalian di kantin dengan Rio. Siapa yang sebenarnya dimaksud Rio dengan tunangannya? Bukan Shilla, kan?” tanya Sivia lagi.

“Bukan. Kebetulan Rio pernah bilang dia mau tunangan sama ti... eh, Ify.” Cengkraman tangan Prissy membuat Zevana meralat nama yang disebutnya. “Kata-kata Rio itu dijadikan senjata oleh Shilla untuk bikin lo salah paham, Siv. Karena sebenarnya waktu itu kita tau lo lagi ambil minum,” jelas Zevana.

“Lalu rangkaian bunga itu?”

“Shilla sudah pesan pada kami bertiga untuk menaruh bunga itu di pintu masuk begitu lo datang bersama ti... ee... Ify. Dan kami harus segera menyingkirkan dan menyembunyikannya setelah kalian masuk supaya Rio nggak tahu. Soalnya kalo Rio sampai tahu, dia pasti kabur dari pesta.”

Sivia dan Prissy berpandang-pandangan. “Bagus. Sekarang jelas ini hanya rencana Ashilla,” kata Sivia.

Zevana berusaha melepaskan diri. “Kalian kan udah dapet semuanya. Sekarang lepasin gue dong!”

Sivia melempar pandang sekali lagi pada Prissy yang langsung mengangguk senang. “Sorry, Zeva. Gue masih ada urusan sama Shilla. Dan gue ingin dia sendirian. Jadi, terpaksa lo harus tinggal di sini dulu.” Sivia mencoretkan lipstiknya di baju Zevana. Zevana akan butuh banyak waktu untuk membersihkannya.

“Oh... tidak...”






BERSAMBUNG.........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar